I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah lingkungan hidup di Indonesia adalah kerusakan sumber daya alam, hutan, tanah, dan air. Sumber daya alam tersebut merupakan salah satu modal dasar pembangunan nasional yang mempunyai arti sangat penting bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Kerusakan sumber daya alam lahan berupa lahan kritis telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Lahan kritis adalah lahan yang karena sifat tanah, kemiringan lereng, curah hujan, dan kekurangan penutup tanah, jelas memperlihatkan adanya gejala erosi tanah pada tingkat sedang sampai berat. Lahan kritis merupakan lahan yang sudah tidak berfungsi lagi sebagai media tata air dan unsur produksi sesuai dengan peruntukannya (Departemen Kehutanan, 1986). Lahan-lahan kritis meliputi areal yang tandus atau kering, padang alang-alang, dan belukar. Kerusakan lahan yang terjadi di Propinsi Sulawesi Selatan adalah akibat pemanfaatan lahan melampaui kemampuan lahannya, teknik pertanian tanpa penerapan prinsip-prinsip konservasi tanah, penebangan hutan tanpa upaya peremajaan yang memadai, perladangan berpindah, pengolahan di lahan yang miring pada pertanian yang sifatnya berpindah maupun yang menetap. Dampak lahan kritis terhadap lingkungan hidup terutama menyebabkan produktivitas lahan menurun, dan keadaan hidroorologis kritis. Produktivitas lahan yang menurun mengaki-
batkan pendapatan petani pun menurun. Keadaan ini mendorong petani di desa mencari pekerjaan di luar desanya. Petani yang melakukan pekerjaan ini tidak didukung oleh pengetahuan dan keterampilan khusus yang memadai, sehingga mereka susah mendapatkan pekerjaan layak yang hasilnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Keadaan hidroorologis kritis menyebabkan banjir pada waktu musim hujan, kekeringan pada waktu musim kemarau, dan erosi. Banjir dapat merusak: sarana angkutan, lahan pertanian, pemukiman, dan lain-lain. Akibat kekeringan sangat mempengaruhi irigasi dan pertanian. Erosi menyebabkan pendangkalan sungai, danau, pelabuhan, sehingga menghambat sarana angkutan sungai dan laut. Selain itu erosi pun dapat meningkatkan kerawanan banjir, dan lahan semakin kritis. Di seluruh Indonesia terdapat lebih kurang 43 juta hektar lahan tidak produktif, yaitu lahan kosong, areal gundul, alang-alang dan belukar, hutan tidak produktif dan lain-lain. Di antaranya terdapat lebih kurang 20 juta hektar lahan yang keadaannya hidroorologis kritis, terletak di wilayah kritis, yang setiap tahunnya bertambah lebih kurang 500.000 hektar. Lahan kritis yang telah diidentifikasi melalui feasibility studv dan inventarisasi lahan kritis sampai dengan akhir Pelita I11 di 36 Satuan Wilayah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (SWP DAS) Prioritas yang meliputi 79 DAS adalah lebih kurang 10,4 juta hektar. Selanjutnya, lahan kritis yang mempunyai urgensi tinggi untuk ditangani di 36 SWP DAS dari 163 DAS dan sub-das prioritas terpilih adalah lebih kurang 4,9 juta hektar yang merupakan
usulan dari daerah. Dalam Pelita IV, berdasarkan kemampuan dana dan penyelenggaraan akan ditangani 3,l juta hektar lahan kritis, yang terkonsentrasi pada 163 DAS dan sub-das Prioritas terpilih dalam 36 SWP DAS Prioritas. Di antaranya ada 1,6 juta hektar lahan kritis terletak dalam 22 DAS Super Prioritas (Bantuan Penghijauan dan Reboisasi, 1985). Di Propinsi Sulawesi Selatan terdapat tiga buah DAS, yaitu: DAS Jeneberang-Kelara, DAS Saddang, DAS Bila-Walanae yang dinyatakan sebagai DAS Prioritas terpilih untuk ditangani dengan mengutamakan kegiatan konservasi tanah dalam Pelita IV. Lokasi ketiga DAS tersebut dapat dilihat pada Gambar.I. Menurut data yang dikumpulkan oleh Sub-Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (SBRLKT) Jeneberang tahun 1986 menunjukkan bahwa lahan kritis di DAS Jeneberang secara keseluruhan sudah mencapai 65.620,14 ha atau 59,7 X dari seluruh wilayah DAS Jeneberang. Kerusakan lahan di daerah ini pada umumnnya disebabkan penyerobotan kawasan hutan, perladangan berpindah, kebakaran hutan, dan pemanfaatan lahan yang tidak memperhatikan teknologi rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT). Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya pemanfaatan lahan yang merusak. Faktor-faktor tersebut antara lain: sangat tingginya ketergantungan petani terhadap lahan dalam memenuhi kebutuhan hidup, kurangnya pengetahuan dan keterampilan, serta sikap petani terhadap lingkungan hidup, terutama hutan dan air, yang tidak memperhatikan
I. DAS SAODANG 11. DAS BlLA WALANAE 111. DAS JENEBERANG Garrlhar 1. Peto DAS Super prioritas di Sulawesi Selatan
kelestariannya. Selain itu, kemampuan petani sangat terba- tas untuk membiayai penerapan teknologi RLKT secara swada- ya pada usaha taninya. Penduduk Indonesia sebagian besar bekerja dalam sektor pertanian, sehingga hutan, tanah, dan air mempunyai peranan yang besar dalam usaha peningkatan taraf hidup masyarakat. Kerusakan yang terjadi di lahan-lahan pertanian menimbul- kan risiko terhadap lingkungan dan kelangsungan hidup masyarakat. Ditinjau dari segi usaha peningkatan kemakmuran ma- syarakat, kerusakan sumber daya alam berarti menurunnya daya dukung sumber daya alam tersebut terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat. Tingkat kemakmuran masyarakat menurut Soerianegara (1977) adalah sumber daya alam yang tersedia dibagi dengan banyaknya penduduk yang memanfaat- kannya. Artinya kemampuan sumber daya alam dan lingkungan hidup untuk menunjang kehidupan manusia adalah terbatas. Odum (1977) memberikan definisi daya dukung adalah jum- lah populasi manusia yang optimal, yang dalam jangka pan- jang dapat dipenuhi kebutuhannya oleh suatu satuan ling- kungan hidup atau sumber daya alam secara lestari. Semakin kritis sebidang lahan menyebabkan semakin kecil daya du- kungnya. Daya dukung mempunyai dua konponen yaitu besar- nya populasi manusia dan luas sumber daya alam dan ling- kungan hidup yang dapat memberikan kemakmuran kepada popu- lasi manusia. Upaya-upaya untuk mengatasi dan mengendalikan kerusak- an sumber daya alam telah ditempuh pemerintah, di antaranya
upaya konservasi tanah dan rehabilitasi lahan kritis melalui proyek penghijauan dan reboisasi. Sejak tahun anggaran 1976/1977 organisasi Proyek Penghijauan dan Reboisasi mengikuti Instruksi Presiden atau Inpres (Haeruman, 1979). Luas lahan kritis sebagai sasaran penghijauan dan reboisasi dalam Pelita IV pada SWP DAS di Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, yaitu: DAS Jeneberang-Kelara DS (Dan Sekitarnya) 60.800 ha (27.200 ha di luar kawasan hutan dan 33.600 ha di dalam kawasan hutan), DAS Saddang DS 92.500 ha.(61.600 ha di luar kawasan hutan dan 30.900 ha di dalam kawasan hutan), dan DAS Bila-Walanae DS 85.900 ha (45.900 ha di luar kawasan hutan dan 40.000 di dalam kawasan hutan) (Bantuan Penghijauan dan Reboisasi, 1985). Struktur Organisasi penyelenggaraan penghijauan sampai tahun 1983/1984 telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan sesuai dengan kondisi dan situasi serta sasaran yang ingin dicapai. Selanjutnya dalam organisasi tahun 1984 dengan,inpres Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1984, disebutkan bahwa:" Tujuan penghijauan adalah: merehabilitasi lahan kritis, meningkatkan kesuburan dan produktivitas lahan, mengendalikan erosi dan banjir, melestarikan sumber daya alam, meningkatkan pendapatan petani, serta membina perilaku petani sebagai pelestari sumber daya alam. Kegiatan penghijauan dilakukan di lahan-lahan kritis di luar kawasan hutan atau di lahan milik atau yang dikuasai penduduk." Melihat bahwa tujuan, lokasi, dan pelaksanaan proyek penghijauan menyangkut langsung kepentingan petani, dan
petani adalah pemilik dan atau penggarap lahan, yang merupakan subjek dan objek penghijauan, maka peran serta mereka adalah kunci penentu keberhasilan pencapaian tujuan penghijauan. Peran serta masyarakat merupakan faktor penting dalam pencapaian tujuan penghijauan. Slamet (1985) mengemukakan bahwa peran serta masyarakat sangat mutlak demi berhasilnya pembangunan, dan merupakan bagian pokok dalam strategi pembangunan masyarakat terpadu, khususnya di pedesaan. Pentingnya peran serta masyarakat dalam suatu kegiatan, karena adanya keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh antara lain: a. peran serta dapat mencerminkan penerimaan masyarakat terhadap program yang dilaksanakan, sehingga akan terdapat keserasian antara keinginan masyarakat dengan tujuan program ; b. peran serta dapat menumbuhkan saling pengertian antara golongan dalam.pelapisan (stratifikasi) sosial; c. peran serta dapat mengembangkan keterampilan, dan selanjutnya menumbuhkan rasa percaya diri sendiri untuk bertindak dan bekerja, serta tidak apatis; d. peran serta mencerminkan pengakuan eksistensi seseorang dalam masyarakat sebagai subjek yang ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaan program pembangunan. Proyek penghijauan merupakan program nasional yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaannya agar berha- sil baik, serta demi efektivitas penggunaan dana pemba-
ngunan. Perhatian dan dukungan bukan hanya dari aparat birokrasi, tetapi juga dari masyarakat yang kegiatannya berkaitan langsung dengan penghijauan. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Bab 111 Pasal 5.2 disebutkan bahwa:" Setiap orang berkewajiban meme.lihara lingkungan hidup, dan mencegah, serta menanggulangi kerusakan dan pencemarannya." Bab I11 Pasal 6.1: " Setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup yang baik." Mengingat setiap tahun areal lahan kritis bertambah luas dan akibatnya sangat merugikan lingkungan hidup, maka penghijauan merupakan program yang harus ditangani dengan sungguh-sungguh. Karena itu, proyek penghijauan memerlukan tenaga, biaya, waktu, sarana dan prasarana yang cukup, dan organisasi yang mantap, juga didukung peran serta masyarakat. Masyarakat akan berperan serta secara suka rela dalam kegiatan penghijauan apabila masyarakat mempunyai motivasi untuk berperan serta. Motivasi inilah yang berfungsi sebagai pendorong, sehingga timbul gerak nyata berupa kegiatan penghijauan. Tumbuh dan berkembangnya motivasi masyarakat memerlukan dukungan: pemahaman akan manfaat penghijauan, ada kesempatan dan kemampuan masyarakat untuk berperan serta dalam penghijauan. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi terwujudnya peran serta masyarakat terhadap proyek penghijauan yang memerlukan perhatian dan penanganan sungguh-sungguh, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat. Lokasi penghijauan
di lahan milik masyarakat dan dilaksanakan oleh masyarakat, dan di lahan terlantar milik negara di luar kawasan hutan, yang memerlukan tenaga kerja dan bantuan masyarakat, karena itu keberhasilan proyek tersebut sangat ditentukan oleh peran serta masyarakat. Dengan demikian peran serta masyarakat mempunyai peranan penting, karena itu merupakan masalah yang perlu diteliti. B. Masalah, Dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 1984 Tentang Petunjuk Administrasi Pelaksanaan Bantuan Penghijauan dan Reboisasi Pasal 74 Ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa: " Kegiatan Proyek Penghijauan dilaksanakan secara terkonsentrasi dalam Unit Pengembangan pada tingkat kecamatan dan desa. Pelaksanaan pekerjaan di lapangan dilakukan secara terpadu oleh pemilik atau penggarap lahan atau masyarakat desa yang bersangkutan sebagai peserta penghijauan." Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di desa mempunyai peranan yang sangat penting dalam pencapaian tujuan penghijauan, karena merekalah yang terutama yang akan menerima manfaat penghijauan secara langsung. Tujuan penghijauan akan dicapai apabila masyarakat mempunyai motivasi untuk berperan serta secara suka rela, disertai pemahaman akan manfaat penghijauan, mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk melaksanakan penghijauan, serta didukung oleh birokrasi penghijauan yang mempertimbangkan kondisi lingkungan hidup setempat dalam manajemen penghijauan yang dilaksanakannya. Besar kecilnya motivasi
seseorang akan menentukan'besar kecil peran sertanya dalam penghi jauan. Petani di daerah penelitian pada umumnya tergolong petani yang masih rendah tingkat pendapatan dan pendidikannya. Karena itu, untuk meningkatkan peran serta mereka yang sudah ada, dibutuhkan modal, percontohan, penyuluhan, serta prasarana dan sarana terutama jalan dan pasar untuk menjual hasil usaha taninya, serta dapat memenuhi kebutuhan sarana produksi, 'antara lain: bibit, pupuk, insektisida. Sejak dilaksanakannya proyek penghijauan secara besarbesaran melalui sisten Inpres dari tahun 1976/1977 hingga sekarang telah berumur lebih kurang 11 tahun, pencapaian tujuan penghijauan masih mengalami hambatan-hambatan. Apa bila hambatan tersebut tidak segera mendapat perhatian dari pemerintah maupun masyarakat, maka peran serta yang diharapkan akan sulit terwujud. Masalah yang perlu diteliti dalam peran serta masyarakat dalam penghijauan dapat disimpulkan dalam beberapa pertanyaan, sebagai berikut: a. Sampai berapa jauhkah masyarakat telah berperan serta dalam penghijauan? b. Motivasi apakah yang mendorong rasyarakat untuk berperan serta dalam penghijauan? c. Apakah yang menghambat masyarakat untuk berperan serta dalam penghijauan? d. Adakah perubahan sikap atau kebiasaan petani dalam usaha tani rereka karena masuknya teknologi rehabilitasi lahan dan konservasi tanah melalui penghijauan?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: a. cara pengembangan peran serta masyarakat agar tujuan penghijauan dapat dicapai; b. faktor-faktor yang berpengaruh dalam upaya menumbuhkan dan mengembangkan motivasi agar masyarakat berperan serta dalam penghijauan; c. bentuk-bentuk hubungan antarfaktor tersebut, sehingga melahirkan peran serta masyarakat dalam penghijauan; d. hambatan-hambatan yang paling berpengaruh terhadap peran serta masyarakat dalam penghijauan; Hasil penelitian diharapkan berguna untuk: a. memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu, khususnya dalam bidang lingkungan hidup; b. menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, dan Kabupaten Daerah Tingkat I1 Gowa untuk menumbuhkan, menggerakkan, dan mendorong peran serta masyarakat untuk pencapaian tujuan penghijauan; c. menjadi bahan pertimbangan Pemerintah Pusat atau Lembaga di Tingkat Pusat dalam perumusan kebijaksanaan pengelolaan proyek penghijauan.