TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Di Seluruh dunia, terdapat 20 jenis spesies Macaca yang tersebar di Afrika bagian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

Jantan Dewasa/Adult (Macaca Maura).

I. PENDAHULUAN. Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi ilmiah simpai sebagai berikut :

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. frugivora lebih dominan memakan buah dan folivora lebih dominan memakan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Burung Kakaktua. Kakatua

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK

TINJAUAN PUSTAKA Tikus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

I. PENDAHULUAN. tailed macaque) (Lekagul dan Mcneely, 1977). Macaca fascicularis dapat ditemui di

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Morfologi Umum Primata

IV. METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

LAJU DEGRADASI HABITAT MONYET HITAM SULAWESI (Macaca nigra) DI CAGAR ALAM GUNUNG DUASUDARA SULAWESI UTARA

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM. Edy Hendras Wahyono

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kukang adalah salah satu spesies primata dari genus Nycticebus yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

C. Model-model Konseptual

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Taksonomi dan Morfologi Siamang (Hylobathes syndactilus) Hylobatidae. Yang memiliki nama ilmiah Hylobathes syndactilus.

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

Si Pengerat Musuh Petani Tebu..

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan. tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu diklasifikasikan sebagai berikut, Kingdom: Plantae; Subkingdom:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Bioekologi

KONSERVASI Habitat dan Kalawet

JENIS_JENIS TIKUS HAMA

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan,

BAB I PENDAHULUAN. untuk pengadaan konservasi hewan. Suaka Margasatwa Paliyan memiliki ciri

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 17.1 TAHUN 2015

II. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungannya (Alikodra, 2002). Tingkah laku hewan adalah ekspresi hewan yang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

3. METODE PENELITIAN. Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung

METODE PENELTIAN. Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan

PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN DESA JATILOR KECAMATAN GODONG PERATURAN DESA JATILOR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PELESTARIAN BURUNG HANTU (TYTO ALBA)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. M11, dan M12 wilayah Resort Bandealit, SPTN wilayah II Balai Besar Taman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Artiodactyla, Anak Bangsa (Subordo) Ruminansia dan Suku (Family)

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KELOR, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERILAKU KEWASPADAAN MONYET HITAM SULAWESI PULAU BACAN, MALUKU UTARA

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Macaca nigra (Gambar 2) adalah salah satu dari tujuh monyet Sulawesi yaitu Dare (M. maura), Yaki (M. nigra), Dihe (M. nigrescens), Dige (M. hecki), Boti (M. tonkeana), Hada (M. ochreata) dan Endoke (M. brunnescens) (Fooden 1969 dalam Whitten et al. 1987). Dari ketujuh jenis monyet Sulawesi ini, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam ha1 ukuran tubuh seperti tengkorak atau badan, tetapi monyetmonyet tersebut berbeda pada ciri-ciri eksternal yaitu pola warna, bentuk ischial callosities (bantalan tungging), bentuk moncong dan rambut kepala. Klasifikasi Macaca nigra (yaki) dalam taksonomi hewan : Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Primates Subordo : Antropoidea Infraordo : Catarrhini Superfamili : Cercopithecoidea Famili : Cercopithecidae Subfamili : Cercopithecinae Genus : Macaca Spesies : Macaca nigra - (Desmarest 1822) Gambar 2 Macaca nigra $ (Rowe 1996). Nama lokal : Yaki (Corbet & Hill 1992; Collinge 1993) Morfologi dan Anatomi Macaca nigra memiliki ciri tubuh yang mudah dibedakan dengan jenis Macaca lainnya. Panjang tubuhnya 445-600 mm, panjang ekor 20 mm, dan bobot tubuh antara 7-15 kg (Supriatna & Hendras 2000). Biasanya bobot tubuh jantan lebih besar dari betina, dan memiliki perkembangan gigi taring yang baik (Animal Diversity 2004).

Rambut yang menutupi seluruh tubuh berwarna hitam kelam, namun bagian belakang (punggung) dan paha berwarna lebih terang dibandingkan pada bagian lain. Wajahnya berwarna hitam dan tidak ditumbuhi rambut. Moncongnya jauh lebih menonjol dibandingkan dengan monyet Sulawesi lainnya. Kepala mempunyai jambul, yang merupakan ciri khasnya dan memiliki kantung pipi yang besar (Supriatna & Hendras 2000). Warna tubuh betina dan monyet muda sedikit pucat, bila dibandingkan dengan jantan dewasa. Bantalan tunggingnya berbentuk seperti "ginjal" dan berwarna kuning (Supriatna & Hendras 2000). Selanjutnya menurut Arkive (2004), bantalan tungging pada yaki jantan, ukurannya lebih kecil dan berbentuk hati. Sedangkan yaki betina ukurannya lebih besar, bulat dan berwarna merah muda tua. Pantat membengkak merah pada yaki betina menandakan bahwa hewan tersebut sedang birahi (Napier & Napier 1967; Kinnaird 1997). Yaki betina biasanya kawin dengan beberapa jantan dalam kelompok (httv://www.geocities.com / Thetrovicsl paradise1 53011 P9000008.html; 2004). Masa kehamilan monyet hitam ini berkisar antara 170-190 hari dengan jarak kelahiran sekitar 24 bulan dan dapat bertahan hidup hingga 26 tahun (Supriatna & Hendras 2000). Kelahiran anak tidak mengenal musim sepanjang tahun. Bayi yaki berbulu putih pada wajah, lengan dan bagian ba*ah Gadan. Warna ini akan berubah perlahan-lahan menjadi hitam sebelum umur 4-6 bulan (Kinnaird 1997). Ketika bayi, yaki akan terus melingkar pada bagian perut induknya dan menyusui selama kurang lebih 1 tahun (Singapore Zoological Garden Docents 2004). Uraian data biologis yaki yang dirangkum dari berbagai sumber, dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Data biologis Macaca nigra (Yaki) Data biologis Jantan Betina Panjang tubuh (mm) 520-570 a' 445-550 a) 445-600 b' 445-600 b' 550 " 550 " 560 560 Bobot badan (kg) 11 7 e' 9,9 " 5,5 " 9-10 7 Dewasa kelamin (thn) 4-5 3-5 d' 5,5-7,0 fl 2,5-4,0 fl Sex ratio 1,O a) 3, 4 a' 1 q e' g) 1" 2,0-3,0 " Siklus estrus (hari) 36 a' 33-36 '' Lama bunting (hari) Jarak kelahiran anak (bin) Day range (kmlhari) Home range (ha) Lama hidup (thn) 114-320 a.b) Panjang ekor (mm) Kematian bayi (%) Susunan gigi 212312123 ") Keterangan: a) Rowe (1996), b) Supriatna dan Hendras (2002), c) Arkive (2004), d) Singapore Zoological Garden Docents (2004). e) Kinnaird (1997), f) Animal Diversity (2004) dan g) Lee et al. (2001).

Perilaku Sosial Hidup berkelompok merupakan ciri khas genus Macaca. Ukuran dan komposisi setiap kelompok tergantung bentuk kelompok masingmasing.yaki hidup berkelompok, dengan jumlah anggota antara 20-70 ekor, yang terdiri dari banyak jantan dan betina atau sering disebut multimale-multifemale. Perbandingan antara jantan dan betina dalam kelompok 1:3,4 (Supriatna & Hendras 2000). Untuk membedakan kelompok umurnya, dapat dilihat melalui perubahan bulunya. Perilaku sosial yaki sangat terorganisir dan kompleks. Pejantan membentuk hierarki kekuasaan. Hierarki kekuasaan atau kedudukan dalam kelompok tersebut, disusun berdasarkan suatu kompetisi, dan setiap saat akan berubah karena bertambahnya umur atau ketika individu tersebut meninggalkan kelompoknya dan bergabung dengan kelompok lain (Singapore Zoological Garden Docents 2004). Seperti jenis Macaca lain, betina lebih cenderung untuk tetap tinggal didalam kelompok yang sama seumur hidupnya, sedangkan jantan akan meninggalkan kelompok dan bergabung dengan kelompok lain (Singapore Zoological Garden Docents 2004). Pejantan paling dominan, ditandai dengan ukuran tubuh besar dan paling kuat memegang prioritas dalam mendapatkan makanan dan pasangan kawin (Kinnaird 1997). Untuk memperlihatkan dominansi dan menghindari terjadinya perkelahian, jantan dewasa kadang menyeringai untuk memperlihatkan gigi taringnya yang besar kepada lawannya (Arkive 2004). Betina dewasa menanggung sebagian besar tugas membesarkan anak, sehingga pejantan-pejantan sempat membersihkan segala parasit dari bulu tubuhnya dan membantu betina memperkuat ikatan sosial dengan anggota lainnya (Kinnaird 1997). Yaki remaja melewatkan waktu dengan berjumpalitan dan berkejar-kejaran atau bergumul dengan sebayanya. Meringis lebar adalah senyuman mengajak bermain-main bukan menantang berkelahi (Kinnaird 1997). Yaki hidup semiarboreal dan terestrial, meskipun lebih dominan hidup arboreal (di pohon), dan sering menggunakan dahan pohon untuk

melakukan penjelajahan. Umumnya pergerakan di tanah dan pada percabangan pohon dilakukan secara quadropedal. Namur cara bergerak yaki sangat bervariasi, biasa menggunakan kedua kakinya (bipedal), menggantung (brankiasi), ataupun memanjat (Supriatna & Hendras 2000). Daerah jelajah yaki berkisar antafa 114-320 ha (Rowe 1996; Supriatna & Hendras 2000), dan jelajah hariannya dapat mencapai 6 km (Rowe 1996). Daerah jelajah suatu kelompok, dapat juga menjadi daerah jelajah kelompok lain. Daerah ini ditentukan berdasarkan kualitas hutan dan distribusi sumberdaya makanan (buah-buahan) yang tersedia di daerah tersebut (O'Brien & Kinnaird 1997). Yaki aktif pada siang hari (diurnal) dan sore hari menjelang tidur, memilih tumbuhan yang rimbun. Tidur dilakukan pada tajuk tinggi pepohonan yang ditinggalkan menjelang matahari terbit untuk segera mencari makan (Supriatna & Hendras 2000). Monyet ini menghabiskan setengah waktunya di tanah dan setengahnya lagi di pepohonan dengan bergelantungan dari satu pohon ke pohon lain untuk mencari makan. Terkadang suatu kelompok bertemu kelompok lain, dan perkelahian dapat terjadi kalau kebetulan ada pohon buah yang menjadi rebutan, terutama pohon buah ara yang buahnya sangat digemari (Kinnaird 1997). Makanan Yaki memakan berbagai bagian tumbuhan, mulai dari daun, pucuk, bunga, biji, buah dan umbi, serta beberapa jenis serangga, moluska dan invertebrata kecil (Supriatna & Hendras 2000; Rowe 1996), antara lain tikus dan kadal (Arkive 2004). Terdapat lebih dari 145 jenis buah yang dimakan yaki. Yaki juga sering terlihat berada ditepi laut untuk mencari moluska sebagai salah satu sumber pakannya (Supriatna & Hendras 2000). Yaki juga mengkonsumsi serangga untuk memenuhi. kebutuhan proteinnya (Kinnaird 1997). Yaki menghabiskan sebagian besar waktunya (59%) untuk bergerak dan makan, dan sisanya (41%) untuk beristirahat dan

bersosialisasi (O'Brien & Kinnaird 1997). Yaki akan melompat dari satu pohon ke pohon yang lain, sesekali berhenti untuk mengambil buah- buahan atau menangkap hewan-hewan kecil, dan pada akhirnya berhenti pada batang pohon yang besar (misalnya Ficus), tempat dimana semua yaki berkumpul dan makan (O'Brien & Kinnaird 1997). Pada siang hari, kelompok yang besar (> 100 ekor) biasanya membentuk kelompok- kelompok yang lebih kecil (10-25 ekor), untuk mencari makan (Arkive 2004). Salah satu sumber makanan bagi yaki yang paling melimpah di CA Gunung Duasudara adalah pohon ara (Ficus sp.) yang merupakan 20% dari total makanan yaki. Di CA Tangkoko-Duasudara saja terdapat 45 jenis pohon ara (Kinnaird 1997). Buah ini sangat disukai karena bila matang, banyak mengandung gula dan mudah dicerna. Selain itu berbuahnya ara tidak mengikuti suatu pola musim sehingga buahnya dapat diperoleh sepanjang tahun, cepat matang dan panen buahnya melimpah sampai satu juta buah atau lebih (Kinnaird 1997). Yaki memiliki kantung pipi yang besar yang berhubungan dengan bagian leher, sehingga dapat menampung makanan dalam jumlah yang hampir sama dengan perutnya (Singapore Zoological Garden Docents 2004). Ketika makan, biasanya yaki menyimpan makanannya dalam kantung khusus di pipinya. Selagi berjalan, yaki kadang mengeluarkan simpanan makanan dari kantungnya lalu mengunyah dan menelan dagingnya, kemudian membuang bijinya. Biji yang dibuang yaki di lantai hutan, secara tidak langsung membantu proses regenerasi hutan /httv://~~~.ge~cities.com/ Thetrovicsl varadisel 530 I/ P9000008.htm1;2004). Yaki sering menggunakan gigi bagian belakang untuk memecahkan biji-bijian atau makanan yang keras (Singapore Zoological Garden Docents 20.04). Yaki lebih memilih makan di atas pohon, untuk menghindari predator seperti ular Phyton

Habitat dan Penyebaran Habitat adalah tempat yang dihuni oleh suatu makhluk hidup tertentu, bukan tempat pengungsian temporer, akan tetapi sungguhsungguh tempat dimana organisme tersebut hidup dan berkembang biak dari generasi ke generasi (Dwidjoseputro 1990). Komponen habitat yang paling utama terdiri dari makanan, air dan tempat berlindung. Makanan dan air, sebagai komponen biotik, merupakan faktor pembatas bagi kehidupan makhluk hidup. Habitat juga berfungsi sebagai tempat hidup, berkembang biak dan tempat berlindung dari bahaya serangan pemangsa (Alikodra 2002). Habitat yaki telah banyak menyusut akibat penebangan dan pembukaan lahan untuk perkebunan. Saat ini yaki telah kehilangan 60% habitat dari 12.000 km2, dan menempati areal seluas 2.750 km2 dalam kawasan konservasi. Yaki dapat dijumpai pada hutan primer atau sekunder dataran rendah (pesisir) hingga dataran tinggi (2.000 m dpl) (Supriatna & Hendras 2000). Yaki lebih menyukai daerah diantara hutan primer dan sekunder, karena cocok untuk tempat tidur dan tempat untuk mencari makan. Setiap kelompok memiliki pohon tidur masing-masing yang disukai. Biasanya pohon tersebut tinggi dan merupakan sumber makanan bagi kelompoknya (O'Brien & Kinnaird 1997). Penyebaran yaki mulai dari CA Tangkoko Batuangus di bagian utara hingga ke Sungai Onggak Dumoga, yang berbatasan dengan penyebaran Macaca nigrescens. Di Sulawesi Utara sendiri dapat dijumpai di CA Gunung Duasudara, Pulau Bacan, Manembo-nembo, Kotamobagu dan Modayak. Jenis ini telah diintroduksi di Pulau Bacan Maluku dan populasinya telah mencapai ratusan ribu ekor, lebih banyak dibandingkan pada habitat aslinya (Supriatna & Hendras 2000). Adapun penyebaran monyet yaki di Indonesia dan Sulawesi Utara, dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.

Gambar 3 Daerah penyebaran yaki di Sulawesi Utara dan Pulau Bacan, Maluku (Rosenbaum et al. 1998). -

Keterangan : ---- - - - = batas penyebaran yaki = daerah yg diketahui adanya yaki.. = daerah yg diduga adanya yaki 2x53 Gambar 4 Daerah penyebaran yaki di Sulawesi Utara (Lee 1997).

Populasi Populasi satwaliar merupakan salah satu bagian penting dalam pengelolaan satwaliar dalam suatu kawasan, sehingga dapat disusun strategi pengelolaan dengan tepat. Populasi dapat berubah sewaktu-waktu mengikuti keadaan lingkungan dimana satwaliar tersebut tinggal. Adapun batasan populasi adalah kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya (Alikodra 2002). Batasan lain tentang populasi menurut Wirakusumah (2003) adalah kumpulan individu organisme-organisme disuatu tempat yang memiliki sifat-sifat serupa, mempunyai asal usul yang sama, dan tidak ada yang menghalangi individu-individu anggotanya untuk berhubungan satu sama lain mengembangkan keturunan secara bebas. Individu-individu itu merupakan kumpulan-kumpulan heteroseksual. Ciri-ciri dasar suatu populasi adalah kepadatan, perbandingan kelamin, struktur umur, kematian dan kehadiran. Metode pengukuran atau sensus populasi dapat dibagi menjadi 3 cara yaitu sensus langsung, tidak langsung dan kombinasi antara sensus langsung dan tidak langsung (Alikodra 2002) Kepadatan populasi adalah besaran populasi dalam suatu ruang, umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu dalam satu unit luas atau.. volume (~likhdra 2002; Heddy e; al. 1989). Beberapa parameter populasi yang berpengaruh terhadap nilai kepadatan yaitu mortalitas, natalitas, imigrasi dan emigrasi. Kepadatan populasi bervariasi menurut wilayah dan tipe hutan, sehingga hasil analisis dari suatu wilayah, tidak dapat langsung digunakan untuk wilayah lain (Alikodra 2002). Yaki termasuk hewan yang hidupnya berkelompok. Sebelum populasinya di hutan menurun, kelompok yaki dapat ditemui dengan jumlah yang besar (>lo0 ekor/kelompok). Namun saat ini yaki ditemukan dalam kelompok-kelompok kecil (Arkive 2004). Pada umumnya faktor perburuan ataupun pemanenan yang tidak terkendali serta perusakan habitat merupakan penyebab utama yang dapat menyebabkan

menurunnya populasi satwaliar sampai tahap kritis (Rosenbaum et al. 1998). Beberapa penelitian tentang populasi yaki di Sulawesi Utara telah dan masih dilakukan sampai saat ini. Sugardjito et al. (1989) melaporkan bahwa kepadatan populasi yaki tahun 1987-1988 di CA Tangkoko Batuangus Duasudara yaitu 98,2 ekor/km2, dengan luas daerah survei 11,34 km2. Penelitian di tempat yang sama juga dilakukan oleh Rosenbaum et al. pada tahun 1992-1994, diperoleh kepadatan populasi yaki 141,7 ekor/km2, dengan luas daerah survei 61 km2. Adapun kepadatan populasi yaki khususnya di CA Gunung Duasudara yaitu 25,l ekor/krn2 (Rosenbaum et al. 1998). Penelitian ini adalah penelitian terakhir yang dilakukan di CA Gunung Duasudara, selama 10 tahun terakhir. Disebutkan juga bahwa penyebab utama penurunan populasi ini akibat kerusakan habitat, perburuan dan kekeringan. Penelitian yang dilakukan oleh Kyes selama 4 tahun berturut-turut (1999-2002) di CA Tangkoko, menunjukkan populasi yang stabil, dengan kepadatan populasi pada tahun terakhir 42,l ekor/km2 (Kyes et al. 2004). Menurut Lee et al. (2001), apabila pemanenan suatu jenis satwa dilakukan secara berlebihan, populasi tidak dapat lagi menghasilkan keturunan untuk menggantikan yang mati karena perburuan terus menerus dan sebab-sebab tidak langsung lainnya seperti hilangnya habitat dan gangguan" lain: Populasi tersebut kemudian akan menyusut dan rentan bagi kepunahan setempat. Selanjutnya disebutkan bahwa yaki memiliki tingkat reproduksi yang rendah dan membutuhkan waktu yang panjang bagi satwa muda untuk merijadi dewasa. Bahkan tekanan perburuan tingkat sedang saja mungkin dapat menurunkan populasi yaki (Lee et al. 2001). Ancaman terhadap Populasi Yaki Menurut Mittermeier et al. (1986), beberapa ancaman terhadap kelangsungan hidup satwa primata terbagi dalam 3 faktor utama : destruksi habitat, perburuan untuk konsumsi atau tujuan lain dan

penangkapan hidup-hidup baik untuk dieksport atau dijual. Akibat yang ditimbulkan dari ketiga faktor tersebut berbeda-beda sesuai dengan jenis satwa primata maupun daerah tempat satwa tersebut tinggal. Ditambahkan lagi bahwa ketiga faktor tersebut disebabkan oleh beberapa ha1 antara lain : tingkat dan jenis aktivitas manusia dimana satwa tersebut tinggal, tradisi perburuan lokal, jumlah permintaan satwa primata baik sebagai hewan model maupun untuk diperjualbelikan, ukuran dan tingkat kesukaan terhadap satwa tersebut (Mittermeier et al. 1986). Diantara tiga jenis Macaca yang hidup di Sulawesi bagian utara (Macaca nigra, M. nigrescens dan M. hecki), yaki merupakan jenis yang paling terancam (Lee et al. 2001). Ancaman utama bagi binatang ini adalah perburuan subsisten dan pasar. Yaki diburu untuk dimakan dalam perayaan dan pesta, yang disuplai lewat pasar-pasar gelap. Ancaman lain terhadap yaki adalah penangkapan hidup-hidup untuk dipelihara, serta kerusakan habitat (Lee et al. 2001). Menurut Riyanto (2004), kawasan hutan merupakan sumberdaya alam yang terbuka, sehingga akses masyarakat untuk masuk memanfaatkannya sangat besar. Adanya pemukiman yang terletak di sekitar kawasan, memperbesar kemungkinan berkurangnya daerah kawasan cagar alam. Daerah yang semestinya menjadi tempat perlindungan yaki menjadi sasaran penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pola tanam tradisional masih digunakan penduduk untuk bercocok tanam. Setelah panen, lahan ditinggalkan dan akhirnya menjadi padang rumput atau hutan sekunder. Di CA Tangkoko-Duasudara, kebakaran hutan selama musim kemarau nyaris menjadi peristiwa tahunan. Kebakaran itu terjadi entah secara sengaja ditimbulkan di dalam kawasan untuk membersihkan tanah bagi pertanian atau dari luar dan kemudian menyebar kedalam kawasan karena tidak diawasi (Lee et al. 2001). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rosenbaum et al. (1998) di CA Gunung Duasudara bahwa kegiatan perburuan dan perambahan hutan

menjadi penyebab utama berkurangnya populasi yaki. Berbeda dengan Pulau Bacan di Maluku Utara, tekanan akibat aktivitas manusia relatif kecil dibandingkan di Sulawesi Utara. Populasi manusia yang tidak terlalu padat dan larangan untuk mengkonsumsi yaki oleh agama, merupakan dua faktor yang mempengaruhi populasi yaki. Yaki biasanya diburu oleh penduduk karena dianggap sebagai hama pertanian. Ada juga yang memburu anak yaki untuk dijadikan hewan peliharaan, namun ha1 ini jarang terjadi (Rosenbaum et al. 1998). Akses untuk masuk lebih jauh ke dalam hutan semakin besar dengan kehadiran pemburu-pemburu liar. Hal ini terbukti dengan ditemukannya beberapa perangkap di dalam hutan. Menurut Riyanto (2004), pemburu liar dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu a) pemburu liar untuk memperoleh daging satwa guna kebutuhan sehari-hari, b) pemburu liar untuk keperluan perdagangan satwa guna pemeliharaan, dan c) pemburu liar karena hobi berburu satwa. Dua butir pertama merupakan kelompok-kelompok yang sering ditemui di CA Gunung Duasudara. Selain kedua butir diatas, alasan mengapa yaki diburu adalah karena yaki sering mengambil tanaman perkebunan, sehingga dianggap sebagai hama oleh penduduk sekitar kawasan (Dwiyahreni et al. 2001). Lee (1997) menambahkan bahwa adanya kenaikan populasi manusia dari tahun ke tahun telah meningkatkan pemintaan daging satwa. Hal ini menciptakan suatu situasi yang mengakibatkan kebanyakan satwa yang diburu di daerah barat Sulawesi bagian utara adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar. Ditambah lagi dengan tidak adanya larangan agama dalam ha1 mengkonsumsi daging satwaliar tertentu, mengakibatkan permintaan satwaliar di pasaran bertambah. Proses penegakan hukum terhadap pelanggaran perburuan satwaliar termasuk yaki, agaknya belum dapat dilaksanakan secara tegas, karena para pemburu liar tersebut kebanyakan adalah masyarakat sekitar

hutan, yang mempunyai latar belakang ekonomi lemah dan berpendidikan rendah (Riyanto 2004). Status Konservasi Yaki Yaki dilindungi oleh Pemerintah RI dengan SK Menteri Pertanian 29 Januari 1970 No. 4211kpt1um1811970, SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301IKpts-I111991 dan Undang-Undang No.5 tahun 1990. Dalam daftar yang dikeluarkan IUCN, yaki digolongkan sebagai satwa "endangered" dan dicantumkan dalam Appendix I1 CITES (Supriatna & Hendras 2000). Rosenbaum et al. (1998), mengambil kesimpulan bahwa tanpa tekanan perburuan, status yaki akan masuk dalam kategori extinct dalam 25-50 tahun yang akan datang.