BAB I PENDAHULUAN. beragam. Hal ini didukung oleh berkembangnya ilmu pengetahuan, serta semakin

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri sehingga

BAB I PENDAHULUAN. mendalam di seluruh dunia dikarenakan jumlah penderita autisme yang semakin

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia diharapkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

BAB I PENDAHULUAN. Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai resiliency pada

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. harapan tersebut bisa menjadi kenyataan. Sebagian keluarga memiliki anak yang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan sumber daya yang memiliki potensi untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Juga

BAB I PENDAHULUAN. masa pernikahan. Berbagai harapan mengenai keinginan memiliki anak pun

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, bencana demi bencana menimpa bangsa Indonesia. Mulai

BAB I PENDAHULUAN. berbagai peran dalam kehidupannya, seperti menjadi suami atau istri bagi

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kusta merupakan penyakit tertua di dunia yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan penyalahgunaan narkoba di Indonesia akhir-akhir ini

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan atau yayasan, orangtua, guru, dan juga siswa-siswi itu sendiri.

Sindroma Down Oleh : L. Rini Sugiarti, M.Si, psikolog*

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN jiwa, yang terdiri dari tuna netra jiwa, tuna daksa

BAB V PENUTUP. orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki. tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan pribadi.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Kedua subyek sama-sama menunjukkan kemampuan problem solving, autonomy, sense of purpose and bright future.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Olahraga merupakan suatu kegiatan yang melibatkan fisik dan mental

ABSTRAK. iii. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. hatinya lahir dalam keadaan yang sehat, dari segi fisik maupun secara psikis atau

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hadirnya seorang anak merupakan harapan dari setiap orangtua.

BAB I PENDAHULUAN. dibangun oleh suami dan istri. Ketika anak lahir ada perasaan senang, bahagia

BAB I PENDAHULUAN. Sejak awal tahun 2008, masalah kesehatan seringkali menjadi topik utama

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. Hal tersebut berdampak pada rendahnya angka partisipasi pendidikan (APK)

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia ke arah globalisasi yang pesat, telah menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan

Social competence. Ps tinggi. W tinggi. Kyi tinggi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berarti. Anak datang menawarkan hari-hari baru yang lebih indah, karena

BAB I PENDAHULUAN. Namun, terkadang terdapat keadaan yang membuat manusia sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sebagai seorang ibu. Wanita sebagai Ibu adalah salah satu dari kedudukan sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. maupun mental dengan pengaruh perubahan perilaku yang tidak disadari. Pola

KUESIONER DATA PRIBADI DAN DATA PENUNJANG KATA PENGANTAR. adalah menyusun skripsi. Adapun judul skripsi ini adalah Studi Deskriptif tentang

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

LAMPIRAN. repository.unisba.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis. Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan merupakan suatu upaya. pemeriksaan, pengobatan atau perawatan di rumah sakit.

BAB I PENDAHULUAN. Penanganan mempunyai makna upaya-upaya dan pemberian layanan agar

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masykarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas RI

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Semua orangtua berharap dapat melahirkan anak dengan selamat dan

2016 PROSES PEMBENTUKAN RESILIENSI PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK PENYANDANG DOWN SYNDROME

BAB I PENDAHULUAN. Rumah Sakit pemerintah, fungsi sosial inilah yang paling menonjol. Menurut WHO,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus (Heward dan Orlansky, 1992) adalah anak dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan,

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasannya jauh dibawah rata rata yang ditandai oleh keterbatasan intelejensi

BAB I PENDAHULUAN. Bandung. Rumah sakit X merupakan rumah sakit swasta yang cukup terkenal di

MATERI DAN PROSEDUR. Pertemuan I : Pre-Session

BAB I PENDAHULUAN. dari panca indera lain. Dengan demikian, dapat dipahami bila seseorang

BAB I PENDAHULUAN. Harapan bagi setiap wanita yang ada di dunia ini adalah untuk bisa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dapat berubah melalui pendidikan baik melalui pendidikan

KATA PENGANTAR. Angket ini berisi daftar pernyataan yang berhubungan dengan penelitian yang

Abstrak. iii Universitas Kristen Maranatha

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. anaknya akan lahir dengan kondisi fisik dan mental yang normal, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat saling mengisi dan saling membantu satu dengan yang lain.

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. kandungan, masa bayi, balita, usia sekolah dan remaja. Setiap tahapan tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu ilmu yang saat ini berkembang dengan pesat, baik secara teoritis

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

( ) Perguruan Tinggi lulus / tidak lulus, semester

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam sebuah rumah tangga setiap pasangan suami istri yang akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab I PENDAHULUAN. 15 Juni 2002, dengan motto Today Woodcamp Tomorrow Leader. Woodcamp

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional tentunya memerlukan pendidikan sebaik dan setinggi

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga merupakan suatu sistem sosial yang terdiri dari sejumlah individu yaitu

LAMPIRAN 1. Blue Print Kuisioner. Dukungan Sosial

BAB I PENDAHULUAN. Katolik, Hindu, dan Budha. Negara menjamin kebebasan bagi setiap umat bergama untuk

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB I PENDAHULUAN. pasangan suami istri, dengan harapan anak mereka akan menjadi anak yang sehat,

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. orangtua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikarunia anak. merasa bangga dan bahagia ketika harapan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Komunikasi merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, bahkan

BAB I PENDAHULUAN. dengan kekurangan, salah satunya adalah keterbelakangan mental.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga jenjang pendidikan sangat penting. Di negara-negara maju, para

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan seorang anak baik secara fisik maupun psikologis merupakan hal yang penting bagi orang tua khususnya ibu. Perkembangan fisik dan psikologis anak berkaitan dengan perkembangan kognitif, afektif serta psikomotor, sesuai dengan tahap usia perkembangannya. Walaupun demikian proses perkembangan pada setiap anak berbedabeda. Setiap anak memiliki kekurangan dan keistimewaan tersendiri dalam dirinya, termasuk dalam ketidakmampuan anak untuk dapat berkembang sesuai dengan usia perkembangannya. Dewasa ini permasalahan yang berkaitan dengan perkembangan anak semakin beragam. Hal ini didukung oleh berkembangnya ilmu pengetahuan, serta semakin kritisnya individu terhadap tahap perkembangan hidup lingkungannya. Beragam permasalahan yang berkaitan dengan perkembangan anak ditemukan dari hasil penelitian yang dilakukan para ahli terhadap perilaku anak yang dianggap tidak sesuai dengan perilaku yang seharusnya anak tampilkan di usianya. Terdapat beberapa permasalahan dalam perkembangan anak, diantaranya tunarungu, tunanetra, tunagrahita, tunadaksa, down syndrome, anak dengan gangguan perilaku, anak berbakat, anak dengan kesulitan belajar, anak dengan gangguan kesehatan, dan lainnya. Pada penelitian ini akan membahas mengenai anak down syndrome. Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromsom. Kromosom itu terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi

2 pembelahan. Kelainan pada kromosom itu berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental anak (E. Kosasih; 2012). Down syndrome adalah pengaturan kromosom alami yang menjadi bagian dari kondisi manusia. Secara universal hadir di ras, jenis kelamin atau garis sosial ekonomi, dan mempengaruhi sekitar satu dari 800 kelahiran di seluruh dunia, yang menyebabkan cacat intelektual dan fisik dan terkait masalah medis. Down syndrome merupakan suatu kondisi yang hadir pada saat lahir, yang mempengaruhi fisik dan perkembangan mental. Meskipun tidak ada dua orang dengan down syndrome yang sama persis, namun mereka memiliki beberapa bentuk fisik umum yang sama (Dr. Surekha Ramachandran; tahun tidak dicantumkan). Anak dengan down syndrome memiliki bentuk wajah yang sama, cenderung memiliki otot yang lebih rendah, dan biasanya belajar berjalan dan berbicara sedikit lebih lambat dari anak-anak lain seusianya. Seseorang dengan down syndrome biasanya memiliki kepala yang sedikit lebih kecil dan rata pada bagian belakangnya; up-slanted eyes; kulit ekstra lipatan di sudut bagian dalam mata; telinga, hidung dan mulut yang kecil; bertubuh pendek; tangan dan kaki yang kecil serta beberapa kelainan intelektual. Kelainan down syndrome biasanya mempengaruhi setiap sel dalam tubuh, sehingga mengakibatkan seseorang memiliki berbagai masalah medis. Pengobatan untuk down syndrome lebih spesifik dapat diberikan khususnya pada kebutuhan yang bersifat individual. Misalnya, seorang anak down syndrome mungkin perlu operasi jantung untuk memperbaiki cacat jantungnya. Anak dengan down syndrome biasanya belajar dan berkembang lebih lambat daripada kebanyakan anak lain karena perkembangan mereka cenderung tertunda dalam kaitannya dengan usia kronologis. Namun, tidak semua bidang perkembangan sama-sama terpengaruh. Ada pola tertentu pada bagian kognitif dan perilaku yang diamati dari anak

3 dengan down syndrome, yang terlihat berbeda pada pola perkembangan anak-anak lain seusianya dan anak-anak dengan cacat intelektual lainnya. Di lingkungan sosialnya, anak down syndrome biasanya sangat ramah. Walaupun demikian anak down syndrome dapat merasa terisolasi secara sosial karena perbedaan mereka, adanya ketidakdewasaan secara sosial dan juga perasaan sulit untuk bersaing dengan anak lain seusianya secara fisik, emosi dan kognitif. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat terlihat bahwa permasalahan yang dimiliki anak down syndrome yang sangat beragam, dimana anak memiliki keterbatasan fisik dan mental juga membutuhkan pendampingan yang baik dari orang sekitar terutama dalam hal ini ibu. Ibu yang memiliki anak down syndrome harus mendampingi anak mulai saat anak lahir hingga anak dewasa. Saat didiagnosa mengalami down syndrome, ibu biasanya harus mendampingi anak untuk melakukan beberapa tes yang berkaitan dengan kondisi tumbuh kembang anak. Anak dengan down syndrome akan melakukan terapi sejak usia dini untuk melatih otot dan gerak motorik yang bersangkutan dengan gerakan dasar. Selain itu ibu juga harus beradaptasi dengan kondisi anak yang berbeda dari anak lain yang seusia. Dimana hal ini mengharuskan ibu membawa anak untuk mengikuti beragam terapi agar anak mampu beraktivitas. Tidak jarang ibu harus mengorbankan waktu dan kesibukan pribadinya untuk mendampingi anak atau sekedar mengantarkan anak ke sekolah atau tempat terapi. Ibu juga harus menghadapi reaksi lingkungan berkaitan dengan anak down syndromenya. Ibu sebagai seorang individu memiliki aktivitas sosial tertentu, seperti pergi bekerja, mengikuti berbagai keagiatan arisan, atau sekedar berkumpul dengan teman-temannya. Selain itu, sebagai ibu rumah tangga, ibu juga harus mampu menyediakan segala kebutuhan anak-anak dan suami dengan penuh konsentrasi.

4 Aktivitasnya sebagai seorang ibu rumah tangga ataupun sebagai karyawan saja tidak jarang melelahkan dan juga menjenuhkan. Dengan memiliki seorang anak down syndrome ibu harus beradaptasi dengan kondisi yang ada. Ibu harus belajar untuk menata perasaannya, menerima kenyataan bahwa salah seorang anaknya mengalami down syndrome. Ibu juga harus beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, dimana jika sewaktuwaktu ada yang bertanya mengenai kondisi anaknya yang down syndrome. Ibu juga harus mulai memberi pengertian pada anak normalnya mengenai kondisi yang dialai saudaranya. Selain itu tidak menutup kemungkinan aktivitas anak down syndrome dapat menghalanginya untuk beraktivitas, seperti mendampingi anak down syndrome terapi serta mengikuti evaluasi yang diberikan tempat terapi. Menghadapi dan mendampingi anak down syndrome akan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang dan disertai dengan tekanan pada masing-masing simptom yang kemungkinan muncul pada masing-masing anak down syndrome. Perilaku khas yang mungkin muncul pada masing-masing anak down syndrome berbeda-beda, seperti misalnya pada usia 1 tahun anak down syndrome masih tetap belajar merangkak dengan kondisi kaki yang terlihat lemah. Selain itu, berkurangnya perilaku khas yang muncul pun akan berbeda-beda waktu dan tingkatan keparahannya. Namun dalam jangka waktu tertentu ibu harus tetap mendampingi dan menghadapi anak down syndrome, dimana hal ini jelas akan berpengaruh pada perannya sebagai ibu rumah tangga dan fungsi dirinya di lingkungan sosial. Oleh karena itu, ibu yang memiliki anak down syndrome membutuhkan kemampuan untuk bertahan di tengah kondisi yang serba menekan. Kemampuan bertahan ini dibutuhkan, agar ibu tetap dapat menjalani kehidupan sebagai pribadi dan juga menjalankan perannya sebagai seorang ibu dan istri. Selain itu, kemampuan bertahan ini juga dibutuhkan agar ibu tetap dapat mendampingi anak down syndrome dengan penuh

5 rasa percaya diri serta pemikiran yang positif. Kemampuan untuk dapat bertahan di tengah kondisi serba menekan yang dibutuhkan ibu itu adalah resiliensi. Resiliensi (personal strength) merupakan kemampuan seorang individu untuk dapat menyesuaikan diri dan berfungsi dengan baik di tengah situasi yang menekan atau banyak halangan dan rintangan (Bonnie Benard, 2004). Resiliensi dalam diri individu dapat dimanifestasikan dalam personal strength yang merupakan karakteristik individu. Sering juga disebut dengan aset internal atau kompetensi individu, yang juga dihubungkan dengan perkembangan yang sehat dan keberhasilan dalam hidup. Resiliensi memiliki empat aspek, yaitu social competence, problem solving skills, autonomy dan sense of purpose and bright future. Kekuatan dan ketahanan yang paling tepat, dilihat sebagai kemungkinan pengembangan yang dapat terlibat dalam setiap individu melalui penyediaan dukungan dan peluang. Menghadapi anak down syndrome bukanlah suatu hal yang mudah, oleh karena itu seorang ibu yang memiliki anak down syndrome diharapkan memiliki derajat resiliensi yang tinggi. Karakteristik ibu yang memiliki derajat resiliensi yang tinggi diantaranya, ibu mampu mendengarkan dan menanggapi secara positif pendapat orang lain mengenai anak down syndrome di dalam berelasi. Menjalani hubungan pertemanan dengan siapa saja tanpa takut didiskriminasi, mampu berempati dan menghibur dirinya yang tertekan dan mampu menolong anak down syndrome untuk keluar dari masalah berdasarkan apa yang dibutuhkan anak down syndrome (social competence). Ibu yang memiliki derajat resiliensi yang tinggi juga mampu membuat suatu perencanaan dalam menyelesaikan permasalahan fisik, seperti rasa lelah yang dimiliki saat membimbing dan menjaga anak down syndrome serta permasalahan sosial seperti penilaian negatif yang seringkali diberikan lingkungan (sense of purpose and bright future). Selain membuat suatu perencanaan. Ibu juga mampu menentukan solusi atau mencari beberapa

6 alternative dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Seperti ketika ibu harus menghadapi anak down syndrome dengan perilaku anak yang hiperaktif dan impulsive, atau anak yang memiliki keterbatasan tertentu, ibu mampu berinisiatif membentuk suatu permainan yang menarik perhatian anak dalam menyelesaikan tugas (problem solving skills). Selain itu Ibu pun mampu mengenal dirinya sebagai pribadi yang baik dengan keyakinan akan kemampuan diri yang dimilikinya, sehingga Ibu mampu mengatasi segala bentuk kemarahan dan rasa putus asa serta menggantinya dengan sebuah keyakinan bahwa dirinya mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi (autonomy). Untuk melengkapi data yang peneliti inginkan, maka peneliti memilih satu komunitas orang tua yang memiliki anak down syndrome di Bandung untuk dijadikan tempat penelitian. Komunitas yang peneliti pilih adalah Potads (Persatuan Orang Tua Anak Down Syndrome) Bandung. Potads Bandung merupakan cabang daerah dari Yayasan Potads yang berpusat di Jakarta. Potads yang berpusat di Jakarta didirikan pada tahun 2009, dan pertama kali hadir di Bandung pada tahun 2012. Komunitas Potads Bandung secara rutin berkumpul setiap tiga bulan sekali untuk melakukan sharing dan konsultasi dengan narasumber pilihan dalam mendukung tumbuh kembang anak mereka. Potads sendiri memiliki tujuan utama untuk memberdayakan orang tua anak down syndrome agar selalu bersemangat untuk membantu tumbuh kembang anak spesialnya secara maksimal, sehingga mereka mampu menjadi pribadi yang mandiri atau bahkan bisa berprestasi sehingga dapat diterima masyarakat luas. Hal ini dilakukan karena anak dengan down syndrome memiliki hak yang sama dengan anak-anak lainnya. Visi dari Potads adalah menjadi pusat informasi dan konsultasi terlengkap tentang down syndrome di Indonesia. Sedangkan misi dari Potads ialah memiliki pusat informasi yang bisa diakses 24 jam baik melalui surat/telepon/internet ataupun media komunikasi lainnya, menyediakaninformasi terkini tentang perkembangan down syndrome baik secara

7 ilmiah maupun dari pengalaman orang lain. Menyebarluaskan informasi mengenai down syndrome kepada anggota yang membutuhkan tempat-tempat yang akan diakses oleh para orangtua yang memiliki anak dengan down syndrome seperti Rumah Sakit/Klinik/Puskesmas sampai Posyandu. Memberikan konsultasi secara kelompok maupun individu sesuai kebutuhan, menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang mendukung penyebarluasan informasi tentang down syndrome kepada masyarakat luas, menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang mendorong masyrakat untuk lebih peduli dan menghargai sehingga mereka dapat memberi kesempatan yang sama untuk berkembang dalam berbagai bidang (pendidikan/seni dan budaya dan lain-lain). Berdasarkan hasil survey awal yang peneliti lakukan pada 9 orang ibu yang memiliki anak down syndrome di komunitas Potads Bandung, banyak hal yang ibu ceritakan mengenai kehidupan sehari-harinya bersama keluarga dan lingkungan serta pengalaman ibu setelah bergabung dalam komunitas Potads Bandung. Ibu merasakan banyak keuntungan atau hal positif setelah bergabung dalam komunitas ini. Banyak support moral serta ajakan untuk melakukan berbagai kegiatan yang melibatkan anak down syndrome disampaikan baik melalui pertemuan rutin yang dilakukan setiap tiga bulan sekali pada ataupun melalui grup whatsapp. Komunikasi yang cukup intents melalui grup whatsapp seringkali dilakukan, sehingga timbul perasaan tidak merasa sendiri pada masing-masing ibu yang peneliti wawancara. Perasaan tidak sendiri ibu rasakan karena selain support secara moral, banyak informasi yang didapat setelah bergabung dalam komintas ini. Diantaranya adanya informasi mengenai tempat terapi anak down syndrome yang bagus di Bandung, dokter tumbuh kembang anak yang juga bagus di Bandung, cara terapi baru yang bisa diberikan untuk membantu anak down syndrome dalam beraktivits ataupun sekedar informasi mengenai makanan apa yang harus dihindari jika memiliki anak down syndrome. Ibu juga

8 merasa lebih percaya diri untuk mengikutsertakan anak down syndrome dalam melakukan berbagai kegiatan sosial. Pada survey awal ini peneliti melakukan wawancara dengan 9 orang ibu. Ibu yang memiliki anak down syndrome dalam komunitas ini rata-rata seorang pekerja, 5 orang ibu bekerja sebagai karyawan swasta, 1 orang ibu sebagai dokter, 1 orang ibu sebagai wiraswastawan, dan 2 orang ibu rumah tangga. Berdasarkan hasil wawancara antara peneliti dan para ibu ini, 90% ibu mengetahui bahwa anak mereka mengalami down syndrome setelah anak itu dilahirkan dan 10% mengetahuinya sewaktu usia kandungannya memasuki 3 bulan kehamilan melalui usg 3 dimensi. Sebanyak 5 orang ibu yang peneliti wawancara, pada awalnya tidak mengetahui dan tidak memahami yang dimaskud dengan down syndrome, sehingga ibu merasa bingung, takut akan hal yang harus dilakukan dengan anak down syndrome. Bahkan terdapat satu orang ibu yang mengetahui bahwa anaknya mengalami down syndrome setelah 4 hari anak dibawa pulang, dan harus kembali ke rumah sakit ketika anak mengalami kuning. Pada saat itu dokter anak yang menangani mengatakan pada ibu bahwa anaknya mengalami down syndrome. Rasa bingung, tidak percaya, menolak keberadaan anak, mempertanyakan keadilan Tuhan pun menjadi hal pertama yang semua ibu rasakan pada saat mengetahui bahwa anak yang mereka lahirkan mengalami down syndrome. Berikut ini peneliti sajikan hasil wawancara yang didapatkan dari 9 orang ibu yang tergabung dalam komunitas Potads Bandung. Wawancara yang peneliti lakukan pada 9 orang ibu ini, dikaitkan dengan 4 aspek resiliensi. Aspek pertama adalah social competence, merupakan kemampuan seseorang untuk terampil dan mampu bersikap dalam membangun ketertarikan yang positif dengan orang lain. Setelah melaui proses yang bersifat individual pada masing-masing ibu yang memiliki anak down syndrome di komunitas Potads Bandung, pada akhirnya akan merasa tertuntut untuk dapat terbuka

9 tentang kondisi anak down syndrome baik di lingkungan keluarga, rumah ataupun tempat ibu bekerja. Keterbukaan dan penerimaan secara positif yang berawal dari dirinyalah yang pada akhirnya mempermudah ia, anak down syndrome serta anggota keluarga lainnya dapat beradaptasi di lingkungan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan didapatkan hasil, 90 % dalam hal social competence. Aspek kedua adalah problem solving skills yang merupakan kemampuan seseorang dalam mengatasi masalah yang harus dihadapi. Tidak jarang ibu melihat ketidaksesuaian proses terapi dengan potensi anak. 80% ibu mampu menentukan terapi pada masingmasing anak sesuai dengan kebutuhan anak pada saat itu, dan tidak ragu untuk memberhentikan salah satu terapi. Hal ini bertujuan agar anak dapat melakukan terapi yang dikira sesuai, misal memberhentikan fisioterapi untuk lebih fokus pada terapi wicara. Sedangkan 20% Ibu pada populasi tersebut diatas lebih mengikuti proses terapi yang sudah ditentukan tempat terapi atau sekolah dimana anak berada. Oleh karena itu, berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa 80% Ibu yang memiliki anak down syndrome yang tergabung dalam komunitas Potads Bandung mampu mencari jalan keluar bagi kegiatan anak down syndrome. Aspek ketiga adalah autonomy yang merupakan kemampuan seseorang dalam usaha mengembangkan diri terhadap identitas diri dan kepercayaan akan keyakinan diri untuk dapat bertindak secara independent dalam mengontrol lingkungannya. Masing-masing ibu bercerita bahwa kehadiran anak down syndrome memberi kekuatan dan keyakinan bahwa Tuhan telah memilih ibu untuk mampu dan yakin dalam mendampingi anak down syndrome. Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa 80% Ibu memiliki keyakinan pendampingan tersebut. Ibu bercerita bahwa kehadiran anak down syndrome dalam kehidupannya membuat dirinya dekat dengan Tuhan, dan dari situ timbullah rasa percaya bahwa dirinya mampu mendampingi anak down syndrome serta yakin mampu menghadapi

10 masalah lainnya. Ibu pun memiliki kepercayaan diri untuk dapat tetap berada di suatu komunitas ataupun di lingkungan tertentu, seperti kantor tempatnya bekerja. Aspek keempat ialah sense of purpose and bright yang merupakan kemampuan seseorang untuk mengetahui dan memahami tujuan keberadaan dirinya di tengah-tengah lingkungan. 9 orang ibu yang peneliti wawancara mengatakan bahwa mereka memahami keberadaannya di tengah keluarga, terutama bagi anak down syndrome melalui proses dan pengalaman yang masing-masing ibu alami. Pemahaman akan tujuan keberadaannya di lingkungan tergambar dari tanggung jawab ibu dalam mendampingi anak down syndrome dan tanggung jawab ibu terhadap kewajibannya di rumah dan di kantor. Melalui hasil yang peneliti dapatkan dari wawancara dengan ibu, didapatkan hasil sebanyak 98% dalam sense of purpose and bright future. Peneliti juga mendapatkan hasil bahwa peran keluarga, terutama suami serta peran teman-teman komunitas menjadi hal yang paling penting. Dukungan moral berupa perhatian, bantuan dan pemberian informasi mengenai down syndrome sangatlah ibu butuhkan, terutama ketika tiga sampai lima tahun pertama perkembangan anak. Tiga sampai lima tahun pertama dirasa berat, karena pada tahun-tahun ini anak masih harus banyak melakukan terapi dan pendampingan untuk beraktivitas. Terapi yang dilakukan tahun pertama lebih fokus pada motorik anak, supaya anak dapat beraktivitas dengan mudah seperti berjalan, berlari dan duduk. Selain itu fokus terapi juga pada kemampuan anak untuk dapat berbicara dengan baik. Keberadaan ibu di tengah lingkungan pekerjaan pun tidak dapat terlepas dari kehidupannya. 7 dari ibu yang memiliki anak down syndrome dalam komunitas Potads Bandung, merupakan seorang karyawati di suatu perusahaan. Pendampingan anak down syndrome sehari-harinya memerlukan waktu khusus, seperti contohnya mengantar dan mendampingi anak down syndrome terapi ataupun sekedar mengantar anak down

11 syndrome berangkat sekolah. Oleh karena kepentingan tersebut, maka ibu pun akhirnya mampu untuk terbuka di lingkungan kerjanya. Begitupun dengan ibu rumah tangga, ibu memiliki keberanian untuk terbuka di tengah lingkungan rumahnya. Karena kemampuannya untuk terbuka inilah yang membuat ia dan anak-anak pun dapat beradaptasi di lingkungan dengan baik. Kegiatan terapi yang harus dilakukan pada setiap anak down syndrome berbeda-beda karena potensi dan kemampuan anak berbeda. Hal ini menuntut ibu untuk mampu mencari tahu dan teliti melihat potensi yang anak down syndrome miliki serta menuntut ibu memiliki hubungan yang baik dengan para terapis. Perkembangan proses terapi pada masing-masing anak biasanya ibu dapatkan setiap tiga bulan sekali. Pada setiap pertemuan ibu dengan terapis biasanya ada komunikasi langsung melalui penyampaian evaluasi perkembangan anak. Rasa lelah dan jenuh seringkali ibu rasakan bukan hanya berasal dari anak down syndrome, tetapi juga dari hal lain seperti kewajibannya mendampingi anaknya yang lain di rumah. Aktivitas yang harus ibu hadapi memang bukan suatu hal yang menyenangkan dan mudah, namun semuanya itu mampu ibu redam. Hal ini dilakukan karena keinginan dan keyakinan yang kuat bahwa dirinya mampu membantu anak down syndrome dan dirinya sendiri keluar dari permasalahan. Dengan memiliki derajat resiliensi yang tinggi maka ibu yang memiliki anak down syndrome akan mampu untuk bertahan dalam situasi yang menekan. Sedangkan apabila ibu yang memiliki anak down syndrome derajat resiliensinya rendah, maka ia akan cenderung mudah putus asa dalam menghadapi situasi yang menekan. Dari hasil survey awal yang peneliti lakukan serta penjabaran mengenai resiliensi di atas, peneliti melihat bahwa ketahanan atau resiliensi yang ibu miliki memang berawal dari bagaimana cara ibu dalam memandang kekuatan yang dimilikinya serta bagaimana

12 ibu memaknai permasalahan yang ada. Sehingga dalam menghadapi dan mengatasai permasalahan dapat sesuai dengan apa yang memang harus dilakukan. Pada survey awal peneliti melihat pentingnya derajat resiliensi yang tinggi dimiliki oleh ibu dengan anak down syndrome, karena hal ini akan membantu ibu dalam mendampingi anak down syndrome serta membantu ibu untuk mengembangkan ketahanan diri yang memang telah dimiliki. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui mengenai derajat resiliensi ibu yang memiliki anak down syndrome, khususnya Ibu yang tergabung di dalam komunitas Potads Bandung. Peneliti melihat dengan resiliensi mampu beradaptasi dengan kondisi yang ada serta dapat mengatasi masalah yang sedang dihadapi, karena ibu mampu memandang suatu masalah secara objektif dan positif, sehingga dalam mencari pemecahan masalahnya juga dapat dilakukan secara objektif. Oleh karena itu peneliti menganggap bahwa resiliensi merupakan hal yang tepat dimiliki seseorang untuk dapat dianggap mampu beradaptasi dan menghadapi permasalahan, karena seseorang akan mampu atau berani menerima, memahami dan menghadapi masalah atau tekanan yang ada secara positif dan optimis. 1.2 Identifikasi Masalah Dari penelitian ini peneliti ingin mengetahui gambaran mengenai derajat resiliensi Ibu yang memiliki anak down sindrome yang tergabung dalam komunitas Potads Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai derajat resiliensi ibu yang memiliki anak down sydrome yang tergabung dalam komunitas Potads Bandung secara deskriptif.

13 1.3.2 Tujuan Penelitian 1. Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui mengenai gambaran derajat resiliensi ibu yang memiliki anak down sydrome yang tergabung dalam komunitas Potads Bandung melalui empat aspek yang ada dalam resiliensi yaitu social competence, problem solving skills, autonomy, & sense of purpose and bright future. 2. Tujuan lain dari penelitian ini adalah ingin mengetahui gambaran derajat resiliensi ibu yang memiliki anak down sydrome yang tergabung dalam komunitas Potads Bandung melalui faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap resiliensi ibu yang memiliki anak down syndrome. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Toeritis 1. Memberikan wawasan mengenai resiliensi guna menambah pengetahuan pada bidang ilmu Psikologi. 2. Memberikan masukan informasi bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai resiliensi. 1.4.2 Kegunaan Praktis 1. Memberikan informasi bagi ibu yang tergabung dalam komunitas Potads Bandung mengenai resiliensi ibu bagi anak down syndrome. 2. Membantu ibu yang tergabung dalam komunitas Potadas Bandung untuk dapat mengoptimalkan resiliensi yang dimiliki dalam merawat, membimbing dan membesarkan anak down syndrome.

14 3. Membantu ibu yang memiliki anak down syndrome lainnya, diluar komunitas Potads Bandung untuk dapat memahami resiliensi ibu yang memiliki anak down syndrome. 1.5 Kerangka Pemikiran Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromsom. Kromosom itu terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Kelainan pada kromosom itu berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental anak (E. Kosasih; 2012). Down syndrome adalah pengaturan kromosom alami yang selalu menjadi bagian dari kondisi manusia. Secara universal hadir di ras, jenis kelamin atau garis sosial ekonomi, dan mempengaruhi sekitar satu dari 800 kelahiran di seluruh dunia, yang menyebabkan cacat intelektual dan fisik dan terkait masalah medis (Dr. Surekha Ramachandran; tahun tidak dicantumkan). Anak down syndrome biasanya belajar dan berkembang lebih lambat daripada kebanyakan anak lain karena perkembangan mereka cenderung tertunda dalam kaitannya dengan usia kronologis. Namun, tidak semua bidang perkembangan sama-sama terpengaruh. Ada pola tertentu pada bagian kognitif dan perilaku yang diamati dari anak dengan down syndrome, yang terlihat berbeda pada pola perkembangan anak-anak lain seusianya dan anak-anak dengan cacat intelektual lainnya. Dalam merawat, membimbing dan mendidik anak down syndrome akan membutuhkan suatu kemampuan untuk beradaptasi dan bertahan. Kemampuan untuk bertahan dengan keadaan yang dihadapi merupakan hal yang sangat dibutuhkan ibu yang memiliki anak down syndrome. Kemampuan bertahan ini disebut resiliensi.

15 Resiliensi merupakan kemampuan seorang individu untuk dapat menyesuaikan diri dan berfungsi dengan baik di tengah situasi yang menekan atau banyak halangan dan rintangan (Bonnie Benard, 2004). Resiliensi pada ibu yang memiliki anak down syndrome tidak terlepas dari protective factor yang mempengaruhinya, yaitu terdiri dari : family protective factor, school protective factor, dan community protective factor. Family protective factor merupakan faktor yang berasal dari keluarga inti. Faktor ini merupakan organisasi dasar dalam sejarah kehidupan manusia dan bentuk terbaik dalam memberikan dukungan kepada ibu yang memiliki anak down syndrome. Seperti dukungan dari orang terdekat yaitu suami, ataupun dukungan dari orang tua serta saudara kandung yang ibu miliki. Bagaimana suami, orang tua serta saudara kandung ibu dapat memberikan dukungan serta dampak positif pada ibu untuk tetap mampu bertahan dalam merawat dan membesarkan anak down syndrome. Dengan adanya bantuan dari suami dan dukungan dari keluarga maka akan membantu ibu untuk dapat beradaptasi menerima keberadaan dan kondisi anak down syndrome. Sehingga ibu mampu melihat dan memahami permasalahan dengan sikap dan pemikiran yang positif. School protective factor adalah semua pihak sekolah yang dapat menyediakan sumber perlindungan alternative dalam memberikan dukungan. Perlindungan dalam memberi dukungan dari pihak sekolah itu contohnya, adanya bantuan dari kepala sekolah ataupun guru yang mengajar anak down syndrome, dengan cara memberikan feedback mengenai perkembangan anak di sekolah, ataupun adanya perlakuan yang layak terhadap anak down syndrome dari pihak sekolah. Adanya dukungan serta perlingdungan yang sekolah berikan maka akan membantu ibu dalam menumbuhkan keyakinan dalam dirinya bahwa anak down syndrome akan memiliki masa depan yang lebih baik dan lebih mandiri. Community protective factor adalah komunitas yang ada di sekitar lingkungan dimana lingkungan ini dapat membantu ibu yang memiliki anak down syndrome untuk tumbuh

16 dan berkembang dengan baik. Mencintai, bekerja dan menerima kenyataan saat menghadapi tekanan. Komunitas ini bisa tetangga, teman yang juga memiliki anak down syndrome, psikolog, psikiater dan terapis sehingga ibu dapat berbagi rasa dan meyakini bahwa dirinya mampu untuk merawat dan membimbing anak down syndrome hingga dewasa. Resiliensi dalam diri individu dapat dimanifestasikan dalam personal strength yang merupakan karakteristik individu. Hal ini sering juga disebut aset internal atau kompetensi individu, dihubungkan dengan perkembangan yang sehat dan keberhasilan dalam hidup. Resiliensi memiliki empat aspek, yaitu social competence, problem solving skills, autonomy dan sense of purpose and bright future. Kekuatan dan ketahanan yang paling tepat, dilihat sebagai kemungkinan pengembangan yang dapat terlibat dalam setiap individu melalui penyediaan dukungan dan peluang. Social competence, kita dapat melihat seberapa besar keterampilan dan sikap ibu yang memiliki anak down syndrome dalam membangun ketertarikan yang positif dengan orang lain. Dalam hal ini, ibu dapat menunjukan kemampuan untuk menjalin hubungan yang baik dengan orang lain tanpa mempermasalahkan kondisi anak down syndrome. Seperti misalnya, ibu mampu mendengarkan dan menanggapi secara positif pendapat orang lain mengenai anak down syndrome dalam berelasi. Menjalani hubungan pertemanan dengan siapa saja tanpa takut didiskriminasi, mampu berempati dan menghibur dirinya yang tertekan. Serta mampu menolong anak down syndrome untuk keluar dari masalah berdasarkan apa yang dibutuhkan anak down syndrome. Problem solving skills, kita dapat melihat seberapa besar kemampuan seorang ibu yang memiliki anak down syndrome dalam mengatasi masalah yang harus dihadapi. Misalnya, Ibu yang memiliki derajat problem solving skills yang tinggi mampu berinisiatif membuat suatu cara belajar yang menarik perhatian anak down syndrome, misal suasana

17 belajar yang dibuat seperti bermain. Hal lainnya, ibu yang mengalami kesulitan finansial karena kebutuhan anak down syndrome akan terus mencari usaha untuk menemukan jalan keluar agar tetap dapat memenuhi kebutuhan anak down syndrome (seperti kebutuhan obat dalam rangka terapi). Namun, jika ibu yang memiliki problem solving skills rendah akan diam tanpa melakukan usaha apapun untuk memenuhi kebutuhan anak down syndrome. Autonomy, kita dapat melihat seberapa besar kemampuan seorang ibu yang memiliki anak down syndrome dalam usaha mengembangkan diri terhadap identitas diri dan kepercayaan akan keyakinan diri untuk dapat bertindak secara independent dalam mengontrol lingkungannya. Misal, ibu dengan autonomy yang tinggi mampu mengatasi segala bentuk kemarahan dan rasa putus asa bahkan menggantinya dengan sebuah keyakinan bahwa dirinya mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi. Namun, jika ibu memiliki autonomy yang rendah akan tergantung pada orang lain dalam mengatasi permasalahannya. Sense of purpose and bright future, kita dapat melihat seberapa besar kemampuan seorang ibu yang memiliki anak down syndrome untuk mengetahui dan memahami tujuan keberadaan dirinya di tengah-tengah lingkungan. Misalnya, ibu memiliki kekhawatiran mengenai masa depan anak down syndrome. Jika ibu memiliki sense of purpose and bright future yang tinggi maka dapat terlihat dari adanya harapan ibu bahwa suatu saat nanti anaknya yang down syndrome akan dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan tetap mampu berfungsi secara baik di lingkungan sosialnya. Sedangkan jika ibu yang memiliki sense of purpose and bright future yang rendah maka akan mudah putus asa dan merasa sudah tidak ada lagi harapan bagi anak down syndrome untuk berkembang menjadi lebih baik.

18 Semakin tinggi derajat resiliensi ibu yang memiliki anak down syndrome, maka ibu akan mampu menghadapi situasi yang menekan atau banyak halangan dan rintangan. Derajat resiliensi dikatakan tinggi apabila ibu dengan anak down syndrome memiliki social competence, problem solving, autonomy dan sense of purpose yang tinggi. Sedangkan semakin rendah derajat resiliensinya, maka ibu akan cenderung kurang mampu untuk menghadapi situasi yang menekan atau banyak halangan maupun rintangan, dan akan cenderung mudah putus asa dalam mengahadapi permasalahan yang ada. Derajat resiliensi ibu yang memiliki anak down syndrome dikatakan rendah apabila social competence, problem solving, autuonomy dan sense of purpose yang dimiliki rendah. Untuk gambaran lebih jelas dan singkat, dapat dilihat di bagan kerangka pemikiran di bawah ini: Protective Factor : - Family protective factor - School protective factor - Community protective factor Ibu yang memiliki anak down syndrome RESILIENSI Tinggi Rendah 4 Aspek Resiliensi : - Social competence - Problem solving - Autonomy - Sense of purpose Bagan1.1 Kerangka Pikir

19 1.6 Asumsi Penelitian - Ibu yang memiliki anak down syndrome di komunitas Potads Bandung memiliki resiliensi yang tinggi berdasarkan empat aspek resiliensi, yaitu social competence, problem solving skills, autonomy dan sense of purpose and bright future. - Ibu yang memiliki anak down syndrome di komunitas Potads Bandung dengan resiliensi yang tinggi, maka akan menunjukkan nilai yang tinggi pada keempat aspeknya (social competence, problem solving skills, autonomy dan sense of purpose and bright future), begitupun sebaliknya. - Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah family protective factor, school protective factor dan community protective factor.