BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Putri Shalsa Novita, 2013

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia. Melalui penglihatan seseorang dapat menerima informasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 157 TAHUN 2014 TENTANG KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 223/PMK.011/2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan Dasar Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan mampu memikul beban tugas dan tanggung jawab serta berpartisipasi

BAB I PENDAHULUAN. Ita Witasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mega Wulandari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakat. Pendidikan juga merupakan usaha sadar untuk menyiapkan

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Gilang Angga Gumelar, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Imas Suryatini, 2013

2014 MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA SISWA TUNANETRA

1. PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia pengklasifikasian anak itu sudah dibagi dengan jelas. Untuk anak yang

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. (Pasal 1 UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003). Dari bagian-bagian itu tidak

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Adi Setiawan Nurpratama, 2014

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peranan penting bagi keberlangsungan hidup dan masa depan seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual,

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu sistem yang telah diatur dalam undang-undang. Tujuan pendidikan nasional

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Galih Wiguna, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, jumlah penyandang cacat di dunia sangat banyak dan berbedabeda

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan sebagai tempat mencetak sumber daya manusia yang berkualitas.

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, politik, budaya, sosial dan pendidikan. Kondisi seperti ini menuntut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1 SLB Golongan A di Jimbaran. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PEMBINAAN DISIPLIN ANAK TUNA GRAHITA DI SEKOLAH. (Studi Kasus di SLB Pelita Bangsa Kesamben Jombang) SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang diadakan di Negara tersebut. Pendidikan dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Husni Umakhir Gitardiana, 2013

I. PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi hak dasar warga negara. Pendidikan merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan serta

LAPORAN OBSERVASI SLB-A-YKAB SURAKARTA

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

2015 PENGARUH METODE DRILL TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMAKAI SEPATU BERTALI PADA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN KELAS 3 SDLB DI SLB C YPLB MAJALENGKA

I. PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan di Negara Indonesia merupakan suatu sistem

POLA INTERAKSI GURU DAN SISWA TUNANETRA SMPLB A BINA INSANI BANDAR LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas pendidikan. daya manusia dan merupakan tanggung-jawab semua pihak, baik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. netra), cacat rungu wicara, cacat rungu (tunarungu), cacat wicara, cacat mental

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENDIRIAN SATUAN PENDIDIKAN NONFORMAL

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya menunjukkan hukum alam yang telah menunjukkan kepastian.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan aktifitas atau kegiatan yang selalu menyertai

BAB I PENDAHULUAN. 1 M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, t.t), hlm. 12.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SLB TUNAGRAHITA KOTA CILEGON BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Vera Nurfadillah, 2014 Optimalisasi Peran Orangtuapekerja Dalam Pembentukan Kemandirian Anak Usia Dini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata-1 Program Studi Pendidikan Ekonomi Akuntansi.

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kompleksitas zaman. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bayu Dwi Sulistiyo, 2014

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan sumber daya manusia, termasuk tunanetra. Pendidikan

I. PENDAHULUAN. yang mana didalamnya terdapat pembelajaran tentang tingkah laku, norma

WALIKOTA PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

2015 MENINGKATKAN MINAT BACA MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PERPUSERU DALAM PENGELOLAAN TAMAN BACAAN MASYARAKAT BERBASIS INFORMATION TECHNOLOGY

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gustini Yulianti, 2013

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELAYANAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS

BAB I PENDAHULUAN. atau anak didik sesuai dengan kebutuhan dan perkembangannya.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2013 TENTANG PENDIRIAN SATUAN PENDIDIKAN NONFORMAL

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan individu dan perkembangan masyarakat, selain itu pendidikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia. Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

Bagaimana? Apa? Mengapa?

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat saling mengisi dan saling membantu satu dengan yang lain.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan rancangan kegiatan yang paling banyak berpengaruh terhadap perubahan perilaku seseorang dan masyarakat luas. Menurut UU Sisdiknas tahun 2003, pendidikan diartikan sebagai Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pernyataan tersebut memiliki makna bahwa pendidikan merupakan sebuah usaha sadar bagi anak didik untuk menumbuhkembangkan potensi- potensi kemanusiannya melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau pelatihan bagi peranannya dimasa yang akan datang. Pendidikan yang terencana dan terarah tersebut di selenggarakan pada tiga jalur layanan pendidikan yang telah diatur sedemikian rupa, sesuai dengan UU Sisdiknas,dalam Bab 1 Pasal 1, tentang pembagian jalur pendidikan di Indonesia yaitu : Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, sedangkan pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang, dan yang ketiga pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Penyelenggaraan pendidikan melalui tiga jalur pendidikan, merupakan suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat dalam memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat. Pada dasarnya, pendidikan luar sekolah bertujuan memenuhi kebutuhan peserta didik untuk kehidupan kini dan masa depannya, yang dapat diterapkan langsung di kehidupan lingkungannya dengan wujud keterampilan. Kegiatan belajar bagi pendidikan luar sekolah dilakukan di lingkungan masyarakat dan lembaga, juga dapat dilakukan di dalam satuan pendidikan luar sekolah seperti Sanggar Kegiatan 1

2 Belajar (SKB), pusat latihan dan sebagainya. Dilihat dari penyelenggaraannya pendidikan luar sekolah terbagi atas satuan pendidikan dan jenis pendidikan, sesuai dengan UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Pasal 26 tentang pendidikan luar sekolah menyatakan bahwa Satuan Pendidikan Luar Sekolah terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Satuan pendidikan luar sekolah, kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan atau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Salah satu potensi yang sangat penting bagi peserta didik dalam menghadapi kehidupan disekitarnya adalah kemandirian. Istilah kemandirian berasal dari kata mandiri yang berarti berdiri sendiri, yaitu suatu keadaan yang memungkinkan seseorang mengatur dan mengarahkan diri sendiri sesuai tingkat perkembangannya. Mandiri merupakan dambaan setiap orang. Berbagai cara dilakukan untuk memperolehnya. Salah satu cara yang lazim ditempuh ialah melalui pendidikan terutama pelatihan. Kemandirian sangat dibutuhkan karena dengan mandiri setiap orang akan dapat menyelesaikan permasalahan diri sendiri dan orang lain. Pelatihan merupakan suatu proses memberikan bantuan untuk menguasai keterampilan khusus atau membantu untuk memperbaiki kekurangan dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Salah satu kelompok peserta didik yang sangat memerlukan kemandirian adalah para difabel. Di Indonesia, kata difabel belum dijadikan sebagai kata baku bahasa Indonesia. Sehingga dalam istilah pendidikan tidak disebut sebagai difabel, melainkan anak berkebutuhan khusus. Istilah ini muncul guna memperbaiki istilah lama yaitu penyandang cacat. Kata cacat dirasa kurang pantas untuk menilai sesama makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Difabel atau anak berkebutuhan khusus terdiri dari beberapa jenis, diantaranya: tunanetra (penyandang dengan kecacatan netra), tunarunguwicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat dan anak dengan gangguan kesehatan.

3 Penyandang dengan kecacatan netra merupakan bagian kecil dari kelompok penyandang difabel yang berhak mendapatkan kemandirian. Penyandang dengan kecacatan netra adalah gangguan daya penglihatan, berupa kebutaan menyeluruh atau sebagian. Sarana yang paling penting bagi penyandang dengan kecacatan netra adalah indra yang tersisa yaitu pendengaran, peraba, penciuman dan pengecap. Oleh karena itu, proses pembelajaran hendaknya mengoptimalkan indra yang tersisa tanpa mengurangi esensi dari proses pembelajaran. Pendukung kemandirian bagi penyandang dengan kecacatan netra adalah dengan pelatihan orientasi dan mobilitas (OM). Orientasi dan mobilitas adalah tatacara atau materi yang berisi tentang cara mengenal lingkungan, berpindah lingkungan, berinteraksi dengan lingkungan, menolong diri sendiri dan menolong orang lain. Tujuan diberikan pelatihan OM adalah agar penyandang dengan kecacatan netra dapat lebih mandiri dalam mengatasi permasalahan sehari- hari. Salah satu lembaga yang menyelenggarakan pelatihan OM adalah Panti Sosial Bina Netra Wyata Guna Bandung (PSBN Wyata Guna Bandung). PSBN Wyata Guna merupakan unit pelaksana teknis dibidang rehabilitasi dan pelayanan sosial dilingkungan Kementrian Sosial, berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada dirjen rehabilitasi sosial Kementrian Sosial. OM merupakan pelatihan utama yang diberikan kepada penyandang dengan kecacatan netra di dalam panti dan harus dikuasai sebelum mengikuti pelatihan lain di panti. Pelatihan OM di panti diberikan oleh instruktur OM. Pelatihan OM merupakan program yang integral, maksudnya program ini tidak dapat dipisahkan dalam panti rehabilitasi dan pendidikan bagi penyandang dengan kecacatan netra. Dapat dikatakan bahwa rehabilitasi dan pendidikan tanpa ada program pelatihan OM di dalamnya, maka program tersebut sebenarnya bukanlah merupakan program rehabilitasi dan pendidikan bagi penyandang dengan kecacatan netra. Karakteristik peserta didik penyandang dengan kecacatan netra terdiri dari kebutaan total (totally blind) atau kurang lihat (low vision). Seseorang dikatakan low vision jika mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas visual, namun dapat meningkatkan kemampuan dalam menyelesaikan tugas-tugas tersebut dengan menggunakan strategi visual pengganti, alat-alat bantu low vision,

4 dan modifikasi lingkungan. Orang yang termasuk low vision adalah mereka yang mengalami hambatan visual ringan sampai berat. Seseorang dikatakan menyandang low vision atau kurang lihat apabila penyandang dengan kecacatan netraannya masih cenderung memfungsikan indera penglihatannya dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Saluran utama yang dipergunakannya dalam belajar adalah penglihatan dengan mempergunakan alat bantu, baik yang direkomendasikan oleh dokter maupun tidak. Jenis huruf yang dipergunakan sangat bervariasi tergantung pada sisa penglihatan dan alat bantu yang dipergunakannya. Pelatihan orientasi dan mobilitas diperlukan oleh peserta didik low vision dengan mempergunakan sisa penglihatannya. Totally blind (kebutaan) menunjuk pada seseorang yang tidak mampu melihat atau hanya memiliki persepsi cahaya. Seseorang dikatakan buta (blind) jika mengalami hambatan visual yang sangat berat atau bahkan tidak dapat melihat sama sekali. Penyandang buta total (totally blind) mempergunakan kemampuan perabaan dan pendengaran sebagai saluran utama dalam belajar. Difabel seperti ini biasanya mempergunakan huruf Braille sebagai media membaca dan memerlukan pelatihan orientasi dan mobilitas. Adanya kepenyandang dengan kecacatan netraan pada seseorang, secara otomatis ia akan mengalami keterbatasan. Keterbatasan itu adalah dalam hal: (1) memperolah informasi dan pengalaman baru, (2) dalam interaksi dengan lingkungan, dan (3) dalam bergerak serta berpindah tempat (mobilitas). Oleh karena itu, dalam perkembangannya seorang anak penyandang dengan kecacatan netra mengalami hambatan atau sedikit terbelakang mobilitasnya bila dibandingkan dengan anak normal yang awas. Kenyataan dilapangan, kebutaan atau kurang lihatnya peserta didik dikarenakan berbagai macam penyebab diantaranya buta sejak lahir, kecelakaan dan karena obat- obatan terlarang. Mereka yang memiliki kebutaan yang sejak lahir lebih terbiasa dengan keadaannya berbeda dengan mereka yang buta karena kecelakaan atau obat- obatan terlarang, mereka lebih susah untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang asing bagi mereka. Ketika mereka diberikan suatu informasi melalui pelatihan OM tidak semua peserta didik dapat menyerap

5 informasi dan pengalaman baru dengan mudah karena daya tangkap dan kecerdasan setiap peserta didik berbeda- beda. Semakin peserta didik cerdas mereka semakin cepat paham dalam menyerap materi yang disampaikan dan mampu mengaplikasikannya untuk kehidupan sehari- hari agar dapat lebih mandiri dalam mengatasi permasalahan hidupnya, begitupun sebaliknya. Ketika informasi dan pengalaman baru telah didapat peserta didik harus bisa mengaplikasikannya kedalam dunia nyata yaitu mereka harus mampu interaksi dengan lingkungan dan bergerak serta berpindah tempat. Namun karena tidak semua peserta didik terbiasa dengan alam terbuka, jalanan dan keramaian tidak sedikit peserta didik yang terlihat takut untuk bergerak terutama peserta didik perempuan, bahkan ada beberapa peserta didik yang hanya berputar- putar di sekitar Wyata Guna karena berbagai penyebab, tetapi penyebab yang utama adalah daya tangkap mereka terhadap intruksi yang diberikan kurang tanggap sehingga mereka lupa dengan intruksi yang seharusnya dilakukan. Hasil suatu program pelatihan perlu dievaluasi sehingga dapat memperoleh gambaran tentang hasil pelatihan orientasi dan mobilitas di PSBN Wyata Guna Bandung, peningkatan kemandirian yang dicapai penyandang dengan kecacatan netra di PSBN Wyata Guna Bandung serta pengaruh hasil pelatihan orientasi dan mobilitas terhadap peningkatan kemandirian penyandang dengan kecacatan netra di PSBN Wyata Guna Bandung. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan permasalahan yang ada sebagaimana dikemukakan pada latar belakang penelitian, maka permasalahan yang akan diungkapkan melalui penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Potensi yang sangat penting bagi peserta didik penyandang dengan kecacatan netra dalam menghadapi kehidupan adalah kemandirian. 2. Pendukung kemandirian bagi penyandang dengan kecacatan netra adalah dengan pelatihan orientasi dan mobilitas. 3. Pelatihan OM diberikan agar penyandang dengan kecacatan netra dapat lebih mandiri dalam mengatasi permasalahan sehari- hari.

6 4. Tidak semua peserta didik dapat menyerap informasi dan pengalaman baru dengan mudah pada saat pelatihan, karena daya tangkap dan kecerdasan setiap peserta didik berbeda- beda. 5. Ketika praktek dilapangan tidak sedikit peserta didik yang tidak dapat berinteraksi dengan lingkungan dan bergerak serta berpindah tempat. C. Perumusan Masalah Memperhatikan latar belakang penelitian di atas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran hasil pelatihan orientasi dan mobilitas di PSBN Wyata Guna Bandung? 2. Bagaimana gambaran peningkatan kemandirian penyandang dengan kecacatan netra di PSBN Wyata Guna Bandung? 3. Seberapa besar pengaruh hasil pelatihan orientasi dan mobilitas terhadap peningkatan kemandirian penyandang dengan kecacatan netra di PSBN Wyata Guna Bandung? D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Memperoleh gambaran tentang hasil pelatihan orientasi dan mobilitas di PSBN Wyata Guna Bandung. 2. Memperoleh gambaran tentang peningkatan kemandirian penyandang dengan kecacatan netra di PSBN Wyata Guna Bandung. 3. Memperoleh gambaran tentang pengaruh hasil pelatihan orientasi dan mobilitas terhadap peningkatan kemandirian penyandang dengan kecacatan netra di PSBN Wyata Guna Bandung.

7 E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut: 1. Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran Pengaruh Hasil Pelatihan Orientasi dan Mobilitas terhadap Peningkatan Kemandirian. 2. Secara Praktis Sebagai bahan acuan bagi mahasiswa yang berminat mengadakan penelitian lebih lanjut dan sebagai data dasar bagi perkembangan sistem pendidikan guna terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas. F. Struktur Organisasi BAB I : Pendahuluan, Bab ini memuat latar belakang penelitian, identifikasi masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan struktur organisasi. BAB II : Kajian Pustaka, Kerangka Pemkiran Dan Hipotesis Penelitian Bab ini memuat konsep pendidikan luar sekolah, konsep pelatihan, konsep orientasi dan mobilitas, konsep kemandirian, kerangka pemikiran dan hipotesis penelitian. BAB III : Metode Penelitian Bab ini memuat lokasi dan subjek populasi/sampel penelitian, desain penelitian, metode penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian, proses pengembangan instrumen, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data. BAB IV : Hasil Penelitian Dan Pembahasan Bab ini memuat pengolahan atau analisis data, pembahasan data atau analisis temuan. BAB V : Kesimpulan Dan Saran Bab ini memuat kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan serta membahas implikasi/ rekomendasi.