BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia saat ini dan sering terjadi pada anak - anak. Insidens menurut kelompok umur Balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di negara berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju. Ini menunjukkan bahwa terdapat 156 juta episode baru di dunia per tahun dimana 151 juta episode (96,7%) terjadi di negara berkembang. Kasus terbanyak terjadi di negara India (43 juta), China (21 juta) dan Pakistan (10 juta) dan Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta episode (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan laporan WHO tahun 2007 didapatkan dari 15 juta perkiraan kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun terdapat 4 juta (26,67%) kematian yang diakibatkan oleh penyakit ISPA setiap tahunnya. Sebanyak dua pertiga kematian tersebut adalah bayi (khusus bayi muda). ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%). Berdasarkan hasil penelitian Khin, dkk tahun 2003 di Myanmar didapatkan bahwa insidens penyakit ISPA pada balita sebesar 1,8 dari 1.000 balita dalam sehari, hal ini berhubungan dengan tingkat pengetahuan ibu, pola asuh dan polusi udara dalam rumah yang kurang mendukung kesehatan balita. Berdasarkan hasil laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2013, prevalensi ISPA di Indonesia sekitar 25,5% dengan prevalensi tertinggi terjadi pada bayi 1-4 tahun ( 41% ). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan RISKESDAS pada tahun 2007 dimana prevalensi ISPA di Indonesia sekitar 1
25,5% dengan prevalensi tertinggi terjadi pada bayi dua tahun (>35%). Di Indonesia setiap anak diperkirakan mengalami tiga sampai enam episode ISPA setiap tahunnya dan mengakibatkan 20% - 30% kematian. Departemen Kesehatan membagi ISPA menjadi tiga kriteria salah satunya ialah ISPA Bukan Pneumonia. ISPA Bukan Pneumonia adalah infeksi yang menyerang bagian saluran pernafasan atas (mulai dari hidung sampai bagian faring). ISPA bukan pneumonia mencakup kelompok balita dengan batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya tarikan dinding dada bagian bawah arah dalam. Contoh dari ISPA bukan pneumonia adalah batuk pilek biasa (common cold), pharingitis, tonsilitis dan otitis (Kunoli F, 2013). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan tahun 2011 menunjukkan bahwa penyakit ISPA di Indonesia sepanjang 2007 dan 2011 mengalami tren kenaikan. Pada tahun 2007 jumlah kasus ISPA berkategori batuk bukan pneumonia sebanyak 7.281.411 kasus dan 765.333 kasus pneumonia. Pada tahun 2011 jumlah kasus ISPA berkategori batuk bukan pneumonia sebanyak 18.790.481 kasus dan 756.577 kasus pneumonia. Jumlah balita dengan ISPA di Indonesia pada tahun 2011 adalah lima diantara 1.000 balita yang berarti sebanyak 150.000 balita meninggal pertahun atau sebanyak 12.500 balita perbulan atau 416 kasus sehari atau 17 balita perjam atau seorang balita perlima menit. Dapat disimpulkan bahwa prevalensi penderita ISPA di Indonesia adalah 9,4 % (Depkes RI, 2012). Berdasarkan data Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2012 dari 148.431 kasus balita yang menderita ISPA, yang ditemukan dan ditangani hanya 17.443 balita atau 11,74 %. Angka ini mengalami penurunan bila 2
dibandingkan tahun 2011 yaitu 22.442 balita atau 15,56%. Kabupaten dengan jumlah penderita kasus ditemukan dan ditangani terbanyak adalah Kabupaten Simalungun yaitu 32,44%, dususul dengan Kota Medan sebesar 25,5% dan Kabupaten Deli Serdang sebesar 21,53%. Pada tahun 2013 sebesar 153.912 perkiraan kasus, yang ditemukan dan ditangani sebesar 23.643 kasus (15,36%), Kabupaten dengan jumlah penderita kasus ditemukan dan ditangani terbanyak adalah Kabupaten Karo sebesar 84,7%, disusul dengan Kabupaten Tapanuli Utara sebesar 71,5% dan Kabupaten Nias Selatan sebesar 34,7%. Menururt Hendrik Blum dalam Notoadmojo (2007) banyak faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan antara lain faktor lingkungan seperti iklim. Iklim adalah suatu komponen lingkungan fisik yang terdiri dari suhu, curah hujan, kelembaban dan kecepatan angin. Iklim tidak sama dengan cuaca. Iklim berkaitan dengan atmosfir dalam jangka waktu yang panjang (kurun waktu yang lama sekitar 30 tahun) sedangkan cuaca adalah keadaan atmosfir pada suatu saat, ini merupakan keadaan yang kita alami sehari-hari (Lakitan, 2002). Banyak penyakit yang berkaitan dengan iklim. Terutama dengan suhu dan kelembaban. Sejumlah parasit yang dapat menginfeksi manusia terbatas pada daerah tropis dan subtropis yang panas dan lembab. Penyakit seperti radang paru dan influenza merupakan penyakit musiman. Penyakit ini sering terjadi pada musim dingin yang disebabkan oleh lemahnya daya tahan pada sistem pernapasan bagian atas (EPA, 2000). Adanya perubahan iklim global terutama suhu, kelembaban, curah hujan, dan juga pencemaran lingkungan seperti asap karena kebakaran hutan, gas buang sarana transportasi dan polusi udara dalam rumah merupakan ancaman kesehatan 3
terutama penyakit ISPA. Disisi lain kondisi lingkungan yang buruk mendorong peningkatan jumlah balita yang rentan terhadap serangan berbagai penyakit menular termasuk ISPA. Pada akhirnya akan mendorong meningkatnya penyakit ISPA dan pneumonia pada balita (Depkes RI, 2002). Berdasarkan hasil penelitian Mahmud R di kota Palembang tahun 2004 didapatkan bahwa iklim (curah hujan, suhu udara dan hari hujan) sangat berpengaruh dengan kejadian penyakit ISPA bukan pneumonia pada balita. Berdasarkan catatan bulanan P2 ISPA dinas Kesehatan Kabupaten Nias didapatkan bahwa di kecamatan Gunungsitoli tahun 2006 jumlah realisasi penemuan penderita batuk bukan pneumonia setiap bulannya rata-rata 112 orang (20,22%) dari 554 orang balita yang merupakan sasaran penemuan pneumonia balita, dan tahun 2007 rata-rata 275 orang dari 554 orang balita (49,64%). Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kota Gunung Sitoli, penyakit ISPA menempati peringkat pertama dan kedua setiap tahunnya dari daftar 10 penyakit terbanyak di Kota Gunung Sitoli. Berdasarkan catatan bulanan P2 ISPA Dinas Kesehatan Kota Gunung Sitoli ditemukan bahwa jumlah kasus ISPA bukan pneumonia pada tahun 2012 sebanyak 12.357 kasus yang terdiri dari bayi, balita, anak-anak hingga orang dewasa. Pada tahun 2013 jumlah penyakit ISPA bukan pneumonia di Kota Gunung Sitoli meningkat dari tahun sebelumnya dan mencapai 16.649 kasus. Pada tahun 2014 jumlah kasus ISPA bukan pneumonia di Kota Gunung Sitoli mencapai 13.183 kasus dan pada tahun 2015 jumlah kasus ISPA bukan pneumonia di Kota Gunung Sitoli mencapai 12.796 kasus. 4
Oleh karena itu penelitian ini dimaksudkan untuk melihat analisis hubungan suhu udara, curah hujan, kelembaban udara dan kecepatan angin dengan kejadian penyakit ISPA bukan pneumonia di Kota Gunung Sitoli dalam kurun waktu empat tahun yaitu dari tahun 2012 sampai tahun 2015. 1.2 Rumusan Masalah Penyakit ISPA di Kota Gunung Sitoli mengalami peningkatan setiap tahun dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat sehingga perlu dilakukan analisis terhadap faktor pendukung pada lingkungan untuk pengendalian kasus ISPA. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan suhu, curah hujan, kelembaban udara, dan kecepatan angin dengan kejadian ISPA bukan pneumonia di Kota Gunung Sitoli selama kurun waktu empat tahun yaitu dari tahun 2012 sampai tahun 2015. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, dan kecepatan angin dengan kejadian ISPA bukan pneumonia di Kota Gunung Sitoli selama kurun waktu empat tahun yaitu tahun 2012 sampai tahun 2015. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui keadaan kasus ISPA bukan pneumonia di Kota Gunung Sitoli perbulan selama kurun waktu empat tahun yaitu tahun 2012 sampai tahun 2015. 5
2. Untuk mengetahui keadaan suhu udara, curah hujan, kelembaban dan kecepatan angin di Kota Gunung Sitoli selama kurun waktu empat tahun yaitu tahun 2012 sampai 2015. 3. Untuk mengetahui hubungan suhu udara, curah hujan, kelembaban dan kecepatan angin dengan kejadian ISPA bukan pneumonia pada usia < 1 tahun, 1-4 tahun dan > 5 tahun di Kota Gunung Sitoli perbulan selama kurun waktu empat tahun yaitu tahun 2012 sampai tahun 2015. 1.4 Hipotesis Ada hubungan suhu udara, curah hujan, kelembaban udara dan kecepatan angin dengan kejadian ISPA bukan pneumonia di Kota Gunung Sitoli selama kurun waktu empat tahun yaitu dari tahun 2012 sampai tahun 2015. 1.5 Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah khususnya Dinas Kesehatan Kota Gunung Sitoli dalam penentuan arah kebijakan dan perencanaan program pencegahan dan pengendalian kasus ISPA bukan pneumonia di Kota Gunung Sitoli. 2. Sebagai bahan tambahan ilmu untuk pengembangan kompetensi mahasiswa, khususnya mahasiswa kesehatan lingkungan dan sebagai informasi bagi peneliti selanjutnya untuk studi yang lebih mendalam tentang pengaruh lingkungan terhadap perkembangan penyakit ISPA. 3. Sebagai informasi bagi masyarakat tentang hubungan suhu udara, curah hujan, kelembaban udara, dan kecepatan angin dengan kejadian ISPA di Kota Gunung Sitoli selama kurun waktu empat tahun yaitu dari tahun 2012 sampai tahun 2015. 6