BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Angka pencabutan gigi di Indonesia relatif masih tinggi. Rasio penambalan dan pencabutan gigi adalah sebesar 1:6 bahkan di beberapa daerah lebih besar daripada angka tersebut. Tercatat sebanyak lima puluh persen (50%) pengunjung poli gigi di salah satu kota di Indonesia, yaitu Surabaya, datang ke Puskesmas untuk mencabut gigi tetap. Terdapat beberapa penyebab dilakukannya pencabutan gigi seperti pada gigi rusak yang sudah tidak dapat dirawat dengan perawatan saluran akar, gigi persistensi, dan pada perawatan ortodonti yang mengharuskan adanya ruang (Oktarina, 2010). Tindakan pencabutan gigi merupakan suatu proses pengeluaran gigi dari tulang alveolus (Fenanlampir, 2014). Tindakan ini dapat menyebabkan luka atau trauma dan akan menghasilkan suatu kavitas berupa soket gigi (Koraag, 2015). Luka merupakan kerusakan yang mengganggu integritas dan fungsi jaringan pada tubuh (Baranoski, 2004). Hilangnya integritas jaringan menyediakan lingkungan yang kondusif untuk perkembangan mikroba (Bowler, 2001). Pada kondisi penyembuhan luka yang lama, hal ini akan meningkatkan resiko infeksi sebagai bentuk komplikasi (Gouin, 2011). Keadaan ini secara psikologis mempengaruhi pasien sehingga pasien merasa tidak nyaman dan terganggu dalam menjalankan kegiatan sehari-hari (Gouin, 2011). 1
2 Jaringan akan mengalami proses penyembuhan luka setelah mengalami kerusakan (Rajendran, 2012). Terdapat beberapa fase pada proses penyembuhan luka yaitu fase inflamasi, proliferasi, dan remodeling. Fase pertama penyembuhan luka yaitu inflamasi dimulai segera setelah terjadi luka dan berlangsung selama empat sampai enam hari pertama. Tujuannya adalah untuk menghilangkan jaringan yang rusak dan mencegah infeksi. Netrofil dan monosit akan bergerak ke arah jaringan fibrin yang terbentuk untuk melakukan fungsi fagositosis. Selanjutnya adalah fase proliferasi yang dicirikan dengan pembentukan jaringan granulasi pada area luka. Selain itu terjadi epitelialisasi dan angiogenesis pada fase ini. Angiogenesis ditandai oleh formasi kapiler dan migrasi sel endotelial. Epitelialisasi dimulai setelah terjadi perlukaan dan distimulasi oleh sitokin inflamatori diikuti dengan replikasi sel-sel epitel. Fase terakhir yaitu remodeling yang memakan waktu beberapa minggu sampai beberapa tahun. Pada fase ini terjadi deposisi kolagen. Seiring proses ini, kekuatan tarik luka mulai meningkat (Prasetyono, 2009). Ayam broiler (Gallus gallus) merupakan komoditas peternakan yang menempati urutan pertama sebagai penyumbang ketersediaan daging ternak unggas di Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian RI, produksi daging asal unggas ini mengalami peningkatan dari 942.800 ton pada tahun 2007 menjadi 1.270.400 pada tahun 2011. Kebutuhan daging ayam meningkat sejalan dengan laju pertambahan jumlah penduduk di Indonesia (Fadilah, 2013). Salah satu hasil samping yang dihasilkan dari rumah potong ayam (RPA) adalah ceker ayam dengan volume yang cukup banyak. Data statistik pertanian
3 tahun 2003 yang dilaporkan oleh Suryana (2004) menunjukkan bahwa produksi daging ayam sebanyak 973.000 ton menghasilkan 1.297.333.333 potong ceker ayam. Jumlah tersebut sangat banyak dan potensi pemanfaatannya belum secara optimal tergali karena bagian tubuh ayam yang terdiri atas komponen kulit, tulang, otot, dan kolagen ini kurang diminati. Selama ini ceker baru dimanfaatkan sebagai campuran sup dan kerupuk padahal ceker ayam memiliki komposisi kimia yang dapat diubah menjadi produk yang memiliki nilai tambah (Miwada, 2007). Ceker ayam yang terdiri atas kulit, tulang, dan otot mengandung kadar air 61,9%, protein 22,98%, lemak 1,6%, abu 3,49%, dan karbohidrat 2,03%. Tulang ceker ayam terdiri dari bahan anorganik sejumlah 75% dan organik sejumlah 25% (Siregar, 2015). Menurut Said (2014) ceker ayam mengandung kalsium, fosfor, kalori, zat besi, vitamin A, vitamin B1, dan kolagen dalam jumlah besar (Said, 2014). United States Department of Agriculture (2015) menyebutkan bahwa ceker ayam juga memiliki kandungan vitamin D, potasium, sodium, thiamin, riboflavin, niacin, dan asam lemak. Nutrisi yang terkandung pada ceker ayam bermanfaat bagi proses penyembuhan luka. Menurut Clarke dan Santy-Tomlinson (2014), vitamin D penting untuk keseimbangan kalsium dan mempengaruhi perkembangan tulang dan proses remodeling. Bentuk aktif vitamin D akan meningkatkan kadar kalsium dalam darah. Kadar kalsium darah yang tinggi mencegah tulang kehilangan kalsium sebagai salah satu mineral penyusun jaringan tulang. Vitamin D juga berpengaruh terhadap proliferasi osteoblas, serta diferensiasinya (Van Driel dan Leeuwen, 2014). Fosfor yang terkandung dalam ceker ayam juga turut berperan selama proses
4 remineralisasi sebagai salah satu komponen penyusun tulang (Penido dan Alon, 2012). Selain vitamin D dan fosfor, terdapat kolagen yang dapat mempengaruhi diferensiasi osteoblas. Kolagen dapat mempercepat pembentukan tulang dengan mengaktivasi gen runt-related transcription (RUNX-2) untuk menstimulasi pembentukan pre-osteoblas menjadi osteoblas (Rahmitasari dkk. 2016). Dhyantari (2015) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa hasil perlakuan terbaik diperoleh perlakuan lama maserasi dengan perbandingan bubuk dan pelarut 1:4 yang menghasilkan konsentrasi 25%. Ekstrak ceker ayam dengan konsentrasi 25% pada penelitian tersebut terbukti efektif dalam melarutkan nutrisi yang terkandung dalam hasil ekstraksi. Penambahan pelarut yang lebih banyak membuat kondisi nutrisi yang terkandung dalam ekstrak ceker ayam lebih sulit untuk berdifusi. Peningkatan jumlah limbah ceker ayam seiring dengan peningkatan konsumsi masyarakat terhadap daging ayam tidak diikuti dengan pemanfaatan yang optimal. Selain itu, ceker ayam memiliki banyak kandungan yang berguna bagi tubuh. Salah satu kegunaan bahan yang terkandung dalam ceker ayam adalah untuk mempercepat proses penyembuhan luka. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis ingin melakukan penelitian mengenai pemanfaatan ceker ayam dalam pengobatan di bidang kedokteran gigi sebagai bahan untuk mempercepat proses penyembuhan luka pasca pencabutan gigi.
5 B. Perumusan Masalah Bagaimana pengaruh pemberian topikal gel ekstrak ceker ayam broiler konsentrasi 25% terhadap jumlah osteoblas pada proses penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi marmut? C. Keaslian Penelitian Penelitian untuk menguji efek antiinflamasi ceker ayam pada tikus wistar jantan dilakukan oleh Dhyantari dkk. pada tahun 2012. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa kenaikan konsentrasi ekstrak ceker ayam berpengaruh terhadap kemampuan untuk menurunkan edema pada inflamasi. Rahmitasari dkk. (2016) melakukan penelitian tentang pengaruh kombinasi kitosan dan kolagen yang terdapat dalam ceker ayam sebagai perancah (scaffold) pada proses regenerasi tulang. Penelitian tersebut membuktikan bahwa kombinasi kitosan dan kolagen meningkatkan jumlah osteoblas secara signifikan. Sampai saat ini, penulis belum menemukan adanya penelitian yang menguji efek pemberian ekstrak ceker ayam broiler pada luka pasca pencabutan gigi marmut. D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian topikal gel ekstrak ceker ayam broiler konsentrasi 25% terhadap jumlah osteoblas pada proses penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi marmut.
6 E. Manfaat Penelitian 1. Mengetahui adanya kegunaan lain dari ceker ayam selain sebagai bahan makanan menjadi bahan pengobatan terutama di bidang kedokteran gigi. 2. Hasil dari penelitian ini memberikan kontribusi ilmiah dan bisa digunakan sebagai dasar penelitian selanjutnya tentang penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi. 3. Memanfaatkan ceker ayam sebagai hasil samping komoditas peternakan dengan optimalisasi yang kurang sehingga memiliki nilai tambah. 4. Obat berbahan dasar ceker ayam dapat menjadi pilihan yang memperkaya variasi pengobatan untuk penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi.