BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit disebut dengan nama latin Elaeis guineensis Jacq. Elaeis berasal dari Elaion yang dalam bahasa Yunani berarti minyak. Guineensis berasal dari kata Guinea yaitu Pantai Barat Afrika dan Jacq singkatan dari Jacquin seorang botanis dari Amerika (Soehardjo et al., 1998). Menurut Pandey (1981), tanaman kelapa sawit diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Arecales Famili : Arecaceae Genus : Elaeis Spesies : Elaeis guineensis Jacq. Tanaman kelapa sawit tumbuh tegak lurus dan dapat mencapai ketinggian pohon sampai 20 m. Tanaman ini berumah satu atau monoecious yaitu bunga jantan dan bunga betina terdapat pada satu pohon. Bunga jantan terdapat pada tandan bunga jantan dan bunga betina terdapat pada tandan bunga betina. Masingmasing tandan terletak terpisah dan keluar dari ketiak pelepah (Soehardjo et al., 1998). Walaupun demikian, kadang-kadang dijumpai juga bunga jantan dan betina pada satu tandan (hermaprodit) (Pahan, 2006). Rangkaian bunga terdiri dari batang poros dan cabang-cabang meruncing yang disebut spikelet. Jumlah spikelet dalam rangkaian dapat mencapai 200 buah. Batang poros bunga jantan lebih panjang daripada bunga betina, namun jumlah spikeletnya hampir sama. Jumlah bunga tiap spikelet pada bunga jantan lebih banyak, yaitu sekitar 700 1.200 buah. Kadang-kadang pada tanaman kelapa
5 sawit terbentuk rangkaian bunga yang hermaprodit, terutama pada tanaman yang masih muda (Fauzi et al., 2002). 2.2. Kultur Jaringan Kelapa Sawit Kultur jaringan tanaman adalah suatu teknik isolasi bagian-bagian tanaman, seperti jaringan, organ, ataupun embrio, lalu dikultur pada medium buatan yang steril sehingga bagian-bagian tanaman tersebut mampu beregenerasi dan berdiferensiasi menjadi tanaman lengkap (Winata, 1987). Yusnita (2003), menambahkan bahwa berdasarkan bagian tanaman yang dikulturkan secara lebih spesifik terdapat beberapa tipe kultur, yaitu kultur kalus, kultur suspensi sel, kultur akar, kultur pucuk tunas, kultur embrio, kultur ovul, kultur anter, dan kultur kuncup bunga. Teknik kultur jaringan pada saat ini telah berkembang menjadi teknik perkembangbiakan tumbuhan yang sangat penting pada berbagai spesies tumbuhan (Pandiangan & Subarnas, 2011). Setiap sel mampu tumbuh dan berkembang menjadi tumbuhan normal jika dikulturkan pada nutrisi dan lingkungan yang tepat. Totipotensi yang awal masih sekitar totipotensi morfologi. Berdasarkan teori totipotensi inilah berkembang sampai pada totipotensi kimia. Pada saat ini sudah dikembangkan produksi senyawa kimia atas dasar totipotensi kimia tersebut. Senyawa kimia pada tanaman utuh alami dapat dihasilkan juga secara in vitro atau kultur jaringan tumbuhan (Zulkarnain, 2009). Pemanfaatan utama dari kultur jaringan pada awalnya adalah untuk mendapatkan tanaman baru dalam jumlah banyak dengan waktu relatif singkat, yang mempunyai sifat fisiologi dan morfologi sama persis dengan induknya. Teknik kultur jaringan tumbuhan diharapkan dapat memperoleh tumbuhan baru yang bersifat unggul. Perbanyakan tumbuhan secara besar-besaran telah dibuktikan keberhasilannya pada perkebunan kelapa sawit dan tebu di Sumatera (Pandiangan & Subarnas, 2011). Permintaan dunia terhadap komoditas kelapa sawit Indonesia cenderung meningkat. Hal ini mendorong adanya berbagai upaya peningkatan produksi kelapa sawit, antara lain penggunaan teknologi tinggi dalam pembudidayaan dan pengolahannya. Teknologi kultur jaringan (tissue culture) merupakan satu cara
6 untuk mendapatkan klon kelapa sawit dengan perlakuan khusus dari bahan biakan yang berupa jaringan muda (Fauzi et al., 2002). Penggunaan teknik kultur jaringan pada tanaman kelapa sawit terbukti memberikan beberapa keuntungan, di antaranya dalam waktu singkat dapat dihasilkan bibit dalam jumlah banyak. Selain itu, bibit dari kultur jaringan memiliki sifat yang sama dengan induknya. Keuntungan lain adalah dapat meningkatkan produksi (Fauzi et al., 2002). Jambak (2011), perbanyakan kelapa sawit melalui kultur jaringan mampu meningkatkan produksi mencapai 25-30%, mengingat variasi produksi antar tanaman cukup tinggi yang dapat mencapai antara 60-100% dari produksi rata-rata. Produk komersil 5-6 ton minyak seperti sekarang akan dapat ditingkatkan menjadi 7-9 ton per/ha/tahun. 2.3. Eksplan Pada prinsipnya, tahapan perbanyakan bibit kelapa sawit dengan kultur jaringan dimulai dari sepotong jaringan daun muda atau akar sebagai bahan tanaman (eksplan). Potongan-potongan jaringan daun muda diambil dari pohon induk. Pohon induk harus berasal dari hasil pengamatan mulai umur 3-9 tahun, telah dilakukan analisis tandan dan pengamatan karakter yang lain (Fauzi et al., 2002). Seleksi bahan eksplan yang cocok merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan program kultur jaringan. Untuk memulai sistem kultur jaringan yang baru dengan spesies atau kultivar tanaman yang baru pula, seringkali menghendaki analisis yang sistematis terhadap potensi eksplan dari setiap tipe jaringan (Hartman et al., 1990). Oleh karena itu, Pierik (1997) mengemukakan tiga aspek utama yang harus diperhatikan dalam seleksi bahan eksplan, yaitu genotip, umur, dan kondisi fiosiologis bahan tersebut. Potongan-potongan jaringan tersebut kemudian disemai dalam media tertentu dan akan membentuk kalus primer. Kalus primer tersebut yang dijadikan sumber perbanyakan dengan cara membentuk struktur baru dalam tahapan menuju tanaman utuh dengan proses embriogenesis somatis. Kalus primer terbentuk dalam jangka waktu 3-4 bulan dalam media cair. Setelah kalus terbentuk, dipindahkan ke media dan kurang lebih dalam waktu 2 bulan terbentuk embryoid (semacam embrio). Embryoid dipindahkan ke tabung, setelah 4 bulan tunas-tunas
7 daun mulai muncul dan tunas-tunas berakar sehingga akan terbentuk tanaman baru (planlet). Bibit yang berasal dari teknik kultur jaringan disebut klon (Fauzi et al., 2002). Eksplan diambil dari bunga betina kelapa sawit. Menurut Guedes et al. (2011), bunga dewasa menjadi salah satu yang paling menjanjikan, karena jumlah bunga yang banyak dan bunga dapat diperoleh dari tanaman dewasa tanpa menyebabkan utama kerusakan pada pohon induk. Bunga dewasa biasanya dilindungi oleh spatha sehingga mengurangi penggunaan desinfektan. 2.4. Media Kultur Jaringan Media merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan perbanyakan tanaman secara kultur jaringan. Berbagai komposisi media kultur telah diformulasikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dikulturkan. Media kultur secara fisik dapat berbentuk cair atau padat (Yusnita, 2003). Apabila suatu eksplan dikulturkan, jaringan eksplan tersebut mengalami perubahan-perubahan yang dinyatakan oleh Hartmann et al., (1990), sebagai situasi kritis. Di samping kekurangan suplai air dan mineral sebagai akibat menurun tekanan akar, tanaman pun kehilangan karbohidrat karena tidak ada daun-daun yang menyediakan gula ke dalam sistem floem, juga terjadi gangguan yang menyeluruh pada sistem regulasi hormon tanaman. Kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan kultur in vitro yang optimal bervariasi antar spesies ataupun antar varietas. Bahkan, jaringan yang berasal dari bagian tanaman yang berbeda, berbeda kebutuhan nutrisinya. Tidak ada satu pun medium dasar yang berlaku universal untuk semua jenis jaringan dan organ. Meskipun demikian, medium dasar Murashige dan Skoog (MS) yang direvisi Murashige dan Skoog tahun 1962 adalah yang paling luas penggunaannya dibandingkan dengan media dasar lainnya (Zulkarnain, 2009). Taji et al., (1995), menambahkan bahwa pada medium MS yang direvisi banyak digunakan, terutama pada mikropropagasi tanaman dikotil dengan hasil yang memuaskan. Hal itu dikarenakan medium MS memiliki kandungan garam-garam dan nitrogen yang lebih tinggi daripada media lain.
8 2.5. Zat Pengatur Tumbuh Fitohormon adalah senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh tanaman tingkat tinggi secara endogen. Senyawa tersebut berperan merangsang dan meningkatkan pertumbuhan serta perkembangan sel, jaringan, dan organ tanaman menuju arah diferensiasi tertentu. Senyawa-senyawa lain yang memiliki karakteristik yang sama dengan hormon, tetapi diproduksi secara eksogen, dikenal sebagai zat pengatur tumbuh (ZPT). Didalam teknik kultur jaringan, kehadiran ZPT sangat nyata pengaruhnya (Pierik, 1997). Auksin dan sitokinin berperan penting dalam manipulasi pertumbuhan tumbuhan dalam kondisi yang terkontrol dengan baik. Kebanyakan eksplan menghasilkan sejumlah auksin dan sitokinin endogen (endogenus). Dalam kultur jaringan, ZPT tambahan (eksogenus) diberikan untuk memperoleh efek pertumbuhan. Sebagai panduan umum, auksin atau sitokinin atau keduanya ditambahkan ke dalam kultur untuk memperoleh respons pertumbuhan (Pandiangan & Subarnas, 2011). Zat pengatur tumbuh yang biasa digunakan antara lain auksin, sitokinin, dan giberelin. Hormon-hormon ini sering digunakan karena mempunyai kemampuan untuk merangsang pertumbuhan eksplan dan mempengaruhi pertumbuhan akar. Dari ketiga jenis hormon ini yang paling sering digunakan adalah auksin dan sitokinin (Wetherell, 1982). 2.5.1. Auksin Auksin adalah sekelompok senyawa yang berfungsi merangsang pemanjangan sel-sel pucuk yang spektrum aktivitasnya menyerupai IAA (indole-3-acetic acid). Pierik (1997), menyatakan bahwa pada umumnya auksin meningkatkan pemanjangan sel, pembelahan sel, dan pembentukan akar adventif. Auksin berpengaruh pula untuk menghambat pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar, dalam medium kultur dibutuhkan untuk meningkatkan embriogenesis somatik pada kultur suspensi sel. Konsentrasi auksin yang rendah akan meningkatkan pembentukan akar adventif, sedangkan auksin konsentrasi tinggi akan merangsang pembentukan kalus dan menekan morfogenesis (Smith, 1992).
9 Pemberian 2,4-D pada konsentrasi 10-7 10-5 M tanpa sitokinin sangat efektif untuk induksi proliferasi kalus pada kebanyakan kultur (Dodds & Roberts, 1985). Menurut Gamborg et al., (1976), senyawa tersebut dapat menekan organogenesis dan sebaiknya tidak digunakan pada kultur yang melibatkan inisiasi pucuk dan akar. Sementara itu, Pierik (1997) menganjurkan untuk membatasi penggunaan 2,4-D pada kultur in vitro karena 2,4-D dapat meningkatkan peluang terjadinya mutasi genetik dan menghambat fotosintesis pada tanaman yang diregenerasikan. 2.5.2. Sitokinin Sitokonin adalah senyawa yang dapat meningkatkan pembelahan sel pada jaringan tanaman serta mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sama halnya dengan kinetin (6-furfurylaminopurine). Peranan auksin dan sitokinin sangat nyata dalam pengaturan pembelahan sel, pemanjangan sel, diferensiasi sel, dan pembentukan organ (Zulkarnain, 2009). Pemberian sitokinin ke dalam medium kultur jaringan penting untuk menginduksi perkembangan dan pertumbuhan eksplan. Senyawa tersebut dapat meningkatkan pembelahan sel, proliferasi pucuk, dan morfogenesis pucuk (Smith, 1992). Bahkan menurut George & Sherrington (1984), apabila ketersediaan sitokinin di dalam medium kultur sangat terbatas maka pembelahan sel pada jaringan yang dikulturkan akan terhambat. Akan tetapi, apabila jaringan tersebut disubkulturkan pada medium dengan kandungan sitokinin yang memadai maka pembelahan sel akan berlangsung secara sinkron. Sitokinin yang paling banyak digunakan pada kultur in vitro adalah kinetin, benziladenin (BA atau BAP), dan zeatin. Zeatin adalah sitokinin yang disintesis secara alamiah, sedangkan kinetin dan BA adalah sitokinin sintetik (Zulkarnain, 2009). Menurut Torres (1989), menyatakan bahwa tipe morfogenesis pada kultur in vitro tergantung pada rasio serta kondisi auksin dan sitokinin. Inisiasi akar, embriogenesis, dan induksi pembentukan kalus umumnya terjadi bila terdapat rasio yang tinggi antara auksin dan sitokinin sedangkan proliferasi pucuk adventif dan pucuk aksilar apabila rasio tersebut rendah.
10 Penambahan auksin atau sitokinin ke dalam media kultur dapat meningkatkan konsentrasi hormon endogen di dalam sel sehingga menjadi faktor memicu dalam proses tumbuh dan perkembangan jaringan (Poonsapaya et al., 1989). Pada penelitian Kumar et al., (2012), menyatakan induksi kalus Calamus travancorius terbaik terdapat pada penambahan 2,4-D 10 mg/l, NAA 4 mg/l, dan IBA 5 mg/l pada media MS. Sedangkan penelitian Aslam dan Khan (2009) pada eksplan pucuk P h o e n i x d a c t y l i f e r a, menyatakan penambahan 2,4-D dengan konsentrasi 45,24 µm dapat memicu indusi kalus tertinggi. Dan penambahan BAP 7,84 µm dapat memicu regenerasi tunas tertinggi.