BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan menjadi tempat yang penting dalam perkembangan hidup seorang manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terhadap orang lain, khususnya terhadap lawan jenis. Perasaan saling mencintai,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB I PENDAHULUAN. ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak apabila dapat memilih, maka setiap anak di dunia ini akan

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua penduduk di dunia ini hidup dalam unit-unit keluarga. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini kita dihadapkan pada berbagai macam penyakit, salah satunya

STRATEGI KOPING ANAK DALAM PENGATASAN STRES PASCA TRAUMA AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. faktor yang secara sengaja atau tidak sengaja penghambat keharmonisan

STRATEGI COPING IBU DALAM MENJALANI PERAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. antara suami istri saja melainkan juga melibatkan anak. retardasi mental termasuk salah satu dari kategori tersebut.

BABI PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. Hal yang tidak pasti dari kematian adalah waktu datang dan proses menjelangnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEMAMPUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN SKRIPSI

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. Kasus perceraian di Indonesia saat ini bukanlah menjadi suatu hal yang asing

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

PENDAHULUAN. sebagai subjek yang menuntut ilmu di perguruan tinggi dituntut untuk mampu

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN. mengenal awal kehidupannya. Tidak hanya diawal saja atau sejak lahir, tetapi keluarga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang datang dari dirinya maupun dari luar. Pada masa anak-anak proses

BAB I PENDAHULUAN. penuh kedamaian, kesejukan, dan ketenangan lahir batin dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga itu adalah yang terdiri dari orang tua (suami-istri) dan anak. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. memandang remaja itu sebagai kanak-kanak, tapi tidak juga sebagai orang

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mutia Ramadanti Nur,2013

BAB I PENDAHULUAN. dan suami, ibu dan ayah, anak perempuan dan anak laki-laki, saudara perempuan

BABI PENDAHULUAN. Setiap individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang menyertai dalam

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN. wanita remaja yang telah menjadi ibu muda adalah suatu persoalan yang serius,

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB I PENDAHULUAN. memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya. pergolakan dalam dalam jiwanya untuk mencari jati diri.

BAB I PENDAHULUAN. bernilai, penting, penerus bangsa. Pada kenyataannya, tatanan dunia dan perilaku

BABI. PENDAillJLUAN. Seorang anak selalu membutuhkan peran orangtua. Sejak dulu sampai saat

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi perbaikan perilaku emosional. Kematangan emosi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

STRATEGI COPING ORANG TUA MENGHADAPI ANAK AUTIS

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN. kasus seperti keluarga yang telah bercerai. Latar belakang keluarga yang bercerai

BAB I PENDAHULUAN. mencapai kebahagiaan seperti misalnya dalam keluarga tersebut terjadi

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dapat beradaptasi dengan baik maka ia akan memiliki kehidupan

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. proses kultural budaya di masa lalu, kini telah berganti sebab. Di masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang sangat luar biasa, karena anak akan menjadi generasi penerus dalam keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk tertentu, dalam kadar berat ringan yang berbeda dan dalam. Tak seorang pun bisa terhindarkan dari stres.

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan individu

LAMPIRAN A PEDOMAN OBSERVASI DAN WAWANCARA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dukungan sosial merupakan keberadaan, kesediaan, keperdulian dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. mengurangi distres. Menurut J.P.Chaplin (Badru, 2010) yaitu tingkah laku

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk

BAB 1 PENDAHULUAN. memperoleh gelar sarjana (Sugiyono, 2013). Skripsi adalah muara dari semua

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. diwarnai dengan berbagai macam emosi, baik itu emosi positif maupun

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami perkembangan dalam

BAB V HASIL PENELITIAN. A. Rangkuman Penelitian Seluruh Subjek. dibuat table sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. sudah menjadi masalah emosi yang umum. Depresi merupakan salah satu

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan unit sosial terkecil di dalam lingkungan masyarakat. Bagi anak, keluarga merupakan tempat pertama mereka untuk berinteraksi. Keluarga yang baik idealnya mampu meningkatkan intimacy (kedekatan) sehingga dapat memunculkan hubungan yang memuaskan bagi anggota keluarga. Peran keluarga dinilai sangat penting dalam perkembangan seorang remaja, karena keluarga merupakan sarana bagi remaja berinteraksi dan belajar untuk mengungkapkan emosi, melihat hubungan antara kedua orangtua, hubungan anak dengan orangtua, sikap orangtua terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar, penanaman nilai-nilai yang diberikan orangtua, melakukan problem solving terhadap tekanan-tekanan yang muncul dari lingkungan sekitar, serta mendapatkan dukungan secara emosional. Pada kenyataannya, tidak semua remaja beruntung dapat memiliki sebuah keluarga yang utuh. Hal ini terkait dengan fakta bahwa tak ada kehidupan pernikahan yang bebas dari masalah. Berbagai perbedaan pasti akan muncul mengingat pernikahan dibangun oleh dua individu yang berbeda. Jika suatu pernikahan tidak memiliki fondasi yang kuat, tak jarang masalah yang muncul akan berakhir pada perceraian. Perceraian dapat diartikan sebagai suatu tindakan terakhir dari penyesuaian perkawinan yang buruk, dan terjadi bila suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara untuk menyelesaikan masalah yang dapat 1

2 memuaskan kedua belah pihak (Hurlock, 1997: 307). Namun bagi remaja perceraian sering kali menimbulkan problematika tersendiri Dari waktu ke waktu, kasus perceraian tampaknya makin meningkat. Maraknya tayangan infotainment di televisi mengenai para artis dan public figure yang mengakhiri pernikahan mereka melalui meja pengadilan, seakan-akan mengesankan bahwa perceraian merupakan sebuah trend baru. Fenomena perceraian masih terjadi bukan hanya di kalangan artis atau public figure saja, di dalam keluarga sederhana bahkan di dalam lingkungan pendidik, lingkungan yang tampak religius, perceraian juga banyak terjadi (Widyarini, 2005, Derita Anak Korban Perceraian, para 4). Angka perceraian di Indonesia mungkin tidak setinggi di Amerika Serikat (66,6% pernikahan berakhir dengan perceraian) ataupun di Inggris (50% pernikahan juga berakhir dengan perceraian). Akan tetapi seperti yang diketahui bahwa di Indonesia juga banyak pernikahan yang berakhir dengan perceraian (Tasmin, 2002, Perceraian dan Kesiapan Mental Anak, para 2). Jumlah perceraian di Indonesia mencapai angka 200.000 pasang setiap tahunnya. Angka ini merupakan rekor tertinggi untuk kawasan Asia Pasifik. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) peristiwa perceraian terus meningkat. Di Sleman, misalnya, Pengadilan Agama Sleman mencatat sebanyak 825 perkara perceraian ditangani pada tahun 2006. Jumlah ini meningkat dari 803 perkara yang ditangani pada tahun sebelumnya (Pranowo, 2007, Perceraian Meningkat, para 4). Di wilayah Jawa Timur, jumlah pasangan yang bercerai mencapai angka 40.391 pada tahun 2003, tahun 2004 meningkat menjadi 42.769 kasus, dan tahun 2005 mencapai 55.509 kasus perceraian (Setiawam, 2007, Setiap Tahun Dua Ratus Ribu Pasangan Bercerai, para 1).

3 Perceraian seringkali berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat, terutama pada anak dari orangtua yang bercerai tersebut. Pada umumnya orangtua yang bercerai akan lebih siap menghadapi perceraian dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut dikarenakan sebelum pasangan tersebut bercerai, mereka telah mempertimbangkannya, sehingga sudah terbentuk suatu persiapan mental dan fisik. Tidak demikian halnya dengan anak mereka yang secara tiba-tiba harus menerima keputusan yang telah dibuat oleh orangtua, tanpa ada bayangan bahwa hidup mereka akan berubah. Penelitian yang dilakukan oleh Wallerstein & Blakeslee (dalam Djiwandono, 2005: 126) mengungkapkan bahwa hampir 50% dari orangtua yang bercerai, menunggu sampai mereka berpisah, baru kemudian menceritakan pada anak-anak mereka tentang perceraian tersebut. Hal-hal yang dapat dirasakan oleh remaja ketika orangtuanya bercerai adalah rasa tidak aman, tidak diinginkan atau ditolak oleh orangtuanya, marah, merasa kehilangan, sedih dan kesepian. Perasaanperasaan tersebut biasanya tercermin dalam bentuk perilaku seperti suka mengamuk, menjadi kasar dan tindakan agresif lainnya, menjadi pendiam, tidak lagi ceria, tidak suka bergaul, sulit berkonsentrasi, dan tidak berminat pada tugas sekolah sehingga prestasi di sekolah cenderung menurun, suka melamun, terutama mengkhayalkan orangtuanya akan bersatu lagi (Nadeak, 1993: 69). Selain itu, remaja juga mengalami kesulitan untuk percaya kepada orang lain karena mereka merasa telah dikhianati oleh orangtuanya (Djiwandono, 2005: 127). Banyak remaja yang tidak bisa menerima perceraian orangtua mereka bahkan setelah 5 atau 10 tahun kemudian (Djiwandono, 2005: 131).

4 Remaja yang mengalami perpisahan dengan orangtuanya akibat dari perceraian juga dapat mengalami stres. Menurut Holmes dan Rahe, perceraian merupakan penyebab stres kedua paling tinggi (dalam Tasmin, 2002, Perceraian dan Kesiapan Mental Anak, para 2). Stres merupakan respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres yang bersifat mengancam dan mengganggu sehingga diperlukan kemampuan seseorang untuk menanganinya (Santrock, 2003: 557). Remaja yang orangtuanya bercerai menampakkan beberapa gejala stres seperti insomnia (sulit tidur) serta kehilangan nafsu makan. Beberapa penelitian mengungkapkan dampak lain dari perceraian, diantaranya adalah banyak kehilangan perasaan kasih sayang, menunjukkan gejala-gejala depresi dan sering terlibat dalam pelanggaran aktivitas sosialnya. Dampak perceraian tidak hanya pada masa kanak-kanak saja namun terbawa sampai mereka beranjak remaja bahkan dewasa (Widyarini, 2005, Derita Anak Korban Perceraian, Sampai Dua Tahun, para 3). Masa remaja merupakan periode yang dipandang sebagai masa yang penuh dengan badai dan tekanan. Pada tahap perkembangan ini, ketegangan emosi remaja meningkat. Hal ini dikarenakan remaja sedang menghadapi tekanan sosial dan situasi serta kondisi yang baru (Hurlock, 1997: 212). Seperti banyak anggapan yang ada, masa remaja merupakan saat-saat yang dipenuhi dengan berbagai macam perubahan, terkadang tampil sebagai masa yang tersulit dalam kehidupan seseorang sebagai remaja sebelum ia memasuki dunia kedewasaan. Untuk menguasai tugas-tugas perkembangan masa remaja memerlukan perubahan-perubahan yang besar dalam sikap dan pola perilaku mereka, namun banyak remaja yang telah mencapai usia

5 kematangan tetapi dengan beberapa tugas perkembangan yang belum selesai dikuasai, sehingga mereka membawa banyak tugas yang belum terselesaikan pada masa remaja ke masa dewasa (Hurlock, 1997: 209). Makin banyak tugas perkembangan yang belum terselesaikan pada masa remaja yang kemudian dibawa remaja memasuki tahap perkembangan dewasa, makin sulit proses penyesuaian diri pada masa dewasa tersebut (Hurlock, 1997: 269). Pada saat remaja berada dalam situasi yang berubah setelah perceraian orangtuanya, mau tidak mau mereka dituntut untuk mampu beradaptasi. Mereka berusaha menyesuaikan diri dalam situasi baru setelah orangtuanya bercerai melalui perilaku mereka. Oleh karena itu, sangat diperlukan suatu kemampuan untuk mengatasi permasalahan, atau strategi coping. Reaksi setiap orang berbeda dalam menghadapi stres, maka strategi coping yang dilakukan akan berbeda pada tiap individu. Hal ini tergantung dari bagaimana individu itu memandang permasalahan atau peristiwa yang sedang mereka hadapi dan dukungan yang mereka dapatkan. Remaja yang orangtuanya bercerai perlu bersusah payah untuk menyesuaikan diri dengan peristiwa tersebut dan menenangkan perasaannya. Mereka memerlukan dukungan dan bantuan dalam banyak keputusan praktis, bahkan keputusan dalam pekerjaan dan pilihan yang paling sederhana sekalipun. Dalam kebingungan sesudah peristiwaperistiwa sedih itu semua terasa ruwet dan bertumpuk-tumpuk (Tanner, 1988: 158). Strategi coping meliputi bagaimana individu memperlakukan suatu keadaan yang menjadi beban, mengerahkan segala upaya untuk

6 mengatasi masalah dan mencoba untuk menguasai dan mengurangi stres (Halonen & Santrock, 1999:506). Jenis strategi coping yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah yaitu problem-focused coping (PFC) dan emotional-focused coping (EFC). Menurut Lasmono (2003: 331), problem-focused coping yaitu respon yang berusaha memodifikasi sumber stres dengan menghadapi situasi yang sebenarnya. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah. Sedangkan emotional-focused coping adalah respon yang mengendalikan penyebab stres yang berhubungan dengan emosi dan usaha memelihara keseimbangan yang efektif. Apabila individu tidak mampu mengubah kondisi yang penuh stres, maka individu akan cenderung untuk mengatur emosinya (Taylor, 2006: 195). Berdasarkan data yang didapat peneliti, apabila individu menganggap perceraian orangtuanya sebagai suatu beban dan tidak dapat melakukan coping dengan baik maka akan menyebabkan tingkah lakunya semakin buruk seperti mengalami drop out dari sekolah, hamil pada usia remaja, penggunaan obat-obatan terlarang dan bermasalah dengan hukum, bahkan dapat mengalami depresi dan frustasi. Hal tersebut dapat memicu individu untuk melakukan tindakan bunuh diri pada akhirnya (NN, Tekanan Publik Picu Bunuh Diri Kelas Menengah, 2003, para 7). Hal tersebut didukung oleh NN (Mengapa Remaja Bunuh Diri, 2004, para 2) yang menyatakan bahwa bunuh diri pada remaja merupakan barometer adanya suatu ketidakmampuan remaja dalam mengatasi masalah yang mereka hadapi, atau dengan kata lain kurang tepatnya mekanisme coping dalam mengatasi stres.

7 Dengan melihat fenomena tersebut, maka penelitian ini penting dilakukan. Penelitian ini bermaksud untuk mengeksplorasi bagaimana strategi coping yang dilakukan oleh remaja yang orangtuanya bercerai tersebut. Dukungan sosial dan pandangan positif merupakan faktor penting yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan coping. Pada remaja yang orangtuanya bercerai, mereka akan cenderung kehilangan dukungan sosial yang berasal dari orangtua. Hal tersebut dapat mengakibatkan remaja mengalami kesulitan dalam melakukan coping. Oleh karena peneliti tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai strategi coping yang dilakukan remaja beserta dampak atau pengaruhnya dalam mempersiapkan diri memasuki tahap perkembangan yang selanjutnya yaitu tahap perkembangan dewasa awal, sehingga mereka dapat tetap survive untuk menjalankan tugas-tugas perkembangan mereka pasca perceraian orangtuanya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Emery & Billings (2000: 682-683) menunjukkan bahwa sebagian besar remaja dari keluarga bercerai mengalami stres terbesar yang berkaitan dengan tempat tinggal, frekuensi kontak dengan ayah dan konflik antar orangtua. Namun penelitian ini hanya membahas stres yang dialami remaja saja, dan tidak meneliti bagaimana cara remaja tersebut melakukan usaha-usaha untuk menghilangkan stres (strategi coping). Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Lonczak, dkk (2007) yaitu Family structure and substance use among American Indian youth: a preliminary study. menjelaskan bahwa anak yang tinggal dengan ibu saja sebagai single mother akan lebih besar kemungkinannya menjadi pengguna tembakau dan marijuana, sedangkan anak yang tinggal dengan kedua orangtua kandungnya akan lebih dapat menghindari penggunaan zat. Hal ini

8 disebabkan sanksi dan modeling dari orangtua menjadi hal penting yang dapat menurunkan intensitas penggunaan tembakau pada remaja. Oleh karena itu, orangtua memiliki peran penting sebagai model untuk membentuk perilaku yang sehat. Jadi, status tempat tinggal anak akan memberikan pengaruh yang dapat menyebabkan munculnya masalah penggunaan zat, masalah kejiwaan dan juga masalah perilaku. Penelitian berikutnya dilakukan Hapsari, Karyani dan Taufik (2002: 131) mengenai bentuk-bentuk perilaku coping pada pengungsi di Madura, menyatakan bahwa usia, jenis kelamin dan kesehatan mental merupakan faktor yang mempengaruhi bentuk strategi coping yang dilakukan. Individu dengan usia dewasa cenderung menggunakan emotional-focused coping dibandingkan dengan yang berusia lebih muda. Hal ini dikarenakan individu dengan usia dewasa beranggapan bahwa ia tidak dapat melakukan perubahan terhadap masalahnya sehingga mereka bereaksi dengan mengatur emosinya daripada pemecahan masalah. Selain itu, perempuan akan menghadapi masalahnya dengan menyalurkan emosinya daripada laki-laki. Buruknya kesehatan mental yang dialami pengungsi menyebabkan pengungsi memiliki strategi coping yang kurang efektif sehingga mereka lebih menyalurkan emosinya daripada pemecahan masalahnya. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Indirawati (2006: 85) menyatakan bahwa pengaruh kematangan beragama terhadap kecenderungan strategi coping menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki kematangan beragama yang tinggi, maka akan cenderung melakukan problem focused coping (PFC) saat ia sedang mengalami masalah. Demikian juga sebaliknya, seseorang yang memiliki kematangan

9 beragama yang relatif rendah, maka akan cenderung menggunakan emotional focused coping (EFC) dalam menyelesaikan masalahnya. Penelitian di atas lebih banyak membahas mengenai dampak dari perceraian orangtua. Penelitian-penelitian terdahulu yang diuraikan sebelumnya belum mengkaji lebih jauh tentang gambaran strategi coping, khususnya pada remaja yang orangtuanya bercerai. Gambaran strategi coping ini penting untuk dipahami sehingga para remaja yang orangtuanya bercerai dapat didampingi secara tepat dalam mempersiapkan diri untuk memasuki tahap usia dewasa. 1.2 Fokus Penelitian Fokus pada penelitian ini yaitu menggunakan subjek remaja yang berada pada tahap akhir (usia 18-22 tahun). Alasan memilih remaja sebagai subjek penelitian dikarenakan remaja lebih cenderung mengingat konflik dan stres yang mengitari perceraian itu dibandingkan pada saat mereka mengalaminya dalam tahap perkembangan anak. Selain itu remaja juga masih dapat mengingat konflik perceraian orangtuanya hingga 10 tahun mendatang (Santrock, 2002) Selanjutnya, penelitian juga difokuskan pada lamanya perceraian yang terjadi pada orangtua subjek tidak lebih dari 1 tahun. Pemilihan waktu 1 tahun ini dikarenakan dalam jangka waktu tersebut subjek masih dalam tahap menyesuaikan diri terhadap perubahan situasi yang terjadi diakibatkan dari perceraian orangtuanya. Dengan demikian diharapkan peneliti dapat memperoleh gambaran mengenai strategi coping yang lebih mendalam pada subjek.

10 Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana strategi coping yang dilakukan oleh remaja yang orangtuanya bercerai? 2. Apa dampak dari strategi coping yang telah dilakukan subjek? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan pemahaman mengenai strategi coping yang dilakukan oleh remaja yang orangtuanya bercerai dan dampak yang dirasakan setelah melakukan coping tersebut. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat, baik secara teoritis dan manfaat secara praktis, yaitu : 1. Manfaat teoritis : 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan mengenai strategi coping yang dilakukan remaja yang orangtuanya bercerai. 2. Sebagai sumber acuan bagi penelitian selanjutnya. 2. Manfaat praktis : 1. Bagi Informan. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi informan mengenai strategi coping yang telah dilakukannya dan bagaimana dampak dari strategi coping tersebut untuk

11 mempersiapkan diri memasuki tahap perkembangan dewasa awal. 2. Bagi Orangtua Informan Dari hasil penelitian ini diharapkan orangtua mendapatkan informasi tentang strategi coping yang dilakukan oleh remaja yang orangtuanya bercerai serta dampak dari strategi coping tersebut untuk mempersiapkan remaja memasuki tahap perkembangan dewasa awal.