BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dan tempat pelayanan kesehatan (DepKes RI, 2002). paling tepat dan murah (Triyanto & Sanusi, 2003).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ANALISIS IKLAN OBAT BEBAS DAN OBAT BEBAS TERBATAS PADA ENAM MEDIA CETAK YANG BEREDAR DI KOTA SURAKARTA PERIODE BULAN FEBRUARI-APRIL 2009

PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT SOSIALISASI MENGENAL OBAT AGAR TAK SALAH OBAT PADA IBU-IBU PENGAJIAN AISYIYAH PATUKAN AMBARKETAWANG GAMPING

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Daenaa Kecamatan Limboto Barat

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan suatu indikator yang menggambarkan tingkat

ANALISIS KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP PELAYANAN OBAT DI APOTEK KELURAHAN WONOKARTO KABUPATEN WONOGIRI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Istilah pengobatan sendiri, meskipun belum terlalu populer, namun

PENGARUH METODE CBIA (CARA BELAJAR IBU AKTIF) TERHADAP PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN PADA SWAMEDIKASI DI KOTA JAMBI

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SWAMEDIKASI PADA PENGUNJUNG APOTEK DI APOTEK MARGI SEHAT TULUNG KECAMATAN TULUNG KABUPATEN KLATEN

BAB I PENDAHULUAN. Sakit (illness) berbeda dengan penyakit (disease). Sakit berkaitan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan kegiatan pemilihan dan

Gambaran Pengetahuan Klien tentang Swamedikasi di Apotek- Apotek Pekanbaru

Tingkat Pengetahuan Masyarakat Di Desa Talungen Kabupaten Bone Tentang Swamedikasi

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. promosi / iklan obat melalui media massa dan tingginya biaya pelayanan kesehatan,

BAB I PENDAHULUAN. Self Medication menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan

BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. 4.1 Studi Pendahuluan dan Penentuan Jumlah Sampel Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Lampiran 1. Daftar Tilik Mutu Pelayanan Kefarmasian DAFTAR TILIK

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

Perpustakaan Unika LAMPIRAN- LAMPIRAN

2. Bagi Apotek Kabupaten Cilacap Dapat dijadikan sebagai bahan masukan sehingga meningkatkan kualitas dalam melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek

Karateristik Masyarakat Yang Melakukan Swamedikasi Di Beberapa Toko Obat Di Kota Makassar. Program Studi Diploma III Farmasi Yamasi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. pekerjaan. Dari hasil penelitian yang dilakukan maka diperoleh hasil sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai obat generik menjadi faktor utama

Jurnal Kefarmasian Indonesia. Vol : 20-27

BAB VI PENUTUP. korelasi sebesar 72,2%, variabel Pelayanan informasi obat yang. mendapat skor bobot korelasi sebesar 74,1%.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat yang setinggi tingginya (Depkes, 2009). Adanya kemajuan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pengobatan sendiri (swamedikasi) merupakan bagian dari upaya

PROF. DR. SRI SURYAWATI, APT. Gurubesar Farmakologi dan Terapi - Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Lampiran 1.Penilaian yang dirasakan dan harapan pada variabel-variabel yang mempengaruhi tingkat kepuasan pasien

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengobatan sendiri (swamedikasi) merupakan upaya yang paling banyak dilakukan masyarakat untuk mengatasi keluhan

OTC (OVER THE COUNTER DRUGS)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. Kesehatan merupakan hal yang penting di dalam kehidupan. Seseorang. yang merasa sakit akan melakukan upaya demi memperoleh kesehatannya

BAB I PENDAHULUAN. suksesnya sistem kesehatan adalah pelaksanaan pelayanan kefarmasian (Hermawati, kepada pasien yang membutuhkan (Menkes RI, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan dan pengobatan penyakit (Depkes RI, 2009). yang tidak rasional bisa disebabkan beberapa kriteria sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. Obat merupakan unsur yang sangat penting dalam upaya penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Apoteker merupakan profesi kesehatan terbesar ketiga di dunia, farmasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN SWAMEDIKASI. Dra. Liza Pristianty,MSi,MM,Apt Fakultas Farmasi Universitas Airlangga PC IAI Surabaya

mengadakan dan mengatur upaya pelayanan kesehatan (Depkes RI, 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Gerakan Nasional Peduli Obat dan Pangan Aman (GNPOPA) Edukasi terkait OBAT pada Remaja dan Dewasa

Pemberdayaan Kader PKK dalam Penerapan DAGUSIBU (Dapatkan, Gunakan, Simpan, dan Buang) Obat dengan Baik dan Benar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa:

BAB I LATAR BELAKANG. suatu usaha dalam pemilihan dan penggunaan obat obatan oleh individu UKDW

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,

PEDOMAN PELAYANAN TENTANG PENYIAPAN DAN PENYALURAN OBAT DAN PRODUK STERIL DI RUMAH SAKIT ISLAM NAMIRA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pemahaman tentang perilaku konsumen dapat memberikan penjelasan

UPAYA PENINGKATAN PENGETAHUAN WARGA DALAM MEMILIH OBAT BEBAS UTUK PENGONATAN SENDIRI MELALUI PEMBERIAN INFORMASI LISAN

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

SURAT KEPUTUSAN PENGURUS PUSAT IKATAN APOTEKER INDONESIA Nomor : PO. 002/ PP.IAI/1418/VII/2014. Tentang

1.1. Keterlaksanaan standar pelayanan kefarmasian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. produktif secara sosial dan ekonomi. Masyarakat berperan serta, baik secara

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang. benda asing eksternal seperti debu dan benda asing internal seperti dahak.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Upaya dari seseorang untuk mengobati dirinya sendiri dapat diartikan

TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN DAN RASIONALITAS SWAMEDIKASI DI APOTEK KOTA PANYABUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN STATUS EKONOMI TERHADAP RASIONALITAS PENGGUNAAN OBAT SWAMEDIKASI PADA PENGUNJUNG DI APOTEK X KOTA PANGKALPINANG

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT

Kebijakan Obat Nasional, Daftar Obat Esensial Nasional, Perundangan Obat. Tri Widyawati_Wakidi

Penggolongan sederhana dapat diketahui dari definisi yang lengkap di atas yaitu obat untuk manusia dan obat untuk hewan. Selain itu ada beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KERANGKA ACUAN PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS CILEDUG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI

BAB III METODE PENELITIAN

Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian RSUD Bangka Selatan

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Demografi Responden. Distribusi responden berdasarkan umur seperti pada tabel 3.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penduduk serta penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik dan standar

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengobatan Sendiri 1. Definisi dan Peran Pengobatan sendiri atau swamedikasi yaitu mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obat yang dibeli bebas di apotik atau toko obat atas inisiatip sendiri tanpa nasehat dokter (Tan, H, T, Kirana, R., 1993). Menurut Sukasediati (1992), pengobatan sendiri merupakan upaya yang dilakukan oleh orang awam untuk mengatasi penyakit atau gejalanya yang dialami sendiri atau oleh orang sekitarnya, dengan pengetahuan dan persepsinya sendiri, tanpa bantuan atau suruhan seseorang yang ahli dalam bidang medik atau obat. Upaya pengobatan sendiri ini dapat berupa pengobatan dengan obat modern atau obat tradisional. Tujuan pengobatan sendiri adalah untuk peningkatan kesehatan, pengobatan sakit ringan, dan pengobatan rutin penyakit kronis setelah perawatan dokter. Sementara itu, peran pengobatan sendiri adalah untuk menanggulangi secara cepat dan efektif keluhan yang tidak memerlukan konsultasi medis, mengurangi beban pelayanan kesehatan pada keterbatasan sumber daya dan tenaga, serta meningkatkan keterjangkauan masyarakat yang jauh dari pelayanan kesehatan (WHO, 1998 dalam Supardi, 2005). 2. Keuntungan dan Kekurangan Pengobatan Sendiri Keuntungan pengobatan sendiri menurut Tan, H, T, dan Kirana, R (1993), adalah obat untuk gangguan sehari-hari seringkali memang sudah tersedia dirumah. Selain itu bagi orang yang tinggal di desa terpencil, dimana belum ada praktek dokter, pengobatan sendiri akan menghemat banyak waktu dan biaya yang diperlukan untuk pergi ke kota mengunjungi seorang dokter. Menurut Holt (1986) dalam Supardi (2005), keuntungan pengobatan sendiri antara lain aman bila digunakan sesuai dengan petunjuk (efek samping dapat diperkirakan), efektif untuk menghilangkan keluhan karena 80% sakit bersifat self-limiting, yaitu sembuh sendiri tanpa intervensi tenaga kesehatan, hemat waktu karena tidak perlu mengunjungi fasilitas / 5 profesi kesehatan, biaya pembelian obat relatif lebih murah daripada biaya pelayanan

kesehatan, menghindari rasa malu dan stress apabila harus menampakkan bagian tubuh tertentu dihadapan tenaga kesehatan, dan membantu pemerintah untuk mengatasi keterbatasan jumlah tenaga kesehatan pada masyarakat. Kekurangan pengobatan sendiri yaitu obat dapat membahayakan kesehatan apabila tidak digunakan sesuai dengan aturan, penggunaan obat bisa salah karena informasi dari iklan obat kurang lengkap, pemborosan waktu dan biaya apabila salah menggunakan obat, dapat timbul reaksi obat yang tidak diinginkan, seperti sensitivitas, alergi, efek samping atau resistensi. Selain itu juga bisa tidak efektif karena salah diagnosis dan pemilihan obat, serta sulit bertindak objektif karena biasanya pemilihan obat dipengaruhi oleh pengalaman di masa lalu dan lingkungan sosialnya. 3. Obat yang Digunakan dalam Pengobatan Sendiri Obat yang boleh digunakan dalam pengobatan sendiri adalah golongan obat bebas dan obat bebas terbatas. Semua obat yang termasuk golongan obat bebas dan obat bebas terbatas wajib mencantumkan brosur atau keterangan yang berisi tentang kandungan zat berkhasiat, indikasi, dosis, cara penggunaan, dan pernyataan lain yang diperlukan pada kemasannya. Pengobatan sendiri yang sesuai aturan adalah cara penggunaan obat yang sesuai dengan keterangan pada kemasan obatnya. Pengobatan sendiri yang tidak sesuai aturan selain dapat membahayakan kesehatan, juga pemborosan waktu dan biaya karena harus melanjutkan upaya pencarian pengobatan (Depkes, 1983 dalam Supardi, 1999). a. Obat Bebas Obat bebas adalah obat yang boleh digunakan tanpa resep dokter. Obat ini biasa menjadi pilihan saat ada kebutuhan untuk melakukan pengobatan sendiri. Pada wadah obat terdapat tanda khusus obat bebas, berupa lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Obat bebas dapat dijual secara bebas diwarung kelontong, toko obat berizin serta apotek. Obat bebas juga dapat dibeli oleh penderita dalam jumlah yang sangat sedikit. Pemakaian obat bebas tidak memerlukan pengawasan dari tenaga medis selama diminum sesuai petunjuk yang tertera pada kemasan obat karena jenis zat aktif pada obat golongan ini relatif aman. Jadi pada saat pembelian obat golongan ini lebih baik dibeli bersama kemasannya (Puspitasari, 2010). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan obat bebas adalah:

Apakah obatnya masih baik atau tidak? Lihat tanggal kadaluarsa obatnya Bacalah dengan baik keterangan tentang obat tadi pada brosurnya Lihat indikasi penggunaan, yang merupakan petunjuk kegunaan obat untuk penyakit. Perhatikan dengan baik dosis yang digunakan, untuk dewasa atau anak-anak. Lihat pula dengan baik komposisi zat berkhasiat dalam kemasan obat. Perhatikan peringatan-peringatan khusus dalam pemakaian obat. Perhatikan pula tentang kontra indikasi dan efek samping obat. (Depkes RI, 2006) b. Obat Bebas Terbatas Disebut daftar W, obat golongan ini masih termasuk obat keras tapi dapat dibeli tanpa resep dokter, sehingga penyerahannya pada pasien hanya boleh dilakukan oleh Asisten Apoteker penanggung jawab. Obat bebas terbatas ditandai dengan lingkaran berwarna biru dengan garis tepi lingkaran berwarna hitam (DitJen POM, 2008). Pada wadah obat terdapat tanda khusus obat bebas terbatas. Terdapat pula tanda peringatan P dalam labelnya. Kenapa disebut terbatas karena ada batasan jumlah dan kadar isinya. Label P ada beberapa macam yaitu: 1. P.No. 1: Awas! Obat Keras. Bacalah aturan pemakaiannya. 2. P.No. 2: Awas! Obat Keras. Hanya untuk kumur jangan ditelan 3. P.No. 3: Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar badan. 4. P.No. 4: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dibakar 5. P.No. 5: Awas! Obat Keras. Tidak boleh ditelan 6. P.No. 6: Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan Seharusnya obat golongan ini hanya dapat dijual bebas ditoko obat berizin karena dipegang seorang Asisten Apoteker (AA) serta apotek yang hanya boleh beroperasi bila ada Apoteker Pengelola Apotek (APA) karena diharapkan pasien memperoleh informasi obat yang memadai saat membeli obat bebas terbatas (OBT) (Depkes RI, 2008). 4. Masalah Penggunaan Obat dalam Pengobatan Sendiri Untuk melakukan pengobatan sendiri secara benar, masyarakat harus mampu:

1. Mengetahui jenis obat yang diperlukan untuk mengatasi penyakitnya. 2. Mengetahui kegunaan dari tiap obat, sehingga dapat mengevaluasi sendiri perkembangan sakitnya. 3. Menggunakan obat tersebut secara benar (cara, aturan, lama pemakaian) dan tahu batas kapan mereka harus menghentikan self medication dan segera minta pertolongan petugas kesehatan. 4. Mengetahui efek samping obat yang digunakan sehingga dapat memperkirakan apakah suatu keluhan yang timbul kemudian itu suatu penyakit baru atau efek samping obat. 5. Mengetahui siapa yang tidak boleh menggunakan obat tersebut (Depkes-RI, 2008). Masalah dalam penggunaan obat pada pengobatan sendiri antara lain meliputi penggunaan obat yang tidak tepat, tidak efektif, tidak aman, dan juga tidak ekonomis (Depkes-RI, 2000). Masalah tersebut biasanya dikenal dengan istilah penggunaan obat yang tidak rasional. Pengobatan dikatakan tidak rasional jika : o Pemilihan obat tidak tepat, maksudnya obat yang dipilih bukan obat yang terbukti paling bermanfaat, paling aman, paling sesuai dan paling ekonomis. o Penggunaan obat yang tidak tepat, yaitu tidak tepat dosis, cara pemberian obat, dan frekuensi pemberian. o Pemberian obat tidak disertai dengan penjelasan yang sesuai, kepada pasien atau keluarga. o Pengaruh pemberian obat, baik yang diinginkan atau tidak diinginkan tidak diperkirakan sebelumnya dan tidak dilakukan pemantauan secara langsung atau tidak langsung (Depkes-RI, 2000) Penggunaan obat dikatakan tidak tepat jika resiko yang mungkin terjadi tidak seimbang dengan manfaat yang diperoleh dari tindakan pemberian suatu obat (Depkes RI, 2000). B. Metode Cara Belajar Ibu Aktif (CBIA) Metode Cara Belajar Ibu Aktif (CBIA) merupakan suatu kegiatan pemberdayaan masyarakat yang bisa digunakan untuk swamedikasi. Tujuan metode ini adalah untuk

meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam memilih obat bebas dan obat bebas terbatas (Suryawati, 2003). Metode ini merupakan metode tentang penyampaian informasi obat dengan melibatkan subjek secara aktif yaitu mendengar, melihat, menulis dan melakukan evaluasi tentang pengenalan jenis obat dan bahan aktif yang dikandung serta informasi lain, seperti indikasi, kontra indikasi, dan efek samping (Suryawati, 2005). Metode ini digunakan sebagai pembelajaran untuk para ibu rumah tangga agar lebih aktif dalam mencari informasi seputar obat yang digunakan oleh keluarga. Informasi tersebut berguna bagi para ibu antara lain agar mampu menyikapi promosi iklan obat di pasaran dan mengelola obat di rumah tangga secara benar (Depkes-RI, 2008). Metode CBIA ini telah teruji lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan pengobatan sendiri. Berdasarkan penelitian Suryawati (2003), peningkatan pengetahuan pengobatan sendiri dengan metode CBIA lebih besar dan signifikan dibandingkan dengan menghadiri seminar besar. Selain itu, jumlah merk obat yang digunakan dalam rumah tangga berkurang drastis setelah mengikuti edukasi pengobatan sendiri dengan metode CBIA. Dalam metode CBIA, kegiatan ini dilakukan dengan cara melakukan diskusi interaktif dan dibagi dalam kelompok kecil kurang lebih 6 8 orang. Nara sumber atau tutor bisa berasal dari seorang apoteker, dokter, atau mahasiswa farmasi dan kedokteran, serta tenaga medis yang mengerti tentang obat. Setiap peserta diminta untuk membawa obatobatan yang ada di rumah atau dapat juga dibagikan satu set obat-obatan. Kemudian peserta diminta untuk mengamati dan mengumpulkan seluruh informasi obat yang diperlukan dalam pengobatan sendiri yang sesuai yaitu bahan aktif, indikasi, dosis, efek samping dan kontraindikasi yang tertera pada etiket obat dan mendiskusikannya (Suryawati, 2003). Dari uji coba metode yang telah dilaksanakan tersebut, diharapkan peserta yang mengikuti pelatihan tersebut dapat : 1. Mengerti bahwa informasi obat secara cepat dapat diperoleh dari kemasan. 2. Mengenali bahwa berbagai nama dagang obat sebenarnya mempunyai kandungan bahan aktif yang sama atau hampir sama yang lebih utama oleh masyarakat dapat mengerti mana kandungan bahan aktif dan kandungan tambahan. 3. Mampu mencari informasi mengenai kandungan bahan aktif, indikasi, cara pemakaian, efek samping, kontraindikasi dari obat. 4. Mampu menelaah secara sederhana informasi obat (Suryawati, 2005).

Sasaran dari metode CBIA adalah untuk para ibu rumah tangga karena dari banyak survei diketahui bahwa ibu Rumah Tangga adalah key person dalam penggunaan obat di rumah tangga (DepKes RI, 2008). Ibu rumah tangga juga mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pelindung rumah tangga dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya (Nasrul, 1998). Metode lain yang sering digunakan dalam penyuluhan kesehatan adalah metode ceramah. Metode Ceramah merupakan suatu cara dalam menerangkan dan menjelaskan suatu ide, pengertian atau pesan secara lisan kepada sekelompok sasaran sehingga memperoleh informasi tentang kesehatan. Metode ini paling banyak digunakan karena dinilai paling efektif dan lebih dapat mengenai sasaran. Ceramah sebaiknya dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu lama, cukup 30 menit. 10 menit pertama untuk memberi penjelasan singkat tetapi jelas. 20 menit berikutnya untuk tanya jawab. Metode ceramah sebaiknya disertai dengan media seperti leaflet atau slide agar informasi yang didapat responden lebih jelas (Notoatmodjo, 2003). C. Profil Kabupaten Banyumas Kabupaten Banyumas merupakan salah satu bagian wilayah propinsi Jawa Tengah. Dalam administrasi pemerintahan Kabupaten Banyumas terbagi dalam 27 Kecamatan dengan jumlah desa/kelurahan 329 desa/kelurahan. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Kabupaten Banyumas adalah 1.553.902 orang, yang terdiri dari 777.568 laki-laki dan 776.334 perempuan, dan jumlah rumah tangga sebanyak 420.891. Luas wilayah Kabupaten Banyumas sekitar 1.328 kilometer persegi yang didiami oleh 1.553.902 orang. Rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Banyumas adalah sebanyak 1.170 orang per kilometer persegi. Secara topografis Kabupaten Banyumas lebih dari 45 % merupakan daerah dataran yang tersebar dibagian tengah dan selatan serta dari barat ke timur. Iklim di Kabupaten Banyumas termasuk tropis basah, suhu udara antara 24,4 0 C sampai dengan 30,9 0 C. Pada periode tahun 2000-2004, tingkat kesenjangan pendapatan penduduk Kabupaten Banyumas masih dikategorikan rendah (Anonim, 2005). Berdasarkan data BPS 2010, tingkat pendidikan terakhir masyarakat Kabupaten Banyumas yang paling dominan

adalah tamat SD atau sederajat yaitu sebanyak 691.574 orang dan pada posisi kedua adalah tamat SMP atau sederajat sebanyak 284.251 orang. Fasilitas kesehatan yang dimiliki oleh Kabupaten Banyumas yaitu terdiri dari 18 rumah sakit swasta, 4 rumah sakit pemerintah, 13 puskesmas rawat inap, dan 26 puskesmas pembantu (Anonim, 2011).