BAB 5 HASIL PENELITIAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan karakteristik..., Sarah Dessy Oktavia, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa dalam perkembangan hidup manusia. WHO

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perilaku kesehatan reproduksi remaja semakin memprihatinkan. Modernisasi,

Dewi Puspitaningrum 1), Siti Istiana 2)

BAB 1 : PENDAHULUAN. produktif. Apabila seseorang jatuh sakit, seseorang tersebut akan mengalami

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. melalui perubahan fisik dan psikologis, dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja-remaja di Indonesia yaitu dengan berkembang pesatnya teknologi internet

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada perkembangan zaman saat ini, perilaku berciuman ikut dalam

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Dalam masa ini remaja mengalami pubertas, yaitu suatu periode

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. (Soetjiningsih, 2004). Masa remaja merupakan suatu masa yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan

BAB I PENDAHULUAN. seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. depan. Keberhasilan penduduk pada kelompok umur dewasa sangat. tergantung pada masa remajanya (BKKBN, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. peka adalah permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kematangan seksual

BAB I PENDAHULUAN. yang belum menikah cenderung meningkat. Hal ini terbukti dari beberapa

SKRIPSI. Proposal skripsi. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S-1 Kesehatan Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku seksual khususnya kalangan remaja Indonesia sungguh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Media Informasi Cenderung Meningkatkan perilaku seks Pada Remaja SMP di Jakarta Selatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Masa remaja merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak

KUESIONER KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA PONDOK PESANTREN GEDONGAN KABUPATEN CIREBON

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun oleh : DYAH ANGGRAINI PUSPITASARI

BAB 1 PENDAHULUAN. sama yaitu mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai pertualangan dan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa. reproduksi sehingga mempengaruhi terjadinya perubahan perubahan

BAB 1: PENDAHULUAN. Perubahan-perubahan ini akan mempengaruhi perkembangan jiwa dan pertumbuhan tubuh.

BAB I PENDAHULUAN. mengalami transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa disertai dengan

Rina Indah Agustina ABSTRAK

SKRIPSI Diajukan UntukMemenuhi Salah Satu Persyaratan Meraih Derajat Sarjana S-1 Keperawatan. Oleh : ROBBI ARSYADANI J

PERAN TEMAN SEBAYA TERHADAP PERILAKU SEKSUAL PRA NIKAH PADA REMAJA DI SMA MUHAMMADIYAH 3 SURAKARTA

KARYA TULIS ILMIAH HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN SIKAP REMAJA TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terjadinya peningkatan minat dan motivasi terhadap seksualitas. Hal ini dapat

KUESIONER PENELITIAN FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa,

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, perubahan nilai dan kebanyakan remaja memiliki dua

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan seksual yang memuaskan dan aman bagi dirinya, juga mampu. berapa sering untuk memiliki keturunan (Kusmiran, 2012 : 94).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja dikatakan masa yang paling menyenangkan dan

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU SEKS PRANIKAH PADA SISWA KELAS XI SMK MUHAMMADIYAH 2 BANTUL YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI

BAB 1 PENDAHULUAN. jumlah remaja dan kaum muda berkembang sangat cepat. Antara tahun 1970 dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut Imran (1998) masa remaja diawali dengan masa pubertas,

Hubungan Peran Teman Sebaya Dengan Perilaku Seksual Remaja Di Smk Bina Patria 1 Sukoharjo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang mempengaruhi remaja melakukan hubungan seks pranikah

BAB I PENDAHULUAN. dari 33 menjadi 29 aborsi per wanita berusia tahun. Di Asia

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting

BAB 1 PENDAHULUAN. yang rata-rata masih usia sekolah telah melakukan hubungan seksual tanpa merasa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Riska Megayanti 1, Sukmawati 2*, Leli Susanti 3 Universitas Respati Yogyakarta *Penulis korespondensi

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB 1 PENDAHULUAN. yang bisa dikatan kecil. Fenomena ini bermula dari trend berpacaran yang telah

Dinamika Kebidanan vol. 2 no.2. Agustus 2012

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah-masalah pada remaja yang berhubungan dengan kesehatan

HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN SIKAP MENGENAI PERILAKU SEKSUAL REMAJA DI SMK KESEHATAN DONOHUDAN BOYOLALI TAHUN 2016

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau

BAB I PENDAHULUAN. Periode perkembangan manusia terdiri atas tiga yaitu masa anak-anak,

BAB I PENDAHULUAN. goncangan dan stres karena masalah yang dialami terlihat begitu

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA DI SMK BATIK 1 SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan salah satu fase krusial dalam

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif non-eksperimental yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DENGAN PERILAKU SEKS BEBAS REMAJA DI SMK FARMASI HARAPAN BERSAMA KOTA TEGAL

KUESIONER GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP REMAJA TENTANG PERILAKU SEKSUAL DI SMK PENCAWAN MEDAN TAHUN 2014

Lampiran 1 Kuesioner Gambaran Keterpaparan Pornografi dan Perilaku Seksual Siswa di SMA Al Azhar Medan Tahun 2010

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memiliki jumlah remaja sebesar 43,5 juta jiwa (usia 10-

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Di seluruh dunia, lebih dari 1,8 miliar. penduduknya berusia tahun dan 90% diantaranya

PENGALAMAN REMAJA DALAM MENERIMA PENDIDIKAN SEKS

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa

HUBUNGA SEKSUAL SKRIPSII. Diajukan Oleh: F HUBUNGA

BAB I PENDAHULUAN. untuk dibicarakan. Hal ini dimungkinkan karena permasalahan seksual telah

HUBUNGAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN PERILAKU SEKS PRANIKAH PADA SISWA KELAS XI DI SMA N COLOMADU

I. KARAKTERISTIK RESPONDEN 1. Nomor Responden : (diisi oleh peneliti) 2. Jenis Kelamin : 3. Usia :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Remaja adalah suatu fase tumbuh kembang yang dinamis dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai pengenalan akan hal-hal baru sebagai bekal untuk mengisi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Terjadinya kematangan seksual atau alat-alat reproduksi yang berkaitan dengan sistem

BAB I PENDAHULUAN. setiap individu yaitu merupakan periode transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa

BAB 1 PENDAHULUAN. Y, 2009). Pada dasarnya pendidikan seksual merupakan suatu informasi

BAB 1 PENDAHULUAN. dipungkiri kenyataan bahwa remaja sekarang sudah berperilaku seksual secara bebas.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja sejatinya adalah harapan semua bangsa, negara-negara yang

Dinamika Kebidanan vol. 2 no. 1. Januari 2012 STUDI DISKRIPTIF TENTANG GAYA PACARAN SISWA SMA KOTA SEMARANG. Asih Nurul Aini.

RINGKASAN EKSEKUTIF. Ringkasan Eksekutif-1

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN KEINTIMAN KELUARGA DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI D3 KEBIDANAN POLTEKKES BHAKTI MULIA

BAB I PENDAHULUAN. antara masa kanak-kanak dan dewasa. Menurut WHO (World Health

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara. dua orang yang berlainan jenis kelamin (Dariyo, 2004).

KUESIONER PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai adanya proses perubahan pada aspek fisik maupun psikologis

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh,

HUBUNGAN ANTARA PENALARAN MORAL DAN GAYA PACARAN DENGAN KECENDERUNGAN MEMBELI KONDOM PADA REMAJA SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. masa dewasa yang berkisar antara umur 12 tahun sampai 21 tahun. Seorang remaja, memiliki tugas perkembangan dan fase

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

Transkripsi:

BAB 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Tempat Penelitian Panti Sosial Asuhan Anak Putra Utama 5 Duren Sawit beralamatkan di Jalan Swadaya Raya No. 100 Rt.03 Rw. 05 Kec. Duren Sawit, Jakarta Timur. Tujuan pokok PSAA Putra Utama 5 Duren Sawit, yaitu menyelenggarakan pelayanan di bidang kesejahteraan sosial bagi anak jalanan yang meliputi pembinaan fisik dan kesehatan, mental, sosial, kepribadian, pendidikan pelatihan keterampilan dan kemandirian. Dasar hukum yang dianut ialah Perda No. 10 tahun 2008 tentang Perangkat Organisasi Daerah. Luas tanah PSAA ini adalah 7.025 m 2 dengan luas bangunan 2.462 m 2. Daya tampung 120 orang dan WBS saat ini (per Juni 2009) yakni 107 orang. Adapun jumlah WBS yang duduk di tingkat SD berjumlah 10 orang, tingkat SLTP 31 orang, SLTA 57 orang, sedangkan yang tidak sekolah 9 orang. Pegawai yang bertugas sebanyak 15 orang dengan golongan dan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Selain itu, terdapat 8 orang pramu yang terdiri dari: 3 orang perawat kebersihan PKMS, 1 orang satpam, 1 orang tukang masak, 1 orang tukang cuci, dan tukang kebun dan taman sejumlah 2 orang. Visi dari sebuah panti sosial, yaitu merentasnya WBS dalam kehidupan yang layak, normatif, dan manusiawi. Misi yang harus dicapai, sebagai berikut: 1. Menyelenggarakan perawatan/penampungan WBS dalam rangka perlindungan sosial 2. Menyelenggarakan pelayanan dan bantuan sosial dalam rangka memulihkan kemampuan, kemauan, kepercayaan, martabat, dan harga diri 3. Menyelenggarakan bimbingan keterampilan dalam rangka kemandirian 4. Menyelenggarakan penyaluran dan bina lanjut WBS 5. Menjalin keterpaduan dan kerja sama lintas sektor 34

6. Menggalang peran serta sosial masyarakat Dan tujuan pembinaan anak jalanan ialah agar anak tidak kembali ke jalan, menjadi insan yang mandiri sehingga jalanan bebas dari gangguan anjal, aman, tertib, bersih dan teratur. Sebagai panti sosial anak jalanan, PSAA Putra Utama 5 Duren Sawit memiliki fungsi, yakni sebagai lembaga pelayanan sosial anak jalanan, lembaga pembinaan pendidikan dan pelatihan, dan juga sebagai lembaga pengabdian dan pengembangan. Dengan kata lain, panti sosial berfungsi sebagai lembaga yang menyiapkan anak tumbuh kembang secara wajar dan siap mandiri. Dalam penanganan anak jalanan, PSAA Putra Utama 5 memiliki kebijakan yang Terpadu, Bertahap, Menyeluruh, dan Tuntas. Pada kebijakan yang berarah Terpadu melibatkan lintas sektor/antardaerah, keluarga/masyarakat, LSM/Orsos, dan pengusaha. Kebijakan yang berarah Bertahap berazaskan skala prioritas dan mengutamakan daerah protokol dan lokasi rentan/potensi anjal. Kebijakan Menyeluruh memiliki aspek kesejahteraan, pendidikan dan perlindungan anak, juga aspek keamanan dan ketertiban umum. Kebijakan Tuntas lebih ke arah konseptual, berlanjut, menangani hulu dan hilir, anak tidak kembai ke jalan, dan menjadikan anak untuk hidup mandiri. 5.2 Analisis Univariat Dalam tinjauan pustaka dan kerangka konsep telah diungkapkan bahwa data pertama kali akan dianalisis secara univariat, yakni untuk memberikan gambaran pada setiap variabel yang ada dalam penelitian ini. Analisis univariat akan memberikan gambaran distribusi perilaku seksual dan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual pada WBS (jenis kelamin, umur, pengetahuan, sikap, dan sumber informasi) di PSAA Putra Utama 5 Duren Sawit tahun 2009. 35

5.2.1 Gambaran Perilaku Seksual Tabel 5.1. Distribusi Responden Menurut Perilaku Seksual Pernah Pacaran pada WBS di PSAA Putra Utama 5 Duren Sawit Tahun 2009 Frekuensi Persen (%) Tidak Pacaran 15 20,8 Pacaran 57 79,2 TOTAL 72 100 Setelah dilakukan analisis data, diperoleh hasil bahwa 57 responden dari total 72 responden (79,2%) pernah berpacaran dan terdapat 2 responden (3,5%) yang pernah melakukan hubungan seksual. Di samping itu, didapatkan bahwa ada 15 orang (20%) pernah melakukan masturbasi/onani dengan 10 orang (13,9%) melakukannya sebanyak 1-3 kali sebulan dan sisanya melakukan masturbasi/onani lebih dari 3 kali sebulan. Tabel 5.2. Distribusi Responden Menurut Perilaku Seksual Berdasarkan Kegiatan yang Dilakukan Saat Pacaran pada WBS di PSAA Putra Utama 5 Duren Sawit Tahun 2009 Kegiatan Frekuensi Persen (%) Hanya mengobrol 54 75 Jalan-jalan 45 62,5 Nonton Film 25 34,7 Berpegangan tangan 43 59,7 Cium pipi 20 27,8 Berciuman bibir 12 16,7 Saling menyentuh bagian sensitif 2 2,8 Berhubungan seksual 2 2,8 Perilaku seksual responden dikategorikan menjadi perilaku berisiko dan tidak berisiko. Dikatakan perilaku berisiko jika responden pernah berpacaran dengan aktivitas seperti berciuman bibir, saling menyentuh bagian sensitif sampai melakukan hubungan seksual. Sebaliknya, dikatakan tidak beriko jika responden belum pernah berpacaran atau pernah berpacaran tapi dengan aktivitas 36

seperti hanya mengobrol, jalan-jalan, nonton film, berpegangan tangan, dan cium pipi. Hasil analisis data memperlihatkan responden dengan perilaku seksual berisiko berjumlah 12 orang (16,7%) dan yang tidak berisiko yaitu 60 orang (83,3%). Dua di antara responden yang berperilaku berisiko pernah melakukan hubungan seksual baik dengan pacar maupun dengan teman. Tabel 5.3. Distribusi Responden Menurut Kategori Perilaku Seksual pada WBS di PSAA Putra Utama 5 Duren Sawit Tahun 2009 Frekuensi Persen (%) Berisiko 12 16,7 Tidak berisiko 60 83,3 TOTAL 72 100 5.2.2 Gambaran Karakteristik Responden Tabel 5.4. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pada WBS di PSAA Putra Utama 5 Duren Sawit tahun 2009 Frekuensi Persen (%) Laki-laki 38 52,8 Perempuan 34 47,2 TOTAL 72 100 Pada tabel 5.1 dapat dilihat bahwa dari 72 orang yang menjadi responden, 38 orang (52,8%) berjenis kelamin laki-laki dan 34 orang (47,2%) perempuan. Tabel 5.5. Distribusi Responden Berdasarkan Umur Pada WBS di PSAA Putra Utama 5 Duren Sawit tahun 2009 Frekuensi Persen (%) Remaja awal 43 59,7 Remaja akhir 29 40,3 TOTAL 72 100 37

Selain jenis kelamin, karakteristik lain dari responden yaitu WBS berumur 12 sampai 19 tahun. Selanjutnya dilakukan dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan Hurlock (1990), yakni remaja awal berusia 12-16 tahun dan remaja akhir berusia 17-19 tahun. Frekuensi kelompok umur terbanyak adalah kelompok remaja awal, yakni 43 orang (59,7%) dan sisanya remaja akhir sejumlah 29 orang (40,3%). 5.2.3 Gambaran Faktor Predisposisi Seksualitas Tabel 5.6. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Seksualitas Pada WBS di PSAA Putra Utama 5 Duren Sawit tahun 2009 No Pengetahuan Frekuensi Persen (%) 1. Rendah (Skor < mean) 31 43,1 2. Tinggi (Skor mean) 41 56,9 TOTAL 72 100.0 Keterangan : nilai mean 25,24. Berdasarkan analisis pengetahuan mengenai seksualitas didapatkan hasil berikut: nilai mean sebesar 25,24, median 26,50, modus 26. Nilai minimum yang diperoleh yakni 3 dan nilai maksimum ialah 44, dari rentang nilai yang dapat diperoleh antara 0-50 dan terdistribusi secara normal. Responden berdasarkan pengetahuannya dikategorikan menjadi rendah dan tinggi dengan menggunakan nilai mean sebagai patokan. Berdasarkan definisi operasional, sikap dikategorikan menjadi dua, yakni sikap yang permisif dan sikap konservatif. Hasil analisis sikap didapatkan nilai mean 28,31, median 29,00, modus 29 dengan nilai minimum 18 dan nilai maksimum 35 dengan rentang nilai yang mungkin diperoleh yakni antara 9-36. Dari tabel 5.7 dapat dilihat bahwa responden berdasarkan sikap terhadap perilaku seksual remaja terdistribusi tidak normal. 38

Tabel 5.7. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap terhadap Perilaku Seksual pada WBS di PSAA Putra Utama 5 Duren Sawit tahun 2009 Sikap Frekuensi Persen (%) Permisif (Skor < median) 33 45,8 Konservatif (Skor median) 39 54,2 TOTAL 72 100.0 Keterangan: nilai median 29,00 Hasil analisis sikap responden terhadap perilaku seksual didapatkan 39 orang (54,2%) relatif lebih konservatif sedangkan 33 orang (45,8) relatif lebih permisif. 5.2.5. Gambaran Sumber Informasi Seksualitas Sumber informasi seksualitas yang diperoleh responden dikategorikan menjadi terpapar baik dan kurang terpapar. Sesuai dengan definisi operasional, sumber informasi dibagi menjadi dua, yakni dari media dan lingkungan sosial. Informasi yang didapat, yaitu seperti masalah pubertas, menstruasi/haid dan mimpi basah, pornografi, kehamilan, masturbasi/onani, pacaran, dan hubungan seksual. Tabel 5.8 menunjukkan bahwa semua media pernah memberikan kontribusi dalam memberikan informasi seksualitas bagi semua responden. Namun, dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa responden lebih banyak yang terpapar oleh koran (54,2%) dan melalui internet (52,8%), sedangkan yang paling sedikit ialah layanan konsultasi seks melalui telepon (11,1%). Dari hasil analisis (Tabel 5.9) didapatkan nilai mean untuk media ialah 3,94, median 4,00, dan modus 4. Berdasarkan pengukuran dengan jarak nilai median, maka responden yang termasuk dalam kategori terpapar baik oleh media sebanyak 40 orang (55,6%) dan yang kurang terpapar sebanyak 32 orang (44,2%). 39

Tabel 5.8. Distribusi Responden Berdasarkan Informasi Seksualitas dari Media pada WBS di PSAA Putra Utama 5 Duren Sawit Tahun 2009 Media Frekuensi Persen (%) Koran 39 54,2 Majalah dewasa 35 48,6 Majalah remaja 34 47,2 Buku 29 40,3 Internet 38 52,8 Film-film di bioskop 31 43,1 Blue film 18 25,0 Tayangan-tayangan di televisi 34 47,2 Layanan konsultasi seks melalui telepon 8 11,1 Radio 18 25,0 Tabel 5.9. Distribusi Responden Berdasarkan Keterpaparan Informasi Seksualitas Dari Media pada WBS di PSAA Putra Utama 5 Duren Sawit Tahun 2009 Keterpaparan Media Frekuensi Persen (%) Terpapar baik (Skor median) 40 55,6 Kurang terpapar (Skor < median) 32 44,4 TOTAL 72 100.0 Keterangan: nilai median 4,00 Tabel 5.10 menunjukkan bahwa informasi seksualitas selain dari media, lingkungan sosial juga bisa memberikan informasi seksualitas. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa proporsi responden terbanyak yakni berjumlah 66 orang (91,7%) dari teman sejenis dan yang paling sedikit ialah informasi yang diperoleh dari orang tua dengan jumlah responden 11 orang (15,3%). 40

Tabel 5.10. Distribusi Responden Berdasarkan Informasi Seksualitas Dari Lingkungan Sosial pada WBS di PSAA Putra utama 5 Duren Sawit Tahun 2009 Lingkungan Sosial Frekuensi Persen (%) Orang tua 11 15,3 Saudara 22 30,6 Teman sejenis 66 91,7 Teman lawan jenis 29 40,3 Teman setia/pacar 23 31,9 Guru 44 61,1 Tenaga kesehatan (dokter, petugas di puskesmas) 15 20,8 Hasil analisis didapatkan nilai mean untuk lingkungan sosial ialah 2,92, median 3,00, dan modus 3. Berdasarkan pengukuran dengan jarak nilai mean, maka responden yang termasuk dalam kategori terpapar baik oleh informasi dari lingkungan sosial sebanyak 47 orang (65,3%) dan yang kurang terpapar sebanyak 25 orang (34,7%). Tabel 5.11. Distribusi Responden Berdasarkan Keterpaparan Informasi Seksualitas dari Lingkungan Sosial Pada WBS di PSAA Putra Utama 5 Duren Sawit tahun 2009 Keterpaparan Media Frekuensi Persen (%) Terpapar baik 47 65,3 Kurang terpapar 25 34,7 TOTAL 72 100.0 Keterangan: nilai mean 2,92 5.3 Analisis Bivariat Analisis bivariat ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat kemaknaan hubungan antara variabel-variabel independen (jenis kelamin, umur, pengetahuan, sikap, dan sumber informasi) dengan variabel dependen (perilaku seksual remaja). 41

5.3.1. Hubungan Karakteristik Responden dengan Perilaku Seksual Tabel 5.12. Distribusi Responden Menurut Karakteristik Responden Dengan Perilaku Seksual pada WBS di PSAA Putra Utama 5 Duren Sawit Tahun 2009 Variabel Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Perilaku Seksual Berisiko Tidak berisiko n % n % 6 50 32 53,3 6 50 28 46,7 TOTAL 12 100 60 100 Umur Remaja akhir Remaja awal 8 66,7 21 35 4 33,3 39 65 TOTAL 12 100 60 100 OR (95% CI) 0,875 (0,253-3,024) 3,714 (1,000-13,797) P value 1,000 0,056 Hasil analisis hubungan antara karakteristik responden dengan perilaku seksual diperoleh bahwa antara laki-laki dan perempuan terdapat proporsi yang sama untuk berperilaku seksual bersiko, masing-masing 50%. Hasil uji statistik diperoleh nilai P=1,000 > 0,05. Ini berarti, jenis kelamin tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan perilaku seksual berisiko. (Tabel 5.12) Pada responden kelompok remaja awal terdapat 33,3% responden yang berperilaku seksual berisiko sedangkan pada remaja akhir terdapat 66,7% yang berperilaku seksual berisiko. Secara statistik, didapatkan nilai P=0,056 > 0,05 maka tidak ada hubungan kemaknaan antara umur dengan perilaku seksual berisiko. Jika dilihat dari nilai OR, remaja akhir berperluang 3,714 kali untuk memiliki perilaku seksual berisiko daripada tidak berisiko. (Tabel 5.12) 42

5.3.2. Hubungan Faktor Predisposisi dengan Perilaku Seksual Tabel 5.13. Distribusi Responden Menurut Faktor Predisposisi Responden Dengan Perilaku Seksual pada WBS di PSAA Putra Utama 5 Duren Sawit Tahun 2009 Variabel Pengetahuan Rendah Tinggi Perilaku Seksual Berisiko Tidak berisiko n % n % 4 33,3 27 45 8 66,7 33 55 TOTAL 12 100 60 100 Sikap Permisif 9 75 24 40 Konservatif 3 25 36 60 TOTAL 12 100 60 100 OR (95% CI) 0,611 (0,166-2,250) 4,500 (1,104-18,340) P value 0,670 0,057 Analisis terhadap variabel pengetahuan diperoleh hasil pengetahuan yang tinggi 66,7% berperilaku seksual berisiko sedangkan yang berpengetahuan rendah hanya 33,3%. Analisis uji statistik diperoleh P=0,670 > 0,05, yang artinya tidak terdapat hubungan kemaknaan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku seksual remaja. (Tabel 5.13) Secara statistik, sikap dan perilaku seksual tidak terdapat hubungan kemaknaan, dimana pada uji statistik diperoleh P= 0,057 > 0,05. Dari tabel 5.13 dapat kita lihat, terdapat 25% responden dengan sikap relatif konservatif dan 75% relatif permisif yang memiliki perilaku seksual berisiko. Jika dilihat dari nilai OR, responden dengan sikap permisif memiliki peluang 4,5 kali untuk berperilaku berisiko daripada tidak berisiko. 43

5.3.3. Hubungan Sumber Informasi dengan Perilaku Seksual Tabel 5.14. Distribusi Responden Menurut Sumber Informasi Seksualitas Dengan Perilaku Seksual pada WBS di PSAA Putra Utama 5 Duren Sawit Tahun 2009 Variabel Media Terpapar baik Kurang terpapar Perilaku Seksual Berisiko Tidak berisiko n % n % 9 75 31 51,7 3 25 29 48,3 TOTAL 12 100 60 100 Lingkungan sosial Terpapar baik Kurang terpapar 11 91,7 36 60 1 8,3 24 49 TOTAL 12 100 60 100 OR (95% CI) 2,806 (0,691-11,396) 7,333 (0,888-60,564) P value 0,243 0,047 Tabel 5.14 menunjukkan hubungan sumber informasi seksualitas dengan perilaku seksual pada WBS di PSAA Putra Utama 5 Duren Sawit tahun 2009. Responden dengan paparan media informasinya baik memiliki perilaku seksual berisiko sebanyak 75%. Pada responden dengan paparan media informasinya kurang baik terdapat 25% yang berperilaku seksual tidak berisiko. Uji statistik menunjukkan nilai P=0,243 > 0,05, artinya secara statistik terhadap hubungan kemaknaaan antara keterpaparan media dengan perilaku seksual berisiko. Hasil analisis hubungan antara keterpaparan informasi dari lingkungan sosial dengan perilaku seksual didapatkan hasil bahwa ada sebanyak 11 orang (91,7%) remaja yang terpapar baik dengan informasi dari lingkungan sosial yang berperilaku seksual berisiko. Sedangkan diantara WBS yang tidak terpapar baik, ada 1 orang (8,3%) yang berperilaku seksual berisiko. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,047 < 0,05 sehingga dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara keterpaparan informasi dari lingkungan sosial dengan perilaku seksual. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR=7,333, artinya WBS yang tidak terpapar informasi dari lingkungan sosial mempunyai peluang 7,33 kali untuk berperilaku seksual berisiko daripada tidak berisiko. 44

5.4 Rekapitulasi Analisis Bivariat Tabel 5.14. Rekapitulasi Analisis Bivariat Hubungan antara P value Pengambilan keputusan Jenis Kelamin dengan perilaku seksual 1,000 Tidak ada kemaknaan hubungan Umur dengan perilaku seksual 0,056 Tidak ada kemaknaan hubungan Pengetahuan dengan perilaku seksual 0,670 Tidak ada kemaknaan hubungan Sikap dengan perilaku seksual 0,057 Tidak ada kemaknaan hubungan Media dengan perilaku seksual 0,243 Tidak ada kemaknaan hubungan Lingkungan sosial dengan perilaku seksual 0,047 Ada kemaknaan hubungan Dari tabel di atas, dapat dikatakan bahwa berdasarkan nilai P terdapat hubungan yang bermakna antara lingkungan sosial dengan perilaku seksual (P = 0,047 < 0,05). 45

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Peneliti 6.1.1 Keterbatasan Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini menggunakan disain cross sectional yang mengamati variabel-variabel independen dan variabel dependen yang diteliti dalam satu waktu secara bersamaan. Penelitian ini hanya menghasilkan gambaran kemaknaan hubungan antar-variabel yang diteliti. Jadi, kelemahan dari rancangan ini, hasil penelitian tidak dapat menunjukkan hubungan sebab akibat variabelvariabel yang diteliti. 6.1.2 Keterbatasan Pengumpulan Data Pada penelitian ini, instrumen yang digunakan adalah kuesioner. Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan terkait dengan pengetahuan, sikap, dan perilaku seksual serta sumber informasi seksualitas. Instrumen disusun berdasarkan beberapa teori yang ada, buku panduan dari BBKN maupun Departemen Kesehatan, serta paduan beberapa kuesioner yang pernah dilakukan oleh berbagai penelitian. Kelemahan dari instrumen ini adalah desain kuesioner yang bagi responden masih baru sehingga perlu penjelasan yang lebih detail tentang cara pengisian jawaban. Walaupun sudah dijelaskan secara detail, tetap saja masih ada responden yang melakukan kesalahan saat menjawab pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan yang terkait masalah seksual memungkinkan responden tidak menjawab dengan jujur. Data yang diterima bisa saja bukan jawaban yang sebenarnya dari responden karena mungkin masih merasa malu untuk mengakui hal-hal tertentu. 46

Pada saat pengumpulan data, ada 20 responden yang tidak dapat hadir sehingga jumlah sampel berkurang. 6.2 Perilaku Seksual Remaja Hasil pengolahan data univariat penelitian ini, 76% responden dinyatakan pernah pacaran. Tertarik dengan lawan jenis merupakan hal yang wajar terjadi pada remaja. Perilaku seksual remaja timbul bersamaan dengan kematangan seksualnya. Timbulnya dorongan seksual, yang disebut juga nafsu birahi, menjadi tantangan bagi para remaja untuk tidak sampai melakukan hubungan seksual. (Depkes RI, 2001) Penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat 16,7% WBS yang berperilaku seksual berisiko. Hubungan seks sebelum menikah dalam penelitian ini ditemukan adanya responden yang mengaku pernah melakukan hubungan seksual, yaitu sebanyak 2,8%. Jika dibandingkan dengan hasilnya, hubungan seksual pada penelitian ini lebih kecil daripada penelitian yang dilakukan oleh Santi (2004) pada remaja di Panti Sosial Bina Remaja Taruna Jaya Tebet Jakarta Selatan, dimana terdapat 17,9% dari 78 responden pernah melakukan hubungan seksual pra-nikah. Perilaku seksual lain yang ditemukan adalah masturbasi/onani. Dari data yang didapat, 20% pernah melakukan masturbasi/onani. Gunarsa (1991) menyebutkan bahwa masturbasi merupakan kebiasaan buruk yang bisa menimbulkan gocangan-goncangan pribadi dan emosinya. Hal ini bisa ditimbulkan oleh beberapa sebab, seperti tidak disengaja, pengaruh teman atau rangsangan akibat pengaruh dari media pornografi. Namun, masturbasi ini dianggap alternatif yang paling aman dan tidak berisiko oleh banyak sumber. Dikatakan dalam oleh Hidayat (2005) jurnal berjudul Remaja Indonesia dan Permasalahan Kesehatan Reproduksi bahwa hubungan seksual pra-nikah pada remaja jumlah masih relatif rendah dibandingkan negara-negara lain karena Indonesia masih memiliki norma agama dan budaya yang kuat. Hal tersebut 47

membuat masyarakat Indonesia tidak dapat membiarkan perilaku seks bebas dibiarkan begitu saja terjadi. 6.3 Karakteristik Responden 6.3.1 Jenis Kelamin Hasil analisis bivariat penelitian ini memperlihatkan responden dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan memiliki proporsi yang sama dalam berperilaku seksual berisiko, dimana hasil statistiknya diperoleh nilai masingmasing 50%. Namun, dari data yang ada dalam penelitian ini ditunjukkan bahwa 2,8% yang pernah melakukan hubungan seksual berjenis kelamin laki-laki. Penelitian serupa sebelumnya pernah dilakukan oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi (LDFEUI) tahun 2002 pada remaja berusia 15-24 tahun di empat propinsi (Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Jawa Barat bagian Timur, dan Nusa Tenggara Timur) dengan responden yang diwawancarai sebanyak 3211 remaja (1666 laki-laki dan 1545 perempuan). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa secara keseluruhan, 4% remaja mengakui pernah berhubungan seks pranikah. Responden laki-laki yang mengaku pernah berhubungan seks pranikah relatif lebih banyak dibanding dengan perempuan, masing-masing 4,7% dan 3,2%. Sutji (2004) menyatakan bahwa perempuan lebih banyak memiliki risiko untuk mempunyai masalah kesehatan reproduksi dibanding pria. Adapun masalah yang akan dihadapi, yaitu kehamilan, melahirkan, aborsi tidak aman, dan pemakaian kontrasepsi. Sedangkan pada laki-laki masalah kesehatan reproduksi biasanya hanya seputar PMS dan HIV/AIDS. 6.3.2 Umur Penelitian ini melibatkan 72 orang WBS di PSAA Putra Utama 5 baik lakilaki maupun perempuan, bisa baca dan tulis. Dalam penelitian ini, peneliti memilih responden dengan usia 12 sampai 19 tahun dengan alasan bahwa pada 48

usia 12 hingga 15 tahun, perubahan fisik pada seseorang pada umumnya sudah terlihat jelas baik pada laki-laki maupun perempuan. Sedangkan pada usia 16 hingga 19 tahun, peneliti mengasumsikan para remaja sudah mengenal banyak teman dari lawan jenisnya sehingga timbul rasa suka yang nantinya (dilihat dari berbagai sumber) dapat menimbulkan perilaku seksual yang berisiko. Berisiko yang dimaksud bukan hanya melakukan hubungan seksual tapi juga dampak yang timbul dari hubungan seksual yang tidak aman dan tidak bertanggung jawab, misalnya bisa tertular kehamilan tidak diduga hingga pengguguran kandungan yang tidak aman, tertular PMS dan HIV/AIDS. Pada penelitian yang dilakukan oleh Antono (2003) pada remaja di Jawa Tengah dengan 2000 sampel remaja perkotaan usia 18-24 tahun menyatakan baik laki-laki maupun perempuan pernah melakukan hubungan seks pranikah dengan usia pertama kali kurang dari 16 tahun, 16-18 tahun, lebih dari 18 tahun dengan proporsi yang berbeda-beda antara laki-laki dan perempuan. Remaja dalam penelitian tersebut lebih dari 50% tinggal terpisah dengan orang tuanya. Jadi, hal tersebut mungkin terjadi karena jauh dari pengawasan orang tua. 6.4 Faktor Predisposisi 6.4.1 Pengetahuan Menurut Viswanath dan Finnegan (1996), pengetahuan adalah fakta dan interpretasi sebuah informasi yang dapat memberikan pengertian atau bisa digunakan sebagai dasar untuk bertindak atau berperilaku. Dalam Wikipedia, pengetahuan dipengaruhi oleh faktor-faktor, seperti pendidikan, media, dan keterpaparan informasi. Pengetahuan responden pada penelitian ini bisa dikatakan cukup tinggi (56,9%) mengenai pubertas, masa subur dan kehamilan, perilaku seksual, PMS dan HIV/AIDS. Namun, 66,7% responden memiliki pengetahuan tinggi dengan perilaku seksual berisiko. Dari data tersebut, peneliti mengasumsikan bahwa informasi yang didapat oleh responden mungkin tidak digunakan dengan 49

semestinya melainkan menyalahgunakan pengetahuan yang mereka miliki untuk memenuhi hasrat seksualnya. 6.4.2 Sikap Sikap yang juga merupakan bagian perilaku, dari hasil analisis pada penelitian ini diperoleh 54,2% relatif konservatif dan 45,8% relatif permisif. Hasil uji statistik memperlihatkan responden dengan sikap relatif permisif yang berperilaku seksual berisiko terdapat 75% dibanding yang bersikap relatif konservatif. Sikap permisif itu bisa timbul dari dalam diri sendiri maupun pengaruh dari lingkungan. Sikap menurut Fishbein (dalam Smet, 1994) merupakan hasil pertimbangan untung-rugi bila dilakukannya perilaku dan pertimbangan berdasarkan konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi. Pengetahuan yang didapat responden tidak mempengaruhi sikap karena sikap setiap orang dapat berubah-ubah tergantung dari situasi dan kondisi yang ada. Meskipun kebebasan hubungan seksual di Indonesia masih ditentang oleh masyarakat, namun pada penelitian oleh Hidayat (2005), jika remaja ditanyakan terkait sikap berhubungan seksual sebelum menikah terdapat 6,2% laki-laki dan 3,0% perempuan yang menyatakan setuju. Didapatkan juga pernyataan bahwa remaja lebih memberikan toleransi jika remaja laki-laki melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Persepsi dan sikap remaja terhadap kebebasan seksual didapatkan, semakin menurun seiring dengan meningkatnya pendidikan. 6.5 Sumber Informasi 6.5.1 Media Informasi seksualitas yang didapat oleh responden, 55,6% diperoleh dari media. Banyaknya informasi vulgar yang melalui media massa cetak maupun elektronik yang informasinya belum tentu mendidik tapi cenderung mempengaruhi untuk berperilaku seksual yang tidak bertanggung jawab. Paparan remaja terhadap informasi pornografi semakin meningkat. Media-media tersebut 50

bahkan saat ini dapat dengan mudah diperoleh. (Iswarati dan Rahmadewi (2003) Satu-satunya yang mungkin dapat mengendalikan dampak media tersebut adalah nilai yang ada di dalam diri setiap invidu. Moral yang baik harus ditanamkan sejak dini. Hal ini akan sangat dibutuhkan jika seorang ramaja yang nantinya akan menghadapi situasi sosial yang sangat kompleks maka mereka masih mampu menunjukkan jati dirinya. (BKKBN, 2001) 6.5.2 Lingkungan Sosial Selain media, penelitian ini menunjukkan sumber informasi seksualitas lain diperoleh dari lingkungan sosial (65,3%). Dari hasil uji statistik, keterpaparan informasi dari lingkungan sosial memiliki hubungan yang bermakna dengan perilaku seksual. Remaja lebih senang dan lebih terbuka untuk membahas masalah seksual mereka dengan teman sebaya (peer group) dibanding dengan orang tua atau pun guru. Sebagian besar orang tua dan guru masih merasa tabu untuk memperbincangkan masalah seksual. Oleh sebab itu, remaja mencari informasi dari teman sebayanya dengan kompensasi informasi yang diperoleh tidak akurat. Akibatnya, informasi yang diterima dapat disalahgunakan. (Iswarati dan Rahmadewi, 2003) Hidayat (2005) menunjukkan bahwa pengetahuan tentang ciri-ciri akil baligh yang diperoleh remaja lebih banyak mereka peroleh dari teman, masingmasing 64,9% dan 76,9%. Hal ini tidak sebanding dengan informasi akil baligh yang mereka terima dari guru dan orang tua mereka. 51