2016 PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN ARGUMENT-BASED SCIENCE INQUIRY (ABSI) TERHADAP KEMAMPUAN MEMAHAMI DAN KEMAMPUAN BERARGUMENTASI SISWA SMA

dokumen-dokumen yang mirip
PENGARUH PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN ARGUMENT BASED SCIENCE INQUIRY (ABSI) TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN BERARGUMENTASI SISWA SMA

PROFIL KEMAMPUAN ARGUMENTASI SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN ARGUMEN-BASED SAINS INQUIRY (ABSI)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Agung Firmansyah, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman mengajar, permasalahan seperti siswa jarang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu langkah untuk merubah sikap, tingkah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang sangat penting bagi siswa. Seperti

2015 PENGARUH PENERAPAN STRATEGI COMPETING THEORIES TERHADAP KETERAMPILAN ARGUMENTASI SISWA SMA PADA MATERI ELASTISITAS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Eidelweis Dewi Jannati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. harapan sangat bergantung pada kualitas pendidikan yang ditempuh. imbas teknologi berbasis sains (Abdullah, 2012 : 3).

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rahmat Rizal, 2013

2015 ANALISIS NILAI-NILAI KARAKTER, KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA TOPIK KOLOID MELALUI PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I. Pendahuluan. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya meningkatan mutu pendidikan pemerintah. mengeluarkan berbagai kebijakan. Salah satu kebijakannya adalah mengganti

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Lingkungan pembelajaran kimia tidak hanya terbatas pada penggunaan atau

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desy Mulyani, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berlandaskan pada kurikulum satuan pendidikan dalam upaya meningkatkan. masyarakat secara mandiri kelak di kemudian hari.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Atamik B, 2013

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009).

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS INKUIRI PADA MATERI FOTOSINTESIS TERHADAP PENGUASAAN KONSEP DAN SIKAP SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2014 PENGEMBANGAN PROGRAM PERKULIAHAN FISIKA SEKOLAH BERORIENTASI KEMAMPUAN BERARGUMENTASI CALON GURU FISIKA

BAB 1 PENDAHULUAN. semua potensi, kecakapan, serta karakteristik sumber daya manusia kearah yang

BAB I PENDAHULUAN. terciptanya pembelajaran kimia yang kreatif dan inovatif, Hidayati (2012: 4).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Niken Noviasti Rachman, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar merupakan pondasi awal dalam

BAB I PENDAHULUAN. lebih kearah penanaman pengetahuan tentang konsep-konsep dasar, sebagaimana para saintis merumuskan hukum-hukum dan prinsip-prinsip

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nurvita Dewi Susilawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatkan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab semua pihak

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Irpan Maulana, 2015

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN KIMIA DENGAN INKUIRI BEBAS TERMODIFIKASI BERMEDIA LABORATORIUM RIIL DAN VIRTUAL KELAS XI POKOK BAHASAN SISTEM KOLOID

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

PENERAPAN METODE EKSPERIMEN UNTUK MENINGKATKAN KETRAMPILAN MERENCANAKAN EKSPERIMEN DALAM PEMBELAJARAN BIOLOGI SISWA KELAS X-3 SMA NEGERI 1 SIMO

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

BAB I PENDAHULUAN. tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 19 ayat (1) tentang Standar Proses, pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sebaiknya

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gresi Gardini, 2013

MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS DENGAN MODEL INKUIRI TERBIMBING PADA SISWA KELAS X PMIA 3 DI SMAN 3 BANJARMASIN

I. PENDAHULUAN. Proses pembelajaran fisika seringkali dianggap susah oleh siswa karena cara

BAB I PENDAHULUAN. terhadap suatu peristiwa yang diamati yang kemudian diuji kebenarannya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menunjukkan bahwa ilmu

BAB I PENDAHULUAN. B. Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II LEVELS OF INQUIRY MODEL DAN KEMAMPUAN INKUIRI. guru dengan siswa dalam berinteraksi. Misalnya dalam model pembelajaran yang

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) terdiri dari tiga aspek yaitu Fisika, Biologi,

BAB I PENDAHULUAN. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan perwujudan dari

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.41 Tahun 2007

BAB I PENDAHULUAN. Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (selanjutnya disebut IPA) diartikan

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari

BAB I PENDAHULUAN. mengenal proses-proses penting dalam benda hidup, termasuk tubuh kita sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. intelektual, manual, dan sosial yang digunakan. Gunungsitoli, ternyata pada mata pelajaran fisika siswa kelas VIII, masih

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. siswa, oleh karena itu pembelajaran fisika harus dibuat lebih menarik dan mudah

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Global Monitoring report, (2012) yang dikeluarkan UNESCO menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PANDUAN PENGEMBANGAN RPP

Analisis kebutuhan siswa terhadap pembelajaran fisika berbasis inkuiri di sekolah menengah atas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Maimunah, 2014

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER OLEH MAHASISWA CALON GURU FISIKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang kondusif bagi lahirnya pribadi yang kompetitif. (Tilaar, 2004)

(Contoh) DESAIN PEMBELAJARAN PENYELENGGARAAN PROGRAM PENDIDIKAN KESETARAAN PAKET C UPT SKB KABUPATEN BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Miskwoski, 2005). (Marbach- Ad & Sokolove, 2000). interaksi dengan dunia sosial dan alam. Berdasarkan hasil observasi selama

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. mampu merangsang peserta didik untuk menggali potensi diri yang sebenarnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Intan Setiawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman peneliti mengajar IPA di MTs Negeri Jeketro,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wita Aprialita, 2013

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Implementasai kurikulum 2013 di Indonesia sangat diharapkan dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

II. LANDASAN TEORI. Pembelajaran inkuiri terbimbing (Guided Inquiry) yaitu suatu metode. bimbingan atau petunjuk cukup luas kepada siswa.

BAB I PENDAHULUA N A.

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengalaman langsung menggunakan eksperimen. Belajar harus bersifat menyelidiki

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Ayu Eka Putri, 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

Transkripsi:

1 A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Fisika merupakan bagian dari rumpun ilmu dalam Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Mempelajari fisika sama halnya dengan mempelajari IPA dimana dalam mempelajarinya tidak hanya dibutuhkan produk dari konsep fisika saja melainkan juga diperlukan proses dalam belajar yang mampu menanamkan konsep fisika tersebut bisa bertahan lama dalam diri siswa. Sejalan dengan itu, Carin dan Sund (1993) dalam Wisudawati & Sulistyowati (2014) mendifinisikan IPA sebagai pengetahuan yang sistematis dan tersusun secara teratur, berlaku umum (universal), dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen. Lebih lanjut Wisudawati dan Sulistyowati (2014) menyatakan bahwa unsur utama dalam IPA adalah (1) Sikap, (2) Proses, (3) Produk dan (4) Aplikasi. Dengan demikian dalam mempelajarkan fisika hendaknya memperhatikan keempat unsur utama tersebut, sehingga pembelajaran fisika mampu memberikan proses pembelajaran yang bisa menjadikan siswa lebih tertarik pada fisika. Pengalaman belajar yang paling efektif adalah apabila peserta didik mengalami atau berbuat secara langsung dan aktif di lingkungan belajarnya. Pemberian kesempatan yang luas bagi peserta didik untuk melihat, memegang, merasakan, dan mengaktifkan lebih banyak indera yang dimilikinya serta mengekspresikan diri membangun pemahaman pengetahuan, perilaku, dan keterampilannya. Oleh karena itu, tugas utama pendidik adalah mengkondisikan situasi pengalaman belajar yang dapat menstimulasi indera dan keingintahuan peserta didik (Kemendikbud, 2013). Selaras dengan itu, dalam peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan republik indonesia nomor 65 tahun 2013 tentang standar proses pendidikan dasar dan menengah dijelaskan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan 1

2 bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik (Kemendikbud, 2013). Lebih lanjut, standar kompetensi lulusan (SKL) pendidikan dasar dan menengah dalam permendikbud nomor 54 tahun 2013 pada ranah pengetahuan mengharuskan siswa memiliki pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab serta dampak fenomena dan kejadian (Kemendikbud, 2013). Belajar fisika pada dasarnya adalah belajar pemahaman terhadap konsep, teori atau hukum-hukum fisika. Dalam mempelajari fisika tidak cukup dengan sekadar mengingatnya saja. Akan tetapi yang paling penting adalah bagaimana cara memahami konsep, teori atau hukum-hukum tersebut. National Science Education Standart (National Research Council, 1996) mengungkapkan bahwa pembelajaran IPA merupakan sebuah proses aktif di mana siswa harus melakukan sesuatu, bukan sesuatu yang dilakukan terhadap siswa. Oleh karena itu, proses pembelajaran fisika di sekolah harus menekankan pada pemberian pengalaman langsung secara inkuiri sehingga siswa dapat terlibat aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan dan pemahamannya sendiri. Proses penemuan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh para ilmuwan melibatkan berbagai keterampilan ilmiah. Cara seperti ini dapat ditiru dan dilakukan oleh siswa dalam pembelajaran fisika melalui kegiatan praktikum di laboratorium. Pembelajaran inkuiri dengan kegiatan eksperimen akan melibatkan siswa secara langsung dalam berbagai aktivitas seperti mengajukan hipotesis, merencanakan sebuah eksperimen, memprediksi, menginterpretasi data, mengolah informasi dan membuat kesimpulan (Duran, 2014). Dengan begitu, pengetahuan yang diperoleh tidak hanya sekadar dihafal, akan tetapi dipahami dan dikuasai secara lebih mendalam, serta bertahan lebih lama dalam pikiran. Selain pemahaman konsep, hal lain yang perlu dikembangkan adalah kemampuan berargumentasi. Kuhn (2010) mengungkapkan Konsep ilmu sebagai argumen, dan pandangan bahwa terlibat dalam berargumentasi ilmiah harus memainkan peran kunci dalam pendidikan sains. Konsepsi sains sebagai argumen

3 telah datang secara luas dan menganjurkan sebagai hal dasar untuk pendidikan sains. Tujuan pendidikan sains tidak hanya penguasaan konsep-konsep ilmiah, tetapi juga belajar bagaimana untuk terlibat dalam wacana ilmiah. Untuk mencapai terlaksananya wacana ilmiah, siswa harus memiliki kemampuan berargumentasi yang dalam pembelajarannya melatihkan siswa untuk terbiasa berargumentasi. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa, argumentasi memiliki peranan penting dalam pembelajaran fisika di kelas. Dengan adanya kemampuan berargumentasi yang dimiliki oleh siswa, maka proses pembelajaran di kelas akan lebih menarik karena siswa akan berpartisipasi aktif dalam kelas, baik dalam bentuk mengajukan pendapat, sanggahan, pertanyaan maupun menjawab pertanyaan guru. Namun pada kenyataannya, berdasarkan hasil studi pendahuluan di salah satu sekolah menengah atas di Kabupaten Pamekasan Jawa Timur diperoleh informasi bahwa pembelajaran fisika di kelas masih dititikberatkan pada aspek kognitif dan belum membiasakan siswa untuk melatih argumennya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa masih terdapat siswa yang kurang aktif dalam kegiatan pembelajaran fisika di kelas. Kurang aktifnya siswa biasanya terjadi pada mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami konsep dan mengembangkan kemampuan berpikirnya (Kurniawati, dkk, 2014). Berdasarkan hasil wawancara dengan guru fisika bahwa pembelajaran yang memfasilitasi argumentasi siswa hanya sebatas dalam bentuk tanya jawab saja, namun berargumentasi dalam bentuk klaim, penyanggahan maupun penguatan masih kurang karena jarang melakukan diskusi kelas, selain itu ketika pembelajaran dilakukan dalam bentuk praktikum, siswa hanya diberi tugas membuat laporan praktikum yang sudah dituntun langkah-langkahnya sehingga kurang memberi peluang bagi siswa untuk membuat laporan dengan versi sendiri maupun penguatan ide siswa. Lebih lanjut, ketika pembelajaran menggunakan diskusi kelas, siswa diarahkan untuk belajar kelompok dengan cara membaca dan merangkum sebuah materi fisika yang selanjutnya didiskusikan dalam diskusi kelas untuk melatih argumentasi siswa, yang data atau sumber informasi siswa hanya dari buku teks

4 saja. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Muslim dan Suhandi (2012) yang mengembangkan perangkat pembelajaran fisika sekolah berorientasi argumentasi yakni menggunakan model pembelajaran pembangkit argumen, namun tahapan pembelajarannya hanya mengidentifikasi masalah, pertanyaan, tugas, pembangkit argumen tentatif, sesi argumentasi serta perumusan hasil argumen individu dan kelompok. Sejalan dengan itu, pembelajaran penalaran argumen juga pernah dikembangkan oleh Santoso dan Supriadi (2014) yaitu pembelajaran penalaran argumen berbasis peta konsep. Pembelajaran ini melatihkan argumentasi namun menggunakan strategi peta konsep yaitu mencari bahan dari buku bacaan. Pembelajaran berorientasi argumen tersebut diatas tidak memberi tahapan pada siswa untuk melakukan kegiatan laboratorium yang sangat memungkinkan untuk menguatkan klaimnya dari hasil data kegiatan praktikum. Pembelajaran argumen tersebut hanya mendapatkan data atau konsep dari buku teks semata. Pembelajaran pembangkit argumen dengan metode saintifik pernah dilakukan oleh Siswanto, dkk (2014) yang menunjukkan hasil yang lebih baik dari pada pembelajaran pembangkit argumen tanpa metode saintifik dalam hal kemampuan kognitif dan keterampilan berargumentasi. Lebih lanjut Demircioglu dan Ucar (2012) melaporkan bahwa model pembelajaran Argument-Driven Inquiry (ADI) efektif dalam meningkatkan kualitas berargumen siswa dibandingkan dengan metode konvensional. Pembelajaran ADI pada dasarnya merupakan pembelajaran inkuiri lab yang mengintegrasikan argumentasi didalamnya. Namun pembelajaran ADI ini pada setiap tahapannya tidak menfasilitasi kemampuan memahami dan kemampuan berargumentasi secara beriringan. Dari delapan tahapan pada pembelajaran ADI ini, hanya terdapat dua tahap yang menfasilitasi kedua kemampuan tersebut secara beriringan. Pada tahapan ketiga yaitu Siswa menganalisis data dan membangun argumen, pada tahapan ini kemampuan menyimpulkan dan pembenaran terfasilitasi secara beriringan. Lebih lanjut pada tahapan kedelapan yaitu Siswa merevisi dan menyerahkan laporan. Pada tahapan ini kemampuan menjelaskan dan klaim terfasilitasi secara beriringan. Untuk itu, perlu adanya pembelajaran yang setiap tahapannya mampu menfasilitasi kemampuan memahmi dan kemampuan berargumentasi secara

5 beriringan. Pembelajaran yang dirasa mampu menfasilitasi hal tersebut adalah pembelajaran argumen-based science inquiry (ABSI). pembelajaran ABSI ini dapat melatihkan siswa untuk berargumentasi berdasarkan kegiatan praktikum penyeidikan sains, Pembelajaran ABSI ini sudah digunakan di banyak negara termasuk Amerika Serikat, Korea dan Turki. Karena pembelajaran ABSI ini memiliki dua komponen utama yaitu berargumentasi dan penyelidikan (Hasancebi, 2012). Pembelajaran ABSI merupakan sebuah model pembelajaran argumentasi yang mengintegrasikan inkuiri sains dalam pembelajaran. Pembelajaran ABSI memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan praktikum secara inkuiri, memberikan kesempatan untuk melakukan diskusi kelompok kecil dan diskusi kelas sehingga siswa dilatih untuk berargumentasi yang argumentasinya tersebut didasarkan atas hasil kegiatan inkuiri sains. dengan kata lain pembelajaran ABSI dapat memfasilitasi kegiatan penyelidikan dan membangun berargumentasi siswa. Demirbag dan Gunel (2014) melaporkan bahwa pembelajaran ABSI mampu meningkatkan hasil belajar siswa, kemampuan berargumentasi dan kemampuan menulis. Inkuiri yang digunakan dalam pembelajaran ABSI ini adalah inkuiri laboratorium, pemilihan inkuiri laboratorium ini dimaksudkan agar siswa secara langsung dapat mengalami penyelidikan seperti yang dilakukan para saintis terdahulu dalam menemukan hukum-hukum dan teori-teori. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian yang berjudul Pengaruh penerapan model pembelajaran argumentbased science inquiry (ABSI) terhadap kemampuan memahami dan kemampuan berberargumentasi siswa SMA. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pokok yang diajukan dalam penelitian ini adalah Bagaimana pengaruh model pembelajaran argument-based science inquiry (ABSI) terhadap kemampuan memahami dan kemampuan berberargumentasi siswa?

6 Agar penelitian ini lebih terarah dan memperjelas masalah yang akan diteliti, maka rumusan masalah dijabarkan kembali ke dalam bentuk pertanyaanpertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaruh penerapan model pembelajaran argument-based science inquiry (ABSI) terhadap kemampuan memahami siswa? 2. Bagaimana peningkatan kemampuan memahami siswa sebagai efek dari penerapan model pembelajaran argument-based science inquiry (ABSI)? 3. Bagaimana pengaruh penerapan model pembelajaran argument-based science inquiry (ABSI) terhadap kemampuan berargumentasi siswa? 4. Bagaimana peningkatan kemampuan berargumentasi siswa sebagai efek dari penerapan model pembelajaran argument-based science inquiry (ABSI)? 5. Bagaimana hubungan antara kemampuan memahami dengan kemampuan berberargumentasi siswa sebagai efek dari penerapan model pembelajaran argument-based science inquiry (ABSI)? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Memperoleh gambaran tentang pengaruh penerapan model pembelajaran argument-based science inquiry (ABSI) terhadap kemampuan memahami siswa. 2. Memperoleh gambaran tentang peningkatan kemampuan memahami siswa sebagai efek dari penerapan model pembelajaran argument-based science inquiry (ABSI). 3. Memperoleh gambaran tentang pengaruh penerapan model pembelajaran argument-based science inquiry (ABSI) terhadap kemampuan berargumentasi siswa. 4. Memperoleh gambaran tentang peningkatan kemampuan berargumentasi siswa sebagai efek dari penerapan model pembelajaran argument-based science inquiry (ABSI).

7 5. Mengetahui hubungan kemampuan memahami dengan kemampuan berberargumentasi siswa sebagai efek dari penerapan model pembelajaran argument-based science inquiry (ABSI). D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan menjadi bukti empiris tentang potensi penerapan model pembelajaran argument-based science inquiry (ABSI) dalam meningkatkan kemampuan memahami dan kemampuan berargumentasi yang nantinya dapat memperkaya hasil-hasil penelitian sejenis yang telah dilakukan dan dapat dipergunakan oleh berbagai pihak yang berkepentingan seperti peneliti, mahasiswa Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), dan guru-guru fisika sebagai rujukan, pembanding, data dalam penelitian yang dilakukannya. E. Definisi Operasional Agar tidak terjadi kesalahan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu diberikan penjelasan tentang istilahistilah tersebut, yaitu sebagai berikut : a. Model pembelajaran argument-based science inquiry (ABSI) adalah sebuah model pembelajaran yang berorientasi argumentasi melalui kegiatan inkuiri sains yang dalam pembelajarannya mengadopsi pada pembelajaran Science Writing Heuristic (SWH) dengan tahapan: (1) eksplorasi pemahaman sebelum pembelajaran, (2) partisipasi dalam kegiatan praktikum, (3) menulis pengertian individu untuk kegiatan praktikum, (4) bertukar pikiran dan membandingkan interpretasi data dalam kelompok kecil, (5) membandingkan ide-ide sains dengan buku teks atau sumber lainnya, melalui diskusi kelas (6) refleksi dan menulis secara individu, (7) ekplorasi pemahaman setelah pembelajaran, yaitu penguatan materi dan membuat kesimpulan. b. Kemampuan memahami didefinisikan sebagai kemampuan membangun pengertian dari pesan pembelajaran, meliputi oral, tulisan dan komunikasi

8 grafik. Kemampuan memahami terdiri dari kemampuan menafsirkan (interpreting), mencontohkan (exemplifying), mengklasifikasikan (classifying), merangkum (summarizing), menyimpulkan (inferring), membandingkan (comparing) dan menjelaskan (explaining). Kemampuan memahami ini diukur menggunakan tes kemampuan memahami dalam bentuk pilihan ganda (PG). c. Kemampuan berargumentasi didefinisikan sebagai kemampuan siswa dalam berargumentasi secara tertulis yakni kemampuan untuk memberikan bukti dan alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat atau ide. Kemampuan memberikan bukti dan alasan yang dimaksud adalah kemampuan siswa dalam membuat klaim (claim), memberikan dan menganalisis data, memberikan pembenaran (warrant), dan memberikan dukungan (backing) untuk memperkuat atau menolak pendapat atau ide. Kemampuan berargumentasi diukur melalui tes kemampuan berargumentasi berupa soal uraian.