BAB I PENDAHULUAN. bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dua jenis alat bukti seperti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 8/PUU-XVI/2018 Tindakan Advokat Merintangi Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan olehnya dapat di pertanggung jawabkan dihadapan hukum.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

I. PEMOHON Tomson Situmeang, S.H sebagai Pemohon I;

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 43/PUU-XIII/2015

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIII/2015 Proses Seleksi Pengangkatan Hakim

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 53/PUU-XIV/2016 Persyaratan Menjadi Hakim Agung dan Hakim Konstitusi

Kuasa Hukum Antonius Sujata, S.H., M.H., dkk, berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 29 Mei 2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 55/PUU-IX/2011 Tentang Peringatan Kesehatan dalam Promosi Rokok

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014 Pengumuman Hasil Penghitungan Cepat

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri. 1 Oleh karena itu, pencaharian bertani dan berkebun, 2

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XIII/2015 Pemberian Manfaat Pensiun Bagi Peserta Dana Pensiun

Ringkasan Permohonan Perkara Nomor 59/PUU-XII/2014 Daluwarsa Masa Penuntutan

BAB I PENDAHULUAN. kelangsungan hidup Bangsa Indonesia. Penjelasan umum Undang-undang Nomor

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 66/PUU-XII/2014 Frasa Membuat Lambang untuk Perseorangan dan Menyerupai Lambang Negara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 21/PUU-XVI/2018

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

BAB. I PENDAHULUAN. atau kurangnya interaksi antar anggota keluarga yang mengakibatkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. Anak merupakan amanat dari Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya

KUASA HUKUM Adardam Achyar, S.H., M.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 7 Agustus 2014.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

TATA CARA PELAKSANAAN DIVERSI PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI KEPOLISIAN

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA : 40/PUU-X/2012

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepolisian Republik Indonesia merupakan salah satu lembaga atau

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 24/PUU-XII/2014 Pengumuman Hasil Penghitungan Cepat

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 99/PUU-XIV/2016 Korelasi Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu dan Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan

I. PEMOHON 1. Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), diwakili oleh Fadli Nasution, S.H., M.H. 2. Irfan Soekoenay, S.H., M.H

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

Kuasa Hukum Badrul Munir, S.Sg., SH., CL.A, dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 2 April 2015.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 76/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 34/PUU-XVI/2018 Langkah Hukum yang Diambil DPR terhadap Pihak yang Merendahkan Kehormatan DPR

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XV/2017 Eksploitasi Ekonomi Terhadap Anak

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 86/PUU-XIV/2016 Pemidanaan Bagi Penyedia Jasa Konstruksi Jika Pekerjaan Konstruksinya Mengalami Kegagalan Bangunan

I. PEMOHON 1. Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI), diwakili oleh Fadli Nasution, S.H., M.H. 2. Irfan Soekoenay, S.H., M.H

BAB I PENDAHULUAN. (On-line), (29 Oktober 2016). 2

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 138/PUU-XII/2014 Hak Warga Negara Untuk Memilih Penyelenggara Jaminan Sosial

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XI/2013 Tentang Penyelenggaraan Rumah Sakit

PERLINDUNGAN HAK PROFESI AKUNTAN PUBLIK Dr. Muchamad Ali Safa at, S.H., M.H.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 80/PUU-XIII/2015 Syarat Tidak Pernah Dijatuhi Pidana Penjara 5 (lima) Tahun atau Lebih Bagi Calon Kepala Daerah

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruh yang cukup besar dalam membentuk perilaku seorang anak. 1

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XV/2017 Pertanggungjawaban atas Kerusakan Lingkungan dan Kebakaran Hutan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 5/PUU-XIII/2015 Pengecualian Pembina dalam Menerima Gaji, Upah, atau Honorarium Pengurus

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

Oleh : Didit Susilo Guntono NIM. S BAB I PENDAHULUAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

KUASA HUKUM Ir. Tonin Tachta Singarimbun, S.H., dkk berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 28 Februari 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini telah dinyatakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 84/PUU-IX/2011 Tentang Ketentuan Pidana Bagi Akuntan Publik

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 38/PUU-XV/2017

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 133/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pengajuan Banding, Penangguhan Pembayaran Pajak, dan Pengajuan Peninjauan Kembali

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999).

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

BAB I PENDAHULUAN. hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. 1. merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 sebagai konstitusi negara, digariskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara Hukum. Dengan demikian, segala aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan perlindungan terhadap warga negaranya, khususnya tentang anak sebagai bagian dalam masyarakat suatu negara. Pada hakikatnya setiap negara di belahan dunia ini memiliki kompleksitas persoalan masing-masing, mulai dari persoalan sosial, ekonomi, politik, hukum, maupun pertahanan dan keamanan. Kompleksitas permasalahan dalam suatu negaratersebut harus dihadapai oleh seluruh lapisan masyarakatnya. Bahkan anak-anak sebagai suatu bagian dalam masyarakat juga harus siap terhadap imbas dariproblematika di negeri ini. Oleh karena itu negara melalui perangkat kekuasaannya yang berwenang, menciptakan produk hukum untuk melindungi segenap warga negaranya sebagaimana yang diamanatkan konsititusi. Karena pada dasarnya dalam diri manusia melekat harkat dan martabat yang harus dihormati dan dilindungi sebagai manusia seutuhnya, tak terkecuali bagi anak-anak yang karena usia dan kemampuan berfikirnya tergolong kelompok dalam suatu sistem sosial rentan terhadap konflik dan eksploitasi. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang harus dijunjung tinggi oleh Negara. Hal ini sesuai dengan ketentuan 1

Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh Negara Indonesia yangkemudian diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Hingga akhir tahun 2012 yang lalu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa telah terjadi 2.275 kasus kekerasan terhadap anak sepanjang tahun 2012. 1 Pelanggaran terhadap hak-hak anak di Indonesia terjadi dalam bentuk kekerasan fisik dan mental, trafficking, obyek pornografi, korban psikotropika dan narkotika, hingga pada kasus eksploitasi atau pelecehan seksual. Selain menjadi korban (victim) ataupun saksi (witeness) dalam sebuah tindak pidana, seorang anak juga melakukan tindak pidana. Maka untuk menyelesaikan perkara yang melibatkan anak baik sebagai korban, saksi maupun pelaku, dibentuklah suatu sistem peradilan pidana khusus anak. Secara khusus ketentuan yang mengatur sistem peradilan pidana anak di Indonesia sebagaimanayang ditetapkan dalam Undang-undang No 3 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA), menghendaki perlakuan berbeda terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dibandingkan perlakuan terhadap orang dewasa dalam sistem peradilan pidana konvensional di Indonesia. Terutama dalam pendekatan penyelesaian perkara pidana untuk kebaikan bersama 1 www.kpai.go.id. Diakses pada 16 Mei 2013 pukul 15.00 WIB 2

dan pertimbangan terhadap perlindungan hak-hak anak maupun efek psikologis yang dapat mempengaruhi masa depan anak Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum adalah Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah Anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.. Kemudian dalam Pasal1 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA) juga dijelaskan tentang definisi anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu : Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dalam sistem peradilan pidana anak, terdapat perbedaan perlakuan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum (anak yang diduga melakukan tindak pidana) seperti yang dikemukakan penulis sebelumnya, yaitu konsep diversi yang didefinisikan pada pasal 1 angka 7 UU SPPA yang berbunyi Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.. Kemudian untuk mempertegas pentingnya dilakukannya diversi tersebut, dalam pasal 7 ayat (1) UU SPPA diatur bahwa Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi. 3

Yang menarik dalam UU SPPA ini adalah terdapat ancaman pidana terhadap penegak hukum (penyidik, penuntut, hakim) yang sengaja tidak melakukan kewajibannya untuk mengupayakan diversi pada perkara pidana anak, sebagaimana diatur dalam pasal 96 yang berbunyi Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Ancaman pidana terhadap penegak hukum yang dengan sengaja tidak melakukan kewajibannya untuk mengupayakan diversi tersebut adalah bentuk keseriusan Negara untuk melindungi hak-hak anak baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi yang kemudikan diformulasikan dalam suatu produk hukum berupa Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, namun ternyata di lain pihak terdapat intepretasi lain terhadap aturan tersebut, salah satunya adalah mereka yang berprofesi sebagai hakim dan tergabung dalam IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) yang merasa bahwa ancaman pidana terhadap penegak hukum (salah satunya hakim) merupakan suatu bentuk intervensi terhadap kekuasaan kehakiman yang bertentangan dengan prinsip independensi hakim segaimana diamanatkan UUD 1945 dalam Pasal 24ayat (1) yang berbunyi Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.. Selanjutnyapada Pasal 3 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman diatur bahwa Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Hakim dan Hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan. 4

Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, dan lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, serta lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai institusi hanya dapat melaksanakan kewenangan melalui para hakimnya. Konstruksi pemikiran tersebut membawa konsekuensi bahwa kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan independensi peradilan yang dijamin oleh Pasal 24 UUD 1945 juga memberikan kemerdekaan dan independensi kepada hakim yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Oleh karena itu jaminan atas kemandirian peradilan adalah hak sekaligus kewenangan konstitusional hakim. Tanpa adanya kemerdekaan dan independensi hakim, kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan independensi peradilan tidak akan dapat ditegakkan. Sebaliknya, segala bentuk ketergantungan dan keterikatan institusi badan-badan peradilan pasti akan mengurangi kemerdekaan dan independensi hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Atas dasar pemikiran itulah, kemudian 9 orang hakim dari berbagai tingkatan dan lingkungan peradilan di Indonesia berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 22 Oktober 2012 dansurat Kuasa Khusus Nomor 056/PP.IKAHI/X/2012, tertanggal 22 Oktober 2012memberi kuasa kepada Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H., Teguh Satya Bhakti, S.H., M.H., dan Rr. Andy Nurvita, S.H., untuk mengajukan permohonan uji materi pasal 96, pasal 100 dan pasal 101 UU SPPA terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi pada tanggal 1 November 2012. 5

Adapun pasal 96, pasal 100 dan pasal 101 pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, masing-masing berbunyi sebagai berikut : Pasal 96 Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) Pasal 100 Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. Pasal 101 Pejabat pengadilan yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. Terhadap permohonan para permohon judicial reviewpasal 96, pasal 100 dan pasal 101 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya memutuskan sebagai berikut : 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; 1.1. Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 5332) bertentangan dengan Undang- Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945; 1.2. Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesiasebagaimana mestinya; 2 2 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 hlm. 123 6

Dalam penelitian hukum ini, penulis hendak fokus terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 yang menyatakan pasal 96, UU Nomor 11 Tahun 2012 tetang Sistem Peradilan Pidana Anak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sedangkan pasal 96, adalah ketentuan pasal yang memuat ancaman pidana terhadap penegak hukum yang tidak melakukan upaya diversi, pada sisi yang lain keseriusan dalam upaya perlindungan anak dalam suatu sistem peradilan pidana seharusnya disertai ketentuan yang tegas terhadap implementasi konsep dan pengaturan tentang diversi. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum dengan judul ANALISIS YURIDIS PENGARUH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 110/PUU- X/2012 YANG MENGHAPUS ANCAMAN PIDANA TERHADAP POLISI, JAKSA, HAKIM YANG TIDAK MELAKUKAN UPAYA DIVERSI B. Rumusan Masalah 1. Apa Yang Menjadi Dasar Pertimbangan Hukum Sehingga Mahkamah Konstitusi Melakukan Pembatalan terhadap Pasal 96Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak? 2. Apakah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 memenuhi aspek keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dalam rangka memberikan perlindungan kepada anak? 7

C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan mengkaji pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 atas permohonan uji materi pasal 96, UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 2. Untuk mengetahui pemenuhan aspek keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 D. Manfaat dan Kegunaan D.1. Manfaat Manfaat dalam suatu penelitian mencakup manfaat teoritis dan manfaat praktis, adapun manfaat yang di pakai penelitian adalah sebahgai berikut: 1. Manfaat teoritis: a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dalam penelitian hukum tentang Putusan Mahkamah Konstitusi. b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum perlindungan anak dalam sistem peradilan pidana anak. c. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi di bidang karya ilmiah serta bahan masukan bagi penelitian sejenis di masa yang akan datang. 8

2. Manfaat praktis a. Untuk memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat luas mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU- X/2012 atas permohonan uji materi pasal 96, UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. b. Dengan adanya penelitian ini, penegak hukum diharapkan bisa menjalankan tugasnya dengan baik dengan tetap menghormati hakhak konstitusional anak sebagai seorang warga negara. c. Untuk meningkatkan penalaran serta mengaplikasikan ilmu yang di peroleh penulis selama studi di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. D.2. Kegunaan Kegunaan penilitian adalah agar dalam penelitian ini bisa mencakup beberapa elemen agar penelitian ini bisa maksimal sebagai berikut: 1. Bagi Penulis Dengan penelitian ini diharapkan akan menjadi pengetahuan baru guna menambah wawasan terhadap permasalahan yang diangkat, dan juga sebagai persyaratan akademis untuk mendapat gelar kesarjanaan bidang ilmu hukum. 2. Bagi Masyarakat Dengan adanya penelitian ini diharapkan masyarakat memahami permasalahan perlindungan anak dalam sistem peradilan pidana setelah 9

adanya putusan Mahkamah Konstitus Nomor 110/PUU-X/2012 atas permohonan uji materi pasal 96, UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 3. Bagi Penegakan Hukum Dengan adanya penelitian ini diharapkan para penegak hukum dalam sistem peradilan pidana dapat mengembangkan cara pandangnya dengan lebih memahami aspek yuridis dan teoritis mengenai aspek perlindungan anak pada setiap proses pemeriksaan di tingkat penyidikan, penuntutan maupun persidangan 4. Bagi Mahasiswa Diharapkan semua mahasiswa dapat memperoleh wawasan baru mengenai Putusan Mahkamah Kostitusi Nomor 110/PUU-X/2012sehingga nantinya apabila terjun dalam masyarakat dapat turut serta berkontribusi dalam memberikan advokasi kepada masyarakat khususnya kepada anak yang berhadapan dengan hukum. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan (Statute Approach) 3 dan Conceptual Approach. Pendekatan Statute Approach adalah 3 Zainuddin Ali, 2010. Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. hlm 105 10

pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasi dan membahas perundang-undangan yang dalam hal ini adalah UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pendekatan Conceptual Approach adalah pendekatan melalui konsep/teori dalam buku-buku, literatur maupun pendapat dari para sarjana yang digunakan sebagai landasan pendukung dalam membahas permasalahan dalam skripsi, termasuk juga putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012. 2. Jenis Bahan Hukum Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan antara lain adalah : a. Bahan Hukum Primer Data primer dalam hal ini antara lain UUD 1945, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012. serta peraturan perundang-undangan lainnya. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa buku-buku, makalah, hasil penelitian, jurnal, artikel dan lainnya yang sesuai dengan fokus permasalahan dalam penelitian sebagai penunjang untuk melakukan analisis. Termasuk juga berita-berita yang dimuat dalam media cetak dan elektronik seperti internet yang berkaitan dengan konsep diversi dalam undang-undang sistem peradilan pidana anak. 11

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik dokumentasi dan kepustakaan dari berbagai sumber pustaka yang dilakukan di perpustakaan melalui kajian literatur untuk melihat data-data dan dokumen serta dari situs internet dan media cetak yang berkaitan dengan konsep diversi dan sistem peradilan pidana anak. 4. Analisa Data Pengolahan data yang telah terkumpul nantinya akan dianalisis dengan menggunakan analisis isi (content analysis) yaitu analisamendalam dan kritis terhadap aturan-aturan hukum maupun dari literatur-literatur yang relevan terkait dengan penghapusan ketentuan ancaman pidana terhadap penegak hukum yang tidak melaksanakan diversi dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak pasca putusan Mahkamah Konstitusi. F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi dari penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun rangkaian sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. 12

BAB II : Dalam bab ini berisi pengertian tentang tinjauan umum dan kajian pustaka mengenai pengertian-pengertian, pendapat para ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan BAB III : Dalam bab ini akan dijabarkan pembahasan dan hasil analisa penulisan berkenaan dengan permasalahan yang dimaksud. BAB IV : Merupakan bab terakhir atau penutup dalam penulisan skirpsi yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang berhubungan dengan hal-hal yang diuraikan dalam bab-bab sebelumnya. 13