BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 sebagai konstitusi negara, digariskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara Hukum. Dengan demikian, segala aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum, termasuk juga didalamnya pengaturan dan perlindungan terhadap warga negaranya, khususnya tentang anak sebagai bagian dalam masyarakat suatu negara. Pada hakikatnya setiap negara di belahan dunia ini memiliki kompleksitas persoalan masing-masing, mulai dari persoalan sosial, ekonomi, politik, hukum, maupun pertahanan dan keamanan. Kompleksitas permasalahan dalam suatu negaratersebut harus dihadapai oleh seluruh lapisan masyarakatnya. Bahkan anak-anak sebagai suatu bagian dalam masyarakat juga harus siap terhadap imbas dariproblematika di negeri ini. Oleh karena itu negara melalui perangkat kekuasaannya yang berwenang, menciptakan produk hukum untuk melindungi segenap warga negaranya sebagaimana yang diamanatkan konsititusi. Karena pada dasarnya dalam diri manusia melekat harkat dan martabat yang harus dihormati dan dilindungi sebagai manusia seutuhnya, tak terkecuali bagi anak-anak yang karena usia dan kemampuan berfikirnya tergolong kelompok dalam suatu sistem sosial rentan terhadap konflik dan eksploitasi. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang harus dijunjung tinggi oleh Negara. Hal ini sesuai dengan ketentuan 1
Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang diratifikasi oleh Negara Indonesia yangkemudian diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Hingga akhir tahun 2012 yang lalu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat bahwa telah terjadi 2.275 kasus kekerasan terhadap anak sepanjang tahun 2012. 1 Pelanggaran terhadap hak-hak anak di Indonesia terjadi dalam bentuk kekerasan fisik dan mental, trafficking, obyek pornografi, korban psikotropika dan narkotika, hingga pada kasus eksploitasi atau pelecehan seksual. Selain menjadi korban (victim) ataupun saksi (witeness) dalam sebuah tindak pidana, seorang anak juga melakukan tindak pidana. Maka untuk menyelesaikan perkara yang melibatkan anak baik sebagai korban, saksi maupun pelaku, dibentuklah suatu sistem peradilan pidana khusus anak. Secara khusus ketentuan yang mengatur sistem peradilan pidana anak di Indonesia sebagaimanayang ditetapkan dalam Undang-undang No 3 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA), menghendaki perlakuan berbeda terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dibandingkan perlakuan terhadap orang dewasa dalam sistem peradilan pidana konvensional di Indonesia. Terutama dalam pendekatan penyelesaian perkara pidana untuk kebaikan bersama 1 www.kpai.go.id. Diakses pada 16 Mei 2013 pukul 15.00 WIB 2
dan pertimbangan terhadap perlindungan hak-hak anak maupun efek psikologis yang dapat mempengaruhi masa depan anak Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan anak yang berhadapan dengan hukum adalah Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah Anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.. Kemudian dalam Pasal1 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA) juga dijelaskan tentang definisi anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu : Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dalam sistem peradilan pidana anak, terdapat perbedaan perlakuan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum (anak yang diduga melakukan tindak pidana) seperti yang dikemukakan penulis sebelumnya, yaitu konsep diversi yang didefinisikan pada pasal 1 angka 7 UU SPPA yang berbunyi Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.. Kemudian untuk mempertegas pentingnya dilakukannya diversi tersebut, dalam pasal 7 ayat (1) UU SPPA diatur bahwa Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi. 3
Yang menarik dalam UU SPPA ini adalah terdapat ancaman pidana terhadap penegak hukum (penyidik, penuntut, hakim) yang sengaja tidak melakukan kewajibannya untuk mengupayakan diversi pada perkara pidana anak, sebagaimana diatur dalam pasal 96 yang berbunyi Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Ancaman pidana terhadap penegak hukum yang dengan sengaja tidak melakukan kewajibannya untuk mengupayakan diversi tersebut adalah bentuk keseriusan Negara untuk melindungi hak-hak anak baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi yang kemudikan diformulasikan dalam suatu produk hukum berupa Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, namun ternyata di lain pihak terdapat intepretasi lain terhadap aturan tersebut, salah satunya adalah mereka yang berprofesi sebagai hakim dan tergabung dalam IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) yang merasa bahwa ancaman pidana terhadap penegak hukum (salah satunya hakim) merupakan suatu bentuk intervensi terhadap kekuasaan kehakiman yang bertentangan dengan prinsip independensi hakim segaimana diamanatkan UUD 1945 dalam Pasal 24ayat (1) yang berbunyi Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.. Selanjutnyapada Pasal 3 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman diatur bahwa Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Hakim dan Hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan. 4
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, dan lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, serta lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai institusi hanya dapat melaksanakan kewenangan melalui para hakimnya. Konstruksi pemikiran tersebut membawa konsekuensi bahwa kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan independensi peradilan yang dijamin oleh Pasal 24 UUD 1945 juga memberikan kemerdekaan dan independensi kepada hakim yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Oleh karena itu jaminan atas kemandirian peradilan adalah hak sekaligus kewenangan konstitusional hakim. Tanpa adanya kemerdekaan dan independensi hakim, kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan independensi peradilan tidak akan dapat ditegakkan. Sebaliknya, segala bentuk ketergantungan dan keterikatan institusi badan-badan peradilan pasti akan mengurangi kemerdekaan dan independensi hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Atas dasar pemikiran itulah, kemudian 9 orang hakim dari berbagai tingkatan dan lingkungan peradilan di Indonesia berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 22 Oktober 2012 dansurat Kuasa Khusus Nomor 056/PP.IKAHI/X/2012, tertanggal 22 Oktober 2012memberi kuasa kepada Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H., Teguh Satya Bhakti, S.H., M.H., dan Rr. Andy Nurvita, S.H., untuk mengajukan permohonan uji materi pasal 96, pasal 100 dan pasal 101 UU SPPA terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi pada tanggal 1 November 2012. 5
Adapun pasal 96, pasal 100 dan pasal 101 pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, masing-masing berbunyi sebagai berikut : Pasal 96 Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) Pasal 100 Hakim yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3), Pasal 37 ayat (3), dan Pasal 38 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. Pasal 101 Pejabat pengadilan yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun. Terhadap permohonan para permohon judicial reviewpasal 96, pasal 100 dan pasal 101 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya memutuskan sebagai berikut : 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; 1.1. Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 5332) bertentangan dengan Undang- Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945; 1.2. Pasal 96, Pasal 100, dan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesiasebagaimana mestinya; 2 2 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 hlm. 123 6
Dalam penelitian hukum ini, penulis hendak fokus terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 yang menyatakan pasal 96, UU Nomor 11 Tahun 2012 tetang Sistem Peradilan Pidana Anak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sedangkan pasal 96, adalah ketentuan pasal yang memuat ancaman pidana terhadap penegak hukum yang tidak melakukan upaya diversi, pada sisi yang lain keseriusan dalam upaya perlindungan anak dalam suatu sistem peradilan pidana seharusnya disertai ketentuan yang tegas terhadap implementasi konsep dan pengaturan tentang diversi. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum dengan judul ANALISIS YURIDIS PENGARUH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 110/PUU- X/2012 YANG MENGHAPUS ANCAMAN PIDANA TERHADAP POLISI, JAKSA, HAKIM YANG TIDAK MELAKUKAN UPAYA DIVERSI B. Rumusan Masalah 1. Apa Yang Menjadi Dasar Pertimbangan Hukum Sehingga Mahkamah Konstitusi Melakukan Pembatalan terhadap Pasal 96Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak? 2. Apakah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 memenuhi aspek keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dalam rangka memberikan perlindungan kepada anak? 7
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan mengkaji pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 atas permohonan uji materi pasal 96, UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 2. Untuk mengetahui pemenuhan aspek keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012 D. Manfaat dan Kegunaan D.1. Manfaat Manfaat dalam suatu penelitian mencakup manfaat teoritis dan manfaat praktis, adapun manfaat yang di pakai penelitian adalah sebahgai berikut: 1. Manfaat teoritis: a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dalam penelitian hukum tentang Putusan Mahkamah Konstitusi. b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum perlindungan anak dalam sistem peradilan pidana anak. c. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi di bidang karya ilmiah serta bahan masukan bagi penelitian sejenis di masa yang akan datang. 8
2. Manfaat praktis a. Untuk memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat luas mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU- X/2012 atas permohonan uji materi pasal 96, UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. b. Dengan adanya penelitian ini, penegak hukum diharapkan bisa menjalankan tugasnya dengan baik dengan tetap menghormati hakhak konstitusional anak sebagai seorang warga negara. c. Untuk meningkatkan penalaran serta mengaplikasikan ilmu yang di peroleh penulis selama studi di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. D.2. Kegunaan Kegunaan penilitian adalah agar dalam penelitian ini bisa mencakup beberapa elemen agar penelitian ini bisa maksimal sebagai berikut: 1. Bagi Penulis Dengan penelitian ini diharapkan akan menjadi pengetahuan baru guna menambah wawasan terhadap permasalahan yang diangkat, dan juga sebagai persyaratan akademis untuk mendapat gelar kesarjanaan bidang ilmu hukum. 2. Bagi Masyarakat Dengan adanya penelitian ini diharapkan masyarakat memahami permasalahan perlindungan anak dalam sistem peradilan pidana setelah 9
adanya putusan Mahkamah Konstitus Nomor 110/PUU-X/2012 atas permohonan uji materi pasal 96, UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. 3. Bagi Penegakan Hukum Dengan adanya penelitian ini diharapkan para penegak hukum dalam sistem peradilan pidana dapat mengembangkan cara pandangnya dengan lebih memahami aspek yuridis dan teoritis mengenai aspek perlindungan anak pada setiap proses pemeriksaan di tingkat penyidikan, penuntutan maupun persidangan 4. Bagi Mahasiswa Diharapkan semua mahasiswa dapat memperoleh wawasan baru mengenai Putusan Mahkamah Kostitusi Nomor 110/PUU-X/2012sehingga nantinya apabila terjun dalam masyarakat dapat turut serta berkontribusi dalam memberikan advokasi kepada masyarakat khususnya kepada anak yang berhadapan dengan hukum. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan (Statute Approach) 3 dan Conceptual Approach. Pendekatan Statute Approach adalah 3 Zainuddin Ali, 2010. Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. hlm 105 10
pendekatan yang dilakukan dengan mengidentifikasi dan membahas perundang-undangan yang dalam hal ini adalah UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pendekatan Conceptual Approach adalah pendekatan melalui konsep/teori dalam buku-buku, literatur maupun pendapat dari para sarjana yang digunakan sebagai landasan pendukung dalam membahas permasalahan dalam skripsi, termasuk juga putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012. 2. Jenis Bahan Hukum Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan antara lain adalah : a. Bahan Hukum Primer Data primer dalam hal ini antara lain UUD 1945, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/PUU-X/2012. serta peraturan perundang-undangan lainnya. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa buku-buku, makalah, hasil penelitian, jurnal, artikel dan lainnya yang sesuai dengan fokus permasalahan dalam penelitian sebagai penunjang untuk melakukan analisis. Termasuk juga berita-berita yang dimuat dalam media cetak dan elektronik seperti internet yang berkaitan dengan konsep diversi dalam undang-undang sistem peradilan pidana anak. 11
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik dokumentasi dan kepustakaan dari berbagai sumber pustaka yang dilakukan di perpustakaan melalui kajian literatur untuk melihat data-data dan dokumen serta dari situs internet dan media cetak yang berkaitan dengan konsep diversi dan sistem peradilan pidana anak. 4. Analisa Data Pengolahan data yang telah terkumpul nantinya akan dianalisis dengan menggunakan analisis isi (content analysis) yaitu analisamendalam dan kritis terhadap aturan-aturan hukum maupun dari literatur-literatur yang relevan terkait dengan penghapusan ketentuan ancaman pidana terhadap penegak hukum yang tidak melaksanakan diversi dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak pasca putusan Mahkamah Konstitusi. F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi dari penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun rangkaian sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I : Pendahuluan yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. 12
BAB II : Dalam bab ini berisi pengertian tentang tinjauan umum dan kajian pustaka mengenai pengertian-pengertian, pendapat para ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan BAB III : Dalam bab ini akan dijabarkan pembahasan dan hasil analisa penulisan berkenaan dengan permasalahan yang dimaksud. BAB IV : Merupakan bab terakhir atau penutup dalam penulisan skirpsi yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang berhubungan dengan hal-hal yang diuraikan dalam bab-bab sebelumnya. 13