I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, tidak

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHUULUAN. terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak

I.PENDAHULUAN. Kejahatan merupakan salah satu masalah kehidupan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. meyakinkan adanya potensi atau kemungkinan (possibility) seorang korban

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB. I PENDAHULUAN. atau kurangnya interaksi antar anggota keluarga yang mengakibatkan

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan hukum akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. berada disekitar kita. Pemerkosaan merupakan suatu perbuatan yang dinilai

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

I. PENDAHULUAN. usahanya ia tidak mampu, maka orang cenderung melakukanya dengan jalan

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS MURNI OLEH JUDEX JURIST

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

I. PENDAHULUAN. budayanya. Meskipun memiliki banyak keberagaman bangsa Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di mana pers berada. 1. kemasyarakatan yang berfungsi sebagai media kontrol sosial, pembentukan

I. PENDAHULUAN. dan undang-undang yang berlaku. Meskipun menganut sistem hukum positif,

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar,

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

BAB IV HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan No.13/Pid.B/2011/PN.

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap

kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak

BAB II PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Kekerasan seksual pada anak, yaitu dalam bentuk pencabulan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 46/PUU-XIV/2016 Perbuatan Perzinaan, Perkosaan, dan Pencabulan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannyalah yang akan membentuk karakter anak. Dalam bukunya yang berjudul Children Are From Heaven, John Gray

KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TERHADAP ORANG TUA YANG TIDAK MELAKSANAKAN PENETAPAN UANG NAFKAH ANAK OLEH PENGADILAN PASCA PERCERAIAN

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal

Institute for Criminal Justice Reform

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 132/PUU-XIII/2015 Ketentuan Pidana Bagi Penyedia Jasa dan Pemakai Pada Tindak Pidana Prostitusi

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tindak pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang atau subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah tindak pidana tidak dapat dihindari dan memang selalu ada, sehingga wajar bila menimbulkan keresahan. Diperkirakan bahwa di daerah perkotaan, tindak pidana berkembang dengan bertambahnya penduduk, pembangunan modernisasi dan urbanisasi. Perkembangan pembangunan membawa dampak positif dan negatif, salah satu perkembangan negatif yang seringkali terjadi adalah dengan perkembangan teknologi informasi yang mempengaruhi seseorang melakukan tindakan pidana. Salah satu bentuk tindak pidana adalah tindak pidana pencabulan. Tindak pidana pencabulan dapat terjadi dimana saja dan kapan saja yang berakibat buruk bagi korban dan juga masyarakat. Sedemikian buruk akibat yang ditimbulkan pelaku pencabulan sehingga membuat pelaku pencabulan diberikan hukuman yang berat. Sehingga mereka berpikir untuk tidak mengulangi perbuatannya melalui upaya pencegahan yang dilakukan oleh Pemerintah melalui aparat penegak hukum.

2 Tindak pidana pencabulan merupakan perbuatan yang sangat merugikan. Oleh karena itu harus dicegah, ditangkal dan ditanggulangi, dengan cara jajaran kepolisian harus selalu siap melaksanaan tugasnya sekaligus mengantisipasi peningkatan tindak pidana pencabulan. Tugas dan wewenang Kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1998 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia. Bagi mereka yang tertangkap dalam tindak pidana ini, hendaknya diberikan sanksi yang berat. Dengan pemberian sanksi berupa pidana terhadap pelaku pencabulan, belum memuaskan rasa keadilan di masyarakat. Salah satu peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia ini yang melarang terjadinya suatu tindak pidana adalah Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP), yang mengatur jenis -jenis tindak pidana yang bersifat umum. Salah satu tindak pidana yang sering terjadi adalah tindak pidana pencabulan (Pasal 296 KUHP). Perbuatan tersebut termasuk unsur diancam pidana oleh undang-undang dan kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dibutuhkan pembuktian dihadapan hakim, sehingga hakim memegang peranan penting dalam pembuktian apakah seseorang bersalah atau tidak. Pencabulan tidak dapat hanya merupakan masalah antar individu, melainkan sebagai problem sosial yang terkait dengan masalah hak-hak asasi, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan dari segala bentuk penyiksaan, kekerasan, dan pengabaian martabat manusia terhadap wanita. Hal itu harus dilawan karena merupakan manifestasi ketidakadilan sehubungan dengan peran dan perbedaan jender, di samping manifestasi lainnya seperti marginalisasi, sub-ordinasi,

3 pelabelan negatif terhadap kaum perempuan (Fakih, 1996). Tindak kekerasan tersebut diistilahkan sebagai kekerasan gender terhadap perempuan ( genderrelated violence), dan dikategorikan PBB sebagai Gender-based abuse atau kekerasan pada wanita (Cholil, 1996). Pencabulan sebagai pelanggaran hak azasi manusia, merupakkan suatu mekanisme untuk membatasi ruang gerak perempuan dalam bentuk terorisme seksual yang menyerang dan merugikan hak-hak privasi berkaitan dengan seksualitas, dan juga menyerang kepentingan umum berupa jaminan hak-hak asasi yang harus dihormati secara kolektif. Hak yang dilanggar bersifat fundamental, yakni hak setiap orang untuk menikmati standar kesehatan tertinggi termasuk kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi artinya bukan hanya bebas dari kesakitan dan gangguan penyakit, tetapi berarti pula setiap orang mempunyai kemampuan untuk, antara lain: melakukan dan menikmati hubungan seksual secara aman. Ini menjadi hak seksual dan reproduksi (Cholil, 1996 dalam Wattie, 1996), di antaranya bodily integrity. Kekerasan terhadap wanita, dalam hal ini pencabulan, apabila dibiarkan berkembang menjadi rintangan terhadap pembangunan. Pasal 296 KUHP tentang pencabulan dirumuskan sebagai tindakan Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena pencabulan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana ini antara lain: dengan kekerasan atau ancaman kekerasan; memaksa perempuan yang bukan istrinya; untuk melakukan hubungan seksual

4 (bersetubuh). Dalam konteks masyarakat saat ini, rumusan ini tentunya sangat ketinggalan zaman, karena tindak pidana pencabulan saat ini mengalami perkembangan yang luar biasa baik modus operandi dan modelnya. Rumusan tindak pidana pencabulan dalam Pasal 296 KUHP dinilai diskriminatif, dan ikut berperan serta dalam membakukan nilai yang berlaku di masyarakat berkenaan dengan harkat dan martabat wanita. Dalam hukum pidana Indonesia khususnya kasus pencabulan keberadaan wanita diperkecil maknanya menjadi vagina saja, diatur hanya bila vaginanya terganggu (Indarti, 1993). Perumusan Pasal pencabulan menunjukkan standar nilai/moral yang dipakai masyarakat dalam memperlakukan perempuan khususnya isteri. Seorang isteri dalam hubungan seksual tidak mempunyai hak apapun terhadap suaminya (Katjasungkana, 1995:). Sehubungan dengan itu, bukan saja Pasal 296 KUHP perlu diganti, akan tetapi juga nilai-nilai sosial budaya dan mitos-mitos yang mengisyaratkan adanya dominasi pria terhadap wanita atau sesamanya perlu diganti (Susanto, 1992). Pengertian kekerasan dan ancaman kekerasan berkecenderungan dalam arti riil, sehingga sulit untuk memasukannya bagi perbuatan yang tidak riil, artinya tidak mengaitkan perbuatan dengan konteks suasana atau kondisi, serta status pelaku dan korban. Unsur persetubuhan dimaksudkan masuknya penis ke dalam vagina (alat reproduksi), disyaratkan harus betul-betul masuk dan mengeluarkan sperma. Penegakan hukum tidak lain berarti menegakkan norma-norma hukum sekaligus nilai-nilai di belakang norma tersebut. Jadi, selama ini yang ditegakan adalah nilai-nilai individualistis, yang mengabaikan prinsip keadilan. Hukum pidana

5 hanya mempersoalkan 3 hal yaitu: perbuatan yang dilarang, pertanggung-jawaban (orangnya/pelaku), dan sanksi pidana, sehingga korban tidak menjadi perhatian. Sehubungan dengan kasus pencabulan, kedudukan korban dalam proses peradilan pidana hanyalah sebagai saksi korban. Korban justeru dirugikan dan seolah-olah tidak dimanusiakan hanya penting untuk memberikan keterangan tentang apa yang dilakukan pelaku, dan dijadikan barang bukti untuk mendapatkan visum et repertum. Pidana denda, yang menurut pasal yang terbukti tersebut, paling sedikit Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) adalah hanya kata-kata di atas kertas yang sangat tidak mungkin dilaksanakan oleh Terdakwa sebagai seorang tenaga guru honorer, oleh karena itu Majelis Hakim Banding berpendapat tidak ada urgensinya menghukum Terdakwa dengan hukuman denda tersebut, akan tetapi Majelis akan menaikkan hukuman penjara terhadap Terdakwa Terdakwa, seorang guru honorer SD, terbukti melakukan pencabulan terhadap anak dibawah umur (9 th). Di tingkat PN terdakwa dinyatakan terbukti melanggar pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara minimum 3 tahun maksimum dan maksimum 15 tahun dan denda minimum Rp. 60.000.000 dan maksimum Rp 300.000.000. Oleh Majelis Hakim tingkat I terdakwa dihukum pidana penjara 4 tahun dan denda Rp. 60.000.000, namun oleh Pengadilan Tinggi hukuman tersebut diubah menjadi pidana penjara 6 tahun sedangkan dendanya dihapuskan dengan pertimbangan sebagaimana diatas. Atas dihapuskannya denda yang secara normatif bersifat imperatif tersebut JPU mengajukan kasasi, namun oleh Mahkamah Agung permohonan JPU tersebut

6 tidak dikabulkan. Alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, judex facti tidak salah menerapkan hukum, pertimbangan hukum dan putusan judex facti sudah tepat, karena judex facti telah mempertimbangkan hal-hal yang relevan secara yuridis dengan benar, yaitu; 1. Bahwa pidana denda adalah alternatif dari pidana penjara yang diancamkan atas pelanggaran Pasal aquo ; 2. Bahwa judex facti telah mempertimbangkan keadaan-keadaan yang memberatkan dan keadaan-keadaan yang meringankan sesuai Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP, berat ringannya pidana adalah wewenang judex facti ; Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul: Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 677 K/Pid.Sus/2008 Tentang Pidana Denda yang Dihapuskan Dalam Perkara Pencabulan B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Apakah dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No.677 K/Pid.Sus/2008 tentang pidana denda yang dihapuskan dalam perkara pencabulan? 2. Ruang Lingkup Penulis membatasi ruang lingkup dalam penelitian terbatas pada kajian hukum pidana yang meliputi: Putusan Mahkamah Agung No.677 K/Pid.Sus/2008 Tentang Pidana Denda Yang Dihapuskan Dalam Perkara Pencabulan

7 C. Tujuan dan Kegunaam Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian dalam skripsi ini, pada garis besarnya adalah untuk menjawab permasalahan, yaitu: untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No.677 K/Pid.Sus/2008 Tentang pidana denda yang dihapuskan dalam perkara pencabulan. 2. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini meliputi kegunaan teoritis dan praktis, yaitu : a. Kegunaan teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan ilmu hukum dan dapat memperluas daya berfikir, dapat mengembangkan kemampuan berkarya ilmiah dengan daya nalar dan sebagai sumber informasi bagi mereka yang memerlukan dan dapat menjadi salah satu referensi, khususnya mengenai Putusan Mahkamah Agung No.677 K/Pid.Sus/2008 Tentang Pidana Denda Yang Dihapuskan Dalam Perkara Pencabulan. b. Kegunaan Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak yang berkepentingan khususnya bagi aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam menindak tindak pidana pencabulan.

8 D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Kerangka teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. (Soerjono Soekanto, 1984 : 124). Perkembangan arus globalisasi yang kian pesat membawa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya ada pada pekembangan teknologi yang dapat dirasakan oleh siapapun serta arus informasi yang kian cepat. Namun di sisi lain timbul pula dampak negatif dari arus globalisasi yaitu semakin maraknya kejahatan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya kemajuan teknologi informasi serta adanya kebebasan pers. Hal tersebut dapat kita lihat pada media cetak maupun elektronik yang bernuansa pornografi. Itu semua dapat menimbulkan kejahatan terutama tindak pidana kesusilaan, khususnya terhadap anak-anak. Tindak pidana paling rentan dialami oleh anak-anak adalah tindak pidana kesusilaan yang berupa pencabulan, karena anaklah yang paling mudah untuk diperdaya. Hakim adalah pihak yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi terhadap seorang terdakwa. Dalam hal ini, hakim memilik kebebasan untuk menjatuhkan putusannya. Meskipun hakim memiliki kebebasan, namun kebebasan tersebut masih dalam batasan hukum. Hakim dalam menjatuhkan suatu putusan harus disertai dengan berbagai macam pertimbangan. Sehingga dari

9 putusan tersebut terwujud suatu kepastian hukum dan terpenuhinya rasa keadilan bagi semua pihak. Pertimbangan hakim pada umumnya mencakup sebagai berikut: pembuktian terdakwa, dan apakah telah memenuhi asas minimum pembuktian sesuai Pasal 183 KUHAP. Hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa dari hasil pemeriksaan sidang. hukuman yang patut dijatuhkan kepada terdakwa, serta apakah putusan yang akan dijatuhkan akan memenuhi rasa keadilan bagi korban maupun keluarganya. Disamping hal tersebut pertimbangan hakim juga harus meliputi pertimbangan latar belakang terdakwa, akibat perbuatan terdakwa, kondisi terdakwa dan agama terdakwa. Hal ini dimaksudkan agar putusan yang dijatuhkan sesuai dengan nilai sosiologis, filosofis, maupun seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. 2. Konseptual Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti (Soerjono Soekanto, 1986: 132) a. Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana (Tongat. 2008: 113). b. Ontuchtige handelingen atau cabul adalah tindakan yang berkenaan dengan kehidupan dibidang seksual, yang dilakukan dengan maksud-maksud untuk memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya bertentangan dengan pandangan umum untuk kesusilaan (PAF. Lamintang, 1997: 159).

10 c. Pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban sesorang untuk mengembalikan keseimbangan hukum atau menebus kesalahannya dengan pembayaran sejumlah uang tertentu cara (Efi Laila Kholis, 2010 : 9). d. Kasasi adalah pembatalan atas keputusan Pengadilan-pengadilan yang lain yang dilakukan pada tingkat peradilan terakhir dan dimana menetapkan perbuatan Pengadilan-pengadilan lain dan para hakim yang bertentangan dengan hukum, kecuali keputusan Pengadilan dalam perkara pidana yang mengandung pembebasan terdakwa dari segala tuduhan (Wahyu Kuncoro, 2010: 7). E. Sistematika Penulisan Upaya memudahkan maksud dari penelitian ini serta dapat dipahami, maka penulis membaginya ke dalam 5 (lima) bab secara berurutan dan saling berkaitan hubungannya yaitu sebagai berikut : I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang Latar Belakang tentang Putusan Pengadilan dalam memutuskan pelaku tindak pidana pencabulan yang selanjutnya merumuskan masalah dalam menentukan Ruang Lingkup Penelitian, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Konseptual dan Sistematika Penulisan. II. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menguraikan tentang teori-teori yang dapat dijadikan sebagai dasar atau teori dalam menjawab masalah yang terdiri dari Pengertian Tindak pidana dan Jenis-Jenis Tindak pidana, Bentuk-Bentuk Tindak pidana pencabulan,

11 Sebab-sebab Terjadinya Tindak pidana, serta Dasar Hukum Pemberantasan Tindak pidana pencabulan. III. METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan langkah-langkah atau cara yang dilakukan dalam penelitian meliputi Pendekatan Masalah, Sumber dan Jenis Data, Pengumpulan Data dan Pengolahan Data serta Analisa Data. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini memuat pembahasan berdasarkan hasil penelitian dari pokok permasalahan tentang: dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan pelaku tindak pidana pencabulan dan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pencabulan. V. PENUTUP Bab ini dibahas mengenai kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari hasil penelitian dan saran dari penulis yang merupakan alternatif penyelesaian permasalahan yang ada guna perbaikan di masa mendatang.