BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keterampilan berbahasa meliputi empat aspek yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek tersebut saling menunjang dan saling berkaitan. Kemahiran berbahasa itu adalah bersifat berurutan, untuk pandai berbahasa seseorang harus mampu menyimak, untuk pandai menulis seseorang harus pandai membaca. Membaca dan menulis merupakan dua aspek keterampilan berbahasa yang tidak bisa dipisahkan. Kemampuan menulis seseorang dipengaruhi oleh kemampuan membacanya dan begitu pula sebaliknya. Kedua kemampuan tersebut tidak diperoleh secara alami ataupun diwariskan secara turun-temurun. Kemampuan tersebut hanya bisa diperoleh melalui proses belajar mengajar di sekolah, dengan latihan-latihan secara teratur. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa membaca banyak sekali memberikan manfaat positif. Membaca akan menambah pengetahuan dan memberikan wawasan. Selain itu membaca juga dapat melatih seseorang untuk berpikir kritis, begitupun dengan menulis. Melalui kegiatan menulis seseorang bisa belajar untuk menuangkan gagasan dan pikiran berupa tulisan juga berlatih untuk merangkai kata. Oleh karena itu, dengan kemampuan membaca dan menulis yang baik seseorang akan mampu mempelajari ilmu lain dengan mudah, bisa mengomunikasikan gagasan serta mengekspresikan diri. Sehingga hal itu pun akan membentuk sumber daya manusia yang unggul. 1
Menurut Benjamin S. Bloom (dalam Hamzah B. Uno, 2008: 211) dalam tahap perkembangannya, siswa SMP berada pada tahap periode perkembangan yang sangat pesat dan segala aspek, yaitu, perkembangan aspek kognitif (cognitive domain), aspek afektif (affective domain), dan aspek psikomotorik (motor skill domain). Pada perkembangan aspek kognitif, periode yang dimulai pada usia 12 tahun, yaitu lebih kurang sama dengan usia siswa SMP, merupakan period of formal aperation. Pada usia ini, yang berkembang pada siswa adalah kemampuan berpikir secara simbolis dan bisa memahami sesuatu cara bermakna tanpa memerlukan objek yang konkrit atau bahkan objek visual. Siswa telah memahami hal-hal yang bersifat imajinatif. Berdasarkan tahap kemampuan kognitif (berpikir), anak usia SMP sangat potensial dalam mengoptimalkan kemampuan intelektualnya. Intelektual merupakan suatu kecerdasan yang dimiliki seorang individu yang dapat dikembangkan melalui proses belajar. Sebagai generasi penerus bangsa, anak usia SMP diharapkan mampu meningkatkan kecerdasan yang dimilikinya tersebut melalui belajar, baik melalui buku, pengalaman, lingkungan sekitarnya dan melalui media-media yang dapat menunjang proses belajar tersebut. Dengan mengembangkan keterampilan intelektual siswa SMP dapat berpikir secara kritis. Keberhasilan proses pembelajaran juga ditentukan oleh pemahaman tentang perkembangan ranah afektif siswa. Ranah afektif tersebut mencakup emosi atau perasaan yang dimiliki oleh setiap siswa. Pemahaman terhadap apa yang dirasakan dan direspon, dan apa yang diyakini dan diapresiasi merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kegiatan membaca. 2
Setelah seseorang melampaui tahapan kognitif dan afektif, maka tahap selanjutnya adalah tahap melaksanakan untuk seterusnya (adopsi-inovatif). Dalam proses seperti ini siswa berada pada psychomotor domain. Untuk dapat melaksanakan suatu inovasi, maka seseorang perlu menguasai, bukan saja ilmu pengetahuan atau informasi dari inovasi tersebut, tetapi juga mempunyai keterampilan (skill) tertentu. Bila diperlukan, maka penguasaan keterampilan ini akan di ulang beberapa kali sampai siswa tersebut dapat memanipulasi tindakan yang ia lakukan berdasarkan petunjuk yang diberikan untuk melaksanakan tindakan tersebut. Keterampilan tersebut dituangkan ke dalam kemampuan menulis siswa. Namun kenyataan yang ditemui berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Progres in international Reading Literacy Study (PIRLS), yaitu studi internasional dalam bidang membaca pada anak-anak seluruh dunia yang disponsori oleh The International Association for the Evaluation Achievment menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan membaca anak Indonesia berada pada urutan keempat dari bawah dari 45 negara di dunia (Latief, 2009). Artinya, bahwa kemampuan membaca anak Indonesia masih tergolong rendah. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), mencatat tahun 2008 angka buta aksara di Indonesia sebanyak 10,1 juta orang dengan usia antara umur 15-44 tahun. Buta aksara ini, turut mempengaruhi rendahnya kemampuan membaca siswa Indonesia paling rendah di kawasan ASEAN. Indonesia menduduki peringkat 38 dari 39 negara. Hal itu, menyebabkan United Nations Development Program (UNDP) menempatkan Indonesia pada urutan rendah dalam hal 3
pembangunan sumber daya manusia (Adhitama, 2008). Berdasarkan penelitianpenelitian di atas menunjukkan bahwa kemampuan membaca siswa di Indonesia masih tergolong rendah. Hasil penelitian terakhir yang dilaksanakan PISA (2003), dari 40 negara, Indonesia berada pada peringkat terbawah dalam kemampuan membaca. Tiga besar teratas diduduki Finlandia, Korea, dan Kanada. Bagi Indonesia, ini berarti dari lima tingkat kemampuan membaca model PISA, kemampuan anak-anak Indonesia usia 14-15 tahun baru berada pada tingkat satu. Artinya, hanya mampu memahami satu atau beberapa informasi pada teks yang tersedia. Kemampuan untuk menafsirkan, menilai, atau menghubungkan isi teks dengan situasi di luar terbatas pada pengalaman hidup di lingkungannya (Witdarmono, 2007). Nurhadi (2011: 85) dalam penelitiannya, menemukan bahwa rata-rata kecepatan membaca siswa SMP di Kedya Malang adalah 216 kata per menit. Idealnya, kecepatan membaca bagi siswa SMP adalah 225 kata per menit. Lebih lanjut, ditemukan rata-rata tingkat pemahaman terhadap isi bacaan sebesar 60,4 %. Hasil pemahaman tersebut adalah batas minimal pencapaian untuk memahami isi bacaan. Idealnya, tingkat pemahama terhadap isi bacaan antara 60-80%. Sebagai implikasi dari kondisi-kondisi tersebut, tidak ada jalan lain bagi guru selain harus berupaya keras menjadikan murid-muridnya sebagai pembaca yang mahir. Untuk menjadi pembaca-pembaca yang mahir diperlukan banyak latihan membaca dan banyak terlibat dalam aktivitas baca. Kegiatan membaca bukan hanya sekedar dipandang sebagai kebiasaan, melainkan sebagai kebutuhan. Siswa yang gemar membaca memperoleh pengetahuan dan wawasan baru 4
yang akan meningkatkan kecerdasannya sehingga mereka lebih mampu menjawab tantangan hidup pada masa-masa mendatang. Berdasarkan hal itu, maka kemampuan membaca dan menulis sejak dini perlu dikembangkan dengan baik. Namun di sisi lain, diakui atau tidak, minat baca siswa khususnya di negara Indonesia masih terhitung sangat rendah. Hal tersebut dapat dilihat dari intenstitas membaca siswa yang peneliti amati. Rata-rata siswa melakukan kegiatan membaca pada saat melakukan belajar saja, di luar itu sedikit sekali siswa yang melakukan kegiatan membaca, bahkan tidak sedikit pula yang tidak membaca sama sekali. Terlebih lagi di zaman serba canggih ini mereka lebih senang menghabiskan waktu bersama gadget mereka. Kenyataan yang muncul saat ini adalah anak-anak lebih senang mengisi waktu mereka dengan permainan-permainan digital mereka. Banyak juga anakanak yang tidak sadar rela menghabiskan waktu mereka berjam-jam dengan media sosial mereka dibandingkan membaca, sedangkan meluangkan waktu untuk membaca sangat sulit. Problema utama pembelajaran membaca di sekolah saat ini adalah bahwa pembelajaran membaca masih dilaksanakan secara asal-asalan. Kebiasaan buruk terlihat dari kenyataan bahwa pembelajaran membaca jarang sekali dilaksanakan untuk mendorong siswa agar memiliki kecepatan dan gaya membaca yang tepat melainkan hanya ditujukan untuk kepentingan praktis belaka yakni siswa mampu menjawab pertanyaan bacaan. Dampaknya adalah bahwa siswa hanya memiliki kecepatan membaca yang rendah bahkan diikuti pula oleh tingkat pemahaman yang rendah pula. Hasilnya, berbagai penelitian menunjukan bahwa kemampuan 5
efektif membaca siswa dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi sangatlah rendah. Faktor lain juga membuktikan bahwa masih banyak anak sekolah di beberapa daerah, terutama daerah terpencil yang tidak bisa membaca dan menulis. Fakta tersebut menunjukkan keadaan yang memprihatinkan mengenai kualitas para pelajar Indonesia. Kualitas para siswa itu tentu saja berpengaruh pada proses pendidikan pada jenjang berikutnya kelak. Hal tersebut dapat disebabkan beberapa faktor, baik secara pribadi maupun secara umum. Secara pribadi, biasanya berkaitan dengan kurangnya minat dan motivasi dalam diri siswa untuk menanamkan bahwa membaca buku merupakan suatu kegiatan yang perlu dan bermanfaat. Secara umum, faktor yang sangat berpengaruh besar adalah lingkungan sekitar siswa yang memang jauh dari kebiasaan atau budaya membaca. Seseorang yang sudah membudidayakan membaca akan menjadikan membaca sebagai kegiatan yang sangat penting dan menjadikan membaca sebagai suatu kebutuhan. Namun masalahnya saat ini adalah masih banyak siswa yang tidak membudidayakan kegiatan membaca. Terdapat berbagai masalah yang menyebabkan pembaca tidak dapat mencapai kemampuan maksimal. Masalah-masalah dimaksud terutama adalah yang berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan membaca tertentu, motivasi, kebiasaan serta minat membaca. Kemampuan membaca maksimal tidak dapat dicapai, jika masih ada kebiasaan-kebiasaan membaca tertentu yang merugikan para pembaca. Walaupun kebiasaan-kebiasaan tertentu ini tidak ada, jika metode- 6
metode dan teknik-teknik membaca yang efisien dan efektif dan bahasa tidak dikuasai, maka kemampuan maksimal itu juga tidak tercapai. Selanjutnya, tanpa motivas dan kebiasaan serta minat membaca yang tinggi, kemampuan maksimal dimaksud juga tidak akan tercapai, walaupun masalah-masalah di atas tadi telah teratasi. Karena itu, hanya dengan mengatasi masalah-masalah tersebut secara keseluruhanlah kemampuan membaca maksimal dapat tercapai. Untuk dapat menghadapi atau membantu permasalahan yang berkaitan dengan kemampuan membaca dan menulis tersebut, kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus menggenjot minat baca masyarakat khususnya peserta didik. Salah satu terobosan yang dilakukan pemerintah adalah dengan menerbitkan Peraturan Menteri pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Permendikbd ini diwujudkan dengan wajib membaca khususnya bagi siswa SD, SMP, atau SMA. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan juga mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai upaya untuk mengatasi minat baca yang rendah pada siswa di Indonesia. GLS merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik. GLS dikembangkan berdasarkan 9 agenda prioritas (Nawacita) yang terkait dengan tugas dan fungsi Kemendikbud, khususnya Nawacita nomor 5, 6, 8 dan 9. Empat butir Nawacita tersebut terkait erat dengan komponen literasi sebagai modal pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas, produktif, dan berdaya saing, berkarakter, serta nasionalis. 7
Kegiatan ini dilaksanakan untuk menumbuhkan minat baca peserta didik serta meningkatkan keterampilan membaca agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik. Materi baca berisi nilai-nilai budi pekerti, berupa kearifan lokal, nasional, dan global yang disampaikan sesuai tahap perkembangan peserta didik. Terobosan penting ini hendaknya melibatkan semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan, mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga satuan pendidikan yaitu sekolah. Pelibatan orang tua peserta didik dan masyarakat juga menjadi komponen penting dalam keberhasilan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Gerakan literasi sekolah adalah gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif berbagai elemen. Upaya yang ditempuh untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca peserta didik. Pembiasaan ini dilakukan dengan kegiatan 15 menit membaca (guru membacakan buku dan warga sekolah membaca dalam hati, yang disesuaikan dengan konteks atau target sekolah). Ketika pembiasaan membaca terbentuk, selanjutnya akan diarahkan ke tahap pengembangan, dan pembelajaran (disertai tagihan berdasarkan Kurikulum 2013). Variasi kegiatan dapat berupa perpaduan pengembangan keterampilan reseptif maupun produktif. Dalam pelaksanannya, pada periode tertentu yang terjadwal, dilakukan asesmen agar dampak keberadaan gerakan literasi sekolah dapat diketahui dan terus-menerus dikembangkan. Gerakan literasi sekolah diharapkan mampu menggerakkan warga sekolah, pemangku kepentingan, dan masyarakat untuk bersama-sama memiliki, melaksanakan, dan menjadikan gerakan ini sebagai bagian penting dalam kehidupan. 8
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai Perbedaan Kemampuan Membaca dan Kemampuan Menulis Siswa di Sekolah ber KTSP dengan ber K13 : sebuah Kajian di Empat SMP Negeri KutasarI Kabupaten Purbalingga Tahun Ajaran 2017/2018 untuk mendeskripsikan kemampuan membaca dan kemampuan menulis siswa SMP. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, penulis dapat mengidentifikasikan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah yang dimaksud dengan gerakan literasi sekolah? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dalam gerakan literasi sekolah? 3. Sejauh mana kemampuan membaca siswa SMP Negeri Kutasari Tahun Pelajaran 2017/2018? 4. Sejauh mana kemampuan menulis siswa SMP Negeri Kutasari Tahun Pelajaran 2017/2018? 5. Apakah gerakan literasi akan cocok dengan kemampuan membaca siswa SMP Negeri Kutasari Tahun Pelajaran 2017/2018? 6. Apakah gerakan literasi akan cocok dengan kemampuan menulis siswa SMP Negeri Kutasari Tahun Pelajaran 2017/2018? 7. Bagaimana sikap siswa SMP Negeri Kutasari Tahun Pelajaran 2017/2018 setelah diterapkannya gerakan literasi di sekolah? 8. Bagaimana minat siswa SMP Negeri Kutasari Tahun Pelajaran 2017/2018 terhadap gerakan literasi di sekolah? 9. Seperti apakah kemampuan membaca siswa SMP Negeri di Kutasari yang 9
menerapkan GLS dengan KTSP? 10. Seperti apakah kemampuan membaca siswa SMP Negeri di Kutasari yang menerapkan GLS dengan K13? 11. Seperti apakah kemampuan menulis siswa SMP Negeri di Kutasari yang menerapkan GLS dengan KTSP? 12. Seperti apakah kemampuan menulis siswa SMP Negeri di Kutasari yang menerapkan GLS dengan K13? 13. Adakah perbedaan antara kemampuan membaca siswa di sekolah yang menerapkan GLS dengan KTSP dan sekolah dengan K13? 14. Adakah perbedaan antara kemampuan menilis siswa di sekolah yang menerapkan GLS dengan KTSP dan sekolah dengan K13? C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi masalah pada: 1. Kemampuan membaca siswa SMP Negeri di Kutasari yang menerapkan GLS dengan KTSP. 2. Kemampuan membaca siswa SMP Negeri di Kutasari yang menerapkan GLS dengan K13. 3. Kemampuan menulis siswa SMP Negeri di Kutasari yang menerapkan GLS dengan KTSP. 4. Kemampuan menulis siswa SMP Negeri di Kutasari yang menerapkan GLS dengan K13. 5. Perbedaan antara kemampuan membaca siswa di sekolah yang menerapkan 10
GLS dengan KTSP dan sekolah dengan K13. 6. Perbedaan antara kemampuan menulis siswa di sekolah yang menerapkan GLS dengan KTSP dan sekolah dengan K13. D. Rumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah yaitu: 1. Seperti apakah kemampuan membaca siswa SMP Negeri di Kutasari yang menerapkan GLS dengan KTSP? 2. Seperti apakah kemampuan membaca siswa SMP Negeri di Kutasari yang menerapkan GLS dengan K13? 3. Seperti apakah kemampuan menulis siswa SMP Negeri di Kutasari yang menerapkan GLS dengan KTSP? 4. Seperti apakah kemampuan menulis siswa SMP Negeri di Kutasari yang menerapkan GLS dengan K13? 5. Adakah perbedaan antara kemampuan membaca siswa di sekolah yang menerapkan GLS dengan KTSP dan sekolah dengan K13? 6. Adakah perbedaan antara kemampuan menulis siswa di sekolah yang menerapkan GLS dengan KTSP dan sekolah dengan K13? E. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan besar manfaatnya bagi peneliti, yang akan memberikan arahan pokok-pokok yang akan diteliti. Hal ini memudahkan peneliti untuk mengerjakan dan mencari data-data yang diperlukan. Tujuan penelitian ini adalah: 11
1. untuk mengetahui kemampuan membaca siswa SMP Negeri di Kutasari yang menerapkan GLS dengan KTSP, 2. untuk mengetahui kemampuan membaca siswa SMP Negeri di Kutasari yang menerapkan GLS dengan K13, 3. untuk mengetahui kemampuan menulis siswa SMP Negeri di Kutasari yang menerapkan GLS dengan KTSP, 4. untuk mengetahui kemampuan menulis siswa SMP Negeri di Kutasari yang menerapkan GLS dengan K13, 5. untuk mengetahui perbedaan antara kemampuan membaca siswa di sekolah yang menerapkan GLS dengan KTSP dan sekolah dengan K13, 6. untuk mengetahui perbedaan antara kemampuan menulis siswa di sekolah yang menerapkan GLS dengan KTSP dan sekolah dengan K13. F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik yang bersifat teoretis maupun yang praktis. 1. Manfaat Teoretis Penelitian diharapkan dapat memperkaya khasanah pengetahuan terutama mengenai hubungan gerakan literasi sekolah dengan kemampuan membaca dan menulis serta dunia pendidikan. 2. Manfaat Praktis a) Bagi Guru Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi guru tentang hubungan gerakan literasi dengan kemampuan membaca dan 12
kemampuan menulis siswa agar dapat menciptakan prestasi yang baik di masa depan mereka. b) Bagi Peneliti Lain Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan ide untuk diteliti lanjut untuk melihat perkembangan gerakan literasi sekolah di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai rujukan untuk mengembangkan penelitian selanjutnya melalui literasi. c) Bagi Sekolah Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan khususnya mata pelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah. d) Bagi Pembaca Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam mencapai tujuan pendidikan. 13