BAB II MURABAHAH 1. Pengertian Murabahah dan Dasar Hukum Murabahah 1.1. Pengertian Murabahah Pembiayaan murabahah bertujuan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan modal untuk modal usaha dan lainnya, murabahah merupakan produk financial yang berbasis bai atau jual-beli.murabahahadalah produk pembiayaan yang paling banyak digubakan oleh perbankan syariah di dalam kegiatan Usaha.(Sutan Remy Sjahdeni, 2015, 190).Katamurabahah berasal dari berasal dari kata Ribhun(keuntungan).Sehinggamurabahah berarti saling menguntungkan, secara sederhana murabahah berarti jualbeli barang ditambah keuntungan yang disepakati. Jual beli secara murabahah secara terminologi adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal dengan pihak penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan penegembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur. Menurut Bank Indonesia murabahah adalah Jual-beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati. (Peraturan Bank Indonesia No.8/24/PBI/2016).Menurut Dewan Syariah Nasional yang dimaksud dengan murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.sedangkan dalam pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah 13
14 paragraph 52 dijelaskan bahwa murabahah adalah akad jualbeli barang yang menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.(wiroso, 2015, 14). Jual beli murabahah adalah pembelian oleh satu pihak untuk kemudian dijual kepada pihak lain yang telah mengajukan permohonan pembelian terhadap suatu barang dengan keuntungan atau tambahan harga yang transparan. Atau singkatnya jual-beli murabahah adalah akad jual-beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainly conctracts, karena dalam murabahah ditentukan berapa required rate profit-nya (keuntungan yang ingin diperoleh). (Mardani, 2012, 136) Menurut Maulana Taqi Usmani, murabahah pada mulanya bukan merupakan suatu cara atau modal pembiayaan (mode of financing). Pada mulanya murabahah sekedar suatu sale on cost-plus basis.namun setelah adanya konsep pembayaran tertunda, maka murabahah telah digunakan suatu modal atau cara pembiayaan dalam hal nasabah bermaksud untuk membeli suatu komoditas dengan cara menyicil pembayaran harganya. Oleh karena itu, menurut Maulana Taqi Usmani,murabahah jangan diterima sebagai suatu modal pembiayaan islam yang ideal atau sebagai instrument universal untuk keperluan semua jenis pembiayaan. (Mardani, 2015, 192) Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan definisi tentangmurabahah dalam penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf d tersebut, yang dimaksud
15 dengan akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati. Penjelasan tersebut belum mengungkapkan mekanisme dari pembiayaan murabahah oleh Bank Syariah kepada nasabahnya. (Mardani, 2015, 193). 1.2. Dasar Hukum Murabahah Dalam Al-qur an dijelaskan tentang jual-beli yang baik dan benar, dan tidak mezhalimi orang lain,dinyatakan dalam firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 275 Artinya: Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Departemen Agama RI, 48) Juga dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam Surah An- Nisa (4): 29
16 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (Departemen Agama RI, 84) Dijelaskan juga dalam surah Al-Baqarah(2): 280 Artinya: dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan..(departemen Agama RI, 47) artinya Adapun dasar hukum jual beli pada hadis Nabi yang dari Suhaib ar-rumi R.A, bahwa Rasulullah SAW barsabda: Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: jual-beli secara tangguh, muqaradhah (Mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual. (HR. Ibnu Majah). (Syafi I Antonio, 2001, 102) Hadits Nabi Riwayat Jama ah
17 Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezhaliman Ahmad: Hadits Nabi Riwayat Nasa I Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian saksi kepadanya. 2. Rukun dan Syarat 2.1. Rukun Murabahah Pada prinsipnya Rukun murabahah sama dengan rukun jual beli, sebab murabahah merupakan bagian dalam jual beli. Rukun dan syarat ini harus terpenuhi setiap kali melakukan transaksi. Hal ini bertujuan untuk kehati-hatian dalam pemindahan hak milik kepada orang lain. Terdapat perbedaan pandangan tentang rukun jual beli antara Ulama Hanafiyah dan Jumhur Ulama.Rukun jual beli Menurut Ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan qabul (ungkapan menjual dari penjual). Menurut Hanafiyah yang menjadi rukun jual beli hanya kerelaan, karena unsur kerelaan ini merupakan unsur hati yang sulit tampak, maka diperlukan indikasi yang menunjukkan kerelaan tersebut. Akan tetapi, menurut Jumhur Ulama rukun jual beli ada empat, yaitu: 1. Ada orang yang berakad yaitu penjual dan pembeli. 2. Ada shighat (lafal Ijab dan Qabul). 3. Ada barang yang dibeli. 4. Ada nilai tukar pengganti barang. (Haroen, 2000, 115) Penjabaran dari rukun murabahah sebagai berikut. a. Penjual
18 Dalam praktek Perbankan yang bertindak sebagai penjual adalah bank, yang akan membiayai nasabah terhadap barang yang diperlukan. Penjual harus menginformasikan kepada pembeli tentang harga pokok sekaligus keuntungan yang akan diperoleh oleh penjual serta jangka waktu yang diperlukan untuk pembiayaan tersebut. b. Pembeli Yang bertindak sebagai pembeli adalah nasabah bank yang bersangkutan.sebelum melakukan pembelian, pembeli haruslah menyebutkan jenis atau kualifikasi barang yang diinginkan kepada pihak penjual (Bank). c. Barang yang dijual Barang yang dijual adalah tidak termasuk barang yang dilarang untuk diperjualbelikan atau barang yang diharamkan, akan tetapi barang yang baik dan halal. d. Harga Mengenai harga, bank sebagai penjual menyebutkan harga pokok ditambah sejumlah keuntungan dalam jumlah tertentu yang telah disepakati antara kedua belah pihak baik nasabah maupun pihak Bank. e. Shighat Ijab qabul adalah menjadi syarat utama kedua belah pihak telah setuju atas jumlah yang telah ditetapkan yaitu harga modal ditambah dengan sejumlah keuntungan bagi pihak bank. Sedangkan syarat yang berkaitan dengan Nilai tukar yaitu:
19 a. Harga barang yang di jual hendaklah disebutkan pada waktu akad. b. Hendaklah di jelaskan jenis mata uang kecuali jika uang itu dilihat semasa akad. c. Barang yang dijual dengan harga tangguh haruslah dijelaskan: Tempo pembayaran sekaligus caranya, Permulaan tempo di kira dari tarikh penyerahan barang yang dijual. Tidak boleh diikat tempo kepada musim yang tidak tetap. 2.2. Syarat Murabahah 1. Orang yang berakad Syarat yang berkaitan dengan orang yang berakad, adalah: (Zuhaili, 1989, 354-355) a. Orang yang berakad berakal (mumayyiz) b. Tidaklah sah jual beli yang dilakukan oleh orang yang gila karena hanya orang yang sadar dan berakal yang bisa melakukan transaksi jual beli yang sempurna.bukan dalam keadaan bodoh, sebab Allah melarang menyerahkan harta kepada orang yang tidak sempurna akalnya. c. Memiliki ikhtisar melaksanakan akad dengan kehendak sendiri bukan karena terpaksa. d. Baliqh Adapun syarat yang berkaitan dengan ma qud alaih berkaitan dengan barang yang diperjualbelikan menurut Ulama Fiqh adalah:
20 1. Barangnya ada. 2. Dapat dimamfaatkan dan bermamfaat bagi manusia. 3. Milik sendiri. 4. Bisa diserahkan pada saat akad berlangsung, 2. Barang yang dijual Syarat lainnya yaitu tentang barang yang dijual haruslah memenuhi syarat sebagai berikut: a. Barang yang dijual mestilah ada pada masa akad dijalankan, sekalipun tidak dihadirkan dalam majlis akad. b. Barang yang dijual telah menjadi milik penjual. c. Barang yang dijual mempunyai mamfaat. d. Penjual punya kuasa menyerahkan barang itu kepada pembeli. e. Barang yang dijual jelas. f. Barang yang dijual bisa diserahterimakan. g. Tempat penyerahan barang yang dijual ialah dimana berlakunya akad, tetapi jika disetujui bahwa penyerahan dilakukan ditempat lain maka barang itu bisa diserahkan di tempat yang disepakati. h. Semua biaya yang berhubungan dengan penyerahan barang ditanggung oleh pembeli, cara lain dapat juga dilakukan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. i. Kerusakan barang yang dijual sebelum diambil oleh pembeli tidak ditanggung oleh pembeli. 3. Shigat Adapun Syarat yang berkaitan dengan shiqhat (ijab dan Qabul) adalah:
21 a. Orang yang telah mengungkapkan ijab dan Qabul telah baligh dan berakal. b. Qabul sesuai dengan Ijab (Nasrun Harun, h. 118) c. Ijab dan Qabul dilakukan dalam satu majelis, artinya penjual dan pembeli hadir dan membicarakan hal yang sama. Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan oleh Bank Syariah atau unit usaha syariah dari suatu Bank umum konvensional agar akad murabahah tidak bertentangan dengan prinsip Syariah. Artinya, bila akad syariah dibuat oleh suatu Bank Syariah atau oleh unit usaha syariah dengan memperhatikan syarat- syarat yang dikemukakan di bawah ini: 1. Jual-beli Murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki (hak kepemilikan telah berada di tangan si penjual). Artinya, keuntungan dan resiko barang tersebut ada pada penjual sebagai konsekuensi dari kepemilikan yang timbul dari akad yang sah. Ketentuan ini sesuai dengan kaidah, bahwa keuntungan yang terkait dengan resiko dapat mengambul keuntungan. 2. Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan dalam jual-beli pada suatu komoditas, semuanya harus diketahui oleh pembeli saat transaksi. Ini merupakan suatu syarat sah murabahah. 3. Adanya informasi yang jelas tentang keuntungan, baik nominal maupun persentase sehingga diketahui oleh pembeli sebagai satu syarat sah murabahah. 4. Dalam system murabahah, penjual boleh menetapkan syarat pada pembeli untuk menjamin kerusakan yang tidak tampak pada barang, tetapi lebih baik syarat seperti ini
22 tidak ditetapkan, karena pengawasan barang merupakan kewajiban penjual di samping untuk menjaga kepercayaan yang sebaik-baiknya. (Mardani, 137). 5. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan. 6. Kontrak harus bebas riba. 7. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian. Aturan-aturan Murabahah Dewan Syariah Nasional (DSN) mengeluarkan Fatwa Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 mengenai FATWA TENTANG MURABAHAH sebagai berikut: (Dewan Syari ah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, h 25-26) Syari ah: Pertama : Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank 1. Bank dan Nasabah harus melakukan akad Murabahah yang bebas Riba. 2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh Syariat Islam. 3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya. 4. Bank membeli barang yag diperlukan Nasabah atas nama Bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. 5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara berhutang. 6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli ditambah keuntungan. Dalam hal ini Bank harus memberitahukan
23 secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. 7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang disepakati. 8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak Bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan Nasabah. 9. Jika Bank hendak mewakilkan kepada Nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, aqad jual beli Murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik Bank Kedua : Ketentuan Murabahah kepada Nasabah: 1. Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada Bank. 2. Jika Bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang. 3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli. 4. Dalam jual beli ini Bank dibolehkan meminta Nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. 5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya Riil bank harus dibayar dari uang muka.
24 6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh Bank, Bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada Nasabah. 7. Jika uang muka memakai kontrak urbun sebagai alternative dari uang muka, maka a. Jika Nasabah memutuskan untuk membelibarang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga. b. Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik Bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh Bank akibat pembatalan tersebut; dan jika unag muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya. Ketiga : Jaminan dalam Murabahah: 1. Jaminan dalam Murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya. 2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang. Keempat : Hutang dalam Murabahah: 1. Secara prinsip, penyelesaian hutang nasabah dalam transaksi Murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihakketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan hutangnya kepada Bank. 2. Jika Nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
25 3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan hutang nya sesuia kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan. Kelima : Penundaan Pembayaran dalam Murabahah : 1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian hutangnya. 2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika slah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaian dilakukan melalu Badan Arbitase Syari ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Keenam : Bangkrut dalam Murabahah : Jika Nasabah telah dinyataka pailit dan gagal dalam menyelesaikan hutangnya, Bank harus menunda taguhan hutang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan. 1. Pelaksanaan Akad pada Pembiayaan Murabahah Proses pelaksanaan akad pembiayaan Murabahah adalah: 1.1. Murabahah dengan pesanan Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan.dalam Murabahah berdasarkan pesanan, Bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari Nasabah, dan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya (Bank dapat meminta uang muka pembelian kepada Nasabah). Dalam kasus jual beli biasa, misalnya seseorang ingin membeli barang tertentu dengan spesifikasi
26 tertentu, sedangkan barang tersebut belum ada pada saat pemesanan, maka si penjual akan mencari dan membeli barang yang sesuai dengan spesifikasinya, kemudian menjualnya kepada sipemesan. Contoh mudahnya, si Fulan ingin membeli mobil dengan perlengkapan tertentu yang harus dicari, dibeli, dan dipasang pada mobil pesanannya oleh dealer mobil. Transaksi Murabahah melalui pesanan ini adalah sah dalam fiqih islam, antara lain dikatakan oleh Imam Muhammad Ibnul-Hasan Al-Syaibani, Imam Syafi I, dan Imam Ja far Al-Shiddiq. Dalam Murabahah melalui Pesanan ini, si penjual boleh meminta pembayarn Hamish ghadiyah, yakni uang tanda jadi ketika ijab-kabul. Hal ini sekedar untuk menunjukkan bukti keseriusan si pembeli. Bila kemudian si penjual telah membeli dan memasang berbagai perlengkapan di mobil pesanannya, sedangkan si pembeli membatalkannya, Hamish ghadiyah ini dapat digunakan untuk menutup kerugian su dealer mobil. Bila jumlah Hamish ghadiyah-nya lebih kecil dibandingkan jumlah kerusakan yang harus ditanggung oleh si penjual, penjual dapat meminta kekurangannya. Sebaliknya, bila berlebih, si pembeli berhak atas kelebihan itu. Dalam Murabahah berdasarkan pesanan yang bersifat mengikat, pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya. 1.2. Tunai atau Cicilan Pembayaran Murabahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan.dalammurabahah juga diperkenankan adanya perbedaan dalam harga barang untuk cara
27 pembayaran yang berbeda. Murabahah muajjal dicirikan dengan adanya penyerahan barang di awal akad dan pembayaran kemudian (setelah awal akad), baik dalam bentuk angsuran maupun dalam bentuk lump sum (sekaligus). Skema pembiayaan
28 keterangan : Ia. Supplier menjual secara tunai Ib. Bank membeli secara tunai Rp X,- 2a. Bank menjual secara cicilan 2b. Nasabah membayar keuntungan secara cicilan Rp X,- + keuntungan Bank Bank dapatmemberikanpotongan apabila Nasabah: 1. Mempercepat pembayaran cicilan; atau 2. Melunasi piutang Murabahahsebelum jatuh tempo. Berdasarkan sumber dana yang digunakan, pembiayaan Murabahah secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga kelompok. 1. Pembiayaan Murabahah yang didanai dengan URIA (Unrestrivted Investment Account = Investasi tidak terikat). 2. Pembiayaan Murabahah yang didanai dengan RIA (Restricted Investment Account = Investasi terikat). 3. Pembiayaan Murabahah yang didanai dengan Modal Bank.
29 Dalam setiap pendesainan sebuah pembiayaan, factorfaktor yang perlu diperhatikan adalah: 1. Kebutuhan Nasabah; 2. Kemampuan financial Nasabah. Faktor-faktor ini juga akan mempengaruhi sumber dana yang akan digunakan untuk pembiayaan tersebut. (Adiwarman A. Karim, 2011, 113-117). 2. Pengertian Akad dan pembagian Akad Akad atau al- aqd = Perikatan, Perjanjian, dan Permufakatan (al- ittifaq).pertalian ijab dan Kabul sesuai dengan kehendak syari at yang berpengaruh pada objek pertalian. Yang dimaksud dengan yang sesuai kehendak syari at adalah, bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih boleh apabila tidak sejalan dengan kehendak syarak, misalnya transaksi bebas Riba. Menurut az-zarqa, dalam pandangan syara, suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak atau keinginan untuk mengikatkan diri tersebut sifatnya tersembunyi dalam hati.oleh sebab itu, untuk menyatakan kehendak masing-masing harus diungkapkan dalam suatu pernyataan. (Muhammad, 2009, h. 18-19). Pada Akad juga ada Rukun akad yang harus terpenuhi ketika melakukan suatu akad.terdapat perbedaan pendapat Ulama Fiqih dalam menentukan Rukun akad. Jumhur Ulama menyatakan, bahwa Rukun akad tersebut terdiri atas; 1. Pernyataan untuk mengikatkan diri (sigah al- aqd); adalah pernyataan yang timbul dari dua orang yang melakukan akad yang menunjukkan kesungguhan
30 kehendak batin keduanya untuk mengadakan akad. Kehendak batin tersebut diketahui melalui lafal, ucapan atau semacamnya, seperti perbuatan, isyarat, atau kitabah (tulisan). ((Ahmad Wardi Muslich, 2015, h. 133) 2. Pihak-pihak yang berakad 3. Objek akad. Objek akad adalah segala sesuatu yang dijadikan sasaran atau tujuan akad. Jenisnya kadangkadang benda yang bersifat maliyah, seperti barang yang dijual, digadaikan, atau dihibahkan, dan adakalanya berupa mamfaat, seperti benda yang disewakan. (Ahmad Wardi Muslich, 2015, h. 127) Ulama Mazhab Hanafi berpendirian bahwa rukun akad itu hanya satu, yaitu sighat al-aqd, sedangkan pihak-pihak yang berakad dan objek akad, menurut mereka tidak termasuk Rukun akad, tetapi termasuk syarat akad.karena menurut mereka yang dikatakan rukun itu adalah Esensi yang berada dalam akad itu sendiri, sedangkan pihak-pihak yang berakad dan objek akad sudah diatur diluar Esensi Akad. Sighat al-aqd merupakan rukun akad yang terpenting, kecuali pernyataan ini diketahui maksud setiap pihak yang melakukan akad. Sigah al-aqd diwujudkan melalui ijab dan Kabul. dalam kaitannya Kabul ini, ulama Fikih mensyaratkan: (Muhammad, 2009, h.20-21). Tujuan pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami dari pernyataan itu jenis akad yang dikehendaki, karena akadakad itu sendiri berbeda dalam sasaran dan hukumya. Antara ijab dan Kabul terdapat kesesuaian. Pernyataan ijab dan Kabul itu mengacu pada suatu kehendak masing-masing pihak secara pasti, tidak raguragu.
31 Akad juga memiliki syarat umum, ulama Fiqih menetapkan beberapa syarat umum yang harus dipenuhi oleh suatu akad. Syarat-syarat umum suatu akad adalah sebagai berikut: a. Pihak-pihak yang melakukan akad telah cakap bertindan hukum (mukallaf) atau jika objek akad itu merupakan milik ornag yang tidak atau belum cakap bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya. b. Objek akad itu diakui syara. c. Akad itu tidak dilarang oleh nash syara. d. Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusu dengan akad yang bersangkutan. Artinya disamping harus memenuhi syarat-syarat umum yang harus dipenuhi suatu akad, akad tersebut juga harus memenuhi syarat-syarat khusunya. e. Akad itu bermamfaat. f. Ijab tetap utuh dan shahih sampai terjadinya Kabul. g. Ijab dan Kabul itu dilakukan dalam satu majelis, yaitu suatu keadaan yang menggambarkan proses suatu transaksi. h. Tujuan akad itu jelas dan diakui syara. Ulama Fiqih mengemukakan, bahwa akad dapat dibagi dari berbagai segi. Apabila dilihat dari segi keabsahannya menurut syara, maka akad shahih sebagai berikut: Akad shahih yaitu akad yang telah memenuhi Rukun dan syaratnya. Hukum dari akad shahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad tersebut dan mengikat bagi pihak-pihak yang berakad. (Muhammad, 2009, h, 29-30)
32 Wahbah Zuhaili memberikan definisi akad yang shahih adalah suatu akad yang terpenuhi asalnya dan sifatnya. Yang dimaksud dengan asal dalam definisi tersebut adalah rukun, yakni ijab dan kabul, para pihak yang melakukan akad, dan objeknya. Sedangkan yang dimaksud dengan sifat adalah hal-hal yang tidak termasuk rukun dan objek seperti syarat.hukum akad yang shahih adalah timbulnya akibat hukum secara spontan antara kedua belah pihak yang melakukan akad, yakni hak dan kewajiban. (Ahmad Wardi Muslich, 2015,153-154). Akad shahih ini dibagi oleh ulama mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki menjadi dua macam: a. Akad yang Nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), yaitu akad yang dilangsungkan dengan memnuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya. Misalnya yang dilakukan oleh orang yang memiliki kecakapan dan kekuasaan, contohnya seperti yang dilakukan oleh orang yang baliqh, berakal, dan cerdas (mampu) mengurus harta nya sendiri, atau wali atau washiy dari anak yang dibawah umur, atau wakil. b. Akad Mauquf, yaitu akad yang dilakukan seseorang yang memiliki kecakapan bertindak hukum untuk melakukan akad, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan karena tidak memperoleh mandate untuk melakukannya. Contohnya seperti akad fudhuli atau akad yang dilakukan oleh anak yang mumayyiz dalam akad yang spekulatif (mungkin menguntungkan, mungkin merugikan). Hukumnya adalah akad semacam ini tidak menimbulkan akibat hukum kecuali apabila disetujui oleh orang-orang yang berkepentingan. Apabila tidak disetujui
33 maka akad tersebut batal. Akan tetapi menurut Syafi iyah dan Hanabilah, akad ini hukumnya batal.