II. LANDASAN TEORI. A. Alih Fungsi Lahan. kehutanan, perumahan, industri, pertambangan, dan transportasi.

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. nafkah. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Hampir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENDAPATAN PETANI

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumberdaya lahan (land resources) sebagai lingkungan fisik terdiri dari iklim, relief,

TINJAUAN PUSTAKA. serta pendorong dan penarik tumbuhnya sektor sektor ekonomi, dapat. dan pengangguran serta dapat mensejahterakan masyarakat.

TINJAUAN PUSTAKA. (Heady dan Jensen, 2001) penggunaan lahan paling efisien secara ekonomi adalah

ISSN DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN

I. PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

PENATAAN WILAYAH PERTANIAN INDUSTRIAL Alih Fungsi Lahan. Julian Adam Ridjal PS Agribisnis Universitas Jember

I. PENDAHULUAN. utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih

TINJAUAN PUSTAKA. dan daerah, sarana penumbuhan rasa kebersamaan (gotong royong), sarana

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sektor non pertanian merupakan suatu proses perubahan struktur ekonomi.

PENDAHULUAN. Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang. kelangsungan kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi.

I. PENDAHULUAN. bahan pangan utama berupa beras. Selain itu, lahan sawah juga memiliki

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

II. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh

DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN. menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Sektor pertanian telah. masyarakat, peningkatan Pendapatan Domestik Regional Bruto

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Pola Konversi dan Pemanfaatan Lahan yang Dikonversi

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh

ANALISIS DAMPAK ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN BEKASI JAWA BARAT (Studi Kasus Desa Sriamur Kecamatan Tambun Utara)

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal

BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN PERTANIAN SERTA DAMPAK EKONOMI DI KABUPATEN TANGERANG LUNGIT SHRIWINANTI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

I. PENDAHULUAN. komunitas mengubah ekosistem hutan atau lahan kering menjadi sawah adalah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN

KEBIJAKAN DAN PERMASALAHAN PENYEDIAAN TANAH MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan letak astronomis, Indonesia terletak diantara 6 LU - 11 LS

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Lahan menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kehidupan. manusia. Fungsi lahan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk

A. Latar Belakang. ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertanian adalah suatu usaha untuk menghimpun pabrik-pabrik alami biologis

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. banyak, masih dianggap belum dapat menjadi primadona. Jika diperhatikan. dialihfungsikan menjadi lahan non-pertanian.

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 81/Permentan/OT.140/8/2013 TENTANG PEDOMAN TEKNIS TATA CARA ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB VI OPTIMALISASI PENGENDALIAN PENTAAN RUANG DALAM RANGKA PERUBAHAN FUNGSI LAHAN SAWAH IRIGASI TEKNIS DI KAWASAN PANTURA

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Indonesia saat ini tengah menghadapi sebuah kondisi krisis pangan seiring

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

PENDAHULUAN. pangan bagi dirinya sendiri. Kegiatan pertanian tersebut mendorong suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

BAB I PENDAHULUAN I.1.

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal

LAPORAN AKHIR STUDI PROSPEK DAN KENDALA PENERAPAN REFORMA AGRARIA DI SEKTOR PERTANIAN

BAB VI LANGKAH KE DEPAN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISIS DAMPAK EKONOMI DARI ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN TERHADAP KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR SARAH NUR AMALIA

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. bermatapencaharian sebagai petani. Kondisi geografis negara Indonesia terletak di

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Lahan Sawah. memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jambi

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

XI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. erupsi Merapi terhadap sektor pertanian dan lingkungan TNGM di Provinsi DIY dan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, bahwa penduduk Indonesia dari

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan waktu pertumbuhan penduduk yang cepat. fungsi. Masalah pertanahan akan selalu timbul dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN. letusan dan leleran ( Eko Teguh Paripurno, 2008 ). Erupsi lelehan menghasilkan

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN SAWAH KE PENGGUNAAN NON PERTANIAN DI KABUPATEN TANGERANG. Oleh : FANNY ANUGERAH K A

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DAFTAR ISI. Tabel SD-1 Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan Utama Tabel SD-2 Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/Status... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

II. LANDASAN TEORI A. Alih Fungsi Lahan Sumberdaya lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki banyak manfaat bagi manusia, seperti sebagai tempat hidup, tempat mencari nafkah. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan seperti sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan, dan transportasi. Lahan mempunyai arti penting bagi para stakeholder yang memanfaatkannya. Fungsi lahan bagi masyarakat sebagai tempat tinggal dan sumber mata pencaharian. Bagi petani, lahan merupakan sumber memproduksi makanan dan keberlangsungan hidup. Bagi pihak swasta, lahan adalah aset untuk mengakumulasikan modal. Bagi pemerintah, lahan merupakan kedaulatan suatu negara dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Adanya banyak kepentingan yang saling terkait dalam penggunaan lahan, hal ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih kepentingan antar aktor yaitu petani, pihak swasta, dan pemerintah dalam memanfaatkan lahan. Lahan pertanian merupakan lahan yang diperuntukan untuk kegiatan pertanian. Sumberdaya lahan pertanian memiliki banyak manfaat bagi manusia. Menurut Sumaryanto dan Tahlim (2005) menyebutkan bahwa manfaat lahan pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori. 11

12 1. Use values atau nilai penggunaan dapat pula disebut sebagai personal use values. Manfaat ini dihasilkan dari hasil eksploitasi atau kegiatan usahatani yang dilakukan pada sumber daya lahan pertanian. 2. Non use values dapat pula disebut sebagai intrinsic values atau manfaat bawaan. Berbagai manfaat yang tercipta dengan sendirinya walaupun bukan merupakan tujuan dari kegiatan eksploitasi dari pemilik lahan pertanian termasuk dalam kategori ini. Menurut Yoshida (1994) dan Kenkyu (1996) dalam Sumaryanto dan Tahlim (2005) bahwa dari aspek lingkungan, keberadaan lahan pertanian dapat berkontribusi dalam lima manfaat, yaitu: pencegahan banjir, pengendali keseimbangan tata air, pencegahan erosi, pengurangan pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah rumah tangga, dan mencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan. Alih fungsi lahan pertanian bukan merupakan hal yang baru. Dengan semakin meningkatnya taraf hidup dan terbukanya kesempatan untuk menciptakan peluang kerja, yang ditandai oleh semakin banyaknya investor ataupun masyarakat dan pemerintah dalam melakukan pembangunan, maka semakin meningkat pula kebutuhan akan lahan. Di pihak lain jumlah lahan yang terbatas sehingga menimbulkan penggunaan lahan yang beralih ke penggunaan non-pertanian. Alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian merupakan isu yang perlu diperhatikan karena ketergatungan masyarakat terhadap sektor pertanian. Konversi lahan atau alih fungsi lahan adalah berubahnya satu penggunaan lahan

13 ke penggunaan lainnya, sehingga permasalahan yang timbul akibat konversi lahan, banyak terkait dengan kebijakan tataguna tanah (Ruswandi, 2007). Menurut Kustiawan (1997) alih fungsi atau konversi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Alih fungsi lahan umumnya terjadi di wilayah sekitar perkotaan dan dimaksudkan untuk mendukung perkembangan sektor industri dan jasa. Dalam kegiatan alih fungsi lahan sangat erat kaitannya dengan permintaan dan penawaran lahan. Adanya ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan dimana penawaran terbatas sedangkan permintaan tak terbatas menyebabkan alih fungsi lahan. Menurut Barlowe (1978), faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran lahan adalah karateristik fisik alamiah, faktor ekonomi, faktor teknologi, dan faktor kelembagaan. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan lahan adalah populasi penduduk, perkembangan teknologi, kebiasaan dan tradisi, pendidikan dan kebudayaan, pendapatan dan pengeluaran, selera dan tujuan, serta perubahan sikap dan nilai-nilai yang disebabkan oleh perkembangan usia. Sumaryanto dan Tahlim (2005) mengungkapkan bahwa pola konversi lahan dapat ditinjau dalam beberapa aspek: 1. Pertama, alih fungsi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Lazimnya motif tindakan ada tiga, yaitu: (1) untuk pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal, (2) dalam rangka meningkatkan pendapatan melalui alih usaha, (3) kombinasi dari (1) dan (2) seperti pembangunan rumah sekaligus dijadikan tempat usaha. Pola alih fungsi lahan ini terjadi di sembarang tempat,

14 kecil-kecil, dan tersebar. Dampak alih fungsi lahan dengan pola ini terhadap eksistensi lahan sawah sekitarnya baru signifikan untuk jangka waktu lama. 2. Alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan lahan. Pemilik menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha nonpertania atau kepada makelar. Secara empiris, alih fungsi lahan melalui cara ini terjadi dalam hamparan yang luas, terkonsentrasi, dan umumnya berkorelasi positif dengan proses urbanisasi (pengkotaan). Dampak alih fungsi lahan terhadap eksistensi lahan sawah sekitarnya berlangsung cepat dan nyata. Alih fungsi lahan dapat bersifat permanen dan juga dapat bersifat sementara (Utomo, 1992). Jika lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri, maka alih fungsi lahan bersifat permanen. Akan tetapi, jika sawah tersebut berubah menjadi perkebunan tebu, maka alih fungsi lahan tersebut bersifat sementara, karena pada tahun-tahun berikutnya dapat dijadikan sawah kembali. Alih fungsi lahan permanen biasanya lebih besar dampaknya dari pada alih fungsi lahan sementara. Di satu sisi alih fungsi lahan ini menambah terbukanya lapangan kerja di sektor non-pertanian seperti jasa konstruksi, dan industri, akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang kurang menguntungkan. Menurut Widjanarko (2006) dampak negatif akibat alih fungsi lahan, antara lain: 1. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang mengganggu tercapainya swasembada pangan. 2. Berkurangnya luas sawah yang mangakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sektor pertanian ke non-pertanian, yang apabila tenaga kerja lokal yang

15 ada tidak terserap seluruhnya justru akan meninggikan angka pengangguran. Dampak sosial ini akan berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial masyarakat setempat terhadap pendatang yang pada gilirannya berpotensi meningkatkan konflik sosial. 3. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan menjadi tidak optimal pemanfaatannya. 4. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun industri sebagai dampak krisis ekonomi atau karena kesalahan perhitungan mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh sehingga meningkatkan luas lahan tidur yang pada gilirannya akan menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan tanah. 5. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai Utara Pulau Jawa yang terbaik dan telah terbentuk puluhan tahun, sedangkan pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan Tengah, tidak memuaskan hasilnya. Sumaryanto dan Tahlim (2005) mengungkapkan bahwa dampak negatif dari konversi lahan sawah adalah degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional, pendapatan pertanian menurun, dan meningkatnya kemiskinan masyarakat lokal. Selain itu dampak lainnya adalah rusaknya ekosistem sawah, serta adanya perubahan budaya dari agraris ke budaya urban sehingga menyebabkan terjadinya kriminalitas. Menurut Firman (2005) dalam Widjanarko (2006) bahwa alih fungsi lahan yang terjadi menimbulkan dampak langsung maupun dampak tidak langsung.

16 Dampak langsung yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan berupa hilangnya lahan pertanian subur, hilangnya investasi dalam infrastruktur irigasi, kerusakan natural lanskap, dan masalah lingkungan. Kemudian dampak tidak langsung yang ditimbulkan berupa inflasi penduduk dari wilayah perkotaan ke wilayah tepi kota. Kegiatan alih fungsi lahan pertanian juga berpengaruh terhadap lingkungan. Perubahan lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem lahan pertanian. Menurut Ruswandi (2007) secara faktual alih fungsi lahan atau konversi lahan menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain berkurangnya lahan terbuka hijau sehingga lingkungan ata air akan terganggu, serta lahan untuk budidaya pertanian semakin sempit. Furi (2007) menjelaskan bahwa konversi lahan atau alih fungsi lahan yang terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan penguasaan lahan. Perubaha dalam penguasaan lahan di pedesaan membawa implikasi bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang menjadi indikator kesejahteraan masyarakat desa. Terbatasnya akses untuk menguasai lahan menyebabkan terbatas pula akses masyarakat atas manfaat lahan yang menjadi modal utama mata pencaharian sehingga terjadi pergeseran kesempatan kerja ke sektor non-pertanian (sektor informal). Laju penggunaan lahan akan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan pembangunan ekonomi. Meningkatnya permintaan akan lahan mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Menurut Pakpahan dkk. (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi atau konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu

17 faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat wilayah yaitu faktor yang tidak langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan konversi dan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani yaitu faktor yang langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan alih fungsi. Di tingkat wilayah, alih fungsi lahan sawah secara tidak langsung dipengaruhi oleh perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi, dan konsistensi implementasi rencana tata ruang. Sedangkan secara tidak langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman, dan sebaran lahan sawah. Pengaruh langsung dipengaruhi oleh pengaruh tidak langsung, seperti pertumbuhan penduduk akan menyebabkan pertumbuhan pemukiman, perubahan struktur ekonomi ke arah industri dan jasa akan meningkatkan kebutuhan pembangunan sarana transportasi dan lahan untuk industri, serta peningkatan arus urbanisasi akan meningkatkan tekanan penduduk atas lahan dipinggiran kota. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di tingkat petani adalah kondisi sosial ekonomi petani seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan kemampuan ekonomi secara keseluruhan serta pajak tanah, harga tanah dan lokasi tanah. Menurut Martin Situmeang (1998), perubahan struktur ekonomi dimana telah terjadi peningkatan peranan sektor non-pertanian terhadap perekonomian dapat mempercepat perubahan pola penggunaan lahan ke arah pengkotaan.

18 Selanjutnya, perubahan struktur perekonomian sendiri dapat dijelaskan dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi, dimana pertumbuhan ekonomi dapat mempercepat terjadinya struktur ekonomi kearah sektor manufaktur, jasa dan sektor non-pertanian lainnya. Menurut Winoto (2005) faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian antara lain: 1. Faktor Kependudukan. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tanah. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan. 2. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktivitas sektor nonpertanian dibandingkan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk bertani disebabkan oleh tingginya biaya produksi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu karena faktor kebutuhan keluarga petani yang terdesak oleh kebutuhan modal usaha atau keperluan keluarga lainnya. 3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan. 4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan. Hal ini antara lain tercermin dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk penggunaan tanah nonpertanian.

19 5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum (Law Enforcement) dari peraturan-peraturan yang ada. Menurut Kustiawan (1997) dalam hasil kajiannya menyatakan bahwa ada faktor yang berpengaruh terhadap proses alih fungsi lahan pertanian sawah, yaitu: 1. Faktor Eksternal adalah faktor-faktor dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi yang mendorong alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian, 2. Faktor-faktor Internal adalah kondisi sosial ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan yang mendorong lepasnya kepemilikan lahan, dan. 3. Faktor Kebijaksanaan Pemerintah Utomo (1992) memaparkan bahwa secara umum masalah alih fungsi dalam penggunaan lahan terjadi antara lain karena pola pemanfaatan lahan masih sektoral, delineasi antar kawasan belum jelas, kriteria kawasan belum jelas, koordinasi pemanfaatan ruang masih lemah, dan pelaksanaan UUPA (Undangundang Pokok Agraria) masih lemah dan penegakan hukum yang masih lemah. Menurut Winoto (1996) dalam hasil penelitiannya alih fungsi lahan sawah ditentukan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan sistem pertanian yang ada seperti halnya perubahan di dalam land tenure system dan perubahan dalam sistem ekonomi pertanian. B. Sosial Ekonomi Petani Aspek sosial ekonomi merupakan aspek yang tidak bisa terlepas dari kehidupan petani. Aspek sosial ekonomi petani yang diteliti yaitu penguasaan luas lahan, pendapatan, dan kekayaan.

20 1. Luas Lahan Persediaan sumber daya lahan dapat ditentukan dengan mengukur luas usahatani, tetapi harus pula diperhatikan bagian-bagian yang tidak dapat digunakan untuk pertanian, seperti lahan yang sudah digunakan untuk bangunan, jalan, dan saluran. Sering pula diperlukan penggolongan lahan dalam beberapa kelas sesuai dengan kemampuannya, seperti lahan yang baik untuk ditanami dan yang tidak dapat digunakan untuk usaha pertanian, lahan beririgasi dan yang tidak (Soekartawi dkk., 1986). Menurut Loekman Soetrisno (1998) rata-rata petani di Indonesia khususnya petani Jawa mempunyai lahan yang sempit, yaitu tidak lebih dari 0,5 hektar. Sempitnya lahan yang dikuasai petani berkaitan dengan budaya warisan, dimana satu bidang tanah harus dibagi-bagi sesuai dengan jumlah yang menerima warisan sehingga kebanyakan para petani hanya mempunyai sepetak tanah kecil saja. Sebagai sumber ekonomi terpenting bagi masyarakat desa khususnya petani, luas lahan dan kondisi sawah sebagai lahan pertanian sangat menentukan produksi dan pendapatan rumah tangga petani. Petani yang menguasai lahan sawah yang luas akan memperoleh hasil produksi yang besar dan begitu pula sebaliknya. Dalam hal ini luas sempitnya lahan sawah yang dikuasai petani akan sangat menentukan besar kecilnya pendapatan yang diperoleh. Luas lahan yang diusahakan yang relatif sempit seringkali menjadi kendala untuk dapat diusahakan secara efisien. Dengan keadaan tersebut petani terpaksa

21 melakukan kegiatan lain di luar usahataninya untuk memperoleh tambahan pendapatan agar tercukupi kebutuhnannya (Totok Mardikanto, 2003). 2. Pendapatan Menurut Totok Mardikanto (2003) tingkat pendapatan seperti halnya luas usahatani. Pada taraf komersialisasi pertanian yang mula-mula diantaranya adalah cukup makan bagi keluarganya dan petani ingin menjamin hal itu dengan menghasilkan sendiri bahan pangannya untuk memenuhi kebutuhan lain keluarganya. Petani menjual hasil bumi secukupnya guna membayar pajak atas sewa tanah, mengangsur hutang (jika ada) dan membeli keperluankeperluan yang tidak dapat dihasilkannya sendiri. Untuk mencapai tujuannya ini, maka melalui perusahaan pertaniannya ia harus memperhitungkan pengeluaran dan penerimaan. Selisih antara pengeluaran dan penerimaan, pendapatan bersih usahatani harus terus naik agar petani dapat meningkatkan taraf hidup keluarganya (Mosher, 1978). C. Gunung Merapi Gunung Merapi merupakan gunung api aktif yang terletak di titik silang antara sesar transversal yang memisahkan wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah, selain itu juga terletak di sebuah sesar longitudinal Jawa. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sub bagian Badan Geologi memperjelas keterangan yang dituliskan oleh Neuman van Padang mengenai letak Gunung Merapi (2.986 m dpl), bahwa gunung tersebut terletak di perbatasan empat kabupaten yaitu Kabupaten Sleman, Magelang, Boyolali dan Klaten Jawa Tengah (Kusumadinata, dkk., 1979).

22 Gunung Merapi mempunyai aktivitas vulkanik yang berbeda dibandingkan gunung-gunung di Jawa lainnya. Perekaman aktivitas Merapi mulai lebih intensif sejak tahun 1930an, yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda.3 Menurut catatan pemerintah Kolonial Belanda, Gunung Merapi pada 1930-an erupsi besar karena menyebabkan korban hingga 1.369 jiwa dan rusaknya fasilitas publik di daerah Magelang seperti tenggelamnya kereta api oleh material vulkanik. Korban jiwa yang banyak pada masa itu, kemungkinan dipengaruhi pula dengan kurangnya upaya mitigasi yang diterapkan oleh pemerintah Kolonial (Badan Litbang Pertanian, 2010). Erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada 1930an ini menjadi perhatian besar bagi Pemerintah Kolonial pada masa itu, Pemerintah Indonesia sekarang dan utamanya bagi Balai Penyelidikan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta. Menurut catatan BPPTKG, tidak semua peristiwa erupsi Gunung Merapi mengakibatkan kerugian yang besar meskipun tetap ada kerusakan yang diakibatkan oleh material vulkanik. Kegiatan erupsi Gunung Merapi yang sehebat erupsi tahun 1930an adalah kegiatan erupsi pada tahun 1960an, kemiripan ini bukan karena banyaknya korban jiwa, namun karena kekuatan erupsi itu sendiri, yaitu banyaknya material vulkanik yang dikeluarkan pada saat erupsi maupun lahar dingin. Pada erupsi 1960an banyak desa-desa di wilayah Kabupaten Magelang, tanah-tanah pertanian dan fasilitas publik yang rusak (Marliyani, 2010). Periode erupsi Merapi selanjutnya yang dapat menandingi kekuatan erupsi 1960an adalah erupsi tahun 2010. Hal ini karena korban jiwa dan juga kerusakan

23 lingkungan yang ditimbulkan mencapai tingkat kemiripan dengan yang terjadi tinggal sekitarnya seharusnya wilayah tersebut didak digunakan sebagai tempat tinggal maupun digunakan sebagai tempat mencari nafkah. Namun yang terjadi adalah masyarakat masih banyak yang memilih tetap tinggal di lereng Gunung Merapi (Rahayu dkk., 2014).