PERENCANAAN PROGRAM LATIHAN UNTUK LBP (LOW BACK PAIN) ET CAUSA SPONDYLOSIS

dokumen-dokumen yang mirip
FISIOTERAPI PADA PENDERITA LBP AKIBAT SPONDYLOSIS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan peradaban manusia sudah semakin berkembang pesat di

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang lebih modern masyarakat juga mengalami perubahan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan peran serta masyarakat untuk lebih aktif. Aktivitas manusia sangat

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas fungsional sehari-hari. Kesehatan merupakan keadaan bebas dari

BAB I PENDAHULUAN. Untuk itu peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam rangka menciptakan. A. Latar Belakang Masalah

dengan processus spinosus berfungsi sebagai tuas untuk otot-otot dan ligamenligamen

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Dengan tingkat kesehatan yang optimal maka akan dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. langsung dan tidak langsung, kesehatan masyarakat juga perlu. With Low Back Pain : A Randomized Controllled Trial Bukti juga

ANATOMI FISIOLOGI TULANG BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. pengguna jasa asuransi kesehatan. Pengertian sehat sendiri adalah suatu kondisi

BAB I PENDAHULUAN. seperti HNP, spondyloarthrosis, disc migration maupun patologi fungsional

PENDAHULUAN. yang berkembang kian pesat sangat berpengaruh pula aktivitas yang terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. melakukan aktivitas fungsional sehari-hari. yang lama dan berulang, akan menimbulkan keluhan pada pinggang bawah

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai penyanggah berat badan, yang terdiri dari beberapa bagian yakni salah

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA LOW BACK PAIN SPONDYLOSIS LUMBALIS 4-5 DENGAN MWD ULTRA SOUND DAN WILLIAM FLEXION EXERCISE DI RSUD SRAGEN

By Sudaryanto, S.St Dosen Biomekanik BIOMEKANIK VERTEBRA

BAB I PENDAHULUAN. bebas dari kecacatan sehingga untuk dapat melakukan aktivitas dalam

MEKANICAL CERVICAL & LUMBAR TRACTION. Oleh: Sugijanto

BAB I PENDAHULUAN. Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu

Instabilitas Spinal dan Spondilolisthesis

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tingkat derajad kesehatan masyarakat secara makro. Berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah menyelenggarakan. bagian-bagian integral dari pembangunan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penyebab 40% kunjungan pasien berobat jalan terkait gejala. setiap tahunnya. Hasil survei Word Health Organization / WHO

Anatomi Vertebra. Gambar 1. Anatomi vertebra servikalis. 2

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA LOW BACK PAIN MIOGENIK DI RST. Dr. SOEJONO MAGELANG

BAB I PENDAHULUAN. bagian yakni salah satunya bagian leher yang mempunyai peranan sangat

BAB I PENDAHULUAN. Dunia globalisasi menuntut masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan keadaan dinamis dan dapat ditingkatkan sehingga manusia dapat

BAB I PENDAHULUAN. mencapai hasil yang optimal. Upaya kesehatan yang semula dititikberatkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Wanita dewasa adalah wanita yang telah menyelesaikan masa

PERBEDAAN EFEKTIVITAS ANTARA TERAPI LATIHAN WILIAM S FLEXION DENGAN MCKENZIE EXTENSION PADA PASIEN YANG MENGALAMI POSTURAL LOW BACK PAIN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Dalam studi kasus ini, seorang pasien perempuan dengan inisial Ny. NF

BAB I PENDAHULUAN. sehingga manakala seseorang menderita sakit maka seseorang akan

BAB I PENDAHULUAN. pegal yang terjadi di daerah pinggang bawah. Nyeri pinggang bawah bukanlah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Angka kejadian Ischialgia bawah hampir sama pada semua populasi

BAB 1 PENDAHULUAN. seumur hidup sebanyak 60% (Demoulin 2012). Menurut World Health

PENGARUH TERAPI TRANSCUTANEUS ELECTRICAL NERVE STIMULATION DAN ULTRASOUND PADA LOW BACK PAIN KINETIK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Spine merupakan tulang penopang tubuh yang tersusun atas cervical

BAB I PENDAHULUAN. dengan pesat yang akan memberikan dampak positif dan negatif secara

Naskah Publikasi. Diajukan guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk menyelesaikan program Pendidikan Diploma III fisioterapi

PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA KONDISI PASKA OPERASI HERNIA NUCLEUS PULPOSUS DI VERTEBRA L5-S1 DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan nasional yang kini digalakan salah satunya adalah di

Kelainan Degeneratif SPINE Dr. Nuryani Sidarta,SpRM

BAB I PENDAHULUAN. dimana dijumpai beraneka ragam jenis keluhan antara lain gangguan neuromuskular,

BAB I PENDAHULUAN. Nyeri punggung bawah atau Low Back Pain (LBP) merupakan. sehingga dengan demikian walaupun etiologi LBP dapat bervariasi dari yang

BAB I PENDAHULUAN. Nyeri pinggang bawah atau dalam istilah medisnya Low Back Pain (LBP)

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat berinteraksi atau beradaptasi dengan lingkungan. Hal ini merupakan

BAB VI PEMBAHASAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. punggung antara lain aktifitas sehari-hari seperti, berolahraga, bekerja, dan

LAPORAN KASUS: PENATALAKSANAAN LOW BACK PAIN e.c SPONDYLOSIS LUMBALIS DENGAN SWD DAN WILLIAM FLEXION EXERCISE

BAB I PENDAHULUAN. umum dan untuk mencapai tujuan tersebut bangsa Indonesia melakukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. keselamatan kerja. Hal ini disebabkan karena 65% penduduk Indonesia. adalah usia kerja 30% bekerja disektor formal dan 70% disektor

kemungkinan penyebabnya adalah multifactorial sehingga sulit untuk mengetahui penyebab pasti dari keluhan tersebut dan kebanyakan LBP pada usia

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan, begitu juga dalam bidang kesehatan. Salah satu Negara kita, yaitu dari

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA LOW BACK PAIN AKIBAT SPONDYLOSIS LUMBAL DAN SCOLIOSIS DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di setiap negara. Di dunia, sedikitnya 50% dari semua petugas. mencapai 80% dari semua tenaga kesehatan.

PERBEDAAN PENGARUH PENAMBAHAN WILLIAM S FLEXION EXERCISES PADA INTERVENSI SHORT WAVE DIATHERMY DAN TRANSCUTANEUS ELECTRICAL NERVE STIMULATION PADA

BAB 1 PENDAHULUAN. kebutuhan tersebut manusia melakukan macam aktivitas. Aktivitas yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh tugas, kepribadian, dan lingkungan, seperti bekerja, olahraga,

BAB I PENDAHULUAN. spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. fungsionalnya. Kompleksnya suatu gerakan dalam aktifitas seperti. tulang-tulang yang membentuk sendi ini masing-masing tidak ada

BAB I PENDAHULUAN. prevalensi tertinggi menyerang wanita (Hoy, et al., 2007). Di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi LBP dalam 1 tahun, adalah dari 3,9% hingga 65% (Andersson,

BAB 1 PENDAHULUAN. serta bidang kesehatan. Setiap orang yang hidup baik usia produktif maupun

BAB I PENDAHULUAN. yang sempurna baik secara fisik, mental, dan sosial serta tidak hanya bebas dari

BAB I PENDAHULUAN. sehari-hari, peran yang sangat kompleks, anatomi dan fisiologi (fungsi

BAB I. Aktivitas fisik setiap orang dalam menjalani kehidupan sehari-hari. dalam menunjang paradigma hidup sehat hendaknya dilakukan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Nyeri punggung bawah atau Low Back Pain (LBP) merupakan. merupakan bagian pinggang atau yang ada di dekat pinggang.

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA LOW BACK PAIN MIOGENIK DI RST DR. SOEDJONO MAGELANG

BAB I PENDAHULUAN. populasi pada usia>50 tahun dan sering terjadi pada usia didapatkan pada usia tahun. Di Amerika Serikat, kasusnyeri

BAB I PENDAHULUAN. penelitian telah banyak di kembangkan untuk mengatasi masalah-masalah penuaan.

BAB I PENDAHULUAN. untuk hiduplebih maju mengikuti perkembangan tersebut. Untuk memenuhi tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas sehari- hari, beradaptasi dan berkontribusi di lingkungan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. sekedar jalan-jalan atau refreshing, hobi dan sebagainya. Dalam melakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. degeneratif atau osteoarthritis (OA). Sendi merupakan faktor penunjang yang

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA CERVICAL ROOT SYNDROME DI RSUD SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. Ihsan Baleendah Bandung, yang termasuk dalam sepuluh besar penyakit

Fahrurrazi Klinik YAKRIJA, Tangerang Jl. Halim PK Jurumudi Baru Tangerang Kota

yang sangat penting dalam aktifitas berjalan, sebagai penompang berat tubuh dan memiliki mobilitas yang tinggi, menyebabkan OA lutut menjadi masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Gangguan nyeri pinggang dapat dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Seiring dengan perkembangan jaman masalah kesehatan menjadi salah

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan termasuk salah satunya bidang kesehatan. Pembangunan di bidang

BAB I PENDAHULUAN. harapan hidup manusia atau seseorang berarti secara otomatis berdampak pula

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

SKRIPSI HUBUNGAN POSISI DUDUK DENGAN TIMBULNYA NYERI PUNGGUNG BAWAH PADA PENGEMUDI MOBIL

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS LOW BACK PAIN MYOGENIC E.C. LUMBAR STRAIN DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa data yang tersedia menurut World Health Organization (2010),

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUl... i. LEMBAR PERSETUJUAN... ii. LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI... iii. ABSTRAK... iv. KATA PENGANTAR... v. DAFTAR ISI...

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya aktifitas masyarakat diluar maupun didalam ruangan. melakukan atifitas atau pekerjaan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. memberikan prioritas pada upaya promotif dan preventif tanpa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. baru. (Millson, 2008). Sedangkan menurut pendapat Departement of Trade and

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat cepat. Setiap detik terdapat dua orang yang berulang tahun ke-60 di dunia,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

PERENCANAAN PROGRAM LATIHAN UNTUK LBP (LOW BACK PAIN) ET CAUSA SPONDYLOSIS DISUSUN OLEH : Sela Maudia (1406626274) PROGRAM VOKASI BIDANG STUDI RUMPUN KESEHATAN

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia- Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah Fisioterapi Terapi Latihan yang berjudul Perencanaan Program Latihan Untuk LBP (Low Back Pain) Et Causa Spondylosis dengan tepat waktu. Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Teori Terapi Latihan. Selama penyusunan karya tulis ini, banyak kendala yang penulis hadapi. Namun berkat bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak, semua kendala tersebut dapat teratasi. Pada kesempatan ini, dengan ketulusan hati, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada yang terhormat: 1 Dosen pembimbing, Safrin Arifin, S.ST. FT, S.K.M., M.Sc dan Retno Dumilah, Dipl.FT yang dengan ikhlas menjawab pertanyaan dan memberikan saran dan petunjuk, 2 Kedua orang tua dan teman-teman yang telah memberikan dukungan, bantuan, dan doanya, serta 3 Semua pihak yang tidak penulis sebutkan satu persatu, yang telah ikut membantu hingga terselesaikannya makalah ini. Semoga karya tulis ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada para pembaca. Penulis sadar bahwa karya tulis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan karya tulis ini. Depok, 26 Mei 2016

BAB I Penulis PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah lumbal terdiri atas L1 sampai L5. L5 S1 merupakan yang paling besar menerima beban atau berat tubuh sehingga daerah lumbal menerima gaya dan stress mekanikal paling besar sepanjang vertebra (Bellenir K, 2008). Menurut The Healthy Back Institute (2010), daerah lumbal merupakan daerah vertebra yang sangat peka terhadap terjadinya nyeri pinggang karena daerah lumbal paling besar menerima beban saat tubuh bergerak dan saat menumpu berat badan. Selain itu, gerakan membawa atau mengangkat objek yang sangat berat biasanya dapat menyebabkan terjadinya cidera pada lumbar spine. Nyeri pinggang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi. Kondisi-kondisi yang umumnya menyebabkan nyeri pinggang adalah strain lumbar, iritasi saraf, radiculopathy lumbar, gangguan pada tulang (stenosis spinal, spondylolisthesis), kondisi-kondisi sendi dan tulang (spondylosis), dan kondisi-kondisi tulang kongenital (spina bifida dan skoliosis) (William C. Shiel Jr, 2009). Diantara kondisi tersebut, telah diobservasi bahwa sekitar 90% pasien nyeri pinggang mengalami spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia, 2009). Sedangkan menurut Kelly Redden (2009), nyeri pinggang dibagi atas 2 bagian yaitu nyeri pinggang mekanikal dan nyeri pinggang nonmekanikal. Nyeri pinggang mekanikal dapat disebabkan oleh lumbar strain/sprain, spondylosis lumbal, piriformis syndrome, herniasi diskus, spinal stenosis, fraktur kompresi osteoporotik, spondylolisthesis, fraktur traumatik, dan penyakit kongenital (skoliosis). Diantara kondisi tersebut, spondylosis lumbal menduduki peringkat kedua dengan persentase 10% dari nyeri pinggang mekanikal sedangkan lumbar strain/sprain memiliki persentase terbanyak yaitu 70% dari mekanikal nyeri pinggang. Spondylosis lumbal merupakan penyakit degeneratif pada corpus vertebra atau diskus intervertebralis. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita. Faktor utama yang bertanggung jawab terhadap perkembangan spondylosis lumbal adalah usia, obesitas, duduk dalam waktu yang lama dan kebiasaan postur yang jelek. Pada faktor usia menunjukkan bahwa kondisi ini banyak dialami oleh orang yang berusia 40 tahun keatas. Faktor obesitas juga berperan dalam menyebabkan perkembangan spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia, 2009). Spondylosis lumbal merupakan kelompok kondisi Osteoarthritis yang menyebabkan perubahan degeneratif pada intervertebral joint dan apophyseal joint (facet joint). Kondisi ini terjadi pada usia 30 45 tahun namun paling banyak terjadi pada usia 45 tahun dan lebih banyak

terjadi pada wanita daripada laki-laki. Sedangkan faktor resiko terjadinya spondylosis lumbar adalah faktor kebiasaan postur yang jelek, stress mekanikal dalam aktivitas pekerjaan, dan tipe tubuh. Perubahan degeneratif pada lumbar dapat bersifat asimptomatik (tanpa gejala) dan simptomatik (muncul gejala/keluhan). Gejala yang sering muncul adalah nyeri pinggang, spasme otot, dan keterbatasan gerak kesegala arah (Ann Thomson, 1991). Problem nyeri, spasme dan keterbatasan gerak dapat ditangani dengan intervensi fisioterapi. Berbagai modalitas dapat digunakan untuk mengatasi problem tersebut seperti Short Wave Diathermi (SWD) dan TENS. Kemudian pemberian William Flexion Exercise dapat menghasilkan peningkatan stabilitas lumbal dan menambah luas gerak sendi pada lumbal melalui peningkatan fleksibilitas dan elastisitas otot (Paul Hooper, 1999). Beberapa pasien yang berusia 40 tahun keatas dan umumnya wanita mengalami kondisi spondylosis lumbal dengan problem nyeri pinggang serta gangguan gerak dan fungsi pada lumbal. Keadaan ini biasanya membatasi aktivitas kegiatan sehari-hari penderita dan setelah beberapa kali ditangani oleh fisioterapi kondisinya membaik. B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui program latihan yang diberikan fisioterapi pada pasien dengan nyeri punggung bawah (Low Back Pain) akibat spondylosis lumbal. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui perubahan nilai VAS (intensitas nyeri) setelah diberikan William Flexion Exercise. b. Untuk mengetahui perubahan fleksibilitas setelah diberikan William Flexion Exercise. c. Untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah terapi latihan C. Manfaat Penulisan Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam membuat program latihan untuk kasus spondylosis lumbal dengan menggunakan William Flexion Exercise. 2. Sebagai bahan bacaan dan masukan bagi mahasiswa lain.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Spondylosis Lumbal 1. Pengertian Spondylosis merupakan kondisi dimana terjadi perubahan degeneratif pada sendi intervertebralis antara corpus dan diskus. Spondylosis merupakan kelompok osteoarthritis yang juga dapat menghasilkan perubahan degeneratif pada sendi-sendi sinovial sehingga dapat terjadi pada sendi-sendi apophyseal tulang belakang. Secara klinis, kedua perubahan degeneratif tersebut seringkali terjadi secara bersamaan (Ann Thomson et al, 1991). Spondylosis lumbal merupakan gangguan degeneratif yang terjadi pada corpus dan diskus intervertebralis, yang ditandai dengan pertumbuhan osteofit pada corpus vertebra tepatnya pada tepi inferior dan superior corpus. Osteofit pada lumbal dalam waktu yang lama dapat menyebabkan nyeri pinggang karena ukuran osteofit yang semakin tajam (Bruce M.Rothschild, 2009). Menurut Statement of Principles Concerning (2005), spondylosis lumbar didefinisikan sebagai perubahan degeneratif yang menyerang vertebra lumbar atau diskus intervertebralis, sehingga menyebabkan nyeri lokal dan kekakuan, atau dapat menimbulkan gejala-gejala spinal cord lumbar, cauda equina atau kompresi akar saraf lumbosacral. Spondylosis lumbal seringkali merupakan hasil dari osteoarthritis atau spur tulang yang terbentuk karena adanya proses penuaan atau degenerasi. Proses degenerasi umumnya terjadi pada segmen L 4 L 5 dan L 5 S 1. Komponen-komponen vertebra yang seringkali mengalami spondylosis adalah diskus intervertebralis, facet joint, corpus vertebra dan ligamen (terutama ligamen flavum) (John J. Regan, 2010). 2. Etiologi Spondylosis lumbal muncul karena adanya fenomena proses penuaan atau perubahan degeneratif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini tidak berkaitan dengan gaya hidup, tinggi-berat badan, massa tubuh, aktivitas fisik, merokok dan konsumsi alkohol (Bruce M.Rothschild, 2009).

Spondylosis lumbal banyak pada usia 30 45 tahun dan paling banyak pada usia 45 tahun. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita daripada laki-laki. Faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan spondylosis lumbal adalah (Ann Thomson et al, 1991): a. Kebiasaan postur yang jelek b. Stress mekanikal akibat pekerjaan seperti aktivitas pekerjaan yang melibatkan gerakan mengangkat, twisting dan membawa/memindahkan barang. c. Tipe tubuh (obesitas) Ada beberapa faktor yang memudahkan terjadinya progresi degenerasi pada vertebra lumbal yaitu (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009) : a. Faktor usia Beberapa penelitian pada osteoarthritis telah menjelaskan bahwa proses penuaan merupakan faktor resiko yang sangat kuat untuk degenerasi tulang khususnya pada tulang vertebra. Suatu penelitian otopsi menunjukkan bahwa spondylitis deformans atau spondylosis meningkat secara linear sekitar 0% - 72% antara usia 39 70 tahun. Begitu pula, degenerasi diskus terjadi sekitar 16% pada usia 20 tahun dan sekitar 98% pada usia 70 tahun. b. Stress akibat aktivitas dan pekerjaan Degenerasi diskus juga berkaitan dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Penelitian retrospektif menunjukkan bahwa insiden trauma pada lumbar, indeks massa tubuh, beban pada lumbal setiap hari (twisting, mengangkat, membungkuk, postur jelek yang terus menerus), dan vibrasi seluruh tubuh (seperti berkendaraan), semuanya merupakan faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan spondylosis dan keparahan spondylosis. c. Peran herediter Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan degenerasi diskus. Penelitian Spector and MacGregor menjelaskan bahwa 50% variabilitas yang ditemukan pada osteoarthritis berkaitan dengan faktor herediter. Kedua penelitian tersebut telah mengevaluasi progresi dari perubahan degeneratif yang menunjukkan bahwa sekitar ½ (47 66%) spondylosis berkaitan dengan faktor genetik dan lingkungan, sedangkan hanya 2 10% berkaitan dengan beban fisik dan resistance training. d. Adaptasi fungsional Penelitian Humzah and Soames menjelaskan bahwa perubahan degeneratif pada diskus berkaitan dengan beban mekanikal dan kinematik vertebra. Osteofit mungkin terbentuk dalam proses degenerasi dan kerusakan cartilaginous mungkin terjadi tanpa pertumbuhan

osteofit. Osteofit dapat terbentuk akibat adanya adaptasi fungsional terhadap instabilitas atau perubahan tuntutan pada vertebra lumbar. 3. Patologi Terapan Salah satu aspek yang penting dari proses penuaan adalah hilangnya kekuatan tulang. Perubahan ini menyebabkan modifikasi kapasitas penerimaan beban (load-bearing) pada vertebra. Setelah usia 40 tahun, kapasitas penerimaan beban pada tulang cancellous/trabecular berubah secara dramatis. Sebelum usia 40 tahun, sekitar 55% kapasitas penerimaan beban terjadi pada tulang cancellous/ trabecular. Setelah usia 40 tahun penurunan terjadi sekitar 35%. Kekuatan tulang menurun dengan lebih cepat dibandingkan kuantitas tulang. Hal ini menurunkan kekuatan pada end-plates yang melebar jauh dari diskus, sehingga terjadi fraktur pada tepi corpus vertebra dan fraktur end-plate umumnya terjadi pada vertebra yang osteoporosis (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006). Cartilaginous end-plate dari corpus vertebra merupakan titik lemah dari diskus sehingga adanya beban kompresi yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pada cartilaginous endplate. Pada usia 23 tahun sampai 40 tahun, terjadi demineralisasi secara bertahap pada cartilago end-plate. Pada usia 60 tahun, hanya lapisan tipis tulang yang memisahkan diskus dari channel vaskular, dan channel nutrisi lambat laun akan hilang dengan penebalan pada pembuluh arteriole dan venules. Perubahan yang terjadi akan memberikan peluang terjadinya patogenesis penyakit degenerasi pada diskus lumbar. Disamping itu, diskus intervertebralis orang dewasa tidak mendapatkan suplai darah dan harus mengandalkan difusi untuk nutrisi (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006). Menurut Kirkaldy-Willis (dalam Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006), terdapat sistem yang berdasarkan pada pemahaman segment gerak yang mengalami degenerasi. Perubahan degeneratif pada segmen gerak dapat dibagi kedalam 3 fase kemunduran yaitu: a. Fase disfungsi awal (level I): proses patologik kecil yang menghasilkan fungsi abnormal pada komponen posterior dan diskus intervertebralis. Kerusakan yang terjadi pada segmen gerak masih bersifat sementara (reversible). Perubahan yang terjadi pada facet joint selama fase ini sama dengan yang terjadi pada sendi sinovial lainnya. Kronik sinovitis dan efusi sendi dapat menyebabkan stretch pada kapsul sendi. Membran synovial yang inflamasi dapat membentuk suatu lipatan didalam sendi sehingga menghasilkan penguncian didalam sendi antara permukaan cartilago dan kerusakan cartilago awal. Paling sering terjadi pada fase disfungsi awal selain melibatkan kapsul dan synovium juga melibatkan permukaan cartilago atau tulang penopang (corpus vertebra). Disfungsi diskus pada fase ini masih kurang jelas tetapi kemungkinan melibatkan beberapa kerobekan circumferential pada annulus fibrosus. Jika kerobekannya pada lapisan paling luar maka penyembuhannya mungkin terjadi karena adanya beberapa suplai darah. Pada lapisan paling dalam, mungkin kurang terjadi penyembuhan karena sudah tidak ada lagi suplai darah. Secara perlahan akan terjadi pelebaran yang progresif pada area circumferential

yang robek dimana bergabung kedalam kerobekan radial. Nukleus mulai mengalami perubahan dengan hilangnya kandungan proteoglycan. b. Fase instabilitas intermediate (level II): fase ini menghasilkan laxitas (kelenturan yang berlebihan) pada kapsul sendi bagian posterior dan annulus fibrosus. Perubahan permanen dari instabilitas dapat berkembang karena kronisitas dan disfungsi yang terus menerus pada tahuntahun awal. Re-stabilisasi segmen posterior dapat membentuk formasi tulang subperiosteal atau formasi tulang (ossifikasi) sepanjang ligamen dan serabut kapsul sendi, sehingga menghasilkan osteofit perifacetal dan traksi spur. Pada akhirnya, diskus membentuk jangkar oleh adanya osteofit perifer yang berjalan disekitar circumferentianya, sehingga menghasilkan segmen gerak yang stabil. c. Fase stabilisasi akhir (level III): fase ini menghasilkan fibrosis pada sendi bagian posterior dan kapsul sendi, hilangnya material diskus, dan formasi osteofit. Osteofit membentuk respon terhadap gerak abnormal untuk menstabilisasi segmen gerak yang terlibat. Formasi osteofit yang terbentuk disekitar three joint dapat meningkatkan permukaan penumpuan beban dan penurunan gerakan, sehingga menghasilkan suatu kekakuan segmen gerak dan menurunnya nyeri hebat pada segmen gerak. Pada lumbar spine bagian atas, degenerasi mulai terlihat pada awal level I dengan fraktur end-plate dan herniasi diskus, kaitannya dengan beban vertikal yang esensial terhadap segmen tersebut. Penyakit facet mulai terjadi pada lumbar spine bagian atas. Pada lumbal spine bagian bawah, perubahan diskus mulai terjadi pada usia belasan tahun terakhir, dan perubahan facet terjadi pada middle usia 20-an. Secara khas, lesi pertama kali terjadi pada L 5 S 1 dan pada L 4 L 5. Perubahan degenerasi pada synovial dan intervertebral joint dapat terjadi secara bersamaan, dan paling sering terjadi pada lumbosacral joint. Spondylosis dan perubahan arthrosis yang melibatkan seluruh segmen gerak sangat berkaitan dengan faktor usia dan terjadi sekitar 60% pada orang-orang yang lebih tua dari usia 45 tahun (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006). Schneck menjelaskan adanya progresi mekanikal yang lebih jauh akibat perubahan degeneratif pada diskus intervertebralis, untuk menjelaskan adanya perubahan degeneratif lainnya pada axial spine. Dia menjelaskan beberapa implikasi dari penyempitan space diskus. Pedicle didekatnya akan mengalami aproksimasi dengan penyempitan dimensi superior-inferior dari canalis intervertebralis. Laxitas akibat penipisan ligamen longitudinal posterior yang berlebihan dapat memungkinkan bulging (penonjolan) pada ligamen flavum dan potensial terjadinya instabilitas spine. Peningkatan gerakan spine dapat memberikan peluang terjadinya subluksasi dari processus articular superior sehingga menyebabkan penyempitan dimensi anteroposterior dari intervertebral joint dan canalis akar saraf bagian atas. Laxitas juga dapat menyebabkan perubahan mekanisme berat dan tekanan kaitannya dengan corpus vertebra dan space sendi yang mempengaruhi terbentuknya formasi osteofit dan hipertropi facet pada processus articular inferior superior, dengan resiko terjadinya proyeksi kedalam canalis

intervertebralis dan canalis sentral secara berurutan (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009). Keluhan nyeri pinggang pada kondisi spondylosis lumbal disebabkan oleh adanya penurunan space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis. Adanya penurunan space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis dapat menghasilkan iritasi pada radiks saraf sehingga menimbulkan nyeri pinggang yang menjalar. Disamping itu, osteofit pada facet joint dapat mengiritasi saraf spinal pada vertebra sehingga dapat menimbulkan nyeri pinggang (S.E. Smith, 2009). 4. Gambaran Klinis Perubahan degeneratif dapat menghasilkan nyeri pada axial spine akibat iritasi nociceptive yang diidentifikasi terdapat didalam facet joint, diskus intervertebralis, sacroiliaca joint, akar saraf duramater, dan struktur myofascial didalam axial spine (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009). Perubahan degenerasi anatomis tersebut dapat mencapai puncaknya dalam gambaran klinis dari stenosis spinalis, atau penyempitan didalam canalis spinal melalui pertumbuhan osteofit yang progresif, hipertropi processus articular inferior, herniasi diskus, bulging (penonjolan) dari ligamen flavum, atau spondylolisthesis. Gambaran klinis yang muncul berupa neurogenik claudication, yang mencakup nyeri pinggang, nyeri tungkai, serta rasa kebas dan kelemahan motorik pada ekstremitas bawah yang dapat diperburuk saat berdiri dan berjalan, dan diperingan saat duduk dan tidur terlentang (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009). Karakteristik dari spondylosis lumbal adalah nyeri dan kekakuan gerak pada pagi hari. Biasanya segmen yang terlibat lebih dari satu segmen. Pada saat aktivitas, biasa timbul nyeri karena gerakan dapat merangsang serabut nyeri dilapisan luar annulus fibrosus dan facet joint. Duduk dalam waktu yang lama dapat menyebabkan nyeri dan gejala-gejala lain akibat tekanan pada vertebra lumbar. Gerakan yang berulang seperti mengangkat beban dan membungkuk (seperti pekerjaan manual dipabrik) dapat meningkatkan nyeri (John J. Regan, 2010). 5. Anatomi Biomekanik Lumbal Vertebra lumbal merupakan columna vertebra paling bawah sebelum sacrum. Pada regio lumbal tidak mempunyai foramen transversum dan facet articular costalis. Corpus vertebra lumbal berbentuk besar dan sedikit lebih tebal seperti ginjal. Seluruh struktur vertebra lumbal dihubungkan dengan arcus vertebra yang tumpul dan kuat. Processus tranversusnya datar dan seperti sayap pada 4 segmen lumbal bagian atas, tetapi pada L5 processus tranversusnya tebal dan bulat puntung. Diantara segmen gerak lumbal terdapat foramen intervertebralis yang terbentuk dari pedicle yang berhubungan dengan lamina bagian atas dan bawah.

Vertebra lumbal mempunyai processus articularis yang berhubungan dengan pedicles dan lamina, yang terdiri dari processus articularis superior yang terletak dalam bidang oblique kearah posterior dan lateral dimana facet articularisnya konkaf dan mengarah ke dorsomedial sehingga hampir saling berhadapan satu sama lain, serta processus articularis inferior yang muncul dari tepi inferior arcus vertebra yang dekat antara lamina dan processus spinosus, menghadap kearah inferior dan medial, dan permukaan sendinya mengarah ke ventrolateral. Dengan demikian antara facet articularis superior vertebra bagian bawah dan facet articularis inferior pada vertebra bagian atas dapat saling mengunci dalam bentuk mortise and tenon (kunci dan cerat). Jelaslah bahwa susunan ini akan membatasi gerakan rotasi dan lateral fleksi pada regio lumbal. Karena susunan anatomis dan fungsi yang berbeda pada regio lumbal, maka dapat dipilah dalam segmentasi regional sebagai berikut: a. Thoracolumbal junction Merupakan daerah perbatasan fungsi antara lumbar dengan thorac spine dimana th 12 arah superior facet pada bidang frontalis dg gerak terbatas, sedang arah inferior facet pada bidang sagital gerakan utamanya flexion-extension yg luas. Pada gerak lumbar spine memaksa th 12 hingga Th 10 mengikuti. Pada atlit senam pada daerah ini dapat mencapai ROM fleksi 55 0 dan ekstensi 25 0. b. Lumbal spine Vertebra lumbalis lebih besar dan tebal membentuk kurva lordosis dengan puncak L 3 sebesar 2 4 cm, menerima beban sangat besar dalam bentuk kompresi maupun momen. Stabilitas dan gerakannya ditentukan oleh facet, diskus, ligament dan otot disamping corpus itu sendiri. Berdasarkan arah permukaan facet joint maka facet joint cenderung dalam posisi bidang sagital sehingga pada regio lumbal menghasilkan dominan gerak yang luas yaitu fleksi - ekstensi lumbal. c. Lumbosacral joint L5-S1 merupakan daerah yg menerima beban sangat berat mengingat lumbal mempunyai gerak yang luas sementara sacrum rigid (kaku). Akibatnya lumbosacral joint menerima beban gerakan dan berat badan paling besar pada regio lumbal. B. Segmen Junghans (Segmen Gerak) Pada Lumbal Segmen gerak diperkenalkan oleh Tn. Junghans (1956). Segmen gerak terdapat pada setiap level vertebra dengan three joint yang berperan penting sebagai elemen fungsional tunggal. Three joint dibentuk oleh satu sendi bagian anterior (diskus intervertebralis yang membentuk symphisis joint), dan 2 sendi bagian posterior (apophyseal/facet joint). Sedangkan

segmen transitional adalah segmen gerak yang terbentuk dari level regio vertebral lain. Pada regio lumbal terdapat 2 segmen transitional yaitu segmen gerak Th12-L1 (thoracolumbal junction) dan segmen gerak L5-S1 (lumbosacral joint). Dibawah ini akan dijelaskan tentang three joint kompleks. a. Diskus Intervertebralis Diantara dua corpus vertebra dihubungkan oleh diskus intervertebralis, merupakan fibrocartilago compleks yang membentukarticulasio antara corpus vertebra, dikenal sebagai symphisis joint. Diskus intervertebralis pada orang dewasa memberikan kontribusi sekitar ¼ dari tinggi spine. Diskus intervertebralis memberikan penyatuan yang sangat kuat, derajat fiksasi intervertebralis yang penting untuk aksi yang efektif dan proteksi alignmen dari canal neural. Diskus juga dapat memungkinkan gerak yang luas pada vertebra. Setiap diskus terdiri atas 2 komponen yaitu : 1) Nukleus pulposus ; merupakan substansia gelatinosa yang berbentuk jelly transparan, mengandung 90% air, dan sisanya adalah collagen dan proteoglycans yang merupakan unsurunsur khusus yang bersifat mengikat atau menarik air. Nukleus pulposus merupakan hidrophilic yang sangat kuat & secara kimiawi di susun oleh matriks mucopolysaccharida yang mengandung ikatan protein, chondroitin sulfat, hyaluronic acid & keratin sulfat. Nukleus pulposus tidak mempunyai pembuluh darah dan saraf. Nukleus pulposus mempunyai kandungan cairan yang sangat tinggi maka dia dapat menahan beban kompresi serta berfungsi untuk mentransmisikan beberapa gaya ke annulus & sebagai shock absorber. 2) Annulus fibrosus ; tersusun oleh sekitar 90 serabut konsentrik jaringan collagen yang nampak menyilang satu sama lainnya secara oblique & menjadi lebih oblique kearah sentral. Karena serabutnya saling menyilang secara vertikal sekitar 30 o satu sama lainnya maka struktur ini lebih sensitif pada strain rotasi daripada beban kompresi, tension, dan shear. Serabutserabutnya sangat penting dalam fungsi mekanikal dari diskus intervertebralis, memperlihatkan suatu perubahan organisasi dan orientasi saat pembebanan pada diskus dan saat degenerasi diskus. Susunan serabutnya yang kuat melindungi nukleus di dalamnya & mencegah terjadinya prolapsus nukleus. Secara mekanis, annulus fibrosus berperan sebagai coiled spring(gulungan pegas) terhadap beban tension dengan mempertahankan corpus vertebra secara bersamaan melawan tahanan dari nukleus pulposus yang bekerja seperti bola. Diskus intervetebralis akan mengalami pembebanan pada setiap perubahan postur tubuh. Tekanan yang timbul pada pembebanan diskus intervertebralis disebut tekanan intradiskal. Menurut Nachemson (1964), tekanan intradiskal berhubungan erat dengan perubahan postur tubuh. Nachemson meneliti tekanan intradiskal pada lumbal yaitu pada L3-L4 karena L3-L4 menerima beban intradiskal yang terbesar pada regio lumbal. Dari penelitian Nachemson menunjukan bahwa tekanan intradiskal saat berbaring antara 15 25 kp dan tidur miring menjadi 2 x lebih besar dari berbaring. Pada saat berdiri tekanan intradiskal sekitar 100 kp dan tekanan

tersebut menjadi lebih besar saat duduk tegak yaitu 150 kp. Peningkatan tekanan terjadi saat berdiri membungkuk dari 100 kp menjadi 140 kp, begitu pula saat duduk membungkuk tekanan intradiskal meningkat menjadi 160 kp. Peningkatan tekanan dapat mencapai 200 kp lebih jika mengangkat barang dalam posisi berdiri membungkuk dan duduk membungkuk. b. Facet Joint Sendi facet dibentuk oleh processus articularis superior dari vertebra bawah dengan processus articularis inferior dari vertebra atas. Sendi facet termasuk dalam non-axial diarthrodial joint. Setiap sendi facet mempunyai cavitas articular dan terbungkus oleh sebuah kapsul. Gerakan yang terjadi pada sendi facet adalah gliding yang cukup kecil. Besarnya gerakan pada setiap vertebra sangat ditentukan oleh arah permukaan facet articular. Pada regio lumbal kecuali lumbosacral joint, facet articularisnya terletak lebih dekat kedalam bidang sagital. Facet bagian atas menghadap kearah medial dan sedikit posterior, sedangkan facet bagian bawah menghadap kearah lateral dan sedikit anterior. Kemudian, facet bagian atas mempunyai permukaan sedikit konkaf dan facet bagian bawah adalah konveks. Karena bentuk facet ini, maka vertebra lumbal sebenarnya terkunci melawan gerakan rotasi sehingga rotasi lumbal sangat terbatas. Facet artikularis lumbosacral terletak sedikit lebih kearah bidang frontal daripada sebenarnya pada sendi-sendi lumbal lainnya. Sendi facet dan diskus memberikan sekitar 80% kemampuan spine untuk menahan gaya rotasi torsion dan shear, dimana ½-nya diberikan oleh sendi facet. Sendi facet juga menopang sekitar 30% beban kompresi pada spine, terutama pada saat spine hiperekstensi. Gaya kontak yang paling besar terjadi pada sendi facet L5-S1. Struktur pendukung lainnya dalam segmen gerak adalah ligament dan otot. Ligamenligamen yang memperkuat segmen gerak adalah : a. Ligamen longitudinal anterior Ligamen longitudinal anterior merupakan ikatan padat yang panjang dari basis occiput ke sacrum pada bagian anterior vertebra. Dalam perjalanannya ke sacrum, ligamen ini masuk ke dalam bagian anterior diskus intervertebralis dan melekat pada antero-superior corpus vertebra. Ligamen longitudinal anterior merupakan ligamen yang tebal dan kuat, dan berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan ektensi lumbal. b. Ligamen longitudinal posterior Ligamen longitudinal posterior memanjang dari basis occiput ke canal sacral pada bagian posterior vertebra, tetapi ligamen ini tidak melekat pada permukaan posterior vertebra. Pada regio lumbal, ligamen ini mulai menyempit dan semakin sempit pada lumbosacral, sehingga ligamen ini lebih lemah daripada ligamen longitudinal anterior. Dengan demikian diskus intervertebralis lumbal pada bagian posterolateral tidak terlindungi oleh ligamen longitudinal

posterior. Ligamen ini sangat sensitif karena banyak mengandung serabut saraf afferent nyeri (A delta dan tipe C) dan memiliki sirkulasi darah yang banyak. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal. c. Ligamen flavum Ligamen ini sangat elastis dan melekat pada arcus vertebra tepatnya pada setiap lamina vertebra. Ke arah anterior dan lateral, ligamen ini menutup capsular dan ligamen anteriomedial sendi facet. Ligamen ini mengandung lebih banyak serabut elastin daripada serabut kolagen dibandingkan dengan ligamen-ligamen lainnya pada vertebra. Ligamen ini mengontrol gerakan fleksi lumbal. d. Ligamen interspinosus Ligamen ini sangat kuat yang melekat pada setiap processus spinosus dan memanjang kearah posterior dengan ligamen supraspinosus. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal. e. Ligamen supraspinosus Ligamen ini melekat pada setiap ujung processus spinosus. Pada regio lumbal, ligamen ini kurang jelas karena menyatu dengan serabut insersio otot lumbodorsal. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal. f. Ligamen intertransversalis Ligamen ini melekat pada tuberculum asesori dari processus transversus dan berkembang baik pada regio lumbal. Ligamen ini mengontrol gerakan lateral fleksi kearah kontralateral. Sedangkan otot-otot yang memperkuat segmen gerak lumbal adalah: a. Erector Spine, merupakan group otot yang luas dan terletak dalam pada facia lumbodorsal, serta muncul dari suatu aponeurosis pada sacrum, crista illiaca dan procesus spinosus thoraco lumbal. Group otot ini terbagi atas beberapa otot yaitu: 1) M. Transverso spinalis 2) M. Longissimus 3) M. Iliocostalis 4) M. Spinalis 5) Paravertebral muscle (deep muscle) seperti m. intraspinalis dan m. intrasversaris

Group otot ini merupakan penggerak utama pada gerakan extensi lumbal dan sebagai stabilisator vertebra lumbal saat tubuh dalam keadaan tegak. b. Abdominal, merupakan group otot extrinsik yang membentuk dan memperkuat dinding abdominal. Pada group otot ini ada 4 otot abdominal yang penting dalam fungsi spine, yaitu m. rectus abdominis, m. obliqus external, m. obliqus internal dan m. transversalis abdominis. Group otot ini merupakan fleksor trunk yang sangat kuat dan berperan dalam mendatarkan kurva lumbal. Di samping itu m.obliqus internal dan external berperan pada rotasi trunk. Didalam memperkuat dinding abdominal, m. abdominal bekerja sebagai direct brace, m. obliqus internal bekerja sebagai oblique brace kearah inferior dan posterior sedangkan m. obliqus external bekerja sebagai brace kearah anterior. c. Deep lateral muscle, merupakan group otot intrinstik pada bagian lateral lumbal yang terdiri dari : 1) M. Quadratus Lumborum 2) M. Psoas Group otot ini berperan pada gerakan lateral fleksi dan rotasi lumbal. Segmen gerak sangat berperan pada setiap gerakan vertebra lumbal. Pada saat fleksi lumbal, nukleus pulposus akan bergerak kearah posterior sehingga mengulur serabut annulus fibrosus bagian posterior. Pada saat yang sama, processus articularis inferior dari vertebra bagian atas akan bergeser kearah superior dan cenderung bergerak menjauhi processus articularis superior dari vertebra bagian bawah sehingga kapsular-ligamenter sendi facet akan mengalami peregangan secara maksimal serta ligamen pada arcus vertebra (ligamen flavum), ligamen interspinosus, ligamen supraspinosus dan ligamen longitudinal posterior. Pada saat ekstensi lumbal, nukleus pulposus akan mendorong serabut annulus fibrosus bagian anterior sehingga terjadi penguluran dan ligamen longitudinal anterior juga mengalami penguluran sementara ligamen longitudinal posterior relaks. Pada saat yang sama, processus articularis dari vertebra bagian bawah dan atas menjadi saling terkunci, dan processus spinosus dapat saling bersentuhan satu sama lain. Pada saat lateral fleksi lumbal, corpus vertebra bagian atas akan bergerak kearah ipsilateral sementara diskus sisi kontralateral mengalami ketegangan karena nukleus bergeser kearah kontralateral. Ligamen intertransversal sisi kontralateral mengalami peregangan sementara sisi ipsilateral relaks. Pada saat yang sama, processus articular relatif bergeser satu sama lain sehingga processus articularis inferior sisi ipsilateral dari vertebra atas akan bergerak naik sementara sisi kontralateral akan bergerak turun.

Pada saat rotasi lumbal, vertebra bagian atas berotasi terhadapvertebra bagian bawah, tetapi gerakan rotasi ini hanya terjadi disekitar pusat rotasi antara processus spinosus dengan processus articularis. Diskus intervertebralis tidak berperan dalam gerakan axial rotasi, sehingga gerakan rotasi sangat dibatasi oleh orientasi sendi facet vertebra lumbal. Menurut Gregersen dan D.B. Lucas, axial rotasi pada vertebra lumbal mempunyai total ROM secara bilateral sekitar 10 o dan ROM segmental sekitar 2 o dan segmental unilateral sekitar 1 o.

BAB III PROFIL KASUS 3.1 Profil Kasus. Pada laporan ini akan membahas tentang adanya profil kasus LBP (Low back pain) pada indikasi Spyndolyosis Lumbal yang terjadi di RSUD SIDOARJO. pada pasien : Nama : Ny. HZ Umur : 48 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Alamat : Pondok jati Keterangan Klinis : LBP (low back pain) Definisi analisa : - Spyndolyosis Lumbal 3.2 Riwayat pasien Seorang Perempuan 45 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri pinggang bawah menjalar ke tungkai. Awalnya pasien merasakan nyeri pada pinggang, kemudian pasien berobat ke tukang urut. Keesokan harinya pasien merasakan nyeri menjalar ke tungkai kanan bawah. Nyeri timbul tiba-tiba, terasa seperti berdenyut dan ditusuk-tusuk. Nyeri pinggang menjalar ke sisi luar tungkai kanan hingga ke ibu jari kaki. Nyeri bertambah jika pasien bangkit dari duduk, saat batuk dan mengejan. Nyeri berkurang saat pasien tidur dengan memiringkan badan ke sisi yang tidak sakit. Pasien merasakan sedikit bebas pada tungkai kanannya. Kelemahan anggota gerak tidak ada. BAB dan BAK biasa. Demam tidak ada. Penurunan berat badan tidak ada. Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga.hal ini terjadi berapa selang stelah melahirkan anak yang ke-2.

BAB IV PROGRAM LATIHAN DAN EVALUASI A. Program Latihan Dengan Metode William Flexion Exercise William Flexion Exercise 1) Pengertian William flexion exercise diperkenalkan oleh Dr. Paul Williams pada tahun 1937. Pada tahun 1937, program latihan ini banyak ditujukan pada pasien-pasien kronik LBP dengan kondisi degenerasi corpus vertebra sampai pada degenerasi diskus. Program latihan ini telah berkembang dan banyak ditujukan pd laki2 dibawah usia 50-an & wanita dibawah usia 40-an yang mengalami lordosis lumbal yang berlebihan, penurunan space diskus antara segmen lumbal, & gejala-gejala kronik LBP. William flexion exercise adalah program latihan yang terdiri atas 7 macam gerak yang menonjolkan pada penurunan lordosis lumbal (terjadi fleksi lumbal). William flexion exercise telah menjadi dasar dalam manajemen nyeri pinggang bawah selama beberapa tahun untuk mengobati beragam problem nyeri pinggang bawah berdasarkan temuan diagnosis. Dalam beberapa kasus, program latihan ini digunakan ketika penyebab gangguan berasal dari facet joint (kapsul-ligamen), otot, serta degenerasi corpus dan diskus. Tn. William menjelaskan bahwa posisi posterior pelvic tilting adalah penting untuk memperoleh hasil terbaik. 2) Tujuan Adapun tujuan dari william flexion exercise adalah untuk mengurangi nyeri, memberikan stabilitas lower trunk melalui perkembangan secara aktif pada otot abdominal, gluteus maximus, dan hamstring, untuk menigkatkan fleksibilitas/elastisitas pada group otot fleksor hip dan lower back (sacrospinalis), serta untuk mengembalikan/menyempurnakan keseimbangan kerja antara group otot postural fleksor & ekstensor. 3) Indikasi dan Kontraindikasi Indikasi dari William Flexion Exercise adalah spondylosis, spondyloarthrosis, dan disfungsi sendi facet yang menyebabkan nyeri pinggang bawah. Kontraindikasi dari William Flexion Exercise adalah gangguan pada diskus seperti disc. bulging, herniasi diskus, atau protrusi diskus. 4) Prosedur Pelaksanaan Adapun prosedur pelaksanaan William Flexion Exercise (Paul Hooper, 1999) adalah sebagai berikut :

a) Latihan I (pelvic tilting) Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua knee fleksi & kaki datar diatas bed/lantai. Datarkan punggung bawah melawan bed tanpa kedua tungkai mendorong ke bawah. Kemudian pertahankan 5 10 detik. Gambar 1.1 Teknik Latihan I William Flexion Exercise b) Latihan II (single knee to chest) Posisi pasien tidur terlentang dengan kedua knee fleksi & kaki datar di atas bed/lantai. Secara perlahan tarik knee kanan kearah shoulder & pertahankan 5 10 detik. Kemudian diulangi untuk knee kiri dan pertahankan 5-10 detik.

Gambar 1.2 Teknik Latihan II William Flexion Exercise c) Latihan III (double knee to chest) Mulai dengan latihan sebelumnya (latihan II) dengan posisi pasien yang sama. Tarik knee kanan ke dada kemudian knee kiri ke dada dan pertahankan kedua knee selama 5 10 detik. Dapat diikuti dengan fleksi kepala/leher (relatif) kemudian turunkan secara perlahan-lahan salah satu tungkai kemudian diikuti dengan tungkai lainnya. d) Latihan IV (partial sit-up) Gambar 1.3 Teknik Latihan III William Flexion Exercise Lakukan pelvic tilting seperti pada latihan I. Sementara mempertahankan posisi ini angkat secara perlahan kepala dan shoulder dari bed/lantai, serta pertahankan selama 5 detik. Kemudian kembali secara perlahan ke posisi awal. Gambar 1.4 Teknik Latihan IV William Flexion Exercise e) Latihan V (hamstring stretch) Mulai dengan posisi long sitting dan kedua knee ekstensi penuh. Secara perlahan fleksikan trunk ke depan dengan menjaga kedua knee tetap ekstensi. Kemudian kedua lengan menjangkau sejauh mungkin diatas kedua tungkai sampai mencapai jari-jari kaki.

Gambar 1.5 Teknik Latihan V William Flexion Exercise f) Latihan VI (hip fleksor stretch) Letakkan satu kaki didepan dengan fleksi knee dan satu kaki dibelakang dengan knee dipertahankan lurus. Fleksikan trunk ke depan sampai knee kontak dengan lipatan axilla (ketiak). Ulangi dengan kaki yang lain. g) Latihan VII (squat) Gambar 1.6 Teknik Latihan VI William Flexion Exercise

Berdiri dengan posisi kedua kaki paralel dan kedua shoulder disamping badan. Usahakan pertahankan trunk tetap tegak dengan kedua mata fokus ke depan & kedua kaki datar diatas lantai. Kemudian secara perlahan turunkan badan sampai terjadi fleksi kedua knee. Gambar 1.7 Teknik Latihan VII William Flexion Exercise B. Evaluasi Dengan VAS Dan Fleksibilitas Lumbal 1. Visual Analogue Scale (VAS) Menurut International Association For The Study Of Pain (1979) dalam Nugroho DS (2001), disebutkan bahwa nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosi yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan baik secara aktual maupun potensial. Definisi tersebut berdasarkan dari sifat nyeri yang merupakan pengalaman subyektif dan bersifat individual. Dengan dasar ini dapat dipahami adanya kesamaan penyebab tidak secara otomatis menimbulkan perasaan nyeri yang sama. Nyeri adalah pengalaman umum dari manusia. Beberapa jenis penyakit, injury dan prosedur medis serta surgical berkaitan dengan nyeri. Beberapa pasien mungkin mempunyai pengalaman nyeri yang berbeda dengan jenis dan derajat patologis yang sama. Selain patologi fisik, kultur/budaya, ekonomi, sosial, demografi dan faktor lingkungan mempengaruhi persepsi nyeri seseorang. Keadaan psikologis seseorang, riwayat personal dan faktor situasional memberikan kontribusi terhadap kualitas dan kuantitas nyeri seseorang (Turk & Melzack, 1992).

Nyeri melibatkan 2 komponen utama yaitu : komponen sensorik dan komponen afektif. Komponen sensorik nyeri digambarkan sebagai rasa tidak enak yang seringkali dapat diidentifikasi dan dilokalisir pada bagian tubuh tertentu, dan dapat diidentifikasi derajat intensitasnya (Fields, 1988). Secara klinis, kami membatasi intensitas nyeri pada berapa besar rasa sakit yang dirasakan oleh pasien (Jensen & Karoly, 1992). Sedangkan komponen afektif nyeri adalah berbeda. Komponen ini melibatkan serangkaian tingkah laku pasien yang kompleks dimana pasien mungkin melakukan secara minimal, melepaskannya, atau mengakhiri stimulus noxious tersebut. Komponen afektif nyeri ini akan menggambarkan perbedaan yang khas tentang cara-cara individu/seseorang merasakan nyerinya dan variabilitasnya terhadap pengalaman nyeri hebat yang dirasakan. Secara klinis, perbedaan yang paling penting antara aspek sensorik nyeri dan affektif nyeri adalah perbedaan antara deteksi nyeri dengan toleransi nyeri (Fields, 1988). Ambang rangsang untuk deteksi nyeri berkaitan dengan aspek sensorik nyeri dan dapat terjadi nyeri hebat secara berulang pada pasien yang berbeda serta dapat terjadi nyeri hebat secara berulang pada waktu yang berbeda dengan pasien yang sama. Sedangkan toleransi nyeri sangat variabel dan berkaitan dengan komponen afektif nyeri. Karena sifatnya multidimensional, maka toleransi nyeri pada setiap orang tidak akan sama caranya (Turk & Kerns, 1983). Oleh karena itu, untuk memeriksa nyeri secara efektif pada aplikasi klinis maka terapis harus teliti serta mempertimbangkan komponen sensorik dan afektif dari pengalaman nyeri pasien. Visual Analogue Scale (VAS) adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri dan secara khusus meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap ujungnya ditandai dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda no pain dan ujung kanan diberi tanda bad pain (nyeri hebat). Pasien diminta untuk menandai disepanjang garis tersebut sesuai dengan level intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri sampai pada tanda yang diberi oleh pasien (ukuran mm), dan itulah skorenya yang menunjukkan level intensitas nyeri. Kemudian skore tersebut dicatat untuk melihat kemajuan pengobatan/terapi selanjutnya. Secara potensial, VAS lebih sensitif terhadap intensitas nyeri daripada pengukuran lainnya seperti VRS skala 5-point karena responnya yang lebih terbatas. Begitu pula, VAS lebih sensitif terhadap perubahan pada nyeri kronik daripada nyeri akut (Carlson, 1983 ; McGuire, 1984). Ada beberapa keterbatasan dari VAS yaitu pada beberapa pasien khususnya orang tua akan mengalami kesulitan merespon grafik VAS daripada skala verbal nyeri (VRS) (Jensen et.al, 1986; Kremer et.al, 1981). Beberapa pasien mungkin sulit untuk menilai nyerinya pada VAS karena sangat sulit dipahami skala VAS sehingga supervisi yang teliti dari dokter/terapis dapat meminimalkan kesempatan error (Jensen et.al, 1986). Dengan demikian, jika memilih VAS sebagai alat ukur maka penjelasan yang akurat terhadap pasien dan perhatian yang serius terhadap skore VAS adalah hal yang vital (Jensen & Karoly, 1992).

VISUAL ANALOGUE SCALE (HORIZONTAL LINE) Pasien diminta untuk menunjuk pada garis horisontal sesuai dengan intensitas nyerinya Gambar 2.1 Teknik Latihan VII William Flexion Exercise 2. Fleksibilitas Lumbal Fleksibilitas merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan range of motion (ROM) yang terjadi pada setiap bidang gerak pada sebuah sendi. Fleksibilitas adalah kemampuan jaringan disekitar sendi untuk terulur semaksimal mungkin tanpa ada pengaruh dari jaringan lawanannya dan relaks. Jaringan yang terulur tidak hanya beberapa ligamen, fascia, dan jaringan konektif lainnya yang terkait dengan sendi, tetapi otot-otot antagonis harus relaks (otototot yang melawan gerakan sehingga aksi sendi bisa terbatas). Statik fleksibilitas menunjukkan suatu ROM yang ada ketika segmen tubuh secara pasif digerakkan, sedangkan dinamik fleksibilitas menunjukkan pada ROM yang dapat dicapai oleh gerakan segmen tubuh secara aktif yang dihasilkan oleh kontraksi otot. Statik fleksibilitas merupakan indikator yang baik untuk relatif tightness atau laxitas sendi, dimana implikasi untuk potensial injury. Namun demikian, dinamik fleksibilitas harus cukup atau tidak membatasi ROM

yang dibutuhkan untuk aktivitas kegiatan sehari (ADL), kerja, atau aktivitas olahraga. Penelitian menunjukkan bahwa kedua komponen fleksibilitas ini adalah independen satu sama lain. Meskipun fleksibilitas secara umum seringkali dibandingkan, secara aktual fleksibilitas merupakan spesifik sendi. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah atau besarnya fleksibilitas yang luas pada salah satu sendi tidak menjamin terjadi derajat fleksibilitas yang sama pada seluruh sendi. Beberapa faktor dapat mempengaruhi fleksibilitas. Bentuk permukaan tulang pembentuk sendi dan keterlibatan otot atau jaringan lemak dapat mempengaruhi atau mengakhiri gerakan pada ROM yang luas. Fleksibilitas utamanya merupakan fungsi relatif laxitas dan/atau extensibilitas jaringan kolagen dan otot yang melewati sendi untuk sebagian besar populasi. Ketegangan ligamen dan otot yang membatasi extensibilitas merupakan inhibitor yang paling besar untuk ROM sendi. Ketika jaringan tersebut tidak terulur (stretch) maka extensibilitasnya akan menurun. Kandungan air dari diskus cartilaginous yang ada pada beberapa sendi juga mempengaruhi mobilitas sendisendi tersebut. Oleh karena itu, dalam fleksibilitas sangat dibutuhkan ekstensibilitas otot. Ekstensibilitas otot adalah kemampuan otot untuk terulur semaksimal mungkin atau kemampuan otot untuk memanjang semaksimal mungkin. Disamping itu, dibutuhkan ekstensibilitas kapsul-ligamen pada sendi atau laxitas dari sendi. Untuk menghasilkan gerak fleksi lumbal yang luas sangat dibutuhkan ekstensibilitas otot erector spine atau kemampuan memanjangnya otot erector spine lumbal saat fleksi lumbal. Disamping itu, diperlukan laxitas dari intervertebral joint yang mencakup diskus intervertebralis dan facet joint untuk menghasilkan gerak fleksi lumbal yang luas. Adanya problem keterbatasan gerak akibat kondisi diskus problem, disfungsi facet joint atau penyakit degenerasi dapat menyebabkan menurunnya laxitas intervertebral joint dan menurunnya ekstensibilitas otot erector spine sehingga mempengaruhi fleksibilitas lumbal. Fleksibilitas lumbal dapat diukur dengan metode sit and reach test, Leighton flexometer, dan metode Schober test. Metode sit and reach test bertujuan untuk mengukur fleksibilitas trunk dan tungkai, sedangkan Leighton Flexometer dan metode Schober test bertujuan untuk mengukur fleksibilitas trunk khususnya regio lumbal. Dalam penelitian ini, kami menggunakan metode Schober test untuk mengukur fleksibilitas lumbal. Adapun prosedur pelaksanaan teknik scober test sebagai berikut: a. Posisi pasien yang di anjurkan adalah posisi berdiri dengan cervikal, thorakal, lumbal dalam posisi 0 o tanpa adanya lateral fleksi dan rotasi. Stabilisasi regio pelvis untuk mencegah adanya anterior tilting.

b. Cara pengukuran: 1) Metode I ; menentukan luas gerak sendi pada fleksi thorakal lumbal adalah mengukur jarak antara procesus spinosus C7 dan S1 dengan alat ukur pita meteran. Pengukuran awal dibuat saaat pasien dalam posisi zero starting dan pengukuran selanjutnya dibuat dalam akhir ROM saat fleksi lumbal. Perbedaan antara pengukuran awal dan akhir menunjukkan besarnya jarak gerak fleksi thoracal dan lumbal. Magee menjelaskan bahwa perbedaan 10 cm pada pita meteran adalah normal untuk pengukuran. AAOS menjelaskan bahwa 4 inchi merupakan suatu pengukuran rata-rata untuk pengukuran rata-rata orang dewasa yang sehat. 2) Metode II ; dalam metode ini yang digunakan oleh beberapa pemeriksa untuk mengukur fleksi thoracal dan lumbal adalah mengukur jarak antara ujung jari tengah dengan tanah lantai pada saat akhir ROM fleksi lumbal. Ukuran ujung jari tangan dengan lantai atau fleksi lumbal merupakan kombinasi untuk fleksi spine dn fleksi hip sehingga membuat sulit untuk mengisolasi dan mengukur fleksi spine, oleh karena itu test ini tidak dianjurkan untuk mengukur fleksi thorakal dan lumbal tetapi dapat digunakan untuk memeriksafleksibillitas tubuh secara umum. 3) Metode III ; dalam metode ini digunakan 3 tanda yaitu : a) Pada saat berdiri, beri tanda pada titik tengah antara level SIPS kanan-kiri. b) Beri tanda kedua diatas tanda pertama dengan jarak 10 cm dan tarik garis lurus pertama (midline). c) Kemudian beri tanda ketiga dibawah tanda pertama dengan jarak 5 cm dan tarik garis lurus kedua (midline). d) Ukur jarak kedua garis tersebut (yaitu 15 cm). e) Kemudian pasien diminta untuk fleksi trunk semaksimal mungkin, kemudian ukur jarak dari tanda ketiga ke tanda kedua melalui tanda pertama dengan garis lurus. f) Normalnya : jarak yang dicapai adalah > 20 cm. Abnormalnya : jarak yang dicapai < 20 cm. DAFTAR PUSTAKA Harsono dan Soeharso. 2005. Nyeri punggung Bawah (Harsono). Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Moore, K. L, Arthur F, Dalley II, Anne M. R. Agur. 2013. Anatomi Berorientasi Klinis. Dialihbahasakan oleh Hartanto H. Jakarta: Erlangga.

Text. Woolfson, Tony. 2008. Synopsis of Causation Spondylosis. Edinburgh: Medical Author, Medical Yulianza, Rizky Dwi. 2013. Teknik Pemeriksaan Radiografi Lumbosakral dengan Klinis Spondylosis Lumbal. Malang: Widya Cipta Husada. http://www.spine-health.com/conditions/lower-back-pain/spondylosis-what-it-actuallymeans http://emedicine.medscape.com/article/249036-overview