Landasan Pendidikan Inklusif

dokumen-dokumen yang mirip
Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENINGKATAN KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH DALAM MENGELOLA IMPLEMENTASI KURIKULUM PENDIDIKAN INKLUSIF DAN PERLINDUNGAN ANAK

MANAJEMEN PENDIDIKAN INKLUSI DI SEKOLAH DASAR NEGERI KLEGO 1 KABUPATEN BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak untuk semua anak dan hal ini telah tercantum dalam berbagai instrument internasional

PENDIDIKAN INKLUSIF SUATU STRATEGI MENUJU PENDIDIKAN UNTUK SEMUA

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal

PENGETAHUAN MAHASISWA PG-PAUD UNIPA SURABAYA TENTANG PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris.

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING PERGURUAN TINGGI Tahun Anggaran 2007/2008

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ema Rahmawati, 2014 Kompetensi guru reguler dalam melayani anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2015 TANGGAL 22 JUNI 2015 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TAHUN BAB I

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.

PENDIDIKAN INKLUSIF. Kata Kunci : Konsep, Sejarah, Tujuan, Landasan Pendidikan Inklusi

Di akhir sesi paket ini peserta dh diharapkan mampu: memahami konsep GSI memahami relevansi GSI dalam Pendidikan memahami kebijakan nasional dan

37 PELAKSANAAN SEKOLAH INKLUSI DI INDONESIA

Lanjutan Hakikat Pendidikan Inklusif

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

A. Perspektif Historis

PENDIDIKAN INKLUSIF. Juang Sunanto Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah

BAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam

Kurikulum SD Negeri Lecari TP 2015/ BAB I PENDAHULUAN

PROFIL IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SEKOLAH DASAR DI KOTA BANDUNG. Juang Sunanto, dkk

BAB I PENDAHULUAN. memandang latar belakang maupun kondisi yang ada pada mereka. Meskipun

Prinsip Prinsip Pengembangan Kurikulum

I. PENDAHULUAN. perbedaan kecerdasan, fisik, finansial, pangkat, kemampuan, pengendalian diri,

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan nilai-nilai masyarakat dan kebudayaan. Pendidikan sudah ada. mengantarkan manusia menuju kesempurnaan dan kebaikan.

GURU PEMBIMBING KHUSUS (GPK): PILAR PENDIDIKAN INKLUSI

I. PENDAHULUAN. suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, dan sebagainya. sebaliknya dalam individu berbakat pasti ditemukan kecacatan tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. untuk mendorong kemajuannya dengan kekreatifan guru dan murid. Selain itu,

Kurikulum Berbasis TIK

JASSI_anakku Volume 17 Nomor 1, Juni 2016

BAB I PENDAHULUAN. harus dapat merasakan upaya pemerintah ini, dengan tidak memandang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakatnya. Guna mewujudkan itu semua, nilai-nilai demokrasi

BAHAN AJAR CHARACTER BUILDING BERBASIS NILAI-NILAI PANCASILA

PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia terus berkembang. Tuntutan

PROGRAM KERJA TAHUNAN PENGAWAS SEKOLAH 2011/2012

1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan aktifitas yang berupaya untuk mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

Pendidikan Inklusif. Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia

PROGRAM KERJA TAHUNAN PENGAWAS SEKOLAH 2011/2012

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu aset bangsa, karena pendidikan mencirikan pembangunan karakter bangsa.

UNDANG UNDANG NO. 20 TH.2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

DASAR & FUNGSI. PENDIDIKAN NASIONAL BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK)

BAB I PENDAHULUAN. yang tertulis dalam Pembukaan UUD Negara Indonesia Tahun 1945 dalam Alinea

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2013 TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH

MENUJU PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu topik yang menarik untuk dibahas, karena

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. peluang sebesar-besarnya kepada setiap anak Indonesia, untuk memperoleh

DASAR & FUNGSI. Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2016 LAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK TUNANETRA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah tiga institusi pilar Globalisasi.(Amin Rais, 2008: i)

BAB I PENDAHULUAN. dijelaskan secara jelas pada uraian berikutnya.

BAB I PENDAHULUAN. manusia, supaya anak didik menjadi manusia yang berkualitas, profesional,

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan.

KODE ETIK DAN DISIPLIN UNIVERSITAS MUHAMADIYAH

PENDIDIKAN PENYANDANG CACAT DARI SUDUT PANDANG MODEL PENDIDIKAN INKLUSI DI INDONESIA. Oleh: Haryanto

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan

BAB I PENDAHULUAN. kasus yang akan dieksplorasi. SD Negeri 2 Bendan merupakan salah satu sekolah

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

WAWASAN KEBANGSAAN a) Pengertian Wawasan Kebangsaan

BAB I PENDAHULUAN. serta bertanggung jawab. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan. berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rizki Panji Ramadana, 2013

BAB I PENDAHULUAN. sepenuhnya dijamin pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD

BAB I PENDAHULUAN 1.1. latar Belakang Pendidikan di Indonesia semakin hari kualitasnya semakin rendah.

BAB I PENDAHULUAN. Konsep dasar pendidikan inklusif adalah pendidikan yang mengakomodasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menampilkan sikap saling menghargai terhadap kemajemukan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di bawah pengawasan guru. Ada dua jenis sekolah, yaitu sekolah

PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN INKLUSIF. Oleh Mohamad Sugiarmin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sistematis untuk mewujudkan suatu proses pembelajaran agar siswa aktif

PENGEMBANGAN KTSP PERT KE-11

I. PENDAHULUAN. agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

PROGRAM KERJA TAHUNAN PENGAWAS SEKOLAH 2011/2012

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Indeks Inklusi dalam Pembelajaran di Kelas yang Terdapat ABK di Sekolah Dasar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pendidikan Dasar Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

BAB I PENDAHULUAN. itu secara total maupun sebagian (low vision). Tunanetra berhak untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Transkripsi:

Bahan Bacaan 3 Landasan Pendidikan Inklusif A. Landasan Filosofis 1) Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika (Mulyono Abdulrahman, 2003). Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebinekaan manusia, baik kebinekaan vertikal maupun horizontal, yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di bumi. Kebinekaan vertikal ditandai dengan perbedaan kecerdasan, kekuatan fisik, kemampuan finansial, kepangkatan, kemampuan pengendalian diri, dsb. Sedangkan kebinekaan horizontal diwarnai dengan perbedaan suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, daerah, afiliasi politik, dsb. Karena berbagai keberagaman namun dengan kesamaan misi yang diemban di bumi ini, misi, menjadi kewajiban untuk membangun kebersamaan dan interaksi dilandasi dengan saling membutuhkan. Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan keberbakatan hanyalah satu bentuk kebinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras, bahasa budaya, atau agama. Di dalam diri individu berkelainan, pastilah dapat ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam diri individu berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu, karena tidak ada makhluk di bumi ini yang diciptakan sempurna. Kecacatan dan keunggulan tidak memisahkan peserta didik satu dengan lainnya, seperti halnya perbedaan suku, bahasa, budaya, atau agama. Hal ini harus diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antarsiswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih, dan silih asuh dengan semangat toleransi, seperti halnya yang dijumpai atau dicitacitakan dalam kehidupan sehari-hari. B. Landasan Yuridis Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusif adalah Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) oleh para menteri pendidikan sedunia. Deklarasi ini Pendidikan Inklusif menuju Masyarakat Inklusif 1

sebenarnya merupakan penegasan kembali atas Deklarasi PBB tentang HAM Tahun 1948, dan berbagai deklarasi lanjutan yang berujung pada Peraturan Standar PBB Tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan, sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang ada. Deklarasi Salamanca menekankan bahwa selama memungkinkan, semua anak seyogianya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Sebagai bagian dari umat manusia yang mempunyai tata pergaulan internasional, Indonesia tidak dapat begitu saja mengabaikan deklarasi UNESCO tersebut. Di Indonesia, penerapan pendidikan inklusif dijamin oleh Undangundang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus. Teknis penyelenggaraannya tentunya akan diatur dalam bentuk peraturan operasional. C. Landasan Pedagogis Pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, dise-butkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Jadi, melalui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartisipasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya, mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya. D. Landasan Empiris Penelitian tentang inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar dipelopori oleh The National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus Pendidikan Inklusif menuju Masyarakat Inklusif 2

secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat (Heller, Holtzman & Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995). Beberapa peneliti kemudian melakukan meta-analisis (analisis lanjut) atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya. E. Konferensi Jomtien 1990 2) Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua Memenuhi Kebutuhan Dasar untuk Belajar Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua Pasal III - Universalisasi Akses dan Peningkatan Kesamaan Hak 1. Pendidikan dasar seyogianya diberikan kepada semua anak, remaja dan orang dewasa. Untuk mencapai tujuan ini, layanan pendidikan dasar yang berkualitas seyogianya diperluas dan upaya-upaya yang konsisten harus dilakukan untuk mengurangi kesenjangan. 2. Agar pendidikan dasar dapat diperoleh secara merata, semua anak, remaja dan orang dewasa harus diberi kesempatan untuk mencapai dan mempertahankan tingkat belajar yang wajar. 3. Prioritas yang paling mendesak adalah menjamin adanya akses ke pendidikan dan meningkatkan kualitasnya bagi anak perempuan, dan menghilangkan setiap hambatan yang merintangi partisipasi aktifnya. Semua bentuk diskriminasi gender dalam pendidikan harus dihilangkan. 4. Suatu komitmen yang aktif harus ditunjukkan untuk menghilangkan kesenjangan pendidikan. Kelompok-kelompok yang kurang terlayani: orang miskin; anak jalanan dan anak yang bekerja; penduduk desa dan daerah terpencil; pengembara dan pekerja migran; suku terasing; minoritas etnik, ras, dan linguistik; pengungsi; mereka yang terusir oleh perang; dan Pendidikan Inklusif menuju Masyarakat Inklusif 3

penduduk yang berada di bawah penjajahan, seyogianya tidak memperoleh perlakuan diskriminatif dalam mendapatkan kesempatan untuk belajar. 5. Kebutuhan belajar para penyandang cacat menuntut perhatian khusus. Langkah-langkah perlu diambil untuk memberikan kesamaan akses pendidikan bagi setiap kategori penyandang cacat sebagai bagian yang integral dari sistem pendidikan. F. Peraturan Standar PBB tentang Persamaan Kesempatan bagi Penyandang Cacat Peraturan 6: Negara seyogianya menjamin bahwa pendidikan bagi penyandang cacat merupakan bagian yang integral dari sistem pendidikan. Paragraf 1: Para pejabat pendidikan umum bertanggung jawab atas para penyandang cacat. Paragraf 2: Pendidikan di sekolah umum seyogianya menyediakan layanan pendukung yang tepat. Paragraf 6: Negara seyogianya: a) memiliki kebijakan yang jelas, b) memiliki kurikulum yang fleksibel, c) menyediakan materi yang berkualitas, dan pelatihan guru dan dukungan yang berkelanjutan. Paragraf 7: Program rehabilitasi berbasis masyarakat seyogianya dilihat sebagai pelengkap bagi pendidikan integrasi. Paragraf 8: Dalam hal di mana sistem persekolahan umum tidak secara memadai memenuhi kebutuhan semua penyandang cacat, pendidikan luar biasa dapat dipertimbangkan dalam hal-hal tertentu, pendidikan luar biasa mungkin pada saat ini merupakan bentuk pendidikan yang paling tepat untuk siswa-siswa tertentu. Paragraf 9: Siswa tunarungu dan tunarungu-netra mungkin akan memperoleh pendidikan yang lebih tepat di sekolah khusus, kelas khusus atau unit khusus. Pendidikan Inklusif menuju Masyarakat Inklusif 4

G. Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus Pasal 2: Sistem pendidikan seyogianya mempertimbangkan berbagai macam karakteristik dan kebutuhan anak yang berbeda-beda. Sekolah reguler dengan orientasi inklusi ini merupakan tempat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun sebuah masyarakat inklusif dan mencapai pendidikan untuk semua. Lebih lanjut, sekolah tersebut memberikan pendidikan yang efektif kepada sebagian besar anak dan meningkatkan efisiensi, dan pada akhirnya akan menjadi sistem pendidikan yang paling ekonomis. Pasal 3: Pemerintah seyogianya: Menetapkan prinsip pendidikan inklusif sebagai undang-undang atau kebijakan kecuali jika terdapat alasan yang memaksa untuk menetapkan lain. Kerangka Aksi Pasal 3: Prinsip dasar kerangka ini adalah bahwa sekolah seyogianya mengakomodasi semua anak ini seyogianya mencakup anak penyandang cacat dan anak berbakat, anak jalanan dan anak yang bekerja, anak dari kaum pengembara atau daerah terpencil, anak dari kelompok minoritas berdasarkan bahasanya, etniknya atau budayanya dan anak dari kelompok atau daerah lain yang kurang beruntung atau terpinggirkan. Tantangan yang dihadapi oleh sekolah inklusif adalah bahwa harus dikembangkannya pedagogi yang berpusat pada diri anak yang mampu mendidik semua anak. Pasal 4: perbedaan umat manusia itu normal adanya dan pembelajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, bukannya anak yang disesuaikan dengan asumsi-asumsi yang tidak berdasar. Pedagogi yang berpusat pada diri anak akan menguntungkan bagi semua siswa, dan akhirnya juga bagi keseluruhan masyarakat. ini dapat sangat menurunkan Pendidikan Inklusif menuju Masyarakat Inklusif 5

angka putus sekolah dan tinggal kelas. di samping menjamin tercapainya tingkat pencapaian rata-rata yang lebih tinggi Sekolah yang berpusat pada diri anak juga merupakan tempat pelatihan untuk masyarakat yang berorientasi pada orang-orang yang menghargai perbedaan dan martabat seluruh umat manusia. Pasal 6: Inklusi dan partisipasi itu sangat penting bagi martabat manusia dan bagi terwujudnya dan dilaksanakannya hak asasi manusia. Pasal 7: Prinsip mendasar dari sekolah inklusif adalah bahwa semua anak seyogianya belajar bersama-sama, sejauh memungkinkan, apa pun kesulitan atau perbedaan yang ada pada diri mereka. Sekolah inklusif harus mengakui dan tanggap terhadap keberagaman kebutuhan siswa-siswanya, mengakomodasi gaya dan kecepatan belajar yang berbeda-beda Pasal 10: Pengalaman menunjukkan bahwa sekolah inklusif, yang memberi layanan kepada semua anak di masyarakat, sangat berhasil dalam menggalang dukungan dari masyarakat dan dalam menemukan cara yang imaginatif dan inovatif untuk memanfaatkan ketersediaan sumber-sumber yang terbatas. Pasal 18: Kebijakan pendidikan pada semua level, dari level nasional hingga lokal, seyogianya menetapkan bahwa seorang anak penyandang cacat bersekolah di lingkungan tempat tinggalnya, di sekolah yang akan dimasukinya andaikata dia tidak memiliki kecacatan. End Notes: 1) Bagian A, B, C, dan D pada bacaan ini dikutip langsung dari Alfian, Pendidikan Inklusif di Indonesia, Edu-Bio. Vol.4 (2013). 2) Bagian E, F, dan G pada bacaan ini dikutip dari Inclusive Education, Where There Are Few Resources, The Atlas Alliance, Global Support to Disabled People. Pendidikan Inklusif menuju Masyarakat Inklusif 6