ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN SDR

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dirasakan sebagai ancaman (Nurjannah dkk, 2004). keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan ke lingkungan, kedalam

BAB II TINJAUAN TEORI PERILAKU KEKERASAN. tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,

BAB I PENDAHULUAN. siklus kehidupan dengan respon psikososial yang maladaptif yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. keluarga, kelompok, organisasi atau komunitas. ANA (American nurses

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA

BAB II TINJAUAN TEORI. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai

BAB II KONSEP DASAR. orang lain maupun lingkungan (Townsend, 1998). orang lain, dan lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1998).

Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 18. secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan sehat atau sakit mental dapat dinilai dari keefektifan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang. menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia?

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang

BAB I PENDAHULUAN. dan kestabilan emosional. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan. pekerjaan, & lingkungan masyarakat (Videbeck, 2008).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. sisiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptif

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi,

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. stressor, produktif dan mampu memberikan konstribusi terhadap masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa Menurut World Health Organization adalah berbagai

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana. tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain,

BAB I PENDAHULUAN. Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya untuk

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. D DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI DI RUANG MAESPATI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial

BAB I PENDAHULUAN. serta ketidakpastian situasi sosial politik membuat gangguan jiwa menjadi

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya

BAB II KONSEP DASAR. serta mengevaluasinya secara akurat (Nasution, 2003). dasarnya mungkin organic, fungsional, psikotik ataupun histerik.

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang pesat menjadi stresor pada kehidupan manusia. Jika individu

Modul ke: Pedologi. Skizofrenia. Fakultas PSIKOLOGI. Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Program Studi Psikologi.

BAB II TUNJAUAN TEORI. orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins, 1993)

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO),

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya distress ( tidak nyaman, tidak tentram dan rasa nyeri ), disabilitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sehat adalah suatu keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial serta

PROSES TERJADINYA MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

GANGGUAN SKIZOAFEKTIF FIHRIN PUTRA AGUNG

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. utuh sebagai manusia. Melalui pendekatan proses keperawatan untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering

B A B 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa merupakan suatu penyakit yang disebabkan karena adanya

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi berkepanjangan juga merupakan salah satu pemicu yang. memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan pada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan sematamata

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang menggambarkan

1. Dokter Umum 2. Perawat KETERKAITAN : PERALATAN PERLENGKAPAN : 1. SOP anamnesa pasien. Petugas Medis/ paramedis di BP

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP DASAR. perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana individu melakukan atau. (1998); Carpenito, (2000); Kaplan dan Sadock, (1998)).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan jiwa bukan hanya sekedar terbebas dari gangguan jiwa,

BAB I PENDAHULUAN. penyimpangan dari fungsi psikologis seperti pembicaraan yang kacau, delusi,

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 18 pasal 1 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. mengalami gangguan kesehatan jiwa (Prasetyo, 2006). pasien mulai mengalami skizofenia pada usia tahun.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang B. Tujuan C. Manfaat

/BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mengganggu kelompok dan masyarakat serta dapat. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan suatu tindakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA TN. S DENGAN GANGGUAN MENARIK DIRI DI RUANG ABIMANYU RSJD SURAKARTA

BAB II KONSEP DASAR. Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan

BAB I PENDAHULUAN. tingkah laku sehingga menimbulkan penderitaan dan terganggunya fungsi

EFEKTIVITAS TERAPI GERAK TERHADAP PERUBAHAN TINGKAT KECEMASAN PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA SKRIPSI

ASUHAN KEPERAWATAN PERILAKU KEKERASAN BUDI ANNA KELIAT

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Krisis multi dimensi yang melanda masyarakat saat. ini telah mengakibatkan tekanan yang berat pada sebagian

BAB II TINJAUAN TEORI

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk hidup yang lebih sempurna dibandingkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan disability (ketidakmampuan) (Maramis, 1994 dalam Suryani,

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB I PENDAHULUAN. terpisah. Rentang sehat-sakit berasal dari sudut pandang medis. Rentang

BAB I PENDAHULUAN. keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan

BAB I PENDAHULUAN. efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional (Videbeck, 2011).

A. Pengertian Defisit Perawatan Diri B. Klasifikasi Defisit Perawatan Diri C. Etiologi Defisit Perawatan Diri

BAB I PENDAHULUAN. genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural.

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan dinamisnya kehidupan masyarakat. Masalah ini merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat

BAB I PENDAHULUAN. mental dan sosial yang lengkap dan bukan hanya bebas dari penyakit atau. mengendalikan stres yang terjadi sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. riskan pada perkembangan kepribadian yang menyangkut moral,

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut World Health Organization (WHO) adalah. keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadian

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN KONSEP

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB 1 PENDAHULUAN. sendiri. Kehidupan yang sulit dan komplek mengakibatkan bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data World Health Organization (WHO), masalah gangguan

BAB II TINJAUAN TEORI. menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. H DENGAN PERUBAHAN PERSEPSI SENSORI HALUSINASI PENDENGARAN DI RUANG SENA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Definisi sehat menurut kesehatan dunia (WHO) adalah suatu keadaan

BAB II TINJAUAN TEORI. pengecapan maupun perabaan (Yosep, 2011). Menurut Stuart (2007)

Transkripsi:

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN SDR. S DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN PADA SKIZOFRENIA TAK TERINCI DI RUANG NAKULA RUMAH SAKIT JIWA GRHASIA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KARYA TULIS ILMIAH Disusun Oleh : Julia Mar-atul Maslahah 19131010 PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YAYASAN AL-ISLAM YOGYAKARTA 2016

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN SDR. S DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN PADA SKIZOFRENIA TAK TERINCI DI RUANG NAKULA RUMAH SAKIT JIWA GRHASIA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KARYA TULIS ILMIAH Disusun Oleh : Julia Mar-atul Maslahah 19131010 PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YAYASAN AL-ISLAM YOGYAKARTA 2016 i

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN SDR. S DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN PADA SKIZOFRENIA TAK TERINCI DI RUANG NAKULA RUMAH SAKIT JIWA GRHASIA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA KARYA TULIS ILMIAH Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Menyelesaikan Pendidikan Program Diploma III Keperawatan Disusun Oleh : Julia Mar-atul Maslahah 19131010 PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YAYASAN AL-ISLAM YOGYAKARTA 2016 ii

HALAMAN PENGESAHAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN SDR. S DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN PADA SKIZOFRENIA TAK TERINCI DI RUANG NAKULA RUMAH SAKIT JIWA GRHASIA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA iii

MOTTO Setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya (HR. Bukhari Muslim). Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mengerjakan shalat dan menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri (QS. Faathir : 29-30). Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka (QS. Ar-ra du : 11). Barang siapa bersungguh-sungguh, maka dia akan berhasil iv

LEMBAR PERSEMBAHAN Karya Tulis Ilmiah (KTI) ini dipersembahkan untuk : 1. Orang tua saya di Klaten yang selalu mendo akan, mendidik, dan membimbing saya dengan keikhlasan dan kesabaran demi kebaikan saya. 2. Abah Endarka Hana, SH dan Ibu Nyai Nurul Isnaini Febriarini, S.Kep., MPH yang merupakan orang tua saya di PP. Al-Islam Yogyakarta yang mendo akan, mendidik, membimbing, dan memotivasi saya dalam menuntut ilmu. 3. Keluarga besar Yayasan Al-Islam yang telah memberikan saya kesempatan untuk menuntut ilmu dengan maksimal. 4. Bapak Satriya Pranata, S.Kep., Ns selaku pembimbing dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah (KTI) ini. 5. Seluruh keluarga, saudara, dan teman-teman yang selalu memberikan semangat dan mendo akan saya. v

INTISARI Asuhan Keperawatan pada Klien Sdr. S dengan Resiko Perilaku Kekerasan pada Skizofrenia Tak Terinci di Ruang Nakula Rumah Sakit Jiwa Grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta Julia Mar-atul Maslahah 1, Satriya Pranata 2 Latar Belakang : Karya Tulis Ilmiah (KTI) ini dilatarbelakangi banyaknya kasus skizofrenia tak terinci. mulai dari tanggal 16-19 Mei 2016 di Ruang Nakula terdapat 26 orang yang dirawat dengan 20 orang atau 76 % didiagnosa skizofrenia yang 10 diantaranya mengalami masalah keperawatan resiko perilaku kekerasan dengan diagnosa medis Skizofrenia Tak Terinci (F20.3) atau sebesar 50 %. Tujuan dan Metode : Tujuan penulisan KTI ini untuk memperoleh pengalaman nyata dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan resiko perilaku kekerasan pada skizofrenia tak terinci dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan. Metode yang digunakan dalam penulisan KTI ini adalah deskriptif dengan pemaparan kasus dan cara pemecahan masalah. Hasil : Dari hasil pengkajian pada klien Sdr. S, ditegakkan 5 diagnosa keperawatan yaitu resiko perilaku kekerasan dengan tujuan yang akan dicapai adalah klien mampu mengontrol perilaku kekerasan, kurang pengetahuan dengan tujuan yang akan dicapai adalah klien mengetahui tentang penyakit dan pencegahan kekambuhannya, ketidakefektifan koping dengan tujuan yang akan dicapai adalah klien mampu menentukan mekanisme koping yang efektif, ansietas dengan tujuan yang akan dicapai adalah klien mampu mengontrol ansietas, dan resiko jatuh dengan tujuan yang dicapai adalah klien mampu meminimalisir terjadinya jatuh. Kesimpulan : Pada klien Sdr. S, diagnosa keperawatan resiko perilaku kekerasan, kurang pengetahuan, dan ketidakefektifan koping teratasi. Dua diagnosa keperawatan yaitu ansietas dan resiko jatuh teratasi sebagian. Kata Kunci : Skizofrenia Tak Terinci, Resiko Perilaku Kekerasan 1 Mahasiswa STIKES Al-Islam Yogyakarta 2 Dosen Pembimbing STIKES Al-Islam Yogyakarta vi

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufiq, dan hidayah-nya, penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah (KTI) dengan judul Asuhan Keperawatan pada Klien Sdr. S dengan Resiko Perilaku Kekerasan pada Skizofrenia Tak Terinci di Ruang Nakula Rumah Sakit Jiwa Grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta. Karya tulis ilmiah ini ditulis untuk memenuhi sebagian syarat guna menyelesaikan pendidikan program Diploma III Keperawatan di STIKES Al-Islam Yogyakarta". Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihakpihak yang telah membantu pembuatan karya tulis ilmiah, yaitu : 1. Orang tua yang telah memberi dukungan dan do a dalam penyusunan KTI. 2. Bapak H. Sutrisno, APP., S.Pd., M.Kes. selaku Ketua STIKES Al-Islam Yogyakarta sekaligus penguji KTI. 3. Bapak Satriya Pranata, S.Kep., Ns. selaku dosen pembimbing dalam penulisan KTI sekaligus penguji KTI. 4. Ibu Heni Indarwati, S.Kep., Ns., MMedEd selaku dosen penguji UAP. 5. Bapak Nur Fauzin, S.Kep selaku penguji UAP di rumah sakit. 6. Ibu Pamulatsih Dwi Oktaviani, S.Kep., Ns. selaku dosen penguji UAP di rumah sakit. 7. Bapak/Ibu dosen pengajar dan staf di STIKES Al-Islam Yogyakarta. 8. Seluruh keluarga, saudara, dan teman-teman yang telah membantu dalam penyelesaian KTI. vii

Penulis menyadari bahwa dalam karya tulis ilmiah ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, diharapkan adanya kritik dan saran dari semua pihak untuk peningkatan kualitas karya tulis ilmiah ini, sehingga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Yogyakarta, 15 Juni 2016 Penulis viii

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL LUAR... i HALAMAN SAMPUL DALAM...... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii MOTTO... iv HALAMAN PERSEMBAHAN... v INTISARI... vi KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... 5 C. Ruang Lingkup... 5 D. Tujuan... 6 E. Manfaat... 8 F. Metode... 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Skizofrenia... 12 1. Pengertian... 12 2. Etiologi... 13 3. Klasifikasi... 15 ix

4. Patofisiologi... 18 5. Gejala skizofrenia... 19 6. Diagnosis... 21 7. Penatalaksanaan... 22 B. Konsep Perilaku Kekerasan... 26 1. Pengertian... 26 2. Rentang respon marah... 27 3. Etiologi... 28 4. Manifestasi klinis... 30 5. Mekanisme koping... 31 6. Penatalaksanaan... 32 C. Konsep Asuhan Keperawatan... 35 1. Pengkajian... 36 2. Diagnosa keperawatan... 41 3. Perencanaan... 44 4. Implementasi... 50 5. Evaluasi... 51 BAB III TINJAUAN KASUS A. Pengkajian... 52 B. Diagnosa Keperawatan Prioritas... 75 C. Perencanaan Keperawatan... 78 D. Implemetasi dan Evaluasi (Catatan Perkembangan)... 94 BAB IV PEMBAHASAN A. Pengkajian... 126 B. Diagnosa Keperawatan... 130 x

C. Perencanaan Keperawatan... 135 D. Implemetasi... 138 E. Evaluasi... 138 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 144 B. Saran... 147 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi

DAFTAR TABEL Tabel 1. Daftar obat antipsikotik tipikal... 23 Tabel 2. Daftar obat antipsikotik atipikal... 23 Tabel 3. Rencana keperawatan resiko perilaku kekerasan... 48 Tabel 4. Masalah yang pernah dialami klien... 53 Tabel 5. Kebutuhan persiapan pulang... 68 Tabel 6. Hasil pemeriksaan laboratorium... 70 Tabel 7. Terapi obat... 70 Tabel 8. Analisa data... 73 Tabel 9. Perencanaan keperawatan resiko perilaku kekerasan... 78 Tabel 10. Perencanaan keperawatan kurang pengetauan... 85 Tabel 11. Perencanaan keperawatan ketidakefektifan koping... 87 Tabel 12. Perencanaan keperawatan ansietas... 89 Tabel 13. Perencanaan keperawatan resiko jatuh... 92 Tabel 14. Catatan perkembangan resiko perilaku kekerasan... 94 Tabel 15. Catatan perkembangan kurang pengetahuan... 104 Tabel 16. Catatan perkembangan ketidakefektifan koping... 109 Tabel 17. Catatan perkembangan ansietas... 115 Tabel 18. Catatan perkembangan resiko jatuh... 121 xii

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Patofisiologi skizofrenia... 18 Gambar 2. Rentang respon marah... 27 Gambar 3. Pohon masalah resiko perilaku kekerasan... 35 Gambar 4. Piramida hierarki Maslow... 45 Gambar 5. Kekuatan otot... 58 Gambar 6. Genogram... 59 xiii

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Penilaian resiko perilaku kekerasan Lampiran 2. Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) Lampiran 3. Tabel penentuan kategori pasien jiwa Lampiran 4. Strategi pelaksanaan Lampiran 5. Jadwal Kegiatan Harian Klien Lampiran 6. Format pengakajian asuhan keperawatan jiwa xiv

15

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena gangguan jiwa pada saat ini mengalami peningkatan yang sangat signifikan di berbagai belahan dunia. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan jiwa (Yosep, 2013). WHO menyatakan setidaknya ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental dan masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia yang menjadi masalah yang sangat serius (Yosep, 2013). Data dari WHO dalam Yosep (2013) menunjukkan hampir 24 juta orang di seluruh dunia menderita gangguan skizofrenia dengan angka kejadian 1 per 1000 penduduk. Data yang didapatkan dari WHO menunjukkan di Amerika Serikat 300.000 orang setiap tahun menderita skizofrenia dan Eropa berkisar 250.000 orang (VOA, 2016). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan di Indonesia sebesar 6% untuk usia 15 tahun keatas atau sekitar 14 juta orang (Departemen Kesehatan, 2014). Prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia adalah 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang (Departemen Kesehatan, 2014). Menurut Riskesdas tahun 2013, Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki angka orang gangguan 1

2 jiwa tertinggi di Indonesia yaitu sekitar 16 ribu orang yang hidup dengan skizofrenia dengan prevalensi skizofrenia 4,6 per 1000 penduduk (Gusti, 2015). Skizofrenia merupakan gangguan psikis yang ditandai dengan penyimpangan realitas, penarikan diri dari interaksi sosial, serta disorganisasi persepsi, pikiran, dan kognitif (Stuart, 2013). Pada klien dengan skizofrenia akan muncul berbagai gejala yaitu gejala positif, negatif, dan kognituf. Gejala yang muncul dapat menimbulkan berbagai masalah pada klien. Diagnosa keperawatan yang muncul pada orang dengan skizofrenia adalah gangguan persepsi sensori : halusinasi, isolasi sosial, harga diri rendah, ketidakefektifan koping, dan perilaku kekerasan. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain (Yosep, 2007). Perilaku kekerasan juga dapat diartikan perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol (Yosep, 2010). Perilaku kekerasan merupakan hal yang membahayakan diri klien, orang lain, dan lingkungan klien. Perilaku kekerasan dapat berupa tindakan fisik maupun secara visual. Dalam menghadapi masalah kesehatan jiwa diperlukan penanganan yang tepat termasuk dalam pemberian asuhan keperawatan jiwa. Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya meningkatkan dan mempertahankan perilaku klien yang berperan pada fungsi yang

3 terintegrasi dengan sistem klien atau klien dapat berupa individu, keluarga, kelompok, organisasi, atau komunitas (Stuart, 2013). Proses keperawatan pada klien dengan masalah kesehatan jiwa merupakan tantangan yang unik karena masalah kesehatan jiwa mungkin tidak dapat dilihat langsung, seperti pada masalah kesehatan fisik yang memperlihatkan bermacam gejala dan disebabkan berbagai hal (Keliat, 2009). Banyak klien dengan masalah kesehatan jiwa tidak dapat menceritakan hal yang dialami. Kemampuan klien dengan gangguan jiwa dalam menyelesaikan masalah juga bervariasi. Klien cenderung tidak merasa dirinya sakit serta lebih sering menyalahkan orang lain disekitarnya. Oleh karena itu, perlu adanya pemberian asuhan keperawatan secara menyeluruh dengan memaksimalkan peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan. Pemberian asuhan keperawatan jiwa pada klien dengan perilaku kekerasan diberikan secara komprehensif dengan melibatkan klien, keluarga klien, dan seluruh tim kesehatan yang ada untuk mempermudah proses pemulihan pada klien. Pada klien dengan perilaku kekerasan juga memerlukan pengawasan dan pengontrolan dari keluarga sehingga tidak terjadi kekambuhan pada klien. Undang-Undang No 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang agar dapat mencapai kualitas hidup yang baik, serta memberikan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif (Departemen Kesehatan RI, 2014). Di rumah sakit, perawat harus mampu menjalankan upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

4 Perawat berperan memberikan penjelasan terkait dengan gangguan jiwa, bagaimana pencegahan kekambuhan pada orang dengan gangguan jiwa, melakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi medis yang tepat, serta pemulihan dan perawatan bagi orang dengan gangguan jiwa (Maramis, 2006). Undang-undang tersebut mengamanatkan tentang perlunya peran serta masyarakat dalam melindungi dan memberdayakan orang dengan gangguan jiwa, perlindungan terhadap tindakan kekerasan, menciptakan lingkungan yang kondusif, memberikan pelatihan keterampilan, dan mengawasi penyelenggaraan pelayanan di fasilitas yang melayani orang dengan gangguan jiwa (Departemen Kesehatan RI, 2014). Data terakhir yang didapatkan dari Rumah Sakit Jiwa Grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2015 terdapat 2897 orang dengan gangguan jiwa yang dirawat dengan kasus skizofrenia sejumlah 1646 orang atau 56.8 %. Data yang didapatkan dari Rumah Sakit Jiwa Grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta dari bulan Januari sampai September 2015 terdapat penderita gangguan jiwa dengan diagnosa medis Skizofrenia Tak Terinci (F20.3) sejumlah 526 orang atau 32 %. Selama pelaksanaan ujian akhir program mulai dari tanggal 16 sampai 19 Mei 2016 di Ruang Nakula terdapat 26 orang yang dirawat baik yang masuk maupun dipindahkan ke ruangan lain, 20 orang atau 76 % didiagnosa skizofrenia yang 10 diantaranya mengalami masalah keperawatan resiko perilaku kekerasan dengan diagnosa medis Skizofrenia Tak Terinci (F20.3) atau sebesar 50 %.

5 Dari uraian di atas, penulis terinspirasi untuk membuat Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang berjudul Asuhan Keperawatan pada Klien Sdr. S dengan Resiko Perilaku Kekerasan pada Skizofrenia Tak Terinci di Ruang Nakula Rumah Sakit Jiwa Grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut, didapatkan rumusan masalah dalam karya tulis ilmiah ini adalah Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Klien Sdr. S dengan Resiko Perilaku Kekerasan pada Skizofrenia Tak Terinci di Ruang Nakula Rumah Sakit Jiwa Grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta?. C. Ruang Lingkup Ruang lingkup untuk pelaksanaan asuhan keperawatan dalam karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut : 1. Ruang lingkup mata ajaran Karya tulis ilmiah ini membahas tentang Asuhan Keperawatan Pada Klien Sdr. S dengan Resiko Perilaku Kekerasan pada Skizofrenia Tak Terinci di Ruang Nakula Rumah Sakit Jiwa Grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta yang termasuk dalam mata ajaran keperawatan jiwa (WATT 3.02).

6 2. Ruang lingkup kasus Ruang lingkup kasus dalam penulisan karya tulis ilmiah ini meliputi asuhan keperawatan pada klien dengan resiko perilaku kekerasan pada skizofrenia tak terinci. Asuhan keperawatan ini diberikan pada klien Sdr. S dengan resiko perilaku kekerasan pada skizofrenia tak terinci di Ruang Nakula Rumah Sakit Jiwa Grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta. 3. Ruang lingkup waktu Asuhan keperawatan pada klien Sdr. S dilakukan 3 x 24 jam, dimulai dari tanggal 16 Mei 2016 sampai 19 Mei 2016. 4. Ruang lingkup asuhan keperawatan Asuhan keperawatan pada klien Sdr. S diberikan secara komprehensif meliputi aspek biologis, psikologis, sosial, kultural, dan spiritual. Asuhan keperawatan pada klien Sdr. S dilaksanakan menggunakan proses keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. D. Tujuan Pembuatan karya tulis ilmiah ini bertujuan untuk : 1. Tujuan umum Setelah menyusun karya tulis ilmiah ini, diharapkan mahasiswa memperoleh pengalaman nyata dalam melaksanakan asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan.

7 2. Tujuan khusus Setelah melakukan penyusunan karya tulis ilmiah tentang asuhan keperawatan pada klien Sdr. S dengan resiko perilaku kekerasan pada skizofrenia tak terinci di Ruang Nakula Rumah Sakit Jiwa Grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta diharapkan : a. Mahasiswa mampu menerapkan ilmu keperawatan dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien Sdr. S dengan resiko perilaku kekerasan pada skizofrenia tak terinci (F20.3) dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi. b. Mahasiswa mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada klien Sdr. S dengan resiko perilaku kekerasan pada skizofrenia tak terinci (F20.3) di ruang Nakula Rumah Sakit Jiwa Grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta. c. Mahasiswa mampu mengidentifikasi faktor pendukung dan faktor penghambat dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien Sdr. S dengan resiko perilaku kekerasan pada skizofrenia tak terinci (F20.3) di ruang Nakula Rumah Sakit Jiwa Grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta.

8 E. Manfaat Penyusunan karya tulis ilmiah tentang asuhan keperawatan pada klien Sdr. S dengan perilaku kekerasan pada skizofrenia tak terinci di Ruang Nakula Rumah Sakit Jiwa Grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, yaitu : 1. Bagi profesi keperawatan Diharapkan karya tulis ini dapat menambah wawasan bagi perawat dalam pengembangan dan peningkatan mutu pelayanan keperawatan dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien gangguan jiwa, khususnya klien dengan resiko perilaku kekerasan pada skizofrenia tak terinci (F20.3). 2. Bagi institusi a. Rumah Sakit Jiwa Grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta Diharapkan karya tulis ilmiah ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pemberian asuhan keperawatan khususnya pada klien dengan resiko perilaku kekerasan pada skizofrenia tak terinci (F20.3). b. STIKES Al-Islam Yogyakarta Karya tulis ilmiah tentang asuhan keperawatan pada klien Sdr. S dengan perilaku kekerasan pada skizofrenia tak terinci di ruang Nakula Rumah Sakit Jiwa Grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan belajar dan acuan penerapan dalam pemberian asuhan keperawatan pada klien resiko perilaku kekerasan pada skizofrenia tak terinci (F20.3).

9 3. Bagi masyarakat Diharapkan karya tulis ilmiah ini dapat dijadikan penambah wawasan masyarakat serta memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelesaian masalah kesehatan jiwa. F. Metode 1. Metode pembuatan karya tulis ilmiah Penulisan karya tulis ilmiah tentang asuhan keperawatan pada klien Sdr. S dengan perilaku kekerasan pada skizofrenia tak terinci di Ruang Nakula Rumah Sakit Jiwa Grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode yang menguraikan permasalahan sekaligus memecahakan masalah yang terjadi saat itu juga, dengan pemaparan kasus dan menggunakan pendekatan proses keperawatan mulai dari pengkajian sampai evaluasi (Nursalam, 2013). Metode deskriptif merupakan metode yang dilakukan dengan tujuan untuk membuat gambaran tentang suatu keadaan secara objektif (Nursalam, 2013). 2. Metode pengumpulan data a. Pengumpulan data primer Data primer adalah data yang di dapat dari klien. Metode pengumpulan data primer dilakukan dengan cara :

10 1) Wawancara Wawancara adalah tanya jawab secara langsung dengan klien atau dengan keluarga klien untuk menggali status kesehatan klien dengan menggunakan komunikasi teraupetik (Nursalam, 2013). Dalam hal ini, perawat membina hubungan saling percaya dengan klien sebelum mulai wawancara. Tujuan dari wawancara adalah untuk memperoleh data subjektif yang digunakan sebagai bahan pembuatan analisa data dan penegakan diagnosa keperawatan (Nursalam, 2013). 2) Observasi Observasi merupakan metode yang digunakan dengan cara pengumpulan informasi melalui pengamatan langsung terhadap klien. Data yang dikumpulkan berupa data obyektif dan dapat digunakan sebagai dasar pencocokan antara pernyataan klien dan kenyataan yang ada (Nursalam, 2013). 3) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menggunakan 4 cara yaitu : inspeksi yang merupakan proses observasi dengan menggunakan mata untuk mendeteksi tanda-tanda fisik yang berhubungan dengan status kesehatan, palpasi yang dilakukan dengan menggunakan sentuhan/perabaan, perkusi dengan cara mengetuk untuk mengetahui batas-batas dari organ dalam tubuh, dan auskultasi dengan menggunakan stetoskop untuk memperjelas

11 pendengaran yang bertujuan untuk mengetahui apakah ada perubahan dalam sistem tubuh atau adanya kelainan (Damayanti, 2012). b. Pengumpulan data sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari selain klien, seperti keluarga klien, orang atau teman terdekat klien, dan tim kesehatan lain (Damayanti, 2012). Metode pengumpulan data sekunder dapat diperoleh melalui studi dokumentasi dari catatan rekam medis klien. Dengan menggunakan status klien untuk mengetahui catatan asuhan keperawatan yang dibuat oleh perawat maupun hasil-hasil pemeriksaan, instruksi atau catatan dokter tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah kesehatan klien (Damayanti, 2012).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Dasar Skizofrenia 1. Pengertian Skizofrenia secara etimologi berasal dari bahasa Yunani yaitu schizo yang berarti terpotong atau terpecah dan phren yang berarti pikiran, sehingga skizofrenia berarti pikiran yang terpisah (Maramis, 2006). Arti dari kata-kata tersebut menjelaskan tentang karakteristik utama dari gangguan skizofrenia, yaitu pemisahan antara pikiran, emosi, dan perilaku dari orang yang mengalaminya. Skizofrenia merupakan gangguan psikis yang ditandai dengan penyimpangan realitas, penarikan diri dari interaksi sosial, serta disorganisasi persepsi, pikiran, dan kognitif (Stuart, 2013). Skizofrenia juga dapat diartikan terpecahnya pikiran, perasaan, dan perilaku sehingga yang dilakukan tidak sesuai dengan pikiran dan perasaan orang yang mengalaminya (Prabowo, 2014). Berdasarkan pengertian yang diuraikan diatas, dapat disimpulkan skizofrenia adalah gangguan psikis dengan adanya pemisahan antara pikiran, emosi, dan perilaku dari orang yang mengalaminya ditandai dengan penyimpangan realitas, penarikan diri dari interaksi sosial, serta disorganisasi persepsi, pikiran, dan kognitif. 12

13 2. Etiologi Skizofrenia adalah penyakit biologis yang disebabkan oleh faktor-faktor genetik, ketidakseimbangan kimiawi otak, dan berbagai peristiwa yang dapat memberikan kontribusi terjadinya skizofrenia. Penyebab munculnya skizofrenia terbagi menjadi pendekatan seperti pendekatan biologis, teori psikogenik, dan pendekatan gabungan (streevulnerability model) (Prabowo, 2014). a. Pendekatan biologis Ada beberapa teori terkait dengan pendekatan biologis terjadinya skizofrenia, antara lain : 1) Teori genetik Teori genetik menekankan faktor genetik sangat berperan dalam proses terjadinya skizofrenia. National Institute of Mental Health (NIMH) melakukan penelitian pada keluarga penderita skizofrenia dengan riwayat skizofrenia dalam keluarganya seperti orang tua dan saudara kandung. Berdasarkan American Journal of Medical Genetics, menyatakan bahwa apabila kedua orang tuanya menderita skizofrenia, maka kemungkinan anaknya mengalami skizofrenia adalah sebesar 40 % (Maramis, 2006). 2) Teori biokimia Teori biokimia menekankan pada hipotesis dopamin dan serotonin glutamat. Peningkatan reseptor neuron dopamin pada jalur mesolimbik menimbulkan gejala positif, sedangkan penurunan

14 reseptor neuron dopamin pada jalur mesokortek dalam kortek prefrontalis bisa menimbulkan gejala positif (Maramis, 2006). Pada teori serotonin glutamat disebutkan bahwa penurunan kadar glutamat akan menyebabkan penurunan regulasi reseptor Nmetyl D aspartarte (NMDA) sehingga menimbulkan gejala-gejala psikotik serta defisit kognitif (Maramis, 2006). 3) Teori neurostruktural Menurut Maramis (2006), orang dengan skizofrenia menunjukkan tiga tipe abnormalitas struktural, yaitu : a) Atrofi kortikal Atrofi kortikal dapat terjadi karena faktor degeneratif atau progresif, kegagalan otak untuk berkembang normal, dan bisa juga dikarenakan infeksi virus pada otak dalam kandungan (Maramis, 2009). b) Pembesaran ventrikel otak Pembesaran ventrikel otak pada penderita skizofrenia diperkirakan 20 sampai 50 %, sehingga dapat menimbulkan gejala skizofrenia kronis dan tanda negatif (Maramis, 2009). c) Asimetri serebral yang terbalik Pada orang dengan skizofrenia terjadi abnormalitas besar sisi kanan dan kiri otak sehingga menimbulkan adanya perbedaan pemahaman masalah-masalah kognitif pada klien skizofrenia (Maramis, 2009).

15 b. Teori psikogenik Teori psikogenik menyatakan skizofrenia suatu gangguan fungsional dengan penyebab utama adalah konflik, stres psikologik, dan hubungan antar manusia yang mengecewakan (Maramis, 2006). c. Pendekatan gabungan (stree-vulnerability model) Pendekatan gabungan menyatakan orang dengan latar belakang genetik rentan terhadap skizofrenia dan tinggal dalam lingkungan yang penuh dengan stres dapat memberikan kontribusi terjadinya skizofrenia (Maramis, 2006). 3. Klasifikasi Skizofrenia dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tipe menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III). Adapun pengklasifikasian skizofrenia sebagai berikut : a. Skizofrenia paranoid (F20.0) Pedoman diagnostik skizofrenia paranoid antara lain : 1) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia. 2) Halusinasi dan/atau yang menonjol. 3) Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik relatif tidak ada.

16 b. Skizofrenia hebefrenik (F20.1) Pedoman diagnostik skizofrenia hebefrenik antara lain : 1) Memenuhi kriteria umum skizofrenia. 2) Diagnosis hebefrenik hanya ditegakkan pertama kali pada usia remaja atau dewasa muda (15-25 tahun). 3) Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas pemalu dan senang menyendiri. 4) Gejala bertahan 2-3 minggu. 5) Afek dangkal dan tidak wajar, senyum sendiri, dan mengungkapkan sesuatu dengan diulang-ulang. c. Skizofrenia katatonik (F20.2) Pedoman diagnostik skizofrenia katatonik antara lain : 1) Memenuhi kriteria umum skizofrenia. 2) Stupor (reaktifitas rendah dan tidak mau berbicara). 3) Gaduh-gelisah (tampak aktivitas motorik yang tidak bertujuan tanpa stimuli eksternal). 4) Rigiditas (kaku tubuh). 5) Diagnosis katatonik bisa tertunda apabila diagnosis skizofrenia belum tegak dikarenakan klien tidak komunikatif.

17 d. Skizofrenia tak terinci (F20.3) Pedoman diagnostik skizofrenia tak terinci antara lain : 1) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia. 2) Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, dan katatonik. 3) Tidak memenuhi diagnosis skizofrenia residual atau depresi pasca-skizofrenia. e. Skizofrenia pasca-skizofrenia (F20.4) Pedoman diagnostik skizofrenia pasca-skizofrenia antara lain : 1) Klien menderita skizofrenia 12 bulan terakhir. 2) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada namun tidak mendominasi. 3) Gejala depresif menonjol dan mengganggu. f. Skizofrenia residual (F20.5) Pedoman diagnostik skizofrenia residual antara lain : 1) Gejala negatif dari skizofrenia menonjol. 2) Ada riwayat satu episode psikotik. 3) Tidak terdapat demensia atau gangguan otak organik lainnya. g. Skizofrenia simpleks (F20.6) Pedoman diagnostik skizofrenia simpleks antara lain : 1) Gejala negatif yang khas tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik. 2) Disertai dengan perubahan perilaku pribadi yang bermakna.

18 h. Skizofrenia lainnya (F20.7) Skizofrenia lainnya (F20.7) termasuk skizofrenia chenesthopatic (terdapat suatu perasaan yang tidak nyaman, tidak enak, dan tidak sehat pada bagian tubuh tertentu). i. Skizofrenia tak spesifik (F20.8) Skizofrenia tak spesifik (F20.9) tidak dapat diklasifikasikan kedalam tipe yang telah disebutkan. 4. Patofisiologi Meskipun patofisiologi gangguan jiwa skizofrenia belum sepenuhnya dimengerti, namun sudah diketahui bahwa gangguan jiwa skizofrenia sebagai akibat gangguan sinyal penghantar saraf (neurotransmitter) pada sel-sel saraf otak, yaitu antara lain pelepasan zat pada reseptor dopamin, serotonin, dan nonadrenalin. Pelepasan zat tersebut terjadi disusunan saraf pusat yaitu sistem limbik khususnya di nucleus accumbens dan hipotalamus yang menimbulkan gejala positif, negatif maupun kognitif (Maramis, 2006). Faktor genetik, psikologis, kelainan otak, lingkungan Menstimulus neurotransmitter Dopamin Serotonin Adrenalin Muncul gejala positif, negatif, dan kognitif Gambar 1. Patofisiologi skizofrenia (Prabowo, 2014)

19 5. Gejala skizofrenia Menurut Maramis (2006) gejala yang muncul pada klien skizofrenia digolongkan menjadi tiga gejala, yaitu : a. Gejala positif Gejala positif yang timbul pada klien skizofrenia adalah : 1) Delusi atau waham yaitu keyakinan yang tidak rasional, meskipun telah dibuktikan secara objektif bahwa keyakinan tersebut tidak rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya. 2) Halusinasi yaitu persepsi sensori yang palsu yang terjadi tanpa stimulus eksternal. Penderita skizofrenia merasa melihat, mendengar, mencium, meraba atau menyentuh sesuatu yang tidak ada. 3) Disorganisasi pikiran dan pembicaraan yang meliputi tidak runtutnya pola pembicaraan dan penggunaan bahasa yang tidak lazim pada orang dengan skizofrenia. 4) Disorganisasi perilaku yang meliputi aktivitas motorik yang tidak biasa dilakukan orang normal, misalnya gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, dan agresif. 5) Gejala positif lain yang mungkin muncul pada orang dengan skizofrenia adalah pikirannya penuh dengan kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap dirinya dan juga menyimpan rasa permusuhan.

20 b. Gejala negatif Gejala negatif yang mungkin muncul pada penderita skizofrenia adalah : 1) Affective flattening adalah suatu gejala dimana seseorang hanya menampakkan sedikit reaksi emosi terhadap stimulus, sedikitnya bahasa tubuh dan sangat sedikit melakukan kontak mata. Dalam hal ini, bukan berarti orang dengan skizofrenia tidak mempunyai emosi. Orang dengan skizofrenia mempunyai dan merasakan emosi pada dirinya namun tidak mampu mengekspresikannya. 2) Alogia adalah kurangnya kata pada individu sehingga dianggap tidak responsif dalam suatu pembicaraan. Orang dengan skizofrenia seringkali tidak mempunyai inisiatif untuk berbicara kepada orang lain bahkan merasa takut berinteraksi dengan orang lain sehingga sering menarik diri dari lingkungan sosial. 3) Avolition adalah kurangnya inisiatif pada seseorang seakan-akan orang tersebut kehilangan energi untuk melakukan sesuatu. c. Gejala kognitif Gelaja kognitif yang muncul pada orang dengan skizofrenia melibatkan masalah memori dan perhatian. Gejala kognitif akan mempengaruhi orang dengan skizofrenia dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti bermasalah dalam memahami informasi, kesulitan menentukan pilihan, kesulitan dalam konsentrasi, dan kesulitan dalam mengingat (Maramis, 2009).

21 6. Diagnosis Penegakan diagnosis skizofrenia harus memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia yang telah ditentukan. Kriteria diagnosis skizofrenia berdasarkan DSM-IV yaitu : a. Gejala karakteristik Gejala karakteristik pada orang dengan skizofrenia muncul dalam jangka waktu yang signifikan dalam periode 1 bulan. Gejala karakteristik yang mungkin muncul pada orang dengan skizofrenia antara lain : 1) Keyakinan yang kuat terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak nyata (delusi). 2) Mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada (halusinasi). 3) Cara bicara tidak teratur. 4) Tingkah laku yang tak terkontrol. 5) Munculnya gejala negatif seperti afek datar, pendiam, dan tidak responsif. b. Disfungsi sosial Disfungsi sosial yaitu danya gangguan terhadap fungsi sosial atau pekerjaan dalam jangka waktu tertentu. c. Durasi Terjadinya gangguan secara terus-menerus selama enam bulan yang merupakan gejala karakteristik.

22 d. Gejala psikotik Gejala psikotik yang muncul pada orang dengan skizofrenia tidak disebabkan karena gangguan mood seperti pada bipolar, bukan karena penggunaan obat, dan kondisi medik tertentu. 7. Penatalaksanaan Tujuan utama dari penatalaksanaan skizofrenia adalah mengembalikan fungsi normal klien dan mencegah kekambuhannya. Belum ada pengobatan yang spesifik dalam masing-masing subtipe skizofrenia (Prabowo, 2014). Menurut Maramis (2006) penatalaksanaan skizofrenia adalah : a. Terapi farmakologi Obat-obatan yang digunakan dalam terapi farmakologi klien skizofrenia adalah golongan obat antipsikotik. Penggunaan obat antipsikotik digunakan dalam jangka waktu yang lama dikarenakan obat antipsikotik berfungsi untuk terapi pemeliharaan, pencegah kekambuhan, dan mengurangi gejala yang timbul pada orang dengan skizofrenia (Prabowo, 2014). Obat antispikotik terdiri dari dua golongan yaitu : 1) Antipsikotik tipikal Antipsikotik tipikal merupakan antipsikotik generasi lama yang mempunyai aksi mengeblok reseptor dopamin. Antipsikotik ini lebih efektif untuk mengatasi gejala positif yang muncul pada klien skizofrenia.

23 Tabel 1. Daftar obat antipsikotik tipikal Nama Obat Dosis Harian Chlorpromazine 30-800 mg Flupenthixol 12-64 mg Fluphenazine 2-40 mg Haloperidol 1-100 mg Sumber : Prabowo (2014) 2) Antipsikotik atipikal Antipsikotik atipikal merupakan antipsikotik generasi baru yang muncul pada tahun 1990-an. Aksi obat ini adalah mengeblok reseptor dopamin yang rendah. Antipsikotik atipikal merupakan pilihan pertama dalam terapi skizofrenia. Antipsikotik atipikal efektif dalam mengatasi gejala positif maupun negatif yang muncul pada orang dengan skizofrenia. Tabel 2. Daftar obat antipsikotik atipikal Nama Obat Dosis Harian Clozapine 300-900 mg Risperidone 1-40 mg Loxapin 20-150 mg Melindone 225 mg Sumber : Prabowo (2014) Menurut Ikawati (2011) pengobatan dan pemulihan skizofrenia terdiri dari beberapa tahap pengobatan dan pemulihan, yaitu : 1) Terapi fase akut Pada fase akut ini, klien menunjukkan gejala psikotik yang jelas dengan ditandai gejala positif dan negatif. Pengobatan pada fase ini bertujuan mengendalikan gejala psikotik yang muncul pada

24 orang dengan skizofrenia. Pemberian obat pada fase akut diberikan dalam waktu enam minggu. 2) Terapi fase stabilisasi Pada fase stabilisasi klien mengalami gejala psikotik dengan intensitas ringan. Pada fase ini klien mempunyai kemungkinan besar untuk kambuh sehingga dibutuhkan pengobatan rutin menuju tahap pemulihan. 3) Terapi fase pemeliharaan Terapi pada fase pemeliharaan diberikan dalam jangka waktu panjang dengan tujuan dapat mempertahankan kesembuhan klien, mengontrol gejala, mengurangi resiko kekambuhan, mengurangi durasi rawat inap, dan mengajarkan ketrampilan untuk hidup mandiri. Terapi pada fase ini dapat berupa pemberian obat-obatan antipsikotik, konseling keluarga, dan rehabilitasi. b. Terapi non farmakologi Menurut Hawari (2006) terapi non farmakologi yang diberikan pada klien dengan skizofrenia antara lain : 1) Pendekatan psikososial Pendekatan psikososial bertujuan memberikan dukungan emosional kepada klien sehingga klien mampu meningkatkan fungsi sosial dan pekerjaannya dengan maksimal. Menurut Prabowo (2014) pendekatan psikososial yang dapat diberikan pada klien skizofrenia dapat berupa :

25 a) Psikoterapi suportif Psikoterpi suportif merupakan salah satu bentuk terapi yang bertujuan memberikan dorongan semangat dan motivasi agar penderita skizofrenia tidak merasa putus asa dan mempunyai semangat juang dalam menghadapi hidup (Prabowo, 2014). Pada klien skizofrenia perlu adanya dorongan berjuang untuk pulih dan mampu mencegah adanya kekambuhan. b) Psikoterapi re-edukatif Bentuk terapi ini dimaksudkan memberi pendidikan ulang untuk merubah pola pendidikan lama dengan yang baru sehingga penderita skizofrenia lebih adaptif terhadap dunia luar (Prabowo, 2014). c) Psikoterapi rekontruksi Psikoterapi rekontruksi bertujuan memperbaiki kembali kepribadian yang mengalami perubahan disebabkan adanya stresor yang klien tidak mampu menghadapinya (Ikawati, 2011). d) Terapi tingkah laku Terapi tingkah laku menggunakan stimulasi positif pada klien skizofrenia sehingga akan timbul proses perubahan yang positif yang bersumber dari teori psikologi tingkah laku (behavior psichology).

26 e) Terapi keluarga Terapi keluarga merupakan salah satu bentuk terapi yang berupa pemberian edukasi pada keluarga dari penderita skizofrenia dengan menggunakan berbagai media, misalnya lefleat, video, alat elektronik, dan lain-lain. f) Psikoterapi kognitif Psikoterapi kognitif merupakan terapi pemulihan fungsi kognitif sehingga penderita skizofrenia mampu membedakan nilai-nilai sosial etika. 2) Electro convulsive therapy (ECT) Terapi kejang listrik atau elektronik convulsive theraphy (ECT) adalah bentuk terapi kepada klien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis klien. Terapi ini digunakan dalam menangani klien skizofrenia dengan intensitas 20-30 kali terapi. Biasanya dilaksanakan setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali). B. Konsep Perilaku Kekerasan 1. Pengertian Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain (Yosep, 2007). Perilaku kekerasan juga dapat diartikan perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan

27 untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol (Yosep, 2010). Perilaku kekerasan merupakan salah satu respon terhadap stresor yang dialami oleh seseorang yang dapat menimbulkan kerugian baik pada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan (Keliat & Akemat, 2010). Pendapat lain menyatakan perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Dermawan, 2013). Dari uraian beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan perilaku kekerasan adalah perilaku seseorang yang timbul karena adanya stresor sehingga timbul rasa marah yang tidak terkontrol dan menunjukkan adanya tindakan yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain dan lingkungannya secara fisik. 2. Rentang respon marah Rentang Respon Marah p Adaptif Maladaptif Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan Gambar 2. Rentang respon marah (Prabowo, 2014) Keterangan : Asertif : klien mampu mengungkapkan rasa marahnya tanpa menyalahkan orang lain dan memberikan kelegaan.

28 Frustasi : klien gagal menuju mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat menemukan alternatif. Pasif : klien merasa tidak mampu mengungkapkan perasaannya. Agresif : klien mengekspresikan secara fisik tapi masih terkontrol. Kekerasan : perasaan marah dan bermusuhan yang kuat dan hilang kontrol serta amuk dan merusak lingkungannya. 3. Etiologi Menurut Yosep (2010) perilaku kekerasan yang timbul pada klien dengan gangguan jiwa disebabkan oleh dua faktor yaitu : a. Faktor predisposisi Menurut Prabowo (2014) ada beberapa teori terkait dengan timbulnya perilaku kekerasan pada orang dengan gangguan jiwa, yaitu : 1) Faktor psikologi Psychoanalitical theory ini mendukung bahwa perilaku agresif merupakan sebuah naluri yang berdasarkan dua insting yaitu insting hidup yang diekspresikan dengan seksualitas dan insting kematian yang diekspresikan dengan agresivitas. Semua insting tersebut dimulai dari adanya asumsi seseorang dalam mencapai tujuan tertentu. Apabila tujuan tersebut tidak tersampaikan maka akan timbul frustasi dan individu akan terstimulasi untuk

29 mewujudkan dalam bentuk perilaku yang merugikan yaitu melukai orang, barang, dan lingkungannya. 2) Faktor sosial budaya Social learning theory mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi dan kuatnya stimulus yang diterima. Jadi seseorang akan agresif sesuai dengan bagaimana orang tersebut belajar dalam merespon keterbangkitan emosionalnya. 3) Faktor biologis Neurobiological theory ini mengemukakan adanya perubahan susunan persarafan saat seseorang agresif. Sistem limbik berperan dalam peningkatan dan penurunan agresivitas neurotransmitter seperti serotonin, dopamin, dan norepineprin. b. Faktor presipitasi Menurut Yosep (2010) faktor-fator yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan pada orang dengan gangguan jiwa antara lain : 1) Ekspresi diri, ingin menunjukkan ekstensi diri atau simbolis solidaritas seperti dalam sebuah konser. 2) Ekspresi dari tidak tercapainya kebutuan dasar dan kondisi sosial ekonomi. 3) Kesulitan dalam mengkonsumsikan sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan dialog untuk mencegah masalah cenderung melakukan kekerasan dalam menyelesaikan masalah.

30 4. Manifestasi klinis Menurut Yosep (2010) perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi marah dari beberapa hal, yaitu : a. Fisik Secara fisik, orang yang sedang marah tampak mata merah dan melotot, pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah merang dan tegang, serta postur tubuh kaku. b. Verbal Secara verbal, orang yang marah mengucapkan perkataan yang kotor dan kasar, mengancam orang lain, serta berbicara dengan nada yang tinggi dan keras. c. Perilaku Perilaku pada orang yang marah tidak terkontrol sehingga dapat merusak diri sendiri, orang lain, barang, dan lingkungan disekitarnya. d. Emosi Emosi orang marah tidak adekuat, mudah tersinggung, merasa tidak nyaman dan jengkel, serta sering mengamuk. Menurut Keliat & Akemat (2006) timbul beberapa tanda pada orang yang marah saat diobservasi dan diwawancarai tentang perilaku, antara lain : a. Muka merah dan tegang. b. Pandangan tajam. c. Mengatupkan rahang dengan kuat.

31 d. Mengepalkan tangan. e. Berjalan mondar-mandir. f. Bicara keras dan kasar. g. Suara tinggi, menjerit atau berteriak. h. Mengancam secara verbal atau fisik, i. Melempar atau memukul barang dan orang lain. j. Tidak mampu mengendalikan perilaku kekerasan. 5. Mekanisme koping Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diharapkan pada penatalaksanaan stres dan termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri (Stuart, 2013). Pada klien dengan perilaku kekerasan perlu adanya pengkajian yang mendetail tentang mekanisme koping yang digunakan. Menurut Prabowo (2014) mekanisme koping yang digunakan pada klien dengan perilaku kekerasan untuk melindungi dirinya antara lain : a. Sublimasi Sublimasi merupakan menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Misalnya orang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada objek lain seperti meremas-remas adonan kue, meninju tembok, dengan tujuan mengurangi ketegangan akibat rasa marah. b. Proyeksi Proyeksi adalah menyalahkan orang lain atas kesulitan yang dialami atau keinginannya yang tidak tercapai. Misalnya, seorang wanita

32 menyangkal bahwa dirinya menggoda rekan kerjanya dan berbalik menuduh orang lain yang merayu teman kerjanya. c. Represi Represi adalah mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar. Misalnya seorang anak membenci orang tuanya. Akan tetapi menurut ajaran yang diterima klien membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik, sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya dan dilupakan oleh orang tersebut. d. Reaksi formasi Reaksi formasi adalah mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakaannya sebagai rintangan. Misalnya seseorang yang tertarik pada teman suaminya, dia akan memperlakukannya dengan perlakuan yang berbeda. e. Deplacment Deplacment adalah melepaskan perasaan yang tertekan biasanya dengan menunjukkan perilaku yang destruktif, seperti memukul pintu, meninju tembok, melempar barang, bahkan sampai dengan melukai diri sendiri maupun orang lain. 6. Penatalaksanaan Menurut Prabowo (2014) penatalaksanaan pada klien dengan perilaku kekerasan antara lain :

33 a. Farmakoterapi Klien dengan ekpresi marah perlu perawatan dan pengobatan yang tepat. Adapun pengobatan dengan antipsikotik yang mempunyai dosis efektif tinggi seperti klopromazin yang berguna untuk mengendalikan psikomotornya. Apabila serangan baru pertama kali maka gejala akan hilang. Dosis dipertahankan selama satu bulan, namun bila serangan lebih dari satu kali obat diberikan secara terus-menerus selama dua bulan. Dosis klorpromazin dapat diberikan dalam rentang 30 800 mg/24 jam/oral. b. Terapi okupasi Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja, akan tetapi terapi ini bukan pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca koran, main catur, dapat pula dijadikan media yang penting. Setelah klien melakukan kegiatan tersebut, klien diajak berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan tersebut bagi dirinya. Terapi ini merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh petugas terhadap rehabilitas setelah dilakukannya seleksi dan ditentukan program kegiatannya. c. Peran serta keluarga Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawat langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) klien. Perawat

34 membantu keluarga agar dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada pada masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengatasi masalah akan dapat mencegah perilaku maladaptif (pencegahan primer), menanggulangi perilaku maladaptif (pencegahan sekunder) dan memulihkan perilaku maladaptif menuju perilaku adaptif (pencegahan tersier) sehingga derajat kesehatan klien dan keluarga dapat ditingkatkan secara optimal. d. Terapi somatik Terapi somatik adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku adaptif dengan melakukan tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik klien, tetapi target terapi adalah perilaku klien. e. Terapi kejang listrik Terapi kejang listrik atau elektronik convulsive theraphy (ECT) adalah bentuk terapi kepada klien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis klien. Terapi ini digunakan dalam menangani klien skizofrenia dengan intensitas 20-30 kali terapi. Biasanya dilaksanakan setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali).

35 7. Pohon masalah Resiko menciderai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan Effect Perilaku kekerasan Core Problem Koping individu tidak efektif Faktor ekonomi, faktor psikososial, Faktor pendidikan, faktor biologis Causa Gambar 3. Pohon masalah resiko perilaku kekerasan (Dermawan, 2013) C. Konsep Asuhan Keperawatan Menurut Stuart (2007) keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku klien yang berperan pada fungsi yang terintegrasi. Sistem klien dapat berupa individu, keluarga, kelompok, organisasi, atau komunitas. American Nurse Association mendefinisikan keperawatan kesehatan jiwa sebagai suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri yang bermanfaat sebagai kiatnya. Proses keperawatan adalah kerangka kerja yang sistematis untuk menyediakan keperawatan profesional yang berkualitas berdasarkan ilmu keperawatan yang mencakup aspek biologis-psikologis-sosial-spiritualkultural (Vaughans, 2013). Adapun proses keperawatan terdiri dari :

36 1. Pengkajian Menurut Stuart (2007) pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengetahui status kesehatan klien. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah klien. Pengkajian dilakukan secara komprehensif untuk mendapatkan informasi yang lengkap dalam mengembangkan daftar diagnosis keperawatan pada klien (Vaughans, 2013). Metode pengumpulan data dapat menggunakan observasi, wawancara, pemeriksaan fisik, dan studi dokumentasi. Hasil pengkajian dapat berupa data subjektif yang berasal dari klien dan data objektif yang berasal dari hasil pengamatan perawat serta studi dokumentasi yang dilakukan. Menurut Stuart (2007) pengkajian keperawatan jiwa pada klien dengan gangguan jiwa khususnya dengan masalah perilaku kekerasan berfokus pada lima dimensi, yaitu : a. Fisik Klien dengan gangguan jiwa khususnya dengan masalah perilaku kekerasan menunjukkan tanda fisik seperti muka merah, berkeringat, pandangan tajam, nafas pendek, tekanan darah meningkat, dan tangan mengepal.

37 b. Emosional Klien dengan gangguan jiwa khususnya dengan masalah perilaku kekerasan biasanya mudah tersinggung, merasa tidak nyaman, merasa jengkel, dan menyimpan dendam. c. Sosial Klien dengan gangguan jiwa khususnya dengan masalah perilaku kekerasan mempunyai masalah dalam bersosialisasi seperti menarik diri, pendiam, terlalu mempunyai rasa kecurigaan yang tinggi, dan berperilaku marah yang merusak. d. Intelektual Klien dengan gangguan jiwa khususnya dengan masalah perilaku kekerasan biasanya suka berdebat dan merasa dirinya paling benar. e. Spiritual Klien dengan gangguan jiwa khususnya dengan masalah perilaku kekerasan merasa dirinya berkuasa dan berperilaku seolah-olah dirinya memiliki kemampuan yang luar biasa. Menurut Dermawan (2013) pengkajian fokus pada klien dengan masalah perilaku kekerasan yaitu : a. Faktor predisposisi Adapun faktor yang mendukung terjadinya masalah perilaku kekerasan antara lain :

38 1) Faktor biologis a) Instinctual drive theory (teori dorongan naluri) Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu dorongan kebutuhan dasar yang sangat kuat. b) Psychosomatic theory (teori psikosomatik) Pengalaman marah adalah akibat dari respos psikologis terhadap stimulus eksternal, internal maupun lingkungan. Dalam hal ini sistem limbik berperan sebagai pusat untuk mengekspresikan maupun mengambat marah. 2) Faktor psikologis a) Frustation aggresion theory (teori agresif-frustasi) Menurut teori ini, perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil dari akumulasi frustasi. Frustasi terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu gagalatau menghambat. Keadaan tersebut dapat mendorong individu berperilaku agresif karena perasaan frustasi akan berkurang melalui perilaku kekerasan. b) Behavior theory (teori perilaku) Kemarahan adalah proses belajar yang didapatkan apabila tersedia fasilitas/situasi yang mendukung. c) Eksistensial theory (teori eksistensi) Bertingkah laku adalah kebutuhan dasar manusia. Apabila kebutuhan tersebut tidak dapat terpenuhi melalui perilaku

39 kontruktif, maka individu akan memenuhinya melalui perilaku destruktif. 3) Faktor sosiokultural a) Social environment theory (teori lingkungan sosial) Lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individual dalam mengekspresikan marah. Norma budaya dapat mendukung individu untuk merespon asertif atau agresif. b) Social learning theory (teori belajar sosial) Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun melalui proses sosialisasi. b. Faktor presipitasi Stresor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat unik. Stresor tersebut dapat disebabkan dari luar (serangan fisik, kehilanagan, kematian, dan lain-lain) maupun dari dalam (putus cinta, takut terhadap penyakit fisik, dan lain-lain). Selain itu, lingkungan yang terlalu ribut, padat, dan kritikan yang mengarah pada penghinaan dan tindakan kekerasan dapat memicu perilaku kekerasan. c. Mekanisme koping Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien sehingga dapat membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif dalam mengekspresikan marahnya. Mekanisme koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego

40 seperti displacement, sublimasi, proyeksi, represi, denial, dan reaksi formasi. d. Perilaku Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain : 1) Menyerang atau menghindar (fight or flight) Pada keadaan ini, respon fisiologis timbul karena adanya reaksi saraf otonom terhadap sekresi ephineprin yang menyebabkan tekanan darah meningkat, denyut nadi meningkat, wajah merah, pengeluaran saliva meningkat, kewaspadaan meningkat disertai ketegangan otot, seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tangan menjadi kaku, dan disertai reflek yang cepat (Prabowo, 2014). 2) Menyatakan secara asertif (assertivenesss) Perilaku asertif adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan rasa marah tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikologis dan dapat mengembangkan diri klien. 3) Memberontak (acting out) Perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku acting out untuk menarik perhatian orang lain. 4) Perilaku kekerasan Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain, dan lingkungannya.

41 Dari berbagai uraian di atas, semua poin dapat dimasukkan dalam bentuk skoring perilaku kekerasan yang dapat digunakan pada klien dengan resiko perilaku kekerasan yang mengancam, klien dengan resiko perilaku kekerasan saat ini, dan resiko perilaku kekerasan saat dirujuk. 2. Diagnosa keperawatan Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas mengenai status kesehatan atau masalah aktual atau resiko dalam rangka mengidentifikasi dan menentukan intervensi keperawatan untuk mengurangi, menghilangkan, atau mencegah masalah kesehatan klien yang ada pada tanggungjawabnya (Tarwoto & Wartonah, 2011). Berdasarkan Nursing Diagnosis : Definitions and Classification (NANDA) 2015-2017, diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon manusia terhadap gangguan kesehatan/proses kehidupan atau kerentanan respon dari seorang individu, keluarga, kelompok, atau komunitas sebagai dasar pemilihan intervensi keperawatan untuk mencapai hasil akhir (outcome) yang menjadi akuntabilitas perawat. Diagnosis keperawatan merupakan penilaian klinis yang jelas tentang respon maunusia terhadap gangguan kesehatan/proses kehidupan seorang individu, keluarga, kelompok atau komunitas yang digunakan dalam penentuan intervensi yang dapat dipertanggungjawabkan perawat. Dalam penegakan diagnosa keperawatan berdasarkan Nursing Diagnosis : Definitios and Classification (NANDA) 2015-2017, ada tiga komponen utama yang harus ada, yaitu :

42 a. Masalah (Problem) yang merupakan gambaran keadaan klien dimana tindakan keperawatan dapat diberikan. b. Penyebab (Etiology) yang menunjukkan penyebab keadaan atau masalah kesehatan yang memberikan arah terhadap terapi atau tindakan keperawatan. c. Tanda atau gejala (sign/sypmtom) yang merupakan informasi yang diperlukan untuk merumuskan diagnosa keperawatan. Berdasarkan Standar Asuhan Keperawatan (SAK) kesehatan jiwa Rumah Sakit Jiwa Grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam penegakan diagnosa keperawatan jiwa harus memenuhi dua komponen yaitu : a. Masalah atau respon klien terhadap masalah kesehatannya. b. Karakteristik yang berupa tanda/gejala yang mendukung diagnosa keperawatan. Dilihat dari status kesehatan klien, diagnosa keperawatan dapat dibedakan menjadi empat klasifikasi berdasarkan Nursing Diagnosis : Definitios and Classification (NANDA) 2015-2017, yaitu : a. Diagnosa keperawatan berfokus masalah Diagnosa keperawatan berfokus masalah adalah diagnosa yang menggambarkan penilaian klinis mengenai suatu respon manusia yang tidak diinginkan terhadap kondisi kesehatan/proses hidup yang ada pada individu, keluarga, kelompok atau komunitas.

43 b. Diagnosa keperawatan promosi kesehatan Diagnosa keperawatan promosi kesehatan adalah diagnosa yang menggambarkan penilaian klinis mengenai motivasi dan keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan serta mengaktualkan potensi kesehatan manusia. Respon ini ditunjukkan dengan suatu kesiapan untuk meningkatkan perilaku kesehatan spesifik dan dapat digunakan pada status kesehatan yang mungkin ada pada individu, keluarga, kelompok, atau komunitas. c. Diagnosa keperawatan resiko Diagnosa keperawatan resiko adalah diagnosa yang menggambarkan suatu penilaian klinis mengenai kerentanan individu, keluarga, kelompok, atau komunitas untuk mengembangkan suatu respon manusia yang tidak diinginkan terhadap kondisi kesehatan/proses hidup. d. Diagnosa keperawatan sindrom Diagnosa keperawatan sindrom adalah diagnosa yang menggambarkan suatu penilaian klinis mengenai suatu klaster diagnosa keperawatan spesifik yang terjadi bersamaan dan digabungkan bersama serta melalui intervensi serupa. Ada tiga tipe diagnosa keperawatan berdasarkan Standar Asuhan Keperawatan (SAK) kesehatan jiwa Rumah Sakit Jiwa Grhasia Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu :

44 a. Diagnosa keperawatan aktual Diagnosa keperawatan aktual adalah respon klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang didukung oleh sekelompok karakteristik/tanda daan gejala. b. Diagnosa keperawatan resiko Diagnosa keperawatan resiko adalah respon klien yang dapat timbul dan ditunjang oleh faktor resiko yang memberikan kontribusi terjadinya diagnosa keperawatan tersebut apabila tidak diantisipasi. c. Diagnosa keperawatan kesejahteraan Diagnosa keperawatan kesejahteraan adalah respon klien terhadap tingkat kesehatan yang mempunyai potensi terhadap peningkatan derajat kesehatan yang lebih tinggi. Menurut Dermawan (2013) masalah keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan perilaku kekerasan antara lain : a. Harga diri rendah. b. Perilaku kekerasan. c. Ketidakefektifan koping. d. Gangguan persepsi sensori : halusinasi. e. Resiko perilaku kekerasan. 3. Perencanaan Perencanaan keperawatan dibuat berdasarkan masalah dan kebutuhan klien. Menurut Tarwoto & Wartonah (2011), pada tahap perencanaan ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu :

45 a. Penentuan prioritas masalah Menurut Vaughans (2013), ada berbagai cara dalam penentuan prioritas masalah keperawatan antara lain : 1) Penentuan berdasarkan Hierarki Kebutuhan Maslow yang berbentuk piramida sebagai berikut : Gambar 4. Piramida hierarki Maslow (Vaughans, 2014) 2) Penentuan berdasarkan Griffith-kenney Christensen dengan prioritas urutan sebagai berikut : a) Ancaman kehidupan dan kesehatan. b) Sumber daya dan dana yang tersedia. c) Peran serta klien. d) Prinsip ilmiah dan praktik keperawatan. b. Penentuan tujuan keperawatan Penentuan rumusan tujuan keperawatan harus memperhatikan prinsip SMART menurut Vaughans (2013), yaitu : 1) Specific (tujuan harus jelas dan tidak menimbulkan arti ganda). 2) Measurable (tujuan dapat diukur, diraba, dilihat, atau dirasakan). 3) Achievable (tujuan harus dapat dicapai).