PENJALARAN ITCZ DI WILAYAH INDONESIA BERDASARKAN DATA SATELIT TRMM

dokumen-dokumen yang mirip
Tahun Pasifik Barat Hindia Selatan Teluk Benggala Total

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

Anomali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia Berdasarkan Satelit TRMM Terkait ITCZ

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

ANALISIS PENGARUH MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) TERHADAP CURAH HUJAN DI KOTA MAKASSAR

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang

Keywords : tropical cyclone, rainfall distribution, atmospheric conditions. Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

I. INFORMASI METEOROLOGI

KONTRIBUSI CURAH HUJAN TERPENGARUH SIKLON TROPIS TERHADAP CURAH HUJAN BULANAN, MUSIMAN, DAN TAHUNAN DI INDONESIA BAGIAN SELATAN TAHUN

I. INFORMASI METEOROLOGI

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

I. INFORMASI METEOROLOGI

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

I. INFORMASI METEOROLOGI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

BULETIN METEOROLOGI BMKG STASIUN METEOROLOGI SYAMSUDIN NOOR BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA. Agustus Volume V - No.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

ANALISA PERGERAKAN SIKLON TROPIS STAN DAN SIKLON TROPIS YVETTE DAN DAMPAKNYA TERHADAP CURAH HUJAN DI SUMBAWA BESAR

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA

Hubungan Suhu Muka Laut Perairan Sebelah Barat Sumatera Terhadap Variabilitas Musim Di Wilayah Zona Musim Sumatera Barat

KONSISTENSI ANGIN ZONAL TERHADAP POSISI ITCZ UNTUK MENENTUKAN ONSET MONSUN

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISA ANGIN ZONAL DALAM MENENTUKAN AWAL MUSIM HUJAN DI BALI BAGIAN SELATAN

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA

MEKANISME HUJAN HARIAN DI SUMATERA

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK MESOSCALE CONVECTIVE COMPLEX (MCC) DAN PERSISTENT ELONGATED CONVECTIVE SYSTEM (PECS) DI BENUA MARITIM INDONESIA

Analisis Pola Distribusi Unsur-Unsur Cuaca di Lapisan Atas Atmosfer pada Bulan Januari dan Agustus di Manado

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

3. METODOLOGI. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Desember 2010 yang

ANALISIS POLA SPASIAL DAN PENJALARAN SUHU PERMUKAAN LAUT INDONESIA

MONITORING DINAMIKA ATMOSFER DAN PRAKIRAAN CURAH HUJAN SEPTEMBER 2016 FEBRUARI 2017

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

II. UNSUR GEOGRAFI DAN PENDUDUK DI KAWASAN ASIA TENGGARA

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN LEBAT MENGGUNAKAN RADAR CUACA DI JAMBI (Studi Kasus 25 Januari 2015)

SIKLON TROPIS YVETTE DAN DAMPAKNYA TERHADAP KONDISI CUACA DI INDONESIA (19 23 Desember 2016) Disusun oleh : Kiki, M. Res Rudy Hendriadi

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

LAPORAN POTENSI HUJAN AKHIR JANUARI HINGGA AWAL FEBRUARI 2016 DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

BULETIN METEOROLOGI BMKG STASIUN METEOROLOGI SYAMSUDIN NOOR KELAS II BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA. Oktober Volume V - No.

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

KOREKSI DATA HUJAN DASARIAN TRMM DI STASIUN KLIMATOLOGI KAIRATU MENGGUNAKAN REGRESI LINEAR SEDERHANA

HIDROMETEOROLOGI Tatap Muka Keenam (SUHU UDARA II)

Variasi Iklim Musiman dan Non Musiman di Indonesia *)

BULETIN METEOROLOGI BMKG STASIUN METEOROLOGI SYAMSUDIN NOOR BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA. September Volume V - No.

KAJIAN METEOROLOGI TERKAIT HUJAN LEBAT MENGGUNAKAN SATELIT TRMM, SATELIT MT-SAT DAN DATA REANALISIS (Studi Kasus Banjir di Tanjungpandan)

ANALISIS ANOMALI CURAH HUJAN MENGGUNAKAN METODE DETERMINAN KOVARIANS MINIMUM DI PULAU JAWA DAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

KAJIAN DAMPAK GELOMBANG PLANETER EKUATORIAL TERHADAP POLA KONVEKTIFITAS DAN CURAH HUJAN DI KALIMANTAN TENGAH.

POLA ANGIN DARAT DAN ANGIN LAUT DI TELUK BAYUR. Yosyea Oktaviandra 1*, Suratno 2

Gambar 1. Diagram TS

ANALISIS DISTRIBUSI ARUS PERMUKAAN LAUT DI TELUK BONE PADA TAHUN

ANALISIS ANGIN ZONAL DI INDONESIA SELAMA PERIODE ENSO

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

VARIABILITAS TEMPERATUR UDARA PERMUKAAN WILAYAH INDONESIA BERDASARKAN DATA SATELIT AIRS

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN IKLIM PADA BENCANA BANJIR BANDANG SAMBELIA DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR, 20 JANUARI 2014

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PROSPEK IKLIM DASARIAN PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Update: 01 Februari 2016

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN FEBRUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI MALIKUSSALEH-ACEH UTARA. Oleh Febryanto Simanjuntak S.Tr

ANALISIS CUACA EKSTREM LOMBOK NTB HUJAN LEBAT (CH mm) DI LOMBOK TENGAH 15 SEPTEMBER 2016

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

VERIFIKASI MODEL ATMOSFER WILAYAH TERBATAS DALAM SIMULASI CURAH HUJAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

VARIASI GELOMBANG LAUTDI SELAT MAKASSAR BAGIAN SELATAN

Transkripsi:

PENJALARAN ITCZ DI WILAYAH INDONESIA BERDASARKAN DATA SATELIT TRMM Pamungkas Irjayanti, Widada Sulistya, Amsari M. Setiawan Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Tangerang Selatan E-mail : irjayanti.pamungkas@gmail.com Abstrak ITCZ memiliki peran penting bagi kondisi dinamis di wilayah tropis, termasuk Indonesia. Kondisi yang sering dikaitkan dengan ITCZ adalah curah hujan yang memiliki dampak langsung bagi kepentingan manusia. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kriteria curah hujan untuk mengidentifikasi ITCZ dan penjalarannya di wilayah Indonesia. Data yang digunakan adalah data curah hujan satelit TRMM harian tipe 3B42 V7 derived selama 15 tahun dari 1 Januari 1999 sampai 31 Desember 2013. Metode yang digunakan adalah analisis spasial deskriptif wilayah yang memiliki curah hujan maksimum memanjang dari barat sampai timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa didapatkan kriteria curah hujan yang paling baik untuk mengidentifikasi ITCZ adalah 50 mm/dasarian. Bentangan ITCZ paling lebar terjadi pada dasarian Juli III dan paling sempit terjadi pada bulan April III. ITCZ di Indonesia memiliki pola penjalaran mengikuti siklus pergerakan semu matahari. Pada wilayah kajian Indonesia bagian barat menunjukkan penjalaran ITCZ paling jauh berada di daratan BBU (Cina Selatan) sedangkan pada wilayah kajian Indonesia bagian timur menunjukkan penjalaran ITCZ paling jauh berada di daratan BBS (Australia). Kata Kunci : Penjalaran ITCZ, data satelit TRMM, curah hujan Abstract ITCZ has an important role for dynamic conditions in the tropics, including Indonesia. Conditions which are often associated with the ITCZ is rainfall which has a direct impact for the benefit of human. Therefore, this study aims to determine the criteria for identifying ITCZ rainfall and its propagation in Indonesia. This research use daily TRMM 3B42-type V7 derived satellite data, during 15 years periode from January 1 st, 1999 until December 31 st, 2013. This research use descriptive spatial analysis area method that has a maximum rainfall extends eastward. The result shows that the best criteria of rainfall for identifying ITCZ is 50 mm/ten days. The largest band of ITCZ occurred on July III and the narrowest occurred on April III. ITCZ propagation pattern in Indonesia follow the cyclical artificial movement of the Sun. The furthest ITCZ propagation in the Western Indonesia is in the mainland Northern Hemisphere (South China), while the furthest propagation in the Eastern Indonesia is in the mainland of Southern Hemisphere (Australia). Keywords: Propagation of ITCZ, TRMM satellite data, rainfall

I. PENDAHULUAN Intertropical Convergence Zone (ITCZ) memiliki peran penting dalam proses dinamika atmosfer, khususnya bagi wilayah tropis. Wilayah Indonesia juga tidak luput dari faktor penentu dalam skala regional yaitu pergerakan ITCZ (Wirjohamidjojo dan Swarinoto, 2010). Informasi mengenai penjalaran ITCZ diperlukan oleh masing-masing wilayah tropis karena pengaruhya tidak selalu sama terhadap kondisi dinamis. Kondisi cuaca yang sering dikaitkan dengan ITCZ adalah pertumbuhan awanawan konvektif, curah hujan tropis dan badai yang memiliki dampak langsung bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia di seluruh dunia (Scoot, 2013). Di wilayah Indonesia, kajian klimatologi ITCZ masih jarang dilakukan. Dalam penelitian ini penulis akan membahas mengenai penjalaran ITCZ berdasarkan curah hujan dengan menggunakan data satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) di Indonesia. Hal ini dilakukan karena data satelit TRMM dapat lebih memberikan informasi mengenai curah hujan mengingat bahwa ITCZ berkaitan dengan terjadinya hujan lebat. Masalah yang dibahas adalah tentang berapa batasan nilai intensitas curah hujan berdasarkan data satelit TRMM dan bagaimana penjalaran ITCZ di Indonesia. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui batasan nilai intensitas curah hujan data satelit TRMM dan mengetahui pola penjalaran ITCZ. Definisi umum ITCZ menurut Mc Gregor dan Nieuwolt (1998) yaitu sabuk lebar yang memiliki sifat tekanan rendah, pergerakan udara yang naik, dan massa udara yang bertemu. Selain itu, definisi tentang ITCZ berdasarkan tekanan udara yaitu garis atau zona yang berkaitan dengan pusat siklonal yang memiliki tekanan udara sangat rendah dari daerah sekitarnya (NOAA). Berdasarkan awan, ITCZ ditunjukkan dengan pita awan dan hujan yang mengelilingi Bumi dan memanjang dari barat ke timur (Holton et.al, 1971). Data hujan yang dihasilkan oleh TRMM memiliki tipe dan bentuk yang cukup beragam. Level 1 merupakan data yang masih dalam bentuk raw (mentah), telah dikalibrasi dan dikoreksi geometric. Level 2 merupakan data yang telah memiliki gambaran parameter geofisik hujan pada resolusi spasial yang sama akan tetapi masih dalam kondisi asli keadaan hujan saat satelit tersebut melewati daerah yang direkam. Level 3 merupakan data yang telah memiliki nilai-nilai hujan, khususnya kondisi hujan bulanan yang merupakan penggabungan dari kondisi hujan dari level 2. Data hujan dalam bentuk millimeter sebaiknya menggunakan level 3 (Feidas dalam Andarino 2014). Tujuan dari algoritma data 3B42 adalah untuk menghasilkan data TRMM yang berkualitas tinggi, yaitu dengan menggabungkan antara nilai pengamatan presipitasi dengan gelombang inframerah (IR) dan estimasi Root Mean Square Error (RMSE). TRMM derived mempunyai 2 jenis produk berdasarkan skala temporalnya, yakni data tiap tiga jam dan data bulanan. data harian diturunkan dari data tiap tiga jam. TRMM 3B42 dan 3B43 derived didapat dua bulan setelah bulan yang bersangkutan berakhir. hal ini terjadi karena data TRMM derived didapat dengan membandingkan hasil pendugaan TRMM dengan data GPCC level 3. Data GPCC pada dasarnya merupakan data pendugaan yang didapat dengan mengolah data observasi di lapangan (Huffman dan Bolvin, 2014). Identifikasi ITCZ dilakukan dengan asumsi bahwa wilayah ITCZ merupakan wilayah yang salah satunya dicirikan dengan curah hujan sangat besar yang dihasilkan oleh awan-awan konvektif. Sehingga curah hujan yang

terukur dalam data satelit TRMM merupakan curah hujan yang terjadi akibat awan-awan konvektif. Selain itu, identifikasi ITCZ juga berdasarkan deretan curah hujan maksimum dari data satelit TRMM yang memanjang dari barat ke timur (Yulihastin dan Trismidianto, 2012). II. DATA DAN METODE Data yang digunakan adalah data curah hujan harian tipe 3B42 V7 derived selama 15 tahun dari 1 Januari 1999 sampai 31 Desember 2013 dengan satuan millimeter (mm). Wilayah penelitian terletak pada koordinat 40 o LU - 40 o LS dan 80 o BT - 160 o BT. Start Data TRMM Harian Data TRMM Dasarian Rata-Rata TRMM Tiap Dasarian Analisa Spasial Data TRMM Batasan Nilai Intensitas Curah Hujan Data Satelit TRMM Penentuan Posisi ITCZ Dasarian 1 sampai Dasarian 36 Menunjukkan Identifikasi ITCZ Paling Jelas Ya Analisa Spasial ITCZ Modifikasi Nilai Batasan Jumlah Curah Hujan perdasarian (25 mm, 50 mm, 75 mm, 100 mm dan 125 mm) Tidak Peta Posisi ITCZ Penentuan Penjalaran ITCZ Grafik Hovmoller Penjalaran ITCZ END Gambar 2.2 : Diagram alir III. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Distribusi Bulanan ITCZ Gambar 2.1 Wilayah Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan data yang terdiri dari 2 bentuk, yaitu format *.txt dan netcdf (*.nc). Software yang digunakan adalah software Microsoft Excel 2010 untuk pengolahan data, software ArcView 3.3 untuk analisis spasial, MATLAB R2014a untuk mengubah eksistensi data *.txt menjadi *.nc, dan GrADS untuk pemetaan penjalaran ITCZ. Diagram alir langkah kerja penelitian ini dalam mengolah dan menganalisis data ditunjukkan pada gambar di bawah ini : Berdasarkan metode pengolahan data yang telah dilakukan maka diperoleh hasil berupa distribusi sebaran curah hujan dasarian 1 hingga 36. Distribusi curah hujan merupakan distribusi bulanan ITCZ yang diwakili oleh satu dasarian dari tiga dasarian tiap bulannya. Dalam pembahasan ini, penulis akan membahas 4 bulan distribusi bulanan ITCZ yaitu saat berada paling selatan ekuator, yaitu bulan Januari, saat berada di ekuator yaitu bulan April dan Oktober dan saat berada paling utara ekuator yaitu bulan Juli. Pada distribusi ITCZ bulanan akan didapatkan peta posisi ITCZ.

Gambar 3.1 : Peta Posisi ITCZ bulan Januari (Dasarian ke 3) Gambar 3.1 menunjukkan distribusi intensitas curah hujan yang tersebar dan tidak semua wilayah memiliki intensitas curah hujan yang sama pada dasarian ke 3 (Januari III). Wilayah-wilayah yang memiliki curah hujan dasarian di atas 50 mm berada di antara 16 o LU hingga 24 o LS meliputi Malaysia, Singapura, Samudra Pasifik bagian barat hingga Filiphina bagian timur, Papua New Guinea, Australia bagian utara dan hampir seluruh wilayah Indonesia kecuali Sulawesi Tengah bagian selatan, Maluku bagian selatan dan Nusa Tenggara Timur bagian timur. hujan dasarian di atas 75 mm berada di antara 12 o LU hingga 22 o LS meliputi Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Samudra Pasifik bagian barat hingga Filiphina bagian Selatan, Papua New Guinea bagian tengah, Australia bagian utara, Samudra Hindia bagian timur hingga Pulau Sumatra kecuali bagian utara, Kalimantan kecuali bagian timur, Jawa, Sulawesi kecuali bagian tengah dan selatan, Bali, Nusa Tenggara kecuali bagian timur, Maluku, Maluku Utara dan Papua. hujan dasarian di atas 100 mm berada di antara 10 o LU hingga 21 o LS meliputi Samudra Hindia bagian barat, Singapura bagian selatan, Malaysia bagian Serawak, Brunei Darussalam bagian selatan, Filiphina bagian selatan, Papua New Guinea bagian timur, Autralia bagian utara. dan beberapa wilayah di Indonesia antara lain Pesisir barat Pulau Sumatra hingga selatan, Jawa, Kalimantan bagian barat hingga Sulawesi Tengah, Bali, Nusa Tenggara bagian barat, Maluku dan Papua bagian selatan. hujan dasarian di atas 125 mm berada di antara 9 o LU hingga 21 o LS yang terlihat mulai terpecah. Wilayah-wilayah ini meliputi Malaysia bagian Serawak, Filiphina bagian Selatan, Papua New Guinea bagian tengah, sebagian kecil Australia bagian utara dan beberapa wilayah Indonesia yaitu Sumatra bagian Selatan, Jawa, Kalimantan bagian barat, Selat Makassar, Sulawesi Tengah, dan Papua bagian Tengah. Gambar 3.2 : Peta Posisi ITCZ bulan April (Dasarian ke 12) Berdasarkan pada Gambar 3.2 di atas terlihat curah hujan yang menyebar dan tidak semua wilayah memiliki intensitas curah hujan yang sama. Wilayah-wilayah yang memiliki curah hujan dasarian di atas 50 mm berada di antara 18 o LU hingga 17 o LS meliputi Samudra Hindia bagian timur, Malaysia bagian Sabah dan Serawak, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand bagian barat, Brunei Darussalam, Samudra Pasifik bagian barat hingga Filiphina

bagian timur, Papua New Guinea dan hampir seluruh wilayah Indonesia kecuali Jawa Timur, Bali, sebagian kecil Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara, Maluku bagian selatan. hujan dasarian di atas 75 mm berada di antara 11 o LU hingga 12 o LS meliputi Sri Lanka bagian selatan, Samudra Hindia bagian timur, Malaysia bagian Sabah dan Serawak, Singapura, Thailand bagian barat, Brunei Darussalam, Samudra Pasifik bagian barat hingga utara Papua, Filiphina bagian barat, Papua New Guinea bagian tengah dan beberapa wilayah Indonesia yaitu Pulau Sumatra kecuali bagian utara dan selatan, Jawa bagian barat, Kalimantan, Sulawesi kecuali bagian tengah, Maluku Utara dan Papua. hujan dasarian di atas 100 mm berada di antara 9 o LU hingga 12 o LS dan terlihat curah hujannya hanya di wilayah yang lebih kecil. Wilayah tersebut meliputi Malaysia bagian Serawak, Brunei Darussalam bagian barat, Filiphina bagian timur, Papua New Guinea bagian tengah, dan beberapa wilayah di Indonesia antara lain Pesisir barat Pulau Sumatra, Kalimantan bagian barat, Sulawesi Selatan hingga Tenggara, Papua kecuali bagian utara. hujan dasarian di atas 125 mm berada di antara 6 o LU hingga 11 o LS yang terlihat luasan wilayahnya semakin kecil. Wilayah-wilayah ini antara lain Malaysia bagian Serawak dan Papua New Guinea bagian tengah. Wilayah Indonesia terjadi pada Aceh bagian barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Papua bagian tengah. Gambar 3.3 : Peta Posisi ITCZ bulan Juli (Dasarian ke 21) Distribusi intensitas curah hujan pada Gambar 3.3 terkonsentrasi pada utara ekuator. Wilayah-wilayah yang memiliki curah hujan dasarian di atas 50 mm berada di antara 32 o LU hingga 13 o LS meliputi Nepal hingga Malaysia, Samudra Pasifik bagian barat hingga Cina bagian selatan, Laos hingga Vietnam kecuali bagian timur, Singapura, Brunei Darussalam, Papua New Guinea kecuali bagian selatan. Terdapat juga di wilayah Indonesia kecuali Sumatra bagian utara dan selatan, Jawa, Kalimantan bagian timur, Sulawesi bagian utara dan selatan, Bali, Nusa Tenggara, Maluku bagian tengah dan Papua bagian selatan. hujan dasarian di atas 75 mm berada di antara 31 o LU hingga 12 o LS meliputi Thailand hingga Nepal, Laos hingga Vietnam, Samudra Pasifik hingga Cina bagian selatan, Malaysia, Papua New Guinea kecuali bagian utara dan beberapa wilayah Indonesia yaitu Sumatra Utara, Kalimantan bagian barat, Selatan Makassa bagian Barat, Sulawesi Tengah, Maluku dan Papua kecuali bagian selatan. hujan dasarian di atas 100 mm berada di antara 30 o LU hingga 10 o LS meliputi Myanmar hingga Nepal, Laos hingga Vietnam bagian barat, Samudra Pasifik hingga Filiphina kecuali bagian tengah,

Papua New Guinea bagian tengah. Pada wilayah Indonesia hanya terdapat pada beberapa wilayah yaitu Pesisir Barat Sumatra, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Maluku bagian selatan dan Papua bagian tengah. Wilayah dengan curah hujan dasarian di atas 125 mm berada di antara 28 o LU hingga 8 o LS tidak jauh berbeda dengan curah hujan sebelumnya. Namun pada intensitas ini wilayahnya semakin sempit khususnya wilayah di Indonesia. Wilayahnya antara lain Sulawesi Tengah, Papua Barat dan Papua bagian tengah. Gambar 3.4 : Peta Posisi ITCZ bulan Oktober (Dasarian ke 30) Berdasarkan Gambar 3.4 menggambarkan distribusi sebaran curah hujan dominan terletak di sekitar ekuator dan terdapat beberapa intensitas curah hujan yang tersebar. Wilayah-wilayah yang memiliki curah hujan dasarian di atas 50 mm berada di antara 22 o LU hingga 14 o LS meliputi Teluk Benggala hingga Myanmar bagian barat, Thailand bagian selatan, Kamboja hingga Vietnam bagian timur, Samudra Hindia bagian barat, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Samudra Pasifik hingga Filiphina dan Papua New Guinea. Wilayah Indonesia yang tidak termasuk kategori ini antara lain Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku dan Papua bagian selatan. Wilayah dengan curah hujan di atas 75 mm perdasarian berada di antara 20 o LU hingga 12 o LS meliputi Teluk Benggala bagian timur hingga Thailand bagian selatan, Vietnam bagian timur sampai Filiphina, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Samudra Pasifik bagian selatan dan Papua New Guinea bagian tengah. Wilayah Indonesia yaitu Sumatra kecuali Aceh bagian utara, Jawa Timur, Selat Malaka, Kalimantan kecuali bagian timur, Selat Makassar, Sulawesi kecuali bagian tengah dan Papua kecuali bagian utara. hujan dasarian di atas 100 mm berada di antara 18 o LU hingga 9 o LS meliputi Samudra Hindia bagian barat, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Vietnam bagian timur, Filiphina bagian timur, Papua New Guinea bagian tengah. Wilayah Indonesia di dominasi pada bagian barat Indonesia kecuali Aceh bagian utara, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara dan Papua bagian utara. Wilayah curah hujan dasarian di atas 125 mm berada di antara 18 o LU hingga 8 o LS memiliki wilayah yang semakin kecil di banding intensitas lainnya. Wilayah-wilayah ini antara lain Teluk Benggala bagian barat, Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Malaysia bagian Serawak, Brunei Darussalam bagian utara dan Papua New Guinea bagian barat. Di wilayah Indonesia di dominasi pada bagian barat Indonesia antara lain Sumatra kecuali bagian tengah, Jawa bagian selatan, Kalimantan Barat, Papua bagian tengah dan selatan. Mencermati hasil distribusi bulanan ITCZ secara spasial pada empat bulan di atas, maka dapat disampaikan bahwa intensitas curah hujan 50 mm/dasarian menghasilkan distribusi curah hujan yang secara umum memanjang dari barat ke timur dan terlihat lebih jelas. Sementara itu, intensitas curah hujan di atas 75

mm/dasarian menunjukkan hasil wilayah distribusi curah hujan yang lebih sempit daripada intensitas sebelumnya dan terputus-putus pada beberapa wilayah. Intensitas curah hujan di atas 100 mm/dasarian menghasilkan daerahdaerah pada intensitas ini yang lebih tersebar. Demikian juga yang terjadi pada intensitas curah hujan di atas 125 mm/dasarian menghasilkan wilayahwilayah memiliki sebaran ini lebih mengelompok dan semakin kecil. Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan kriteria intensitas curah hujan yang paling baik untuk mengidentifikasi ITCZ di wilayah Indonesia yang diwakili oleh bulan Januari, April, Juli dan Oktober adalah curah hujan yaitu 50 mm/dasarian. Intensitas lain kurang tepat untuk mengidentifikasi ITCZ karena curah hujan yang terjadi cenderung tidak memanjang dari barat ke timur dan terputus-putus pada beberapa wilayah. Posisi ITCZ saat berada di utara, ekuator, maupun selatan ekuator mempengaruhi curah hujan di wilayah Indonesia. Posisi ITCZ berada paling selatan ekuator saat Januari III. Pada bulan ini, wilayah Indonesia umumnya mengalami puncak musim hujan. Beberapa daerah memiliki intensitas curah hujan yang tinggi. Wilayah Indonesia bagian barat saat ITCZ berada paling selatan ekuator, cenderung mendapatkan intensitas curah hujan tertinggi selama periode musim hujan. Begitupula pada wilayah Indonesia bagian tengah secara umum memiliki curah hujan tinggi. Namun, wilayah Indonesia bagian timur terdapat beberapa wilayah yang berkebalikan dengan kondisi wilayah barat dan tengah Indonesia yaitu curah hujan yang terjadi cenderung lebih rendah selama periode tersebut. Berdasarkan analisis ketiga wilayah Indonesia tersebut, intensitas curah hujan tertinggi saat ITCZ berada paling selatan ekuator terjadi pada Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian tengah. ITCZ melewati wilayah ekuator sebanyak dua kali. Pada April III merupakan waktu ITCZ berada di bagian ekuator yang bergerak dari BBS menuju BBU. Curah hujan di wilayah Indonesia bagian barat mulai berkurang mengingat dasarian April III adalah periode transisi musim hujan ke musim kemarau. Intensitas curah hujan di Indonesia bagian tengah juga berkurang dibandingkan dengan dasarian berikutnya. Posisi ITCZ paling utara terjadi pada Juli III. Pada curah hujan ini lebih banyak terjadi pada wilayah-wilayah bumi bagian utara. Secara umum, dasarian Juli III adalah periode musim kemarau di Indonesia. Intensitas curah hujan bagian barat Indonesia semakin berkurang jika dibandingkan ketika ITCZ berada di utara. Pada daerah Indonesia bagian tengah intensitas curah hujan berkurang namun luas wilayah berkurangnya curah hujan tidak seluas Indonesia bagian barat. Sebaliknya, Indonesia bagian timur memiliki intensitas curah hujan lebih tinggi pada saat ITCZ di wilayah ini. Ekuator kembali dilewati oleh ITCZ pada Oktober III saat ITCZ bergerak dari BBU menuju ke BBS. Secara garis besar, saat Oktober III Indonesia masuk periode musim hujan. Peningkatan curah hujan umumnya terjadi di wilayah Indonesia bagian barat. Pada bagian tengah Indonesia intensitas curah hujan meningkat dibanding ketika ITCZ berada di utara ekuator meskipun peningkatan curah hujan yang terjadi tidak sebanyak wilayah Indonesia bagian barat. Intensitas curah hujan bagian timur Indonesia menurun ketika ITCZ berada di ekuator dibanding ketika posisi ITCZ berada di utara ekuator.

b. Penjalaran ITCZ Indonesia Penjalaran ITCZ di wilayah Indonesia ditampilkan dalam grafik Hovmoller dengan menggunakan wilayah bujur 80 o BT 160 o BT. Penjalaran ITCZ dilihat berdasarkan curah hujan pada intensitas 50 mm/dasarian ditandai dengan warna orange. Hasil penjalarannya adalah sebagai berikut : Gambar 3.5 : Grafik Hovmoller Penjalaran ITCZ Indonesia Pada Gambar 3.5 di atas nampak bahwa ITCZ menjalar dari utara ke selatan. Penjalaran ITCZ selama 36 dasarian berada di sekitar 30 o LU - 18 o LS. ITCZ berada diposisi sekitar ekuator pada Oktober III. kemudian menjalar ke selatan ekuator. Selanjutnya, ITCZ berada paling jauh di Belahan Bumi Selatan (BBS) pada dasarian Januari III hingga mencapai 18 o LS. ITCZ bertahan pada wilayah tersebut selama periode Januari III sampai Maret II. Kemudian Maret III ITCZ mulai bergerak ke arah utara dan berada di atas ekuator pada April III. Selanjutnya, ITCZ terus bergerak ke arah utara ekuator. ITCZ berada paling jauh di Belahan Bumi Utara (BBU) pada Juli III hingga mencapai 30 o LU. ITCZ kembali bergerak ke selatan pada lintang 29 o LU saat Agustus I. Kondisi ini bertahan hingga Agustus III. ITCZ menjalar kembali ke selatan menuju ekuator pada periode September I hingga Oktober III. Di dalam penjalaran ITCZ di atas, dapat juga dlihat beberapa penjalaran intensitas curah hujan lainnya. Penjalaran pada intensitas curah hujan di atas 75 mm/dasarian terjadi di cakupan wilayah 24 o LU - 14 o LS dan menjalar selama 36 dasarian. Namun, ada beberapa wilayah yang tidak mengalami penjalaran intensitas tersebut pada periode tertentu. Penjalaran dari utara pada lintang 19 o LU ke selatan ekuator hingga 14 o LS periode Oktober I sampai dengan Februari III. Kemudian menjalar ke utara hingga mencapai 24 o LU pada periode Mei III sampai Agustus II. Selanjutnya menjalar kembali 4 o ke selatan mulai Agustus III hingga September III. Penjalaran pada intensitas curah hujan di atas 100 mm/dasarian berada di selatan ekuator 5 o LU 10 o LS dan bertahan pada wilayah ini mulai Desember III hingga Februari I. Penjalaran juga terjadi di utara ekuator pada lintang 22 o LU menjalar ke selatan hingga 10 o LU pada periode Juli I hingga September III. Curah hujan di atas 125 mm/dasarian bertahan di selatan ekuator 5 o LS 6 o LS selama Desember II hingga Januari I. Berdasarkan proses pemanasan bumi oleh matahari, daratan cenderung lebih cepat panas dari lautan di siang hari. Ketika terjadi perbedaan panas tersebut angin akan masuk ke daratan dari lautan. Proses pemanasan menyebabkan menguapnya air laut ke atmosfer. Karena angin cenderung bergerak ke daratan maka uap air dipindahkan dari atmosfer laut menuju atmosfer daratan. Inilah yang menyebabkan curah hujan banyak terjadi di wilayah BBU dibandingkan BBS karena daratan di BBU lebih banyak dibandingkan BBS.

IV. KESIMPULAN Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Batasan nilai intensitas curah hujan 50 mm/dasarian menunjukkan hasil yang paling baik dalam mengidentifikasi ITCZ di wilayah Indonesia. 2. Bentangan ITCZ paling lebar terjadi pada dasarian Juli III dan paling sempit terjadi pada dasarian April III. 3. ITCZ di Indonesia memiliki pola penjalaran mengikuti siklus pergerakan semu matahari Technology, Thuwal. Kingdom of Saudi Arabia Wirjohamidjojo, Soerjadi dan Yunus Swarinoto. 2010. Iklim Kawasan Indonesia (Dari Aspek Dinamik-Sinoptik). BMKG. Jakarta Yulihastin, Erma dan Trismidianto. 2012. ITCZ Ganda Dan Pengaruhnya Terhadap Presipitasi Di Benua Maritim Indonesia. LAPAN. Bandung http://gdata1.sci.gsfc.nasa.gov di akses tanggal 31 Maret 2015 V. DAFTAR PUSTAKA Andarino, Bastian. 2014. Penentuan Metode Pendugaan Data Satelit TRMM Di Nusa Tenggara Barat. Skripsi Program Diploma IV. Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta Gregor, Mc and Nieuwolt. 1998. Tropical Climatologi. John Wiley & Sons. USA Holton, J R, Wallace, J M, Young, J A. 1971. On Boundary Layer Dynamics and The ITCZ. University oh Washington. USA Huffman, G.J., Bolvin, D.T. 2014. Mesoscale Atmospheric Processes Laboratory, NASA Goddard Space Flight Center. Science Systems and Applications, Inc Scott, Anna Ailene. 2013. The Intertropical Convergence Zone Over The Middle East And North Africa : Detection and Trends. King Abdullah University of Science and