BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah konflik menjadi fenomena yang seakan menjadi biasa dalam masyarakat Indonesia. Kondisi Negara Indonesia dengan segala macam kemajemukan dan heterogenitas. Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari multi etnis dan multi budaya (Abdulsyani, 2002). Hal lebih lanjut dikatakan bahwa budaya atau kebudayaan merupakan keseluruhan hasil kreativitas manusia yang meliputi gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia melalui belajar. Oleh karena itu, hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan. Dewasa ini, Indonesia telah menjadi negara yang multi-partai dalam sistem politiknya. Kondisi yang demikian, membuat masyarakatnya tidak dapat terhindar dari timbulnya berbagai bentuk konflik vertikal ataupun horizontal. Situasi ini terjadi karena setiap kelompok atau individu punya tujuan yang berbeda satu dengan yang lain. Pertentangan kepentingan itu memunculkan konflik yang terus menjadi bagian dalam rangka memperjuangkan kepentingan masing-masing (Achyar, 2008). Pernyataan tersebut sejalan dengan ungkapan seperti berikut, konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan, berbagai perbedaan pendapat dan kepentingan. Oleh sebab itu, konflik biasanya bisa diselesaikan tanpa adanya kekerasaan, sehingga sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat (Feldman, 1995). Sekarang ini, Indonesia sangat rentan dengan perpecahan, seiring dengan terjadinya berbagai gejolak konflik di berbagai daerah (Faturochman, 2006). Salah satunya konflik yang terjadi di Ambon yang diisinyalir oleh berbagai kalangan adalah konflik bernuansa suku, agama, ras dan antargolongan. Konflik tersebut terjadi karena adanya pertikaian suku dan pemeluk agama Islam dan Kristen. Peristiwa kerusuhan diawali dengan pertikaian antar dua pemuda yang berbeda agama, sehingga belarut dan berhujung dengan terjadinya kerusuhan. Implikasi-implikasi kepentingan politik elit nasional, elit lokal dan militer juga diduga menyulut terjadinya konflik horizontal, sehingga sulit mencari penyelesaian yang lebih tepat. Bahkan, terkesan pihak keamanan dinilai lamban menangani konflik tersebut, sehigga konflik terjadi belarut-larut yang telah memakan 1
korban jiwa dan harta. Secara umum konflik di Ambon sudah berlangsung begitu lama. Peristiwa konflik tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan antara satu dengan yang lain, sehingga kerusuhan-kerusuhan pada akhir dibentuk kesepakatan damai (Hasrullah, 2009). Pada dasarnya masyarakat Ambon begitu rukun dan saling menghargai dimana terlihat masing-masing penganut agama baik Kristen maupun Islam, mereka begitu taat menjalankan kegiatan atau ajaran agamanya dengan benar, sehingga jarang terjadi tindak kekerasan atau kriminal. Konflik Ambon muncul saat pintu politik terbuka lebar di masyarakat. Perebutan kekuasaan suku, agama & antargolongan merupakan gejala-gejala terjadi konflik di Ambon. Hal tersebut diperberat timbulya ketimpangan struktural yang terjadi dalam masyarakat. Perebutan kekuasaan yang dilakukan para elit lokal, memanfaatkan momentum masyarakat Ambon yang sedang melaksanakan ibadah ramadhan dan peringatan Hari Raya Natal. Momentum religius ini di seret ke kancah politik yang berujung munculnya konflik (Hasrullah, 2009). Selanjutnya, Jusuf Kalla (Hasrullah, 2009) menegaskan bahwa penyebab konflik Ambon bukan kriminal melainkan konflik struktural, elit yang berbeda agama yang menyebakan timbulnya ketimpangan. Konflik Ambon telah memakan banyak korban jiwa serta meninggalkan trauma psikologis yang sulit diukur tersebut, ternyata hanya disulut dari persoalanpersoalan sepele berupa perkelahian antar pemuda. Solidaritas kelompok memang muncul dalam kerusuhan itu. Hal di atas juga didapati oleh penulis saat mencatat hasil observasi dan wawancara dari tahun 2014 dengan beberapa orang yang pernah mengalami konflik di Ambon. Temuan peneliti tersebut menunjukkan bahwa mereka memiliki kecenderungan untuk dapat memberikan pandangan buruk kepada kelompok agama yang lain. Pandangan tersebut yaitu antara lain mengejek orang lain, meremehkan orang lain bahkan sampai menganggap penganut ajaran agama yang lain adalah sesat. Stigma ini dilakukan karena sisi lain merasa daerahnya terganggu dan tujuan atau kepentingannya dihalangi serta terkadang memberikan stigma tersebut tanpa ada maksud lain. Stigma yang di lontarkan tanpa ada maksud tersebut karena ada rasa menganggap diri mereka lebih hebat dari orang lain yang belum pernah mengalami konflik sosial. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang-orang yang pernah mengalami konflik sosial seperti meremehkan 2
orang lain, mengejek orang lain, menyakiti lewat perkataan-perkataan kasar tanpa sebab memancing amarah orang lain yang akhirnya menimbulkan prasangka sosial terhadap agama lain. berkaitan dengan hal tersebut, salah satu daerah yang sering terjadi konflik akibat prasangka sosial yang muncul terjadi di Desa Batu Merah untuk masyarakat yang beragama Islam dan di Kelurahan Kudamati untuk masyarakat yang beragama Kristen. Penelitian dari Maharani, (dalam Achyar, 2008) menunjukan bahwa ketika terjadi konflik yang terus menerus itu bisa disebabkan karena adanya prasangka buruk terhadap suatu kelompok/komunitas. Hal tersebut juga sama seperti dalam penelitian Hasrullah (2009) mengenai Dendam konflik Poso periode 1998-2001 menyatakan ketika perseteruan menyentuh ranah agama sebagai dasar keyakinan umat, world-view, maka konflik tidak dapat dikendalikan lagi, sebab masalah agama mudah menyulut sentimen individu dan kelompok yang sangat sensitif dan berakibat kepada konflik berkepanjangan sehingga tampak seolah-olah konflik antar agama yang akibatnya terjadi dendam, pembantaian, dan lahirnya tragedi kemanusiaan yang semuanya termasuk bentuk agresivitas yang disebabkan karena prasangka terhadap suatu kelompok agama. Penelitian lain yang dilakukan oleh Destrianus (2011) mengenai konflik sosial Halmahera, ditemukan bahwa semakin positif sikap terhadap konflik sosial semakin tinggi pula agresivitas yang ditimbulkan dari prasangka sosial suatu kelompok terhadap kelompokyang lain. Konflik seringkali mendasari munculnya perilaku agresif antar kelompok dan konflik antar kelompok seringkali dipicu oleh keadaan in group vs out group sehingga anggota kelompok diwarnai oleh perasaan prasangka (Helmi & Soedardjo, 1998). Walaupun masyarakat dari kedua agama tersebut telah sejak lama hidup berdampingan pada suatu daerah tertentu, perbedaan mendasar yang dimiliki oleh kedua agama ini tetap saja mengakibatkan rasa ingroup maupun outgroup dalam proses interaksi sosial mereka. Sejalan dengan ini, Tajfel (1978) mengemukakan bahwa terjadinya prasangka disebabkan adanya ingroup favoritism, yaitu kecenderungan untuk mendiskriminasikan dalam perlakuan yang lebih baik atau menguntungkan ingroup di atas outgroup. Salah satu teori prasangka adalah theory realistic conflict yang memandang prasangka berakar dari kompetisi sejumlah kelompok sosial terhadap sejumlah komoditas maupun peluang, apabila kompetisi berlanjut maka masing-masing anggota akan 3
memandang anggota kelompok lain sebagai musuh, sehingga jika terdapat isyarat agresif maka perilaku agresi akan muncul (Baron & Byrne, 2004). Baron & Byrne (2004), mendefinisikan prasangka sebagai sebuah sikap (biasanya negatif) terhadap anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Prasangka merupakan salah satu fenomena yang hanya bisa ditemui dalam kehidupan sosial. Seseorang tidak mungkin berprasangka bila tidak pernah mengalami kontak sosial dengan individu lain, disamping itu prasangka memiliki fungsi heuristik (jalan pintas), yaitu langsung menilai sesuatu tanpa memprosesnya secara terperinci dalam alam pikiran (kognisi) kita. Gunanya adalah agar kita tidak terlalu lama membuang waktu dan energi untuk sesuatu yang telah terlebih dahulu kita ketahui dampaknya (Sarwono, 2006). Masalahnya, sering sekali orang berprasangka secara berlebihan sehingga orang tersebut tidak rasional lagi dan akhirnya membuat keputusan yang keliru. Adanya berbagai kepentingan yang sama dari kolompok yang berbeda di atas dapat menyebabkan munculnya prasangka pada tiap-tiap kelompok atau agama, dimana prasangka tersebut akan meningkatkan kecenderungan untuk berperilaku agresif pada kelompok lain atau agama lain. Sejalan dengan hal ini Jaspars & Warnaen (1982), mengatakan bahwa terdapat dua hal yang seringkali merupakan sumber konflik antar kelompok dan salah satunya adalah prasangka. Konflik agama yang sering terjadi di Indonesia dan menimbulkan banyak kerugian baik fisik maupun psikis adalah diantaranya konflik yang terjadi antara masyarakat penganut agama Kristen dan masyarakat penganut agama Islam (Hasrullah, 2009). Prasangka terhadap masyarakat penganut agama (Islam-Kristen) sudah jauh lebih lama muncul dibandingkan dengan prasangka-prasangka yang muncul pada agama-agama lain di Indonesia (Nuraeni & Facturochman, 2006). Diantaranya konflik antara agama yang terjadi di Ambon (Maluku) dan Poso. Meskipun demikian, memasuki masa pasca-konflik sesungguhnya daerah-daerah pasca-konflik di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan pembangunan perdamaian yang bersumber bukan hanya dari belum teratasinya masalah-masalah konflik di masa lalu tetapi juga masih rentannya kondisi perdamaian yang disebabkan belum efektif dan majunya pembangunan perdamaian karena, masih lemahnya kelembagaan sosial-politik dan penyelenggaraan pemerintahan dalam mengatasi berbagai 4
potensi konflik terpendam. Membangun kembali masyarakat pasca-konflik membutuhkan pendekatan dan strategi pembangunan perdamaian pasca-konflik secara khusus, bukan hanya untuk mencegah agar konflik tidak kembali muncul ke permukaan tetapi juga untuk mengkonsolidasikan perdamaian menuju tercapainya pembangunan dan perdamaian berkelanjutan (Trijono, 2009). Secara singkat dapat disimpulkan bahwa dalam konflik antar agama terdapat tindakan-tindakan yang dimaksudkan secara sengaja untuk menyakiti individu maupun kelompok lain yang dimunculkan oleh adanya prasangka. Melihat kajian latar belakang permasalahan di atas yang penulis kemukakan, maka penulis mengadakan penelitian dengan judul prasangka sosial dalam relasi (Islam-Kristen) di Ambon Pasca Konflik Ambon tahun 1999-2003. Alasan penulis melakukan pnelitian ini, ialah meskipun konflik di kota Ambon telah berakhir, namun prasangka sosial sampai sekarang masih saja terjadi seperti jika ada kesalahpahaman antar individu dengan individu atau individu dengan kelompok, atau sebaliknya antar kelompok dengan individu atau antar suatu kelompok dengan kelompok lainnya, maka yang akan muncul adalah prasangka orang terhadap agama Islam atau agama Kristen. Orang akan mengatakan bahwa agama si A yang memulainya terlebih dahulu atau sebaliknya orang akan mengatakan bahwa agama si B yang memulainya terlebih dahulu. Dengan kata lain, ketika terjadi pertikaian, agamalah yang sering dibawabawa. Hal inilah yang sering menimbulkan prasangka negatif terhadap suatu agama tertentu. Hal ini diperkuat oleh pendapat Destrianus (2011) bahwa meskipun konflik Halmahera telah berakhir namun prasangka masih saja sering terjadi antar kedua kelompok agama (Islam-Kristen) sampai sekarang yang menimbulkan perilaku agresif bahkan menimbulkan konflik antara kedua kelompok agama. Hal ini juga sesuai dengan keadaan di Ambon, dimana setiap masyarakat yang tinggal di satu desa/kelurahan di Ambon yang semua warganya hanya terdapat satu agama (seperti: kelurahan Kudamati semua warganya beragama Kristen, keluarahan Waehaong semua warganya beragama Islam, dan lain-lain). Selain itu, meskipun konflik 1999-2003 sudah selesai, namun ada beberapa masalah sosial yang muncul sehingga beberapa kali muncul konflik lagi di tahun 2006, 2007 dan 2009 (dalam Manuputty, 2014) yang menyebabkan pembakaran beberapa rumah dan terjadi ketegangan di daerah perbatasan antar masyarakat yang 5
beragama Islam dan Kristen sehingga mengharuskan pemerintah, tokoh agama dan tokoh adat untuk meredahkan masalah tersebut dengan warga masing-masing desa (dalam Trijono, 2009). 1.2. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut: mengapa terjadi prasangka sosial dalam relasi (Islam-Kristen) di Ambon Pasca Konflik Ambon tahun 1999-2003? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prasangka sosial dalam relasi (Islam- Kristen) di Ambon Pasca Konflik Ambon tahun 1999-2003. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan mampu memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang sosial, mengenai prasangka sosial dalam relasi (Islam-Kristen) di Ambon Pasca Konflik Ambon tahun 1999-2003. 1.4.2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk menambah pengetahuan bagi masyarakat Maluku mengenai pentingnya membangun relasi sosial yang baik antara sesama, dapat membantu mengamati masyarakat Ambon pasca konflik tahun 1999-2003, dan dapat menganalisis relasi sosial masyarakat Islam-Kristen dalam perspektif prasangka sosial. Dengan harapan, supaya masyarakat Maluku baik yang beragama Islam maupun Kristen bisa membangun hidup bertoleransi antara umat beragama menjadi lebih baik. 6
1.4.3. Konsep-konsep Yang Digunakan 1.4.3.1.Prasangka Baron & Byrne (2004) mendefinisikan prasangka sebagai sebuah sikap (biasanya negatif) terhadap anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Brown (2005) menyatakan bahwa prasangka seringkali didefinisikan sebagai penilaian negatif yang salah atau tidak berdasar mengenai anggota suatu kelompok, tetapi definisi semacam itu menimbulkan kesulitan konseptual karena ada masalah pemastian apakah penilaian sosial itu memang salah atau sekedar menyimpang dari kenyataan. Sebagai gantinya, prasangka didefinisikan sebagai sikap, emosi, atau perilaku negatif terhadap anggota suatu kelompok karena keanggotaanya di kelompok tersebut. 1.4.3.2.Masyarakat dan Agama Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain) (Baron & Byrne, 2004). Umumnya istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. Agama merupakan himpunan manusia yang memiliki kepercayaan dan nilai-rohani yang dipercayai sebagai penuntun hidup (Ritzer & Goodman, 2007). Meskipun di Indonesia banyak sekali memiliki agama-agama suku, namun pemerintah Indonesia sendiri mensahkan ada 6 agama yang boleh dianut oleh setiap masyarakatnya, yaitu agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu (Ritzer & Goodman, 2007). 7