BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pentingnya Toleransi Umat Beragama Sebagai Upaya Mencegah Perpecahan Suatu Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. Sehingga tidak memicu terjadinya konflik sosial didalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia hidup juga berbeda. Kemajemukan suku bangsa yang berjumlah. 300 suku hidup di wilayah Indonesia membawa konsekuensi pada

I. PENDAHULUAN. tersebut terkadang menimbulkan konflik yang dapat merugikan masyarakat itu. berbeda atau bertentangan maka akan terjadi konflik.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan Satu Pemerintahan (Depag RI, 1980 :5). agama. Dalam skripsi ini akan membahas tentang kerukunan antar umat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sudah setengah abad lebih Indonesia merdeka, masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang multi

LEONARD PITJUMARFOR, 2015 PELATIHAN PEMUDA PELOPOR DALAM MENINGKATKAN WAWASAN KESANAN PEMUDA DI DAERAH RAWAN KONFLIK

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB IV KESIMPULAN. dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman,

BAB I PENDAHULUAN. umum dikenal dengan masyarakat yang multikultural. Ini merupakan salah satu

HUBUNGAN ANTARA PRASANGKA DENGAN AGRESIVITAS PADA AGAMA (KRISTEN-ISLAM) DI POSO PASCA KONFLIK POSO TAHUN OLEH DENNYS CHRISTOVEL DESE

BAB I PENDAHULUAN. Sejak beribu-ribu tahun yang lalu hingga sekarang ini, baik yang dicatat dalam

BAB I PENDAHULUAN. masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya.

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan. Keanekaragaman ini merupakan warisan kekayaan bangsa yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tersebut. Fenomena ini misalnya terlihat pada kasus penganut ajaran Sikh yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia tergambar dalam berbagai keragaman suku, budaya, adat-istiadat, bahasa

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam suku, bahasa, adat istiadat dan agama. Hal itu merupakan

LAPORAN PENELITIAN HUBUNGAN ANTARA EGOSENTRISME DAN KECENDERUNGAN MENCARI SENSASI DENGAN PERILAKU AGRESI PADA REMAJA. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2015 PERISTIWA MANGKOK MERAH (KONFLIK DAYAK DENGAN ETNIS TIONGHOA DI KALIMANTAN BARAT PADA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. berjalan lancar jika didukung oleh adanya kondisi yang aman dan tenteraman. Salah satu hal

BAB V KESIMPULAN. Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, dapat. disimpulkan bahwa Banyuwangi merupakan wilayah yang rawan

BAB I PENDAHULUAN. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan multi budaya

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari Sabang hingga ke Merauke. Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. Bali dikenal sebagai daerah dengan ragam budaya masyarakatnya yang

BAB I PENDAHULUAN. hal budaya maupun dalam sistem kepercayaan. Hal ini dibuktikan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut kodrat alam, manusia dimana-mana dan pada zaman apapun juga selalu

Muhammad Ismail Yusanto, Jubir HTI

BAB I PENDAHULUAN. identitas Indonesia adalah pluralitas, kemajemukan yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fety Novianty, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya

BAB V PENUTUP. prespektif Identitas Sosial terhadap Konflik Ambon, maka ada beberapa hal pokok yang

I PENDAHULUAN. menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bemegara serta dalam menjalankan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu memiliki kepribadian atau sifat polos dan ada yang berbelit-belit, ada

KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA KELOMPOK 4 ANANDA MUCHAMMAD D N AULIA ARIENDA HENY FITRIANI

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN. yang cenderung kepada kelezatan jasmaniah). Dengan demikian, ketika manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kemajemukan

BAB I PENDAHULUAN. orangtua agar anak mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan keinginan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Igneus Alganih, 2014 Konflik Poso (Kajian Historis Tahun )

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan manusia dalam masyarakat sangatlah majemuk. orang pendatang yaitu korban kerusuhan Sampit.

TUGAS AGAMA KLIPING KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA, ANTAR SUKU, RAS DAN BUDAYA

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia.

I. PENDAHULUAN. mempunyai cara-cara hidup atau kebudayaan ada di dalamnya. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara yang memiliki ribuan pulau, tiga ratus lebih suku, budaya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perasaan cemas dan tidak nyaman ini dapat dirasakan baik oleh kelompok mayoritas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Menurut Sarwono (2011),

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring berjalannya waktu, dengan perubahan teknologi dan perubahan pergaulan

BAB I PENDAHULUAN. daya tarik Negara ini. Sebagaimana semboyan Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal

BAB I PENDAHULUAN. sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia meliputi: Hak untuk

ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL DI KALIMANTAN BARAT. Alwan Hadiyanto Dosen Tetap Program Studi Ilmu Hukum UNRIKA

PENDAHULUAN. yang dimilikinya. Keragaman memang indah dan menjadi kekayaan bangsa yang. dari pada modal bangsa Indonesia (Hanifah, 2010:2).

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. keseharian. Batas-batas teritorial sebuah negara seakan-akan tidak ada lagi. Setiap

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sejalan dengan meningkatnya ketergantungan ekonomi,

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN PENANGANAN KONFLIK 1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dari segala dimensi. Sebagai sebuah bangsa dengan warisan budaya yang

Survei Opini Publik Toleransi Sosial Masyarakat Indonesia

BAB IV ANALISIS TOLERANSI ATAR UMAT BERAGAMA DI KALANGAN SISWA DI SMA NEGERI 3 PEKALONGAN

BAB I PENDAHULUAN. yang tak kunjung mampu dipecahkan sehingga mengganggu aktivitas.

I. PENDAHULUAN. menganut agama sesuai dengan keinginannya. Berlakunya Undang-Undang

PEDOMAN OBSERVASI. No Aspek yang diamati Keterangan. dalam menjaga hubungan yang

BAB I PENDAHULUAN. luas dan sekaligus merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia.

BAB VI KESIMPULAN. sosial-politik yang melingkupinya. Demikian pula dengan Islamisasi dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. hakikat suku bangsa, agama, ras dan golongan dalam masyarakat juga memiliki latar

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian Konflik

BAB IV ANALISIS PERAN ORGANISASI PEMUDA DALAM MEMBINA KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DENGAN PRASANGKA ETNIS PADA ETNIS DAYAK PASCA KONFLIK DAYAK-MADURA DI SAMPIT

Bab II. Kajian Pustaka. Teori identitas sosial dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PENTINGNYA TOLERANSI DALAM PLURALISME BERAGAMA

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. (2000) p Budyanto, Dasar Teologis Kebersamaan dalam Masyarakat yang Beranekaragam Gema Duta Wacana, Vol.

BAB IV ANALISIS UPAYA DAN KENDALA REKONSILIASI KONFLIK PORTO-HARIA. Dengan mencermati realita konflik yang terjadi di Negeri Porto-Haria,

BAB VIII PENUTUP. Protes dan perlawanan yang dilakukan masyarakat lokal terhadap pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. maupun anak-anak. Kata remaja sendiri berasal dari bahasa latin yaitu adolescere

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu diantara sedikit negara di dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. kalah banyak. Keberagaman agama tersebut pada satu sisi menjadi modal

PEMBANGUNAN PERDAMAIAN DAN ARAH KEBIJAKAN PROLEGNAS TAHUN Ignatius Mulyono 2

BAB I PENDAHULUAN. menjadi bagian hidup manusia serta menjadi pendorong dalam dinamika dan

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah merupakan pendidikan kedua setelah lingkungan keluarga, manfaat

BAB IV. Gambaran Umum Wilayah Penelitian. 4.1 Gambaran Umum Kota Palangka Raya

BAB I PENDAHULUAN. terutama pada agama dan suku. Di Indonesia mempunyai enam agama yang. buku Bunyamin Molan (2015:29) adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. Potensi perpustakaan umum dalam menciptakan modal sosial di seluruh

VI. PENUTUP. Berdasarkan hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat. ada yang bersifat Assosiatif dan dissosiatif sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan aspirasi yang berbeda-beda satu sama lain tetapi memiliki kedudukan setara,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah konflik menjadi fenomena yang seakan menjadi biasa dalam masyarakat Indonesia. Kondisi Negara Indonesia dengan segala macam kemajemukan dan heterogenitas. Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari multi etnis dan multi budaya (Abdulsyani, 2002). Hal lebih lanjut dikatakan bahwa budaya atau kebudayaan merupakan keseluruhan hasil kreativitas manusia yang meliputi gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia melalui belajar. Oleh karena itu, hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan. Dewasa ini, Indonesia telah menjadi negara yang multi-partai dalam sistem politiknya. Kondisi yang demikian, membuat masyarakatnya tidak dapat terhindar dari timbulnya berbagai bentuk konflik vertikal ataupun horizontal. Situasi ini terjadi karena setiap kelompok atau individu punya tujuan yang berbeda satu dengan yang lain. Pertentangan kepentingan itu memunculkan konflik yang terus menjadi bagian dalam rangka memperjuangkan kepentingan masing-masing (Achyar, 2008). Pernyataan tersebut sejalan dengan ungkapan seperti berikut, konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan, berbagai perbedaan pendapat dan kepentingan. Oleh sebab itu, konflik biasanya bisa diselesaikan tanpa adanya kekerasaan, sehingga sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat (Feldman, 1995). Sekarang ini, Indonesia sangat rentan dengan perpecahan, seiring dengan terjadinya berbagai gejolak konflik di berbagai daerah (Faturochman, 2006). Salah satunya konflik yang terjadi di Ambon yang diisinyalir oleh berbagai kalangan adalah konflik bernuansa suku, agama, ras dan antargolongan. Konflik tersebut terjadi karena adanya pertikaian suku dan pemeluk agama Islam dan Kristen. Peristiwa kerusuhan diawali dengan pertikaian antar dua pemuda yang berbeda agama, sehingga belarut dan berhujung dengan terjadinya kerusuhan. Implikasi-implikasi kepentingan politik elit nasional, elit lokal dan militer juga diduga menyulut terjadinya konflik horizontal, sehingga sulit mencari penyelesaian yang lebih tepat. Bahkan, terkesan pihak keamanan dinilai lamban menangani konflik tersebut, sehigga konflik terjadi belarut-larut yang telah memakan 1

korban jiwa dan harta. Secara umum konflik di Ambon sudah berlangsung begitu lama. Peristiwa konflik tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan antara satu dengan yang lain, sehingga kerusuhan-kerusuhan pada akhir dibentuk kesepakatan damai (Hasrullah, 2009). Pada dasarnya masyarakat Ambon begitu rukun dan saling menghargai dimana terlihat masing-masing penganut agama baik Kristen maupun Islam, mereka begitu taat menjalankan kegiatan atau ajaran agamanya dengan benar, sehingga jarang terjadi tindak kekerasan atau kriminal. Konflik Ambon muncul saat pintu politik terbuka lebar di masyarakat. Perebutan kekuasaan suku, agama & antargolongan merupakan gejala-gejala terjadi konflik di Ambon. Hal tersebut diperberat timbulya ketimpangan struktural yang terjadi dalam masyarakat. Perebutan kekuasaan yang dilakukan para elit lokal, memanfaatkan momentum masyarakat Ambon yang sedang melaksanakan ibadah ramadhan dan peringatan Hari Raya Natal. Momentum religius ini di seret ke kancah politik yang berujung munculnya konflik (Hasrullah, 2009). Selanjutnya, Jusuf Kalla (Hasrullah, 2009) menegaskan bahwa penyebab konflik Ambon bukan kriminal melainkan konflik struktural, elit yang berbeda agama yang menyebakan timbulnya ketimpangan. Konflik Ambon telah memakan banyak korban jiwa serta meninggalkan trauma psikologis yang sulit diukur tersebut, ternyata hanya disulut dari persoalanpersoalan sepele berupa perkelahian antar pemuda. Solidaritas kelompok memang muncul dalam kerusuhan itu. Hal di atas juga didapati oleh penulis saat mencatat hasil observasi dan wawancara dari tahun 2014 dengan beberapa orang yang pernah mengalami konflik di Ambon. Temuan peneliti tersebut menunjukkan bahwa mereka memiliki kecenderungan untuk dapat memberikan pandangan buruk kepada kelompok agama yang lain. Pandangan tersebut yaitu antara lain mengejek orang lain, meremehkan orang lain bahkan sampai menganggap penganut ajaran agama yang lain adalah sesat. Stigma ini dilakukan karena sisi lain merasa daerahnya terganggu dan tujuan atau kepentingannya dihalangi serta terkadang memberikan stigma tersebut tanpa ada maksud lain. Stigma yang di lontarkan tanpa ada maksud tersebut karena ada rasa menganggap diri mereka lebih hebat dari orang lain yang belum pernah mengalami konflik sosial. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang-orang yang pernah mengalami konflik sosial seperti meremehkan 2

orang lain, mengejek orang lain, menyakiti lewat perkataan-perkataan kasar tanpa sebab memancing amarah orang lain yang akhirnya menimbulkan prasangka sosial terhadap agama lain. berkaitan dengan hal tersebut, salah satu daerah yang sering terjadi konflik akibat prasangka sosial yang muncul terjadi di Desa Batu Merah untuk masyarakat yang beragama Islam dan di Kelurahan Kudamati untuk masyarakat yang beragama Kristen. Penelitian dari Maharani, (dalam Achyar, 2008) menunjukan bahwa ketika terjadi konflik yang terus menerus itu bisa disebabkan karena adanya prasangka buruk terhadap suatu kelompok/komunitas. Hal tersebut juga sama seperti dalam penelitian Hasrullah (2009) mengenai Dendam konflik Poso periode 1998-2001 menyatakan ketika perseteruan menyentuh ranah agama sebagai dasar keyakinan umat, world-view, maka konflik tidak dapat dikendalikan lagi, sebab masalah agama mudah menyulut sentimen individu dan kelompok yang sangat sensitif dan berakibat kepada konflik berkepanjangan sehingga tampak seolah-olah konflik antar agama yang akibatnya terjadi dendam, pembantaian, dan lahirnya tragedi kemanusiaan yang semuanya termasuk bentuk agresivitas yang disebabkan karena prasangka terhadap suatu kelompok agama. Penelitian lain yang dilakukan oleh Destrianus (2011) mengenai konflik sosial Halmahera, ditemukan bahwa semakin positif sikap terhadap konflik sosial semakin tinggi pula agresivitas yang ditimbulkan dari prasangka sosial suatu kelompok terhadap kelompokyang lain. Konflik seringkali mendasari munculnya perilaku agresif antar kelompok dan konflik antar kelompok seringkali dipicu oleh keadaan in group vs out group sehingga anggota kelompok diwarnai oleh perasaan prasangka (Helmi & Soedardjo, 1998). Walaupun masyarakat dari kedua agama tersebut telah sejak lama hidup berdampingan pada suatu daerah tertentu, perbedaan mendasar yang dimiliki oleh kedua agama ini tetap saja mengakibatkan rasa ingroup maupun outgroup dalam proses interaksi sosial mereka. Sejalan dengan ini, Tajfel (1978) mengemukakan bahwa terjadinya prasangka disebabkan adanya ingroup favoritism, yaitu kecenderungan untuk mendiskriminasikan dalam perlakuan yang lebih baik atau menguntungkan ingroup di atas outgroup. Salah satu teori prasangka adalah theory realistic conflict yang memandang prasangka berakar dari kompetisi sejumlah kelompok sosial terhadap sejumlah komoditas maupun peluang, apabila kompetisi berlanjut maka masing-masing anggota akan 3

memandang anggota kelompok lain sebagai musuh, sehingga jika terdapat isyarat agresif maka perilaku agresi akan muncul (Baron & Byrne, 2004). Baron & Byrne (2004), mendefinisikan prasangka sebagai sebuah sikap (biasanya negatif) terhadap anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Prasangka merupakan salah satu fenomena yang hanya bisa ditemui dalam kehidupan sosial. Seseorang tidak mungkin berprasangka bila tidak pernah mengalami kontak sosial dengan individu lain, disamping itu prasangka memiliki fungsi heuristik (jalan pintas), yaitu langsung menilai sesuatu tanpa memprosesnya secara terperinci dalam alam pikiran (kognisi) kita. Gunanya adalah agar kita tidak terlalu lama membuang waktu dan energi untuk sesuatu yang telah terlebih dahulu kita ketahui dampaknya (Sarwono, 2006). Masalahnya, sering sekali orang berprasangka secara berlebihan sehingga orang tersebut tidak rasional lagi dan akhirnya membuat keputusan yang keliru. Adanya berbagai kepentingan yang sama dari kolompok yang berbeda di atas dapat menyebabkan munculnya prasangka pada tiap-tiap kelompok atau agama, dimana prasangka tersebut akan meningkatkan kecenderungan untuk berperilaku agresif pada kelompok lain atau agama lain. Sejalan dengan hal ini Jaspars & Warnaen (1982), mengatakan bahwa terdapat dua hal yang seringkali merupakan sumber konflik antar kelompok dan salah satunya adalah prasangka. Konflik agama yang sering terjadi di Indonesia dan menimbulkan banyak kerugian baik fisik maupun psikis adalah diantaranya konflik yang terjadi antara masyarakat penganut agama Kristen dan masyarakat penganut agama Islam (Hasrullah, 2009). Prasangka terhadap masyarakat penganut agama (Islam-Kristen) sudah jauh lebih lama muncul dibandingkan dengan prasangka-prasangka yang muncul pada agama-agama lain di Indonesia (Nuraeni & Facturochman, 2006). Diantaranya konflik antara agama yang terjadi di Ambon (Maluku) dan Poso. Meskipun demikian, memasuki masa pasca-konflik sesungguhnya daerah-daerah pasca-konflik di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan pembangunan perdamaian yang bersumber bukan hanya dari belum teratasinya masalah-masalah konflik di masa lalu tetapi juga masih rentannya kondisi perdamaian yang disebabkan belum efektif dan majunya pembangunan perdamaian karena, masih lemahnya kelembagaan sosial-politik dan penyelenggaraan pemerintahan dalam mengatasi berbagai 4

potensi konflik terpendam. Membangun kembali masyarakat pasca-konflik membutuhkan pendekatan dan strategi pembangunan perdamaian pasca-konflik secara khusus, bukan hanya untuk mencegah agar konflik tidak kembali muncul ke permukaan tetapi juga untuk mengkonsolidasikan perdamaian menuju tercapainya pembangunan dan perdamaian berkelanjutan (Trijono, 2009). Secara singkat dapat disimpulkan bahwa dalam konflik antar agama terdapat tindakan-tindakan yang dimaksudkan secara sengaja untuk menyakiti individu maupun kelompok lain yang dimunculkan oleh adanya prasangka. Melihat kajian latar belakang permasalahan di atas yang penulis kemukakan, maka penulis mengadakan penelitian dengan judul prasangka sosial dalam relasi (Islam-Kristen) di Ambon Pasca Konflik Ambon tahun 1999-2003. Alasan penulis melakukan pnelitian ini, ialah meskipun konflik di kota Ambon telah berakhir, namun prasangka sosial sampai sekarang masih saja terjadi seperti jika ada kesalahpahaman antar individu dengan individu atau individu dengan kelompok, atau sebaliknya antar kelompok dengan individu atau antar suatu kelompok dengan kelompok lainnya, maka yang akan muncul adalah prasangka orang terhadap agama Islam atau agama Kristen. Orang akan mengatakan bahwa agama si A yang memulainya terlebih dahulu atau sebaliknya orang akan mengatakan bahwa agama si B yang memulainya terlebih dahulu. Dengan kata lain, ketika terjadi pertikaian, agamalah yang sering dibawabawa. Hal inilah yang sering menimbulkan prasangka negatif terhadap suatu agama tertentu. Hal ini diperkuat oleh pendapat Destrianus (2011) bahwa meskipun konflik Halmahera telah berakhir namun prasangka masih saja sering terjadi antar kedua kelompok agama (Islam-Kristen) sampai sekarang yang menimbulkan perilaku agresif bahkan menimbulkan konflik antara kedua kelompok agama. Hal ini juga sesuai dengan keadaan di Ambon, dimana setiap masyarakat yang tinggal di satu desa/kelurahan di Ambon yang semua warganya hanya terdapat satu agama (seperti: kelurahan Kudamati semua warganya beragama Kristen, keluarahan Waehaong semua warganya beragama Islam, dan lain-lain). Selain itu, meskipun konflik 1999-2003 sudah selesai, namun ada beberapa masalah sosial yang muncul sehingga beberapa kali muncul konflik lagi di tahun 2006, 2007 dan 2009 (dalam Manuputty, 2014) yang menyebabkan pembakaran beberapa rumah dan terjadi ketegangan di daerah perbatasan antar masyarakat yang 5

beragama Islam dan Kristen sehingga mengharuskan pemerintah, tokoh agama dan tokoh adat untuk meredahkan masalah tersebut dengan warga masing-masing desa (dalam Trijono, 2009). 1.2. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut: mengapa terjadi prasangka sosial dalam relasi (Islam-Kristen) di Ambon Pasca Konflik Ambon tahun 1999-2003? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prasangka sosial dalam relasi (Islam- Kristen) di Ambon Pasca Konflik Ambon tahun 1999-2003. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan mampu memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang sosial, mengenai prasangka sosial dalam relasi (Islam-Kristen) di Ambon Pasca Konflik Ambon tahun 1999-2003. 1.4.2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk menambah pengetahuan bagi masyarakat Maluku mengenai pentingnya membangun relasi sosial yang baik antara sesama, dapat membantu mengamati masyarakat Ambon pasca konflik tahun 1999-2003, dan dapat menganalisis relasi sosial masyarakat Islam-Kristen dalam perspektif prasangka sosial. Dengan harapan, supaya masyarakat Maluku baik yang beragama Islam maupun Kristen bisa membangun hidup bertoleransi antara umat beragama menjadi lebih baik. 6

1.4.3. Konsep-konsep Yang Digunakan 1.4.3.1.Prasangka Baron & Byrne (2004) mendefinisikan prasangka sebagai sebuah sikap (biasanya negatif) terhadap anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Brown (2005) menyatakan bahwa prasangka seringkali didefinisikan sebagai penilaian negatif yang salah atau tidak berdasar mengenai anggota suatu kelompok, tetapi definisi semacam itu menimbulkan kesulitan konseptual karena ada masalah pemastian apakah penilaian sosial itu memang salah atau sekedar menyimpang dari kenyataan. Sebagai gantinya, prasangka didefinisikan sebagai sikap, emosi, atau perilaku negatif terhadap anggota suatu kelompok karena keanggotaanya di kelompok tersebut. 1.4.3.2.Masyarakat dan Agama Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain) (Baron & Byrne, 2004). Umumnya istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. Agama merupakan himpunan manusia yang memiliki kepercayaan dan nilai-rohani yang dipercayai sebagai penuntun hidup (Ritzer & Goodman, 2007). Meskipun di Indonesia banyak sekali memiliki agama-agama suku, namun pemerintah Indonesia sendiri mensahkan ada 6 agama yang boleh dianut oleh setiap masyarakatnya, yaitu agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu (Ritzer & Goodman, 2007). 7