56 BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT MAZHAB HANAFI DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG WALI NIKAH A. Analisa Terhadap Mazhab Hanafi Tentang Wali Nikah Menurut mazhab Hanafi wali dalam pernikahan bukanlah menjadi rukun suatu pernikahan, tetapi hanya kesunahan saja untuk dipenuhi, hal ini di dasarkan pada qiyas, dimana seorang perempuan yang sudah baligh dan dewasa boleh bermuamalah sama seperti laki-laki dalam hal jual beli. Mazhab Hanafi memandang bahwa perkawinan mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan primer dan tujuan sekunder. Tujuan primer hanya dimiliki oleh wanita tanpa campur tangan walinya, seperti urusan persetubuhan, nafkah dan lain-lain. Sedangkan tujuan sekunder dimana wali ikut menikmati, seperti ikatan hubungan kekerabatan antara kedua keluarga. Aqad yang bertujuan seperti itu adalah wajar jika yang melakukan tujuan perkawinan juga mempunyai tujuan seperti itu. Selain itu akad nikah sama dengan jual beli, kalau wanita berhak menjual harta benda miliknya, maka wajar saja ia dibolehkan melakukan aqad nikahnya sendiri dalam hal pernikahan, karena hal ini memang mengenai kemaslahatan dirinya. 1 Mazhab Hanafi dalam mengambil dan menafsirkan ayat tersebut kaitannya dengan wali nikah berpendapat bahwa kata : فيها فعلن فى انفسهن dan pelakunya (failnya) adalah wanita. Pekerjaan maka dalam حتى تنكع زوجا غيره ishad hakikinya semestinya dikerjakan langsung oleh pelaku aslinya, tegasnya tidak dipekerjakan oleh orang lain sebagai mana dalam ishad yang mazaji. 2003), hlm.158. 1 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan masalah Pernikahan,Jilid 1, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
57 Dari beberapa perbedaan pendapat yang diikuti oleh masyarakat Indonesia antara mazhab Syafi i dan mazhab Hanafi tersebut, perbedaan yang paling prinsip adalah bahwa menurut mazhab Syafi i yang mana sebagian besar masyarakat indonesia menganut mazhab ini wali merupakan salah satu rukun nikah, maka nikah tanpa wali hukumnya tidak sah, sedangkan menurut mazhab Hanafi wali tidak menjadi salah satu rukun nikah, maka sah nikah tanpa wali, hanya kurang sempurna saja, baik wanita itu gadis atau janda, sekufu atau tidak ada izin atau tidak, diucapkan langsung oleh siwanita atau walinya. Faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan : 1) Perbedaan pengambilan dan penafsiran ayat-ayat suci Al-Qur an serta perbedaan dalam memahami hadits. 2) Mazhab Hanafi mengutamakan qiyas dari pada hadits ahad, sedangkan mazhab Syafi i mengutamakan hadits ahad dari pada qiyas. 3) Menurut mazhab Hanafi wanita dalam muamalah serupa haknya dengan laki-laki oleh karena itu mereka mengqiyaskan akad nikah kepada akad jual beli sedangkan mazhab Syafi i, berpegang pada hadits ahad, dimana sesuai dengan asababun nuzul ayat 234 surat Al-Baqarah. 4) Hanafi berpendirian bahwa suatu perkara yang ditiadakan oleh syara dengan perantara ( الالنفية ) harus difahami bahwa ditiadakannya itu adalah sempurna. 5) Menurut Syafi i ( الالنفية ) tersebut yang ditiadakan adalah syahnya, maka mazhab Hanafi menafsirkan dengan kata-kata tidak sempurna dan Syafi i mengartikan dengan tidak sah.
58 Menurut Hanafi tiada seorangpun yang dapat memaksa seorang wanita untuk menerima walinya, asal saja ia sudah dewasa dan mempunyai akal yang waras serta berada dalam keadaan yang waras untuk melakukan pilihan yang tepat, jadi Hanafi lebih prinsipil dalam memegang teguh kebebasan penuh yang menjadi hak seseorang. Baik laki-laki maupun perempuan dalam memasuki perkawinan. 2 B. Analisa Terhadap Kompilasi Hukum Islam Tentang Wali Nikah Di dalam Kompilasi Hukum Islam juga diatur mengenai rukun dan syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Pasal 14 KHI yaitu untuk melaksanakan perkawinan harus ada: 1) Calon suami 2) Calon istri 3) Wali nikah 4) Dua orang saksi; dan 5) Ijab dan Kabul Mengenai calon mempelai baik calon suami dan calon istri diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut: Pasal 15 KHI yaitu: 1. Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan istri sekurang-kurangnya hlm,224. 2 Anwar Harjono, Hukum Islam Keluasaan dan Keadilannya, (Bulan Bintang : Jakarta, 1968),
59 berumur 16 tahun. 2. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-undang No 1 Tahun 1974. Pasal 16 KHI yaitu : 1) Perkawinan didasarkan persetujuan calon mempelai. 2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan tegas. Pasal 17 KHI yaitu : 1) Sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua orang saksi nikah. 2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. 3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. Pasal 18 KHI yaitu: Bagi calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab VI.
60 berikut : Mengenai Wali Nikah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai Pasal 19 KHI yaitu: Wali Nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Pasal 20 KHI yaitu: 1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim, akil dan baligh. 2) Wali nikah terdiri dari: a. Wali Nasab b. Wali Hakim. Pasal 21 KHI yaitu: 1. Wali Nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Pertama: kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yaitu ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua : kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara lakilakiseayah dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga : kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah,
61 saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat: kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka. 2. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali nikah, maka yang paling berhak menjadi waliadalah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelaiwanita. 3. Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak menjadi wali nikah adalah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah. 4. Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya, sama yakni samasama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka samasama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali. Pasal 22 KHI yaitu: Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau karena wali itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya. Pasal 23 KHI yaitu: 1) Wali Hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak
62 ada atau tidak mungkin menghadirinya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan. 2) Dalam hal wali adlal atau enggan, maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada Putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut. 3 Setelah melihat rujukan dari pasal-pasal tersebut penulis dapat mengetahui bahwa segala sesuatu yang berkenaan dengan wali nikah di Indonesia lebih cendrung mengikuti mazhab Syafi i dari pada mazhab Hanafi hal ini dikarenakan agama Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para saudagar dari Gujarat India, kemudian disebarkan oleh para wali dimana para wali tersebut mengikut paham Ahlul Sunnah waljama ah yang didalamnya mencakup mazhab empat (Hanafi, Maliki, Hambali, Syafi i) dan Syafi i yang paling mudah diterima oleh masyarakat Indonesia karena hukum dan ajaran-ajaran yang dibawa mazhab Syafi i ternyata lebih cocok dengan pola pikir yang mudah dipahami dan dinalar setiap orang. Berbeda dengan Imam Hanafi merupakan orang yang sangat rasional, mementingakn kemaslahatan, dan manfaat, sehingga dalam hal perkawinan Imam Hanafi menyerahkan perkara perkawinannya pada individu masingmasing baik laki-laki maupun perempuan, karena nantinya yang menjalani kehidupan rumah tangga itu sendiri adalah orang yang bersangkutan bukanlah keluarganya. Maka dalam perkawinan wanita dewasa, berakal sehat Imam Hanafi menyamakan dengan hak laki-laki (tanpa harus ada wali). hlm.20-24 3 Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Dirjen Binbaga Islam,1991/1992.
63 Menurut Ibrohim Hosen yang menjadi dasar perbedaan dalam perselisihan pendapat antara Imam Hanafi dan Imam Syafi i yang mana KHI ini sebagian besar mengadopsi dari Imam Syafi i, beliau menyarankan karena di Indonesia lebih kental dengan aplikasi pelaksanaan Mazhab Syafi i, maka bila seorang wanita menikahkan dirinya tanpa wali, maka yang kita jadikan pedoman tentang sah atau batalnya pernikahan tersebut diserahkan pada keputusan hakim. 4 Tampaknya wali dalam pernikahan yang diketengahkan dalam kompilasi hukum Islam Indonesia antara UUP No.1/1974 dengan KHI yang di terbitkan berdasarkan Intruksi Presiden RI No.1 / 1974 nampaknya juga terdapat perbedaan di mana dalam UUP nampak telah ada semacam ijtihad mengenai kapan diperlukannya seorang wali dan sedikitnya telah berani menampakkan kesan bahwa wali tidak begitu perlu, sedangkan KHI seakan-akan mengembalikan lagi pada main stream fiqh, yang kadang nampak sangat patriakhis tersebut. 5 Demikian sekiranya perbedaan yang terlihat antara pendapat mazhab Hanafi dengan kompilasi hukum Islam di Indonesia segi perbedaan tersebut nampak terkesan pada pemahaman bahwa kompilasi hukum Islam (KHI) yang dibuat lebih condong pada menggaet pemikiran fiqh ala Mazhab Syafi i yang ketika diketemukan pada pemahaman kajian fiqh Islam yang diambil dari sudut pandang Mazhab Hanafi begitu terasa berbeda. Namun dalam Undang-undang 4 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan masalah Pernikahan, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2003), hlm 177. 5 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan,Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fiqh,UU No. 1/1974 sampai KHI,(Jakarta : Kencana, Cet-II,2004), hlm, 80.
64 Perkawinan (UUP) telah sedikit nampak keberanian untuk berijtihad sendiri dikalangan konseptor kompilasi hukum Islam berkenaan dengan kedudukan atau peranan wali dalam pernikahan, walaupun belum seluruhnya menguraikan penjelasan tentang wali dalam pernikahan itu sendiri secara lengkap dan komprehensif. Setelah Penulis menganalisa secara mendalam dibawah ini akan dipaparkan metrik perbandingan antara mazhab Hanafi dan KHI secara ekplisit. Wali Nikah Konsep Mazhab Hanafi Konsep KHI Landasan Argumen Metode Landasan Argumen Metode Menurut Hanafi perwalian dalam pernikahan bukanlah menjadi rukun suatu pernikahan, tetapi hanya kesunahan saja untuk dipenuhi. Jadi wali menurut Hanafi sunnah. Mazhab Hanafi lebih mengutamakan qiyas dari pada hadits ahad. Jadi menurut mazhab Hanafi sah suatu pernikahan tanpa wali. Menurut KHI wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya jadi wali menurut KHI itu wajib. KHI lebih cendrung menganut Imam Syafi,I yang mana lebih mengutamakan hadits ahad dari pada qiyas. Jadi wali adalah suatu syarat rukun pernikahan yang harus dipenuhi. Segi Persamaan Sama-sama menempatkan wali sebagai rukun nikah. sama-sama dalam menentukan syarat-syarat sebagai wali berupa laki-laki,muslim dan dewasa atau berakal.sama-sama membagi empat kelompok wali nasab. Sama-sama memberikan kewenangan kepada wali hakim,apabila wali nasab tidak dapat dihadirkan. Segi Perbedaan Sedangkan KHI yang cendrung menganut Syafi I berpegang pada hadits ahad dimana sesuai dengan asbabunuzul ayat 234 surat Al-Baqarah. Tidak terdapat ketegasan dalam Al-Qur an tentang sah atau tidak sahnya akad nikah tanpa wali.tidak terdapat satupun hadits mutawatir yang mengandung dalalah qat iyah tentang sah atau tidak sahnya akad nikah tanpa wali. Demikian juga, tidak terdapat hadits ahad yang disepakati kesahihannya yang mengandung dalalah qat iyah tentang sah atau tidak sahnya akad nikah tanpa wali. Perbedaan pengambilan dan penafsiran ayat-ayat suci Al-Qur an serta perbedaan dalam memahami hadits. Mazhab Hanafi lebih mengutamakan qiyas dari pada hadits ahad, sedangkan mazhab Syafi I lebih mengutamakan hadits ahad dari pada qiyas. Menurut Hanafi wanita dalam mu amalah serupa haknya dengan laki-laki oleh karna itu Hanafi mengqiyaskan akad nikah kepada akad jual beli.