Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki sejarah panjang untuk mendapatkan kemerdekaannya di tahun 1945. Hanya saja, tidak banyak yang tertarik untuk mempelajari sejarah karena terkesan membosankan. Berbicara tentang mempelajari sejarah, selain lewat buku, salah satu caranya adalah dengan berkunjung ke museum. Dalam tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman berkunjung ke salah satu museum di Jakarta, yakni Museum Satria Mandala. Ironisnya, saya yang lahir di Jakarta pun baru dua kali ke museum yang terletak di Jalan Jenderal Gatot Subroto ini. Menyedihkan sekali. Satria Mandala merupakan museum sejarah perjuangan TNI dimana kita dapat mempelajari sedikit banyak tentang sejarah TNI dan perjuangannya dalam mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan kedaulatan negara pasca kemerdekaan. Kenapa saya bilang sedikit banyak? Nanti kalian juga akan tahu, bukan tempe. Kembali ke pengalaman saya berkunjung ke Satria Mandala. Pagi itu saya tiba sekitar pukul 11 siang. Kesan pertama yang terlintas adalah unik karena bentuk dari museum ini seperti rumah, yang dulunya merupakan kediaman Ibu Ratna Sari Dewi, salah satu istri Bung Karno. Keunikan lainnya adalah letak museum yang berada diantara dua gedung tinggi, sehingga menimbulkan kesan betapa kecilnya museum kebanggaan TNI ini. Sungguh disayangkan.
Sebelum masuk ke dalam museum, kita harus membeli karcis terlebih dahulu. Tidak mahal, cukup Rp. 4.000 per orang. Lumayan lah daripada lumanyun. Memasuki ruangan, kita dapat melihat ukiran teks proklamasi, foto foto presiden dan wakilnya, serta bendera bendera instansi yang pernah tergabung dalam ABRI. Memasuki Diorama I, terdapat cerita sejarah perjuangan TNI sejak 1945 dan beberapa diorama yang memperlihatkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Kuy lanjut ke ruangan berikutnya yang saya sebut Ruangan 4 Jenderal Besar. Yups, sepanjang sejarah TNI, hanya ada 4 orang yang mendapatkan gelar Jenderal Besar, yakni Sudirman, Urip Sumoharjo, A.H. Nasution, dan Suharto. Di ruangan ini, kita dapat melihat sejarah perjuangan dan beberapa koleksi dari keempat orang tersebut.
Sudah puas di Diorama I, kita menuju ke Diorama II. Ruangan ini masih berisikan tentang perjuangan mempertahankan kemerdekaan, terutama pada masa Agresi Militer Belanda. Selain itu, di ujung ruangan ini ada sejarah mengenai pasukan perdamaian Indonesia untuk PBB, yakni Kontingen Garuda (KONGA). Di ruangan ini juga dipamerkan tanda pangkat kemiliteran dari awal kemerdekaan hingga saat ini. Di sisi lain, terdapat ruangan terpisah yang berisikan fotofoto Panglima militer Indonesia sejak tahun 1945. Ah, namun disayangkan hingga tulisan ini dibuat, belum ada foto Panglima yang sekarang, Jenderal Gatot Nurmantyo. Pihak pengelola sepertinya belum memperbaharui informasi di museum ini.
Ternyata masih ada ruangan di bawah. Oke, kita lanjut turun ke lantai dasar. Di sini dipajang berbagai macam senjata yang pernah digunakan oleh TNI. Eh tidak boleh dimainin ya. Langka tuh. Puas melihat lihat senjata, hmmm senjata, kita akhirnya ke luar ruangan deh. Di lapangan depan, ada koleksi mobil, helikopter, dan pesawat. Bahkan ada pesawat Seulawah, yakni pesawat sumbangan rakyat Aceh untuk pemerintah Indonesia. Sesuatu sekali.
Setelah puas liat koleksi di luar, kita masuk lagi ke Diorama berikutnya. Di sini dipajang berbagai macam seragam militer dari semua angkatan bersenjata dan di ruangan berikutnya ada patung patung beberapa pejuang, terutama 7 jenderal korban Gerakan 30 September.
Ah kita harus ke luar lagi dari ruangan. Melanjutkan perjalanan, kita dapat melihat beberapa koleksi kendaraan yang digunakan dalam perang dan penumpasan PKI. Tidak terasa sudah kembali lagi ke pintu masuk. Di halaman depan museum, ada beberapa koleksi armada tempur juga, terutama KRI Macan Tutul yang terkenal itu. Lumayan buat koleksi foto. Kapan lagi kan ya. Berkunjung ke Museum Satria Mandala membuka wawasan tentang sejarah perjuangan TNI. Namun, saya merasa belum mendapatkan pengetahuan yang saya butuhkan. Hal ini mungkin dikarenakan Museum Satria Mandala tidak memberikan informasi secara lengkap tentang keseluruhan perjuangan TNI. Bahkan informasi tentang penumpasan Gestapu pun tidak dibahas. Lantas, mengapa museum ini disebut museum perjuangan TNI bila tidak seluruh perjuangannya dibahas? Mencurigakan. Melihat fenomena tersebut membuat saya tersadar bahwa pemerintah ternyata belum serius dalam hal mempromosikan pembelajaran sejarah, khususnya melalui museum. Yang saya inginkan dari museum di Jakarta adalah untuk mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Di Jakarta, terdapat dua museum serupa, yakni Museum Bhakti TNI di Cilangkap dan Museum Keprajuritan Indonesia di Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Alangkah lebih baik bila ketiga museum tersebut digabung menjadi satu agar dapat lebih mudah dikelola dan penikmat sejarah pun tidak perlu pergi ke tiga tempat yang berbeda demi mendapatkan sebuah informasi tentang sejarah TNI.
Selain itu, museum di Jakarta harus lebih ramah bagi para pengunjung, mulai dari akses menuju museum, suasana di dalam museum, hingga fasilitas penunjang seperti pendingin dan toilet. Penggunaan dua bahasa, Indonesia dan Inggris, di setiap diorama, contohnya, dapat menarik minat wisatawan asing yang ingin berkunjung. Hal tersebut nantinya secara tidak langsung menjadi strategi mempromosikan museum agar terus ramai dikunjungi. Jangan sampai museum di Jakarta justru sepi dan tidak terawat. Sungguh ironis bila banyak museum yang di museum kan. Sebagai penutup, mengutip perkataan Bung Karno, Jangan sekali kali meninggalkan sejarah karena Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri. #enjoyjakarta #enjoyjakmuseum #jakartatourism Sumber Foto: Dokumentasi Pribadi