BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENGANTAR I.1. Latar Belakang

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB I PENDAHULUAN. sendiri. Sebagai makhluk sosial manusia tumbuh bersama-sama dan mengadakan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terbiasa dengan perilaku yang bersifat individual atau lebih

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang diciptakan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia dikatakan makhluk sosial yang mempunyai akal pikiran di

BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan berketuhanan.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. dan tolong menolong. Memberikan pertolongan atau menolong sesama termasuk

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku altruistik adalah salah satu dari sisi sifat manusia yang dengan

EMPATI DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA ANAK

I. PENDAHULUAN. luput dari pengamatan dan dibiarkan terus berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemampuan untuk saling tolong-menolong ketika melihat ada orang lain yang

BAB 1 PENDAHULUAN. memberikan pertolongan yang justru sangat dibutuhkan.

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. secara bertahap yaitu adanya suatu proses kelahiran, masa anak-anak, remaja,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

KEMAMPUAN BEREMPATI DITINJAU DARI INTERAKSI TEMAN SEBAYA PADA ANAK USIA SEKOLAH

BAB I PENDAHULUAN. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di

BAB I PENDAHULUAN. budaya gotong royong yang dimiliki masyarakatnya sejak dahulu kala. Hal ini

UPAYA MENINGKATKAN PERILAKU PRO-SOSIAL MELALUI LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN METODE SOSIODRAMA. Arni Murnita SMK Negeri 1 Batang, Jawa Tengah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1) Pendidikan adalah Usaha sadar dan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kembar identik pun masih dapat dibedakan melalui sifat-sifat non-fisik yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. meluasnya lingkungan sosial. Anak-anak melepaskan diri dari keluarga dan

BAB I PENDAHULUAN. Semua ini membuat masyarakat semakin sadar akan pentingnya kesehatan dan

HUBUNGAN PERSEPSI POLA ASUH OTORITATIF DAN PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia selain sebagai makhluk pribadi, juga merupakan makhluk sosial.

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komponen dalam sistem pendidikan adalah adanya siswa, siswa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ada dimasyarakat dan biasanya dituntut untuk dilakukan (Staub, dalam Baron

PENGERTIAN TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN adalah tugas - tugas yang harus dilakukan oleh seseorang dalam masa-masa tertentu sesuai dengan norma-norma masyar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang dikaruniai banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Prososial. bersifat nyata (Sarwono, 2002). Di kehidupan sehari-hari terdapat berbagai macam

BAB I PENAHULUAN. lingkungan sosial, khususnya supaya remaja diterima dilingkungan temanteman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB I PENDAHULUAN. belajar mengenali kemampuan diri dan lingkungan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. lain baik orang terdekat seperti keluarga ataupun orang yang tidak dikenal, seperti

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan kemampuan siswa. Dengan pendidikan diharapkan individu (siswa) dapat

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori

BAB I PENDAHULUAN. ke arah positif maupun negatif, maka intervensi edukatif dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA KARANG TARUNA DI DESA JETIS, KECAMATAN BAKI, KABUPATEN SUKOHARJO NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

PENGARUH SOCIAL SKILL TRAINING TERHADAP KEMAMPUAN EMPATI ANAK USIA DINI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Pendidikan Keluarga (Membantu Kemampuan Relasi Anak-anak) Farida

BAB I PENDAHULUAN. proses perkembangan yang serba sulit dan masa-masa membingungkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara

BAB I PENDAHULUAN. antara sekianbanyak ciptaan-nya, makhluk ciptaan yang menarik, yang

BAB I PENDAHULUAN. interaksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas di masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan pepatah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Nilai kesetiakawanan,

BAB II LANDASAN TEORI. atau balasan. (Batson, 1991) Altruisme adalah sebuah keadaan motivasional

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan itu juga telah dipelajari secara mendalam. terjadi pada manusia, dan pada fase-fase perkembangan itu fase yang

I. PENDAHULUAN. bukan hanya dari potensi akademik melainkan juga dari segi karakter

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan ini pula dapat dipelajari perkembangan ilmu dan teknologi yang

III. METODE PENELITIAN. suatu keadaan atau situasi. Jenis penelitian eksplanatori tersebut sama

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi hampir bersamaan antara individu satu dengan yang lain, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja adalah individu yang unik. Remaja bukan lagi anak-anak, namun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan agama adalah hal yang penting sehingga harus tertanam kuat

Untuk Memenuhi sebagian persyaratan untuk mencapai derajat Magister Sains Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan satu jenis kecerdasan saja, karena kecerdasan merupakan kumpulan kepingan

BAB I PENDAHULUAN. sudut pandang saja. Sehingga istilah pacaran seolah-olah menjadi sebuah

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB IV PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Keluarga Nilai Anak

BAB I PENDAHULUAN. Proses timbulnya perilaku tersebut ialah ketika seseorang dalam suatu titik. perilaku yang dinamakan perilaku agresif.

BAB I PENDAHULUAN. bersifat fisik maupun rohani (Ahid, 2010: 99). Beberapa orang juga

BAB I PENDAHULUAN. penuh keramahan. Namun akhir-akhir ini banyak ahli yang harus berpikir

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. manusia perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan. dari mereka sulit untuk menyesuaikan diri dengan baik.

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya Indonesia sangat menjunjung tinggi perilaku tolong - menolong,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak merupakan seorang individu dengan ciri khusus yang dalam

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasar kan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kekayaan sumber daya alam di masa depan. Karakter positif seperti mandiri,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan individu

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN Remaja pada dasarnya dalam proses perkembangannya membutuhkan penyesuaian diri terhadap lingkungan. Remaja juga mulai belajar serta mengenal pola-pola sosial salah satunya adalah perilaku prososial untuk dapat diterima dalam masyarakat. Pada bab I ini akan dibahas mengenai latar belakang penulis ingin melakukan penelitian tentang Pola Asuh Authoritative dan Kecerdasan Emosional sebagai prediktor Perilaku Prososial siswa ditinjau dari jenis kelamin. 1.1 Latar Belakang Remaja dalam kehidupannya tumbuh serta berkembang untuk mencapai kondisi fisik dan sosial psikologis yang lebih baik. Pada remaja kebutuhan interaksi sosial telah cukup luas, mulai mengenal norma sosial, dan memahami pola-pola sosial yang ada dalam masyarakat, salah satunya adalah perilaku prososial. Perilaku Prososial sangat diperlukan oleh remaja pada saat-saat ini. Remaja merupakan generasi penerus bangsa, apabila mereka tidak mencerminkan perilaku prososial yang baik, maka mereka tidak akan memiliki rasa peduli kepada masyarakat (Edison, 2005). Bangunan perilaku dan kesanggupan memberikan manfaat bagi orang lain, oleh Eisenberg & Mussen (1989) disebut sebagai perilaku prososial. Para ahli menemukan bahwa anak-anak yang memiliki tingkat prososial yang tinggi cenderung memiliki pribadi yang positif serta memiliki karkteristik sosial yang lebih baik diantaranya pengambilan perspektif yang lebih tinggi, logika moral yang baik, simpati, pengaturan diri, serta dapat dipercaya atau dapat diandalkan, tingkat agresi yang rendah, serta memiliki hubungan timbal balik dengan orang tua mereka secara baik (Damon & Eisenberg, 2006). 1

Perilaku Prososial berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat karena tidak dapat dipungkiri manusia merupakan makhluk sosial (Hall & Campbell, 1998). Manusia dalam kehidupan sehari-hari akan saling membutuhkan satu dengan yang lain. Setinggi apapun kemandirian seseorang, pada saat tertentu tetap memerlukan bantuan dari orang lain. Manusia juga selayaknya memahami bahwa dalam hidup ini tidak selamanya berjalan seperti yang direncanakan, seringkali juga akan mengalami kesulitan, di saat seperti inilah seseorang membutuhkan orang lain untuk membantu lepas dari kesulitan. Agar mendapat pertolongan, seharusnya manusia sebagai mahkluk sosial juga bersedia untuk menolong orang lain yang sedang mengalami kesulitan. Pada era yang serba modern yang meliputi segenap dimensi kehidupuan manusia menyebabkan terjadinya pergeseran pada pola interaksi antar manusia serta berubahnya nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat. Interaksi antar manusia menjadi semakin longgar dan kontak sosial yang terjadi menjadi semakin rendah kualitas dan kuantitasnya. Kemajuan teknologi menjadikan sikap manusia semakin individual dan sikap sosial yang dimiliki individu juga menjadi semakin luntur (Purnamasari dkk., 2004). Ada berbagai hasil penelitian yang menunjukkan rendahnya tingkat Perilaku Prososial. Penelitian Nufus (2012) menunjukkan rendahnya perilaku prososial remaja, dan menemukan bahwa sebagian santri di pesantren Nurul Ummah, Kotagede, Yogyakarta semakin individual. Kasus yang lain yang terjadi adalah seorang wanita yang terluka dalam suatu kecelakaan di jalan tol yang ramai, sejumlah pengemudi melewati wanita tersebut saat masih berbaring di samping mobilnya, tetapi tidak ada yang berhenti atau bahkan hanya melaporkan masalah kecelakaan tersebut (Baron & Byrne, 2005). 2

Selain itu ada data tentang rendahnya Perilaku Prososial remaja, hal ini ditunjukkan dari data tawuran remaja di Indonesia. Pada 2010, setidaknya terjadi 128 kasus tawuran antar pelajar. Angka itu melonjak tajam lebih dari 100% pada 2011, yakni 330 kasus tawuran yang menewaskan 82 pelajar. Pada Januari-Juni 2012,telah terjadi 139 tawuran yang menewaskan 12 pelajar, (http://tvonenews.tv/arsip/view/62132/2012/09/27/) yang diunduh pada 15 September 2016. Penelitian tentang Perilaku Prososial ini dilakukan pada siswa kelas XI dan XII SMU Masehi Kudus. SMU Masehi Kudus didirikan oleh Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) Kudus melalui Yayasan Bina Pelayanan Masehi (YBPM) Kudus atas ijin pemerintah. Hasil wawancara dengan guru bimbingan konseling pada (20/8/2016) menunjukkan bahwa ada beberapa fenomena terkait dengan Perilaku Prososial siswa kelas XI dan XII SMU Masehi Kudus diantaranya adalah: sebagian siswa kurang memiliki kesadaran untuk membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan. Mereka juga memiliki sikap acuh tak acuh kepada teman yang sedang mengalami kesulitan. Mereka berpikir bahwa mereka sudah punya masalah sendiri dan tidak perlu lagi membuang waktu dan tenaga untuk membantu orang lain. Ada juga beberapa siswa yang kurang memiliki rasa peduli terhadap lingkungan sekolah, banyak siswa yang suka membuang sampah sembarangan. Kondisi ini membuat guru merasa prihatin dengan keadaan tersebut. Hal lain yang diungkapkan oleh Guru Bimbingan Konseling pada saat wawancara yaitu berkaitan dengan kegiatan perayaan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-71 pada tanggal 17 Agustus 2016, pada waktu diadakan lomba permainan antar kelas untuk memeriahkan perayaan kemerdekaan yang diadakan di lapangan sekolah, Guru Bimbingan 3

Konseling menemukan bahwa setiap kali diadakan acara semacam itu, di mana sebagian anggota kelas pada masing-masing kelas sedang mewakili kelas mereka untuk menjadi peserta dalam perlombaan permainan kreatif antar kelas, anggota kelas lainnya yang tidak mengikuti lomba pada masingmasing kelas, mereka ingin tetap tinggal di dalam kelas masing-masing, umumnya mereka bermain dengan handphone atau sekedar duduk diam di dalam kelas. Pihak sekolah memutuskan untuk mengosongkan setiap kelas, serta semua handphone ditinggal didalam kelas, supaya semua siswa turun ke lapangan sekolah dan turut berpartisipasi dengan teman mereka yang sedang berlomba. Dari sini terlihat bahwa mereka kurang memiliki perilaku prososial. Selain itu dilakukan juga wawancara terhadap beberapa siswa, hasilnya mereka banyak yang mengeluhkan perilaku teman-teman mereka yang tidak menunjukkan Perilaku Prososial, yaitu sebagian siswa selalu membentuk kelompok kecil atau geng dan hanya mau bermain serta bekerjasama dengan kelompok mereka saja. Atas dasar fenomena-fenomena tersebut dapat dikatakan ada masalah prososial di antara siswa-siswa kelas XI dan XII tersebut. Oleh sebab itu, penulis menganggap penting untuk melakukan penelitian tentang Perilaku Prososial siswa kelas XI dan XII di SMU Masehi Kudus. Perilaku prososial sangat penting bagi anak-anak yang sedang tumbuh menuju remaja, saat di mana remaja mulai mampu membangun suatu relasi untuk peranan baru yang harus di negosiasikan ulang dalam kaitan pertumbuhan mereka kepada dunia remaja yang lebih luas dibandingkan pada fase anak-anak. Perilaku Prososial juga berguna bagi remaja untuk mendefinisikan ulang berkaitan dengan tanggung jawab yang akan diberikan orang tua bagi dirinya sebagai bagian dari suatu keluarga (Steinberg et al., 1994). Anak-anak yang memiliki tingkat prososial yang tinggi cenderung memiliki pribadi yang positif serta memiliki karkteristik sosial yang lebih 4

baik diantaranya pengambilan perspektif yang lebih tinggi, logika moral yang lebih baik baik, simpati, pengaturan diri, serta dapat dipercaya atau dapat diandalkan, tingkat agresi yang rendah, serta memiliki hubungan timbal balik dengan orang tua mereka secara baik (Eisenberg et al., 1995). Penelitian di bidang Perilaku Prososial yang difokuskan konteks teman sebaya pada anak-anak, ditemukan bahwa rumah atau keluarga menjadi tempat yang sangat penting untuk menumbuhkan Perilaku Prososial pada anak-anak (Eberly & Montemayor, 1999). Carlo & Randal (2002) menemukan bahwa Prososial sangat diperlukan bagi siswa menambah motivasi, rasa simpati terhadap sesama, membantu dalam proses belajar di sekolah. Penelitian lain tentang prososial dilakukan Walker et al., (2015) ditemukan bahwa Perilaku Prososial sangat penting bagi siswa. Adanya Perilaku Prososial yang baik akan mengurangi perilaku negatif di sekolah misalnya; tawuran, putus sekolah, dan kegagalan akademik. Lebih lanjut Laible et al., (2014) menemukan Perilaku Prososial yang baik di sekolah akan menghindarkan siswa dari perilaku bullying dan konflik antar siswa. Faktor-faktor yang memengaruhi Perilaku Prososial adalah: Pemerolehan diri, norma-norma, dan empati Staub (1979); sedangkan faktor yang lain adalah Pola Asuh Authoritative (Baumrind, 1991), intelegensi, persepsi terhadap kebutuhan orang lain, Kecerdasan Emosional (Eissenberg & Mussen, 1989), jenis kelamin (Baron et al., 2006). Dari sejumlah faktor yang disebutkan, penulis memilih Pola Asuh Authoritative dan Kecerdasan Emosional ditinjau dari jenis kelamin. Pemilihan variabel ini tidak bermaksud untuk mengabaikan variabel yang lain, melainkan berdasarkan pada beberapa pendapat. Dalam Pola Asuh Authoritative yang ditonjolkan adalah adanya kombinasi kontrol dan dukungan kuat dari orang tua terhadap 5

anak-anaknya. Ditemukan bahwa Pola Asuh Authorithative memiliki korelasi yang sangat kuat dengan Perilaku Prososial pada remaja r= 0,840 (Carlo et al., 1998). Unsur-unsur yang sangat penting didalam Pola Asuh Authorithative adalah adanya kehangatan kasih sayang orang tua dengan anak secara timbal balik serta adanya internalisasi aturan yang baik dari orang tua dan bisa diterima dan dimengerti oleh anak-anak mereka. Ditemukan bahwa kehangatan kasih sayang dan hubungan anak dengan orang tua mereka berkorelasi positif dengan perilaku prososial pada masa remaja (Robinson et al.,1996). Pengaturan diri yang dibuat oleh orang tua terhadap anak-anaknya melalui penalaran yang baik serta hubungan yang mendalam antara anak dan orang tua akan menghasilkan korelasi yang positif terhadap perilaku prososial pada remaja (Yarrow &Waxler, 1984). Pola Asuh Authoritative yaitu peranan sosialisasi orang tua kepada anak dalam bentuk penanaman nilai yang konsisten dari orang tua kepada anak-anak yang didukung oleh kehangatan kasih serta keterlibatan orang tua dengan anak untuk memberikan pertolongan dan dukungan kepada anakanak akan berdampak kepada Perilaku Prososial pada anak-anak (Hetherington & Parke,1999). Kehangatan hubungan afeksi antara anak dan orang tua yang merupakan dimensi penting dalam Pola Asuh Authoritative juga menjadi pemicu munculnya Perilaku Prososial pada anak-anak dan remaja (Staub, 1979). Baumrind (1966) mengatakan bahwa Pola Asuh Authoritative sangat membantu anak-anak dalam rangka memberikan kontrol dan pengarahan kepada perilaku mereka, memberikan kebebasan pendapat, menghargai individualitas anak, serta mengembangkan tanggung jawab dan kompetensi sosial. Kompetensi sosial akibat Pola Asuh Authoritative inilah yang kemudian menjadi bekal ketrampilan untuk bergaul dengan teman sebaya dilingkungan sosialnya. Melalui kompetensi sosial yang dimilikinya 6

mereka mengembangkan perilaku prososial untuk membantu teman sebaya mereka yang mengalami kesulitan, bekerja sama, ramah, stabil secara emosional dan bahagia. Selain faktor Pola Asuh Authoritative, Kecerdasan Emosional juga menjadi faktor lain yang sangat penting bagi terbentuknya perilaku prososial pada anak-anak dan remaja. Penelitian Charbonneau & Nicol (2002) menemukan adanya hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Perilaku Prososial r= 0,780, dengan kata lain Kecerdasan Emosional adalah salah satu faktor yang sangat signifikan terhadap perkembangan perilaku prososial pada anak dan remaja. 134 remaja dimasukkan dalam kamp pelatihan kecerdasan emosional, hasilnya ditemukan adanya hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku prososial. Adanya hasil penelitian terdahulu tentang perbedaan jenis kelamin terhadap perilaku prososial yang bervariasi, maka penulis tertarik untuk melihat kembali pengaruh jenis kelamin terhadap perilaku prososial pada siswa laki-laki dan perempuan kelas XI dan XII di SMU Masehi Kudus. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rosli (2014) menunjukkan bahwa pola asuh yang didalamnya adalah Pola Asuh Authoritative, Kecerdasan Emosional yang mencakup bagaimana seseorang dapat mengendalikan emosi, dan perilaku yang di dalamnya mencakup Perilaku Prososial hasilnya menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan dari tiga variabel tersebut. Penelitian yang hasilnya berbeda dilakukan oleh Altay & Güre a (2012) bahwa ada hubungan yang positif signifikan antara Pola Asuh Authoritative, kecerdasan sosial yang di dalamnya termasuk juga bagaimana seseorang mengelola emosi yang termasuk dalam dimensi kecerdasan emosional. Hasil penelitian didukung oleh Husada (2013) yang menunjukkan bahwa variabel pola asuh demokratis yang juga disebut Pola 7

Asuh Authoritative Dan Kecerdasan Emosi berkorelasi sangat signifikan dengan Perilaku Prososial remaja. Penelitian oleh Baumrind (1991) menemukan bahwa pola asuh authoritative secara signifikan dan positif berhubungan dengan perilaku prososial. Pola asuh authoritative memberikan kebebasan dan tanggung jawab pada anak serta kompetensi sosial, jadi kebebasan yang diberikan pada anak masih dikontrol dan anak diajarkan untuk bertanggung jawab. Kompetensi sosial inilah yang menjadi bagian dari perilaku prososial yaitu perilaku berbagi dengan teman, menawarkan bantuan, memberikan pujian dan penghargaan pada teman sebaya. Mahmud (2003) juga menemukan bahwa pola asuh authoritative berhubungan signifikan dengan perilaku prososial yaitu dapat menghasilkan anak yang mampu bersosialisasi, mampu bekerjasama, ramah, stabil, secara emosional dan merasa bahagia. Hasil penelitian ini didukung oleh Mulyani (2005) bahwa hubungan positif signifikan pola asuh authoritative dengan intensitas prososial, semakin tinggi tingkat pola asuh authoritative maka semakin tinggi pula intensitas prososial. Hasil penelitian mengenai kecerdasan emosional dengan perilaku prososial yang dilakukan oleh Marquez et al., (2006) menemukan bahwa siswa yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tinggi, juga memiliki perilaku prososial yang baik serta menunjukkan prestasi yang baik di sekolah. Hal lain yang menarik untuk diteliti adalah jenis kelamin yaitu siswa yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Penner et al., (2005) menemukan bahwa perilaku prososial sangat dipengaruhi oleh jenis kelamin dan kediaman mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Torstveit et al., (2016) menemukan bahwa perempuan memiliki tingkat prososial yang tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Namun ada hasil penelitian yang berbeda 8

dilakukan oleh Afolabi (2013) bahwa tidak ada perbedaan perilaku prososial antara laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian ini didukung oleh Abdullahi dan Kumar (2016) bahwa dalam penelitian mereka juga tidak menemukan adanya perbedaan jenis kelamin dalam perilaku prososial. Beberapa penelitian tentang jenis kelamin juga pernah dilakukan dan hasilnya menyatakan bahwa ada perbedaan jenis kelamin. Penelitian yang dilakukan Lehdonvirta et al., (2011) bahwa perempuan memberikan dukungan emosional lebih besar daripada laki-laki. Namun hasil penelitian yang berbeda diungkapkan oleh Carlo & Randal (2002) bahwa laki-laki mempunyai kecenderungan yang lebih tinggi dalam perilaku prososial dibandingkan perempuan. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Dayakisni & Hudaniah (2009) bahwa laki-laki cenderung berani untuk menawarkan bantuan dalam situasi darurat ataupun berbahaya daripada perempuan. Dari hasil-hasil penelitian dan fenomena pada siswa kelas XI dan XII SMU Masehi Kudus yang melatarbelakangi penulis melakukan penelitian mengenai Pola Asuh Authoritative, dan Kecerdasan Emosional sebagai prediktor Perilaku Prososial siswa kelas XI dan XII SMU Masehi Kudus. Meski peubah yang akan diteliti dalam penelitian ini memiliki sejumlah kesamaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, tetapi yang membedakan adalah subyek penelitiannya, dalam hal ini adalah siswa kelas XI dan kelas XII SMU Masehi Kudus yang semuanya tinggal dengan orang tua mereka di wilayah kabupaten Kudus dan juga SMU Masehi Kudus adalah sekolah Kristen yang berada di daerah masyarakat yang mayoritas bukan Kristen. Sepengetahuan penulis di SMU Masehi Kudus belum pernah dilakukan penelitian dengan topik yang diangkat oleh penulis. 1.2 Rumusan Masalah 9

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut; 1. Apakah Pola Asuh Authoritative dan Kecerdasan Emosional secara simultan maupun sendiri-sendiri menjadi prediktor Perilaku Prososial pada siswa kelas XI dan XII SMU Masehi Kudus? 2. Apakah ada perbedaan Perilaku Prososial ditinjau dari jenis kelamin siswa SMU Masehi Kudus kelas XI dan XII? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian adalah: 1. Menentukan pengaruh Pola Asuh Authoritative dan Kecerdasan Emosional secara simultan maupun masing-masing terhadap perilaku Prososial Siswa kelas XI dan XII SMU Masehi Kudus. 2. Menentukan perbedaan Perilaku Prososial siswa kelas XI dan XII SMU Masehi Kudus ditinjau dari jenis kelamin. 1.4 Manfaat Penelitian Sesuai dengan dengan tujuan penelitian, maka penelitian diharapkan memberi manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris dan menjadi salah satu referensi teori di bidang psikologi perkembangan, kepribadian dan sosial serta pendidikan perilaku prososial, khususnya pada masa remaja. 10

2. Manfaat Praktis a. Bagi praktisi pendidikan di sekolah menengah Memberikan informasi hubungan antara pola asuh authoritative, kecerdasan emosional sebagai prediktor perilaku prososial. b. Bagi orang tua dan masyarakat secara umum Memberikan wacana mengenai hubungan antara Pola Asuh Authoritative, Kecerdasan Emosional sebagai prediktor Perilaku Prososial untuk menjadi referensi dalam bersikap terhadap faktorfaktor tersebut dalam kehidupan sehari-hari. 1.5 Sistematika Penulisan Untuk memperoleh pembahasan yang sistematis, penulis menyusun tulisan ini menjadi beberapa bab yang terdiri dari; Bab I, dalam bab ini akan dipaparkan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. 11

Bab II, dalam bab ini akan dipaparkan mengenai teori dan definisi konsep Perilaku Prososial, Pola Asuh Authoritative, Kecerdasan Emosional, pengembangan hipotesis dan model penelitian. Bab III, dalam bab ini akan dipaparkan mengenai variabel penelitian, definisi operasional, alat ukur penelitian, populasi, sampel, teknik penentuan, sampel, validitas, reliabilitas, dan teknik analisis data. Bab IV, dalam bab ini akan dipaparkan mengenai deskripsi penelitian, karakteristik responden, diskripsi hasil pengukuran variabel penelitian, hasil uji asumsi, hasil analisis data dan diskusi terhadap hasil penelitian. Bab V, dalam bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian yang merupakan jawaban dari persoalan penelitian. Kesimpulan tersebut kemudian dijadikan dasar saran atas penelitian yang telah dilakukan. 12