1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke sebagaimana pernyataan Iskandar (2004) Stroke sering menimbulkan permasalahan yang kompleks, baik dari segi kesehatan, ekonomi, dan sosial, serta membutuhkan penanganan yang komprehensif dalam waktu yang lama bahkan sepanjang hidup pasien. Penyebab stroke seperti yang diungkapkan oleh Smeltzer (2002), diakibatkan oleh salah satu dari empat kejadian: trombosis, embolisme serebral, iskhemia, dan hemoragi serebral. Penyebab stroke yang lain jarang terjadi seperti cacat bawaan pada dinding pembuluh darah atau kelainan pada sistem pembekuan darah (Mulyatsih & Ahmad, 2008). Stroke ada yang menampakkan gejala, ada juga tidak (stroke tanpa gejala disebut silent stroke), tergantung pada tempat dan ukuran kerusakan (Feigin, 2006). Sekitar 90% pasien yang terserang stroke tiba-tiba mengalami kelemahan atau kelumpuhan setengah badan. Gejala neurologis yang timbul tergantung pada berat gangguan pembuluh darah dan lokasinya. Gejala klinis stroke akut dapat berupa perubahan status mental, gangguan penglihatan, afasia, vertigo, mual-muntah, nyeri kepala dan penurunan fungsi motorik (Mansjoer, 2007). Dengan adanya perubahan tersebut, mobilitas penderita stroke akan mengalami penurunan aktivitas seperti kelemahan menggerakkan kaki, kelemahan menggerakkan tangan, ketidakmampuan bicara dan ketidakmampuan fungsi-fungsi motorik lainnya.
2 Stroke sebagai salah satu penyakit gangguan pembuluh darah otak dapat mengakibatkan cacat fisik yang disebut hemiplegy (kelumpuhan separo), 80-85% penderita stroke adalah stroke tipe iskemik yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Sel-sel saraf yang mengalami iskemik, 80% akan mengalami kerusakan irreversible dalam beberapa menit. Otak tidak bisa menyimpan darah atau oksigen dan membutuhkan pasokan konstan untuk berfungsi secara normal. Otak membutuhkan arteri yang membawa darah dan oksigen. Ketika arteri diblokir sel-sel otak tidak berfungsi dan mati dengan cepat. Itu sebabnya stroke iskemik mengarah pada beberapa komplikasi seperti gangguan fisik misalnya kehilangan fungsi motorik berupa hemiplegi, dan hemiparese. Kehilangan fungsi komunikasi berupa disartria, afasia, aprasia. Menurut WHO (2008), lima belas juta orang di seluruh dunia terserang stroke setiap tahun, lima belas juta meninggal dan lima belas juta lainnya menderita kecacatan. Secara global sekitar 80 juta orang menderita akibat stroke, terdapat sekitar 10 juta korban stroke baru setiap tahun, dimana sekitar 5 juta diantaranya meninggal dalam 12 bulan setelah stroke, sepertiga mengalami cacat permanen dengan berbagai tingkatan dan sepertiga lainnya memperoleh kembali kemandiriannya (Arif M, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Behavioral Risk Factor Surveillance System (BRFSS) di Amerika Serikat tahun 2005, prevalensi penduduk Amerika yang terserang stroke adalah 2,6% atau sekitar 5.839.000 orang. Prevalensi stroke meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada usia 18-44 tahun prevalensinya meningkat sebesar 0,8% dan pada usia 65 tahun ke atas meningkat 8,1% (Neyer, 2007). Angka kejadian stroke di Indonesia meningkat tajam.
3 Saat ini Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia (Yastroki, 2007). Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 prevalensi stroke di Indonesia 8,3 per 1.000 penduduk. Jumlah total penderita stroke di Indonesia diperkirakan 500.000 setiap tahun. Dari jumlah penderita itu sekitar 2,5% atau 250.000 orang, 2 diantaranya meninggal dan sisanya cacat ringan maupun lumpuh berat (Japardi dan Iskandar, 2007). Dari jumlah klien stroke, 10% klien dapat kembali bekerja tanpa kelemahan, 40% penyandang cacat ringan dan 50% penyandang cacat berat. Untuk itu klien stroke membutuhkan program rehabilitasi (Sugiarto, 2004 dalam Widodo, 2009). Rehabilitasi ini dapat dilakukan jika telah melewati fase akut, yaitu pada 2-4 minggu atau setelah serangan stroke melewati hari ke 7 (Gordon, 2002). Program rehabilitasi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang terpadu dengan pendekatan medik, psikososial, educational-vocational yang melibatkan multidisiplin. Hal ini dikarenakan, terapi dan rehabilitasi yang tepat dapat secara signifikan meningkatkan peluang kelangsungan hidup pasien serta pemulihannya setelah stroke (Widodo, 2009). Ini dibuktikan oleh penelitian-penelitian Pasific University di Oregeon bahwa satu bulan rehabilitasi yang intensif, termasuk latihan-latihan fisik yang dilakukan pada kapasitas fungsional penderita stroke memberikan hasil positif (Gordon, 2000). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kwakkel (2007) systematic review, task oriented exercise training memiliki pengaruh kecil hingga sedang pada kemampuan motorik penderita stroke, terutama jika dilakukan secara intensif dan lebih dini. Dengan pemulihan secara terpadu dan sedini mungkin maka semakin besar kemungkinan pengembalian fungsi, juga komplikasi akibat
4 imobilisasi dapat dicegah dan kecacatan lebih lanjut dapat dihindari sehingga dapat mandiri tanpa tergantung pada orang lain (Harsono, 2005). Salah satu bentuk rehabilitasi awal pada penderita stroke adalah dengan memberikan terapi ambulasi. Ambulasi dini merupakan tahapan kegiatan yang dilakukan segera pada pasien stroke dimulai dari bangun dan duduk di sisi tempat tidur, sampai pasien turun dari tempat tidur, berdiri dan mulai belajar berjalan dengan bantuan alat sesuai kondisi pasien (Roper, 2002). Latihan gerak aktif pada lengan yang sakit atau lumpuh dengan bantuan tangan yang sehat dapat memperbaiki kesadaran posisi lengan (Subianto, 2012). Selain positioning penderita dilatih untuk segera mobilisasi dini karena dengan mobilisasi akan merangsang integrasi neurologik dan merupakan latihan luas gerak sendi yang sangat baik, sehingga memungkinkan perbaikan fungsi sensori motorik untuk melakukan pemetaan ulang di area otak yang mengalami kerusakan. Penanganan yang dini pada penderita stroke akan dapat memberikan hasil yang baik. Berdasarkan data dari studi pendahuluan yang peneliti lakukan di Rumah Sakit Wava Husada Kepanjen jumlah pasien stroke Oktober Desember tahun 2012 sebanyak 117 pasien, sedangkan pada bulan Januari Agustus tahun 2013 jumlah pasien stroke sebanyak 355 pasien. Jumlah penderita stroke satu bulan terakhir sebanyak 30 pasien. Pasien yang dirawat hanya mendapatkan pengobatan sampai keadaan pasien lewat dari masa akut dan belum ada terapi lanjutan sehingga pasien masih belum bisa berjalan, maka dari itu pasien stroke ini membutuhkan terapi salah satunya adalah Terapi Latihan Ambulasi yang dikenal dengan exercise therapy ambulation.
5 Berdasarkan latar belakang di atas maka peran perawat sangat dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan fisik dan kemampuan fungsional serta mencegah permasalahan yang mungkin muncul pada penderita stroke. Dari permasalahan tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tentang Efektivitas Terapi Latihan Ambulasi Terhadap Tingkat Mobilitas Pasien Stroke di Rumah Sakit Wava Husada Kepanjen. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas maka yang ingin peneliti ketahui adalah Apakah Terapi Latihan Ambulasi efektif terhadap tingkat mobilitas pasien stroke di RS Wava Husada Kepanjen?. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum : Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui efektivitas Terapi Latihan Ambulasi terhadap tingkat mobilitas pasien stroke di RS Wava Husada Kepanjen. 1.3.2 Tujuan Khusus : Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mendeskripsikan tingkat mobilitas pasien stroke di RS Wava Husada Kepanjen sebelum diberikan terapi latihan ambulasi. 2. Mendeskripsikan tingkat mobilitas pasien stroke di RS Wava Husada Kepanjen sesudah diberikan terapi latihan ambulasi. 3. Menganalisis tingkat mobilitas sebelum dan sesudah Terapi Latihan Ambulasi diberikan pada pasien stroke di RS Wava Husada Kepanjen. 4. Mengetahui efektivitas terapi latihan ambulasi terhadap tingkat mobilitas pada pasien stroke di RS Wava Husada Kepanjen.
6 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan Dapat menambah pengetahuan dan informasi tentang rehabilitasi dan terapi latihan yang dapat digunakan untuk penderita stroke khususnya mengenai terapi latihan ambulasi terhadap tingkat mobilitas pasien stroke dan mencegah kecacatan lebih lanjut. 1.4.2 Bagi Rumah Sakit Dapat memberikan tambahan informasi dan masukan bagi pihak Rumah Sakit dalam pelaksanaan terapi latihan untuk meningkatkan mobilitas pada penderita stroke, salah satunya dengan memberikan terapi latihan ambulasi (exercise therapy ambulation). 1.4.3 Bagi Perawat Dapat dijadikan sebagai masukan dalam memberikan pelayanan dan Asuhan Keperawatan yang sesuai bagi pasien stroke sehingga mendukung penatalaksanaan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan. 1.4.4 Bagi Klien Mempercepat proses pemulihan pada pasien stroke dengan memaksimalkan kembali kerja otot sehingga mampu meningkatkan kemampuan mobilitas pasien dan mencegah kecacatan serta dapat mandiri tanpa ketergantungan. 1.4.5 Bagi Peneliti Menambah dan memperluas wawasan serta pengetahuan baru tentang terapi latihan pada pasien stroke yang diharapkan dapat diaplikasikan secara langsung pada pelayanan kesehatan.
7 1.5 Keaslian Penelitian 1. Rendra Subianto (2012). Pengaruh Latihan Rom (Range Of Motion) Terhadap Perubahan Mobilisasi Pada Pasien Stroke. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pra eksperimental design dengan one group pre dan post test design. Teknik pengambilan data adalah Consecutive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan mengukur kelompok perlakuan sebelum mendapat perlakuan, memberikan perlakuan, mengukur kelompok perlakuan setelah mendapat perlakuan. Hasil penelitian didapatkan dari 20 responden hampir semua responden mengalami perubahan mobilisasi. Dimana untuk ketergantungan mobilisasi berat turun dengan rata-rata ketergantungan berat sampai ketergantungan sedang, dan untuk ketergantungan mobilisasi ringan terjadi peningkatan dengan rata-rata ketergantungan sedang sampai ketergantungan ringan. Persamaannya pada desain penelitian dan variabel yang diteliti yaitu mobilitas pasien stroke. Perbedaan dengan penelitian ini adalah metode penelitian, subjek, tempat, waktu dan variabel penelitian yaitu Terapi Latihan Ambulasi. 2. Wina Yulinda (2009). Pengaruh Empat Minggu Terapi Latihan Pada Kemampuan Motorik Penderita Stroke Iskemia Di RSUP H. Adam Malik Medan. Desain Penelitian ini menggunakan metode prospektif observasional (kohort) tanpa kelompok control. Teknik pengambilan data adalah consecutive sampling. Pengumpulan data menggunakan data sekunder dan data primer. Hasil penelitian didapatkan ada perbedaan signifikan antara kemampuan motorik awal setelah empat minggu terapi latihan, baik diukur menggunakan indeks Barthel maupun MMT. Perbedaan dengan
8 penelitian ini adalah terapi yang digunakan, subjek, tempat, waktu, dan variabel penelitian. 3. Wayan Darsana (2009). Pengaruh ROM Terhadap Peningkatan Kemandirian Pasien Hemiparese Dekstra Pasca Stroke Non-Hemoragik di RSUD Sanjiwani Gianyar. Penelitian ini dilaksanakan dengan metode Pra Eksperiment Design dengan pengambilan sampel secara purposive sampling. Sampel diambil dari pasien yang mengalami stroke yang dirawat di Ruang Sahadewa RSUD Sanjiwani Gianyar. Perbedaan dengan penelitian ini adalah peneliti melakukan penelitian tentang tingkat mobilitas pasien stroke setelah dilakukan terapi latihan ambulasi, sedangkan penelitian Wayan Darsana meneliti peningkatan kemandirian pasien stroke, perbedaan yang lain adalah metode pnelitian, terapi, subjek, tempat, dan waktu penelitian.