BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. dahulu dihitung faktor-faktor bahaya erosi yang terjadi di Sub DAS Bekala.

BAB V ANALISIS SEDIMEN DAN VOLUME KEHILANGAN AIR PADA EMBUNG

Bab ini berhubungan dengan bab-bab yang terdahulu, khusunya curah hujan dan pengaliran air permukaan (run off).

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode Universal Soil Loss Equation (USLE)

BAB III LANDASAN TEORI. Jika dirumuskan dalam suatu persamaan adalah sebagai berikut : R=.(3.1) : curah hujan rata-rata (mm)

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode USLE

METODOLOGI PENELITIAN

Prosiding Seminar Nasional INACID Mei 2014, Palembang Sumatera Selatan

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode Universal Soil Loss Equation (USLE)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di DAS Hulu Mikro Sumber Brantas, terletak di Desa

Teknik Konservasi Waduk

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN

PRAKTIKUM RSDAL VI PREDIKSI EROSI DENGAN METODE USLE DAN UPAYA PENGENDALIANNYA

EROSI DAN SEDIMENTASI

MENENTUKAN PUNCAK EROSI POTENSIAL YANG TERJADI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LOLI TASIBURI DENGAN MENGGUNAKAN METODE USLEa

Rd. Indah Nirtha NNPS. Program Studi Teknik Lingkungn Fakultas Teknis Universitas Lambung Mangkurat

TINJAUAN PUSTAKA. erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KONDISI BEBERAPA KOMPONEN HIDROLOGI PADA TEGAKAN SENGON WURI HANDAYANI DAN EDY JUNAIDI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Hujan memiliki peranan penting terhadap keaadaan tanah di berbagai

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode MUSLE

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

MENENTUKAN LAJU EROSI

Erosi. Rekayasa Hidrologi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pengamatan dalam 5 kali periode hujan pada lahan pertanian jagung dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

KAJIAN EROSI TANAH DENGAN PENDEKATAN WISCHMEIER PADA DAS KALIMEJA SUBAIM KECAMATAN WASILE TIMUR KABUPATEN HALMAHERA TIMUR

ANALISA UMUR KOLAM DETENSI AKIBAT SEDIMENTASI (Studi Kasus Kolan Detensi Ario Kemuning Palembang )

BAB II FAKTOR PENENTU KEPEKAAN TANAH TERHADAP LONGSOR DAN EROSI

: Curah hujan rata-rata (mm) : Curah hujan pada masing-masing stasiun (mm) : Banyaknya stasiun hujan

BAB III LANDASAN TEORI

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Letak, Batas, dan Luas Daerah Penelitian. Sungai Oyo. Dalam satuan koordinat Universal Transverse Mercator

DAFTAR ISI Keaslian Penelitian... 4

IV. Hasil dan Pembahasan. pada Gambar 2 dan data hasil pengamatan disajikan pada Tabel 3.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Erosi

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xiii

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

2. TINJAUAN PUSTAKA Aliran Permukaan

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

(sumber : stasiun Ngandong dan stasiun Pucanganom)

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

geografi Kelas X PEDOSFER II KTSP & K-13 Super "Solusi Quipper" F. JENIS TANAH DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan manusia semakin lama

1/3/2017 PROSES EROSI

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

Lampiran 1 Analisis hubungan debit aliran dengan tinggi muka air di Sub DAS Melamon

LAMPIRAN. Lampiran 1. Data Jumlah Curah Hujan (milimeter) di Stasiun Onan Runggu Periode Tahun

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih baik. Menurut Bocco et all. (2005) pengelolaan sumber daya alam

%$be PEWGARUH EROSl DAN SEDIMENTASI TERHADAP UMUR WADUK SAGULONG

%$be PEWGARUH EROSl DAN SEDIMENTASI TERHADAP UMUR WADUK SAGULONG

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode penelitian adalah cara yang digunakan untuk melakukan

PENDUGAAN TINGKAT SEDIMEN DI DUA SUB DAS DENGAN PERSENTASE LUAS PENUTUPAN HUTAN YANG BERBEDA

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. Metode yag digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksploratif.

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal

HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakteristik Wilayah Desa Gunungsari. Desa Gunungsari Kecamatan Bansari terletak di lereng gunung Sindoro pada

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ZONASI TINGKAT ERODIBILITAS TANAH PADA AREA REKLAMASI TAMBANG PT. BHARINTO EKATAMA KABUPATEN KUTAI BARAT KALIMANTAN TIMUR

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi

BAB III PROSEDUR PENELITIAN

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Teori. 1. Kajian Geografi. a. Pengertian Geografi. Geografi adalah ilmu yang mempelajari tentang keterkaitan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Dari hasil pembahasan dan analisa data diperoleh beberapa kesimpulan dan saran adalah sebagai berikut :

LEMBAR KERJA SISWA. No Jenis Tanah Jenis tanaman Pemanfaatannya

STUDI PENGARUH SEDIMENTASI KALI BRANTAS TERHADAP KAPASITAS DAN USIA RENCANA WADUK SUTAMI MALANG

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Analisis Vegetasi 5.2 Model Arsitektur Pohon

TINJAUAN PUSTAKA. merupakan manfaat yang dirasakan secara tidak langsung (intangible). Selain itu,

Ummi Kalsum 1, Yuswar Yunus 1, T. Ferijal 1* 1 Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala PENDAHULUAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Secara geografis, lokasi penelitian terletak antara mt dan

Kemampuan hujan dengan energi kinetiknya untuk menimbulkan erosi pada suatu bidang lahan dalam waktu tertentu (Intensitas Hujan = EI30

125 permukaan dan perhitungan erosi berasal dari data pengukuran hujan sebanyak 9 kejadian hujan. Perbandingan pada data hasil tersebut dilakukan deng

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

LAMPIRAN. Lampiran 1. Data Jumlah Curah Hujan (milimeter) di Stasiun Onan Runggu Periode Tahun

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PREDIKSI DAN TINGKAT BAHAYA EROSI PADA LAHAN USAHA TANI PEGUNUNGAN DI KABUPATEN TEMANGGUNG, JAWA TENGAH

BESAR EROSI TANAH DI KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI PROPINSI JAWA TENGAH

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Propinsi Sulawesi Tenggara

STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN SIFAT FISIK TANAH DAN BERBAGAI PENGGUNAAN LAHAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENDUGAAN EROSI TANAH. Oleh : Moch. Arifin 1)

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Juli 2013 di Laboratorium

TINJAUAN PUSTAKA. Erodibilitas. jumlah tanah yang hilang setiap tahunnya per satuan indeks daya erosi curah

BAB I PENDAHULUAN. dengan erosi geologi atau geological erosion. Erosi jenis ini tidak berbahaya

Dwi Priyo Ariyanto i dan Hery Widijanto

BAB I PENDAHULUAN. pangan saat ini sedang dialami oleh masyarakat di beberapa bagian belahan dunia.

Transkripsi:

35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400 300 200 2006 2007 2008 2009 2010 100 0 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Gambar 5.1 Curah hujan di Kawasan HPGW Januari 2006 Desember 2010. Curah hujan rata-rata bulanan tertinggi terjadi pada bulan Desember, yaitu 349,36 mm per bulan. Curah hujan rata-rata bulanan terendah terjadi pada bulan Agustus, yaitu 67,52 mm per bulan. Rata-rata curah hujan tahunan selama lima tahun yaitu 2399,04 mm/tahun. Curah hujan tahunan maksimum terjadi pada tahun 2008, yaitu 2609,9 mm/tahun, sedangkan curah hujan tahunan minimum terjadi pada tahun 2006, yaitu 1505,1 mm/tahun. Iklim HPGW menurut sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk zona B, yaitu basah, dimana rata-rata jumlah bulan kering (curah hujan < 60 mm/bulan) adalah 1,8 bulan dan rata-rata jumlah bulan basah (curah hujan > 100 mm/bulan) adalah 8,6 bulan, dengan nilai Q 0,21. Nilai Q merupakan hasil perbandingan antara jumlah bulan kering dengan jumlah bulan basah. 5.2 Indeks Erosivitas Hujan Hujan berperan penting terhadap pemecahan agregat tanah yang menyebabkan pengangkutan dan perpindahan tanah. Energi kinetik hujan

36 mempunyai sifat perusak. Sifat tersebut yang dikenal sebagai erosivitas hujan. Indeks erosi dapat dihitung berdasarkan data hujan harian dan hujan bulanan. Hasil perhitungan indeks erosivitas rata-rata tahunan menggunakan persamaan Bols (1978) yaitu 1893,39 sedangkan indeks erosivitas berdasarkan persamaan Lenvain (1989) yaitu 1744,06. Indeks erosivitas hujan disajikan dalam Tabel 5.1. Tabel 5.1 Rata-rata curah hujan dan indeks erosivitas hujan (R) Tahun Curah hujan (per tahun) Erosivitas hujan Bols (1978) Lenvain (1989) 2006 1505,1 1010,84 985,424 2007 2130,2 1680,01 1508,05 2008 2609,9 2293,55 1929,88 2009 2071 1521,50 1401,51 2010 3679 2961,04 2895,46 Rata-rata 2399,04 1893,39 1744,06 Persamaan Bols (1978) menggunakan data jumlah hari hujan, dan hujan harian maksimum pada setiap bulan, selain jumlah hujan bulanan, sedangkan persamaan Lenvain (1989) hanya menggunakan data jumlah hujan bulanan. Persamaan yang menghitung indeks erosivitas yang menggunakan data bulanan hanya digunakan jika data curah hujan sangat terbatas. Secara teoritis, semakin detail data hujan yang digunakan akan menghasilkan perhitungan yang lebih baik, sehingga dalam penelitian ini, indeks erosivitas hujan yang digunakan selanjutnya adalah hasil perhitungan menggunakan persamaan Bols (1978), yaitu sebesar 1893,39 mm/tahun. 5.3 Indeks Erodibilitas Tanah Energi kinetik hujan yang bersifat merusak tidak sepenuhnya menjadi penyebab terjadinya erosi. Erosi dipengaruhi faktor lain, yaitu ketahanan tanah. Tanah memiliki ketahanan yang berbeda-beda dalam menahan kerusakan yang disebabkan energi kinetik hujan. Di wilayah penelitian terdapat empat jenis tanah yaitu, latosol merah kuning, latosol coklat, podsolik merah kuning, dan litosol. Di setiap jenis tanah dihitung indeks erodibilitas (K) berdasarkan pembagian lima kelas kemiringan

37 lereng yang bertujuan untuk mengetahui keragaman nilai erodibilitas. Keragaman nilai erodibilitas tanah disajikan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Indeks erodibilitas tanah (K) Jenis Tanah Latosol Merah Kuning Litosol Latosol Coklat Podsolik Merah Kuning Tekstur (%) Bahan Kemiringan Permeabilitas Pasir Sangat Struktur Organik (%) Debu Liat (cm/jam) Halus (%) K 0-8 12,95 4,76 30,76 GSK 3,155 11,33 0,141 8-15 3,6 3,60 48,41 GSK 5,913 7,03 0,063 15-25 1,12 1,12 76,58 GSK 8,258 13,45 0,012 25-40 1,24 1,24 79,15 GSK 9,482 19,49 0,012 >40 52 1,22 40 GSK 1,396 1,48 0,428 0-8 10 10,49 21 GSK 0,828 4,04 0,223 8-15 51 2,89 30 GSK 2,068 2,92 0,431 15-25 13 7,60 37 GSK 1,172 4,95 0,190 25-40 9 9,42 29 GSK 2,121 5,04 0,181 >40 10 10,79 19 GSK 2,534 4,42 0,217 0-8 24 5,93 37 GSK 0,948 1,96 0,283 8-15 43 0,46 54 GSK 2,896 0,88 0,279 15-25 19 0,61 77 GSK 2,931 0,54 0,138 25-40 18 1,37 73 GSK 2,345 0,99 0,144 >40 20 8,06 27 GSK 1,362 3,19 0,268 0-8 18 8,66 25 GSK 1,465 3,22 0,263 8-15 21 4,86 47 GSK 1,293 2,16 0,197 15-25 23 8,36 22 GSK 1,069 5,12 0,312 25-40 51 0,61 45 GSK 2,276 2,01 0,332 >40 22 8,06 25 GSK 0,759 3,54 0,291 Keterangan: GSK = Granuler sedang-kasar Indeks K tertinggi adalah 0,431 yang terdapat di jenis tanah litosol dan di kemiringan tanah 8-15 %, sedangkan nilai K terendah adalah 0,012 terdapat di jenis tanah latosol merah kuning dan di kemiringan tanah 15-40 %. Keragaman indeks K dipengaruhi oleh tekstur tanah, kandungan bahan organik, serta kecepatan permeabilitas. Tekstur menunjukkan proporsi ukuran butir-butir tanah, yaitu liat, debu dan pasir. Ukuran butir-butir tanah berpengaruh terhadap besarnya erosi yang mungkin terjadi. Pasir memiliki ukuran butir yang paling besar (kasar), sehingga diperlukan tenaga yang besar untuk mengangkutnya. Oleh karena itu, hanya fraksi terkecilnya yang berpengaruh terhadap kepekaan tanah, yaitu pasir sangat halus yang lebih mudah terangkut aliran permukaan. Berdasarkan persamaan Wischmeier dan Smith (1978), nilai K tertinggi lebih dipengaruhi oleh persentase debu (0,002 0,05 mm) dan pasir sangat halus (0,05 0,1 mm). Dalam Tabel 5.2 indeks K tertinggi memiliki jumlah persentase debu dan pasir sangat halus tertinggi, sedangkan indeks K terendah memiliki jumlah persentase debu dan pasir sangat halus terendah. Bryan (1968) diacu dalam Arsyad (2006) menyatakan bahwa debu dan pasir sangat halus lebih peka

38 terhadap erosi. Hal ini disebabkan karena debu dan pasir sangat halus sulit membentuk struktur yang mantap. Dibandingkan dengan debu dan pasir sangat halus, liat yang memiliki ukuran butir yang lebih kecil lebih sulit terangkut aliran permukaan, karena liat mempunyai daya kohesi yang kuat, sehingga gumpalangumpalannya sukar dihancurkan (Hardjowigeno 2007) Struktur tanah menunjukkan susunan butir-butir tanah. Kemantapan struktur tanah dapat menentukan pemecahan agregat tanah menjadi mudah atau sulit. Hasil analisis tanah untuk nilai K menunjukkan tingkat struktur yang sama untuk tanah di seluruh kawasan, yaitu granuler sedang-kasar, sehingga struktur tanah tidak berpengaruh terhadap nilai K pada tanah di HPGW. Bahan organik merupakan lapisan tanah yang dapat berfungsi sebagai pelindung dari erosivitas air hujan. Menurut hasil penelitian Copley et al. (1944) diacu dalam Arsyad (2006), semakin besar penambahan bahan organik, maka laju erosi semakin kecil. Sedangkan permeabilitas tanah merupakan tingkat kemampuan tanah untuk melewatkan air dalam kondisi jenuh. Nilai permeabilitas tanah yang rendah menunjukkan lambatnya air masuk ke dalam tanah, yang merupakan penyebab erosi yang tinggi, karena kecepatan infiltrasi akan menurun dan menyebabkan aliran permukaan. Klasifikasi indeks nilai K menurut Dangler dan El-Swaify (1976) diacu dalam Arsyad (2006) disajikan dalam Tabel 5.3. Tabel 5.3 Nilai Indeks K berdasarkan klasifikasi Dangler dan El-Swaify (1976) Luas Nilai K Kelas Ha % 0 0,1 Sangat Rendah 118,00 32,87 0,11 0,21 Rendah 113,19 31,53 0,22 0,32 Sedang 80,49 22,42 0,33 0,44 Agak Tinggi 47,28 13,17 Total 359,00 100,00 Sebaran nilai K tertinggi dengan persentase luas 32,87 % atau 118,00 Ha, termasuk ke dalam kelas sangat rendah. Semakin rendah nilai K maka tanah akan semakin kurang peka atau tahan terhadap erosi, sehingga tanah di HPGW didominasi oleh tanah yang kurang peka terhadap erosi. Sebaran ruang indeks K disajikan dalam Gambar 5.2.

39 PETA INDEKS ERODIBILITAS TANAH U 0 0,5 1 Km LEGENDA Indeks K 0,012 0,063 0,138 0,141 0,144 0,181 0,190 0,217 0,197 0,223 0,263 0,268 0,279 0,283 0,291 0,312 0,332 0,431 0,428 Gambar 5.2 Peta indeks erodibilitas tanah. 39

40 5.4 Indeks Panjang dan Kemiringan Lereng Panjang lereng dalam perhitungan laju erosi merupakan jarak dari mulai terjadinya aliran air hingga terjadinya endapan akibat kemiringan lereng yang melandai, sedangkan kemiringan lereng merupakan besarnya sudut lereng yang menentukan kecepatan laju erosi yang terjadi. Dalam perhitungan nilai LS, besarnya nilai LS dipengaruhi oleh nilai L dan S. Semakin besar nilai L maka nilai indeks LS akan semakin besar, begitu juga semakin besar nilai S maka nilai indeks LS akan semakin besar. Panjang lereng berpengaruh terhadap indeks LS karena semakin panjang lereng maka tanah yang tererosi akan terbawa semakin jauh dari tempat asalnya yang akan menyebabkan pengendapan di tempat lain. Sedangkan kemiringan lereng akan mempengaruhi kecepatan dari tanah yang terbawa aliran permukaan. Persamaan USLE tidak memperhitungkan erosi yang terjadi pada saluransaluran air, sehingga panjang lereng yang digunakan adalah panjang lereng yang kurang dari 122 meter, karena pada batas tersebut aliran permukaan mulai terakumulasi menjadi saluran-saluran air (Trahan 2001). Perhitungan panjang menghasilkan panjang lereng yang lebih dari 122 meter, sehingga indeks LS yang dihasilkan jauh lebih tinggi dari hasil pengukuran di lapangan. Sebaran luas indeks panjang dan kemiringan lereng disajikan dalam Tabel 5.4. Tabel 5.4 Indeks panjang dan kemiringan lereng (LS) Luas LS Ha % 0 50 113,95 31,74 50 150 188,12 52,40 150 300 51,16 14,25 300 450 5,35 1,49 > 450 0,43 0,12 Total 359,00 100,00 Indeks LS yang mendominasi kawasan HPGW adalah sebesar 50 150 dengan luas 118,12 Ha atau 52,40 % dari total luas HPGW. Indeks LS yang memiliki luas terkecil adalah sebesar > 450 dengan luas 0,43 Ha atau 0,12 % dari total luas HPGW. Sebaran ruang indeks panjang dan kemiringan lereng disajikan dalam Gambar 5.3.

41 PETA INDEKS PANJANG DAN KEMIRINGAN LERENG U 0 0,5 1 Km LEGENDA Indeks LS 0 50 50 150 150 300 300 450 >450 Gambar 5.3 Peta indeks panjang dan kemiringan lereng. 41

42 5.5 Indeks Penutupan Lahan Indeks penutupan lahan merupakan faktor pengali yang menyebabkan erosi aktual. Jenis penutupan lahan cukup berpengaruh besar tehadap laju erosi yang mungkin terjadi. Jenis tutupan lahan paling baik menurut Arsyad (2006), yaitu di hutan alam dengan serasah banyak dan di tutupan lahan alang-alang murni yang tumbuh subur dengan indeks C 0,001, sedangkan indeks C tertinggi dimiliki oleh tanah kosong (tanpa tutupan lahan), dengan nilai 1. Sehingga, tutupan lahan (C) dapat berpengaruh hingga maksimum seperseribu dalam menentukan erosi aktual. Hasil analisis hemispherical image disajikan dalam Tabel 5.5. Tabel 5.5 Hasil analisis hemispherical image dengan perangkat lunak Hemiview Kelas Kerapatan Titik Penutupan Tajuk (%) Rata-rata (%) Nilai C 1 1.1 0,429 0,20 0,003 1.2 0,160 1.3 0,001 2 2.1 0,217 0,30 0,003 2.2 0,482 2.3 0,215 3 3.1 0,153 0,11 0,003 3.2 0,001 3.3 0,184 4 4.1 0,337 0,28 0,003 4.2 0,148 4.3 0,346 5 5.1 0,465 0,40 0,003 5.2 0,361 5.3 0,380 Tabel 5.5 menunjukkan hasil bahwa dari lima kelas kerapatan penutupan hutan yang berbeda hasil interpretasi visual, memiliki nilai penutupan tajuk yang berbeda (0,1 sd 0,4) memiliki indeks C yang bernilai sama, yaitu 0,003. Hal ini dikarenakan nilai C dalam Tabel 5.5 lebih dipengaruhi oleh persentase serasah dan tumbuhan bawah yang bernilai sama, yaitu 95-100 % berupa tumbuhan bawah dan serasah. Oleh karena itu, tutupan hutan memiliki pengaruh yang sama terhadap pengurangan laju erosi, walaupun kelas kerapatannya berbeda. Hal ini sejalan dengan penjelasan menurut Asdak (2007) bahwa erosi meningkat di bawah tegakan pohon yang tidak disertai tumbuhan bawah dan serasah.

43 Tutupan tajuk pohon dapat memperlambat laju air hujan, sehingga energi kinetiknya menjadi lebih kecil, tetapi tidak adanya tumbuhan bawah dan serasah di bawah tegakan tersebut dapat menyebabkan erosi yang lebih besar, karena air hujan yang tertahan oleh tajuk dapat terakumulasi pada ujung daun yang menyebabkan tetesan air hujan dengan butiran yang lebih besar dan energi kinetik yang lebih tinggi berdasarkan tinggi jatuhnya ke permukaan tanah. Erosi pada tegakan pohon yang memiliki tumbuhan bawah dan serasah lebih kecil, karena dapat menyerap energi kinetik air lolos tersebut dan memperlambat aliran pemukaan. Nilai indeks C untuk keseluruhan kawasan HPGW disajikan dalam Tabel 5.6. Tabel 5.6 Indeks penutupan lahan (C) Tutupan Lahan C Luas Ha % Bangunan 0,000 0,83 0,23 Hutan 0,003 358,07 99,74 Rumput 0,011 0,07 0,02 Tanah Kosong 1,000 0,04 0,01 Total 359,00 100,00 Nilai C sebesar 0,000 merupakan nilai dari lahan terbangun, karena tidak adanya tutupan lahan, tetapi air hujan tidak dapat meresap ke dalam tanah, maka indeks C dianggap bernilai 0. Luas keseluruhan dari bangunan yang ada di HPGW yaitu 0,83 Ha atau 0,23 % dari total luas HPGW. Nilai 0,003 merupakan indeks C untuk tutupan lahan berhutan yang tersebar hampir di seluruh total kawasan, yaitu 358,07 Ha atau 99,74 % dari total luas HPGW. Lapangan rumput yang terdapat di Camping Ground HPGW memiliki indeks C sebesar 0,011. Nilai tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan tutupan lahan hutan, tetapi memiliki nilai jauh lebih kecil dibandingkan dengan indeks C tanah kosong. Hal ini karena rumput mampu menahan erosivitas air hujan, sehingga memberikan pengaruh yang besar terhadap penurunan erosi aktual. Tanah kosong tidak memiliki pelindung terhadap erorisitas hujan, sehingga air hujan yang turun dengan energi kinetik yang tinggi dapat langsung mengenai tanah dan memisahkan partikel-partikel kecil tanah. Sebaran ruang indeks C disajikan dalam Gambar 5.4.

44 PETA INDEKS PENUTUPAN LAHAN U 0 0,5 1 Km LEGENDA Indeks _ C 0,000 0,003 0,011 1,000 Gambar 5.4 Peta indeks penutupan lahan. 44

45 5.6 Indeks Tindakan Konservasi Tanah Tindakan konservasi tanah merupakan upaya yang dilakukan dalam pengelolaan tanah dalam rangka menurunkan laju erosi yang mungkin terjadi. Semakin besar indeks tindakan konservasi tanah (P) menunjukkan pengelolaan tanah yang semakin kurang baik, sehingga erosi yang terjadi semakin besar. Nilai P maksimum, yaitu 1 menunjukkan tidak adanya tindakan konservasi yang dilakukan, sedangkan nilai P minimum, yaitu 0,04 menunjukkan tindakan konservasi berupa teras bangku dengan konstruksi yang baik berdasarkan kerataan dasar teras dan keadaan talud teras (Arsyad 2006). Tindakan konservasi tanah yang dimaksud dalam hal ini adalah tindakan pengolahan lahan menggunakan teras, penanaman dalam strip yang umumnya diterapkan di lahan pertanian, jarang digunakan di lahan berhutan, sehingga di HPGW hampir tidak ditemui tindakan konservasi tanah ini kecuali di lahan bekas persemaian di dekat Base Camp, tetapi luasannya sangat kecil dibandingkan luas keseluruhan kawasan. Dalam penelitian ini, nilai P di HPGW adalah sama dengan satu (P=1). Tidak adanya tindakan konservasi tanah tersebut, maka indeks P tidak berpengaruh terhadap besarnya erosi yang terjadi di HPGW. 5.7 Pendugaan Indeks Bahaya Erosi Indeks bahaya erosi dihitung berdasarkan perbandingan antara erosi potensial dengan nilai erosi yang diperbolehkan. Erosi potensial merupakan kalkulasi dari indeks erosivitas hujan, erodibilitas tanah, serta panjang dan kemiringan lereng, tanpa memperhitungkan faktor penutupan tanah oleh tanaman. Laju erosi potensial dihitung untuk mengetahui erosi maksimum yang terjadi pada suatu kondisi tanah tanpa penutupan lahan oleh tanaman dengan memperhatikan kelestarian tanahnya. Laju erosi potensial lebih dipengaruhi oleh indeks LS yang besar, sedangkan indeks erosivitas tidak mempengaruhi laju erosi potensial karena memiliki nilai yang sama untuk keseluruhan kawasan. Keragaman indeks K di setiap jenis tanah menghasilkan erosi potensial yang bervariasi, tetapi karena nilai K berkisar antara 0,063 0,431, maka indeks nilai K tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap laju erosi potensial. Sebaran luas indeks bahaya erosi disajikan dalam Gambar 5.6.

46 PETA INDEKS BAHAYA EROSI U 0 0,5 1 Km LEGENDA Indeks Bahaya Erosi Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Gambar 5.6 Peta indeks bahaya erosi. 46

47 Berdasarkan hasil perhitungan, laju erosi potensial tertinggi sebesar 482.170,7 ton/ha/tahun atau setebal 40.180,9 mm/tahun (berat jenis tanah 1,2 gram/cm 3 ). Erosi tertinggi ini terjadi pada kelas lereng lebih dari 40 % (sangat curam). Semakin curam kelas lereng, maka energi dan daya angkut aliran permukaan akan semakin besar, sehingga tanah yang tererosi akan semakin tebal. Total erosi potensial yang terjadi sebesar 13.195.922 ton/tahun. Sebaran luas indeks bahaya erosi menurut Hammer (1981) disajikan dalam Tabel 5.7. Tabel 5.7 Indeks bahaya erosi (IBE) Kelas IBE Luas Ha % Rendah 28,738 8,005 Sedang 0,004 0,001 Tinggi 0,065 0,018 Sangat Tinggi 330,197 91,977 359,000 100,000 Kelas IBE sangat tinggi mendominasi kawasan HPGW dengan luas 330,197 Ha atau 91,977 % dari total luas kawasan HPGW. Kelas ini paling mendominasi kawasan HPGW yang menunjukkan bahwa dengan memperhitungkan erosi yang diperbolehkan untuk kawasan HPGW, indeks bahaya erosi potensial yang terjadi sangat tinggi. 5.8 Pendugaan Tingkat Bahaya Erosi Pendugaan laju erosi di HPGW ditentukan berdasarkan erosi aktual, yang merupakan kalkulasi dari indeks erosivitas hujan, erodibilitas tanah, panjang dan kemiringan lereng, penutupan lahan, serta tindakan konservasi tanah. Berdasarkan perhitungan erosi menurut Wischmeier dan Smith (1965), laju erosi sebagian besar dipengaruhi oleh indeks C yang merupakan faktor penutupan tanaman. Laju erosi akan cenderung besar jika nilai C besar. Hal ini menunjukkan faktor penutupan lahan oleh tanaman memiliki peranan yang besar dalam mengurangi laju erosi yang terjadi. Semakin rapat penutupan tajuk dan permukaan tanah, maka laju erosi semakin kecil. Indeks erosivitas hujan (R) dan tindakan konservasi tanah (P) tidak mempengaruhi laju erosi pada lokasi penelitian karena nilainya seragam pada seluruh kawasan, sedangkan indeks panjang dan

48 kemiringan lereng (LS) memiliki kisaran nilai yang lebih kecil dibandingkan indeks penutupan lahan. Berdasarkan hasil perhitungan, laju erosi aktual tertinggi yaitu sebesar 2.147,1 ton/ha/tahun atau setebal 178,9 mm/tahun (berat jenis tanah 1,2 gram/cm 3 ). Laju erosi tersebut terjadi pada kelas lereng 8 15 % (landai), dan tanpa tutupan lahan (tanah kosong). Erosi tertinggi ini dapat terjadi karena tidak adanya tutupan lahan menyebabkan air hujan dapat secara langsung merusak lapisan tanah atas dan daya angkut aliran permukaan akan besar akibat tidak ada yang menghalangi, walaupun energi angkut alirannya rendah karena lereng yang landai. Total erosi dari keseluruhan total kawasan HPGW adalah sebesar 39.643 ton/tahun. Tingkat bahaya erosi ditentukan berdasarkan laju erosi aktual dan ketebalan solum tanah. Tingkat bahaya erosi diklasifikasikan berdasarkan solum tanah karena semakin tipis solum maka bahaya erosi yang terjadi dapat semakin berat walaupun laju erosinya sama dengan yang terjadi pada solum yang lebih tebal. Berdasarkan kedalaman solum tanah, keempat jenis tanah di HPGW memiliki solum yang dalam (lebih dari 90 cm) kecuali jenis tanah litosol yang memiliki solum yang dangkal (kurang dari 20 cm), sehingga untuk jenis tanah litosol hanya memiliki dua kelas tingkat bahaya erosi, yaitu berat (laju erosi < 15 ton/ha/tahun) dan sangat berat (laju erosi > 15 ton/ha/tahun). Sebaran luas tingkat bahaya erosi menurut (Departemen Kehutanan 1986) disajikan dalam Tabel 5.8. Tabel 5.8 Tingkat bahaya erosi (TBE) Laju Erosi Luas Kelas (ton/ha/tahun) Ha % 0 15 Sangat Ringan 212,64 59,23 15 60 Ringan 15,04 4,19 60 180 Sedang 33,50 9,33 180 480 Berat 50,69 14,12 > 480 Sangat Berat 47,14 13,13 Total 359,00 100,00 Berdasarkan Tabel 5.8, kelas bahaya erosi di HPGW didominasi oleh kelas bahaya erosi sangat ringan (laju erosi aktual 0 15 ton/ha/tahun) dengan luas 212,64 Ha atau 59,23 % dari total luas kawasan. Hal ini menunjukkan adanya penutupan lahan dapat menyebabkan laju erosi semakin kecil.

49 PETA TINGKAT BAHAYA EROSI U 0 0,5 1 Km LEGENDA Tingkat Bahaya Erosi Sangat Ringan Ringan Sedang Berat Sangat berat Gambar 5.5 Peta tingkat bahaya erosi. 49

50 5.9 Pendugaan Sediment Delivery Ratio (SDR) Semakin tinggi nilai SDR, maka semakin banyak tanah yang terbawa aliran permukaan ke sungai. Nilai maksimum SDR adalah 1, artinya semua tanah yang tererosi masuk ke dalam sungai, tidak ada yang terendapkan di lahan. Berdasarkan hasil pembatasan sub DAS diperoleh enam sub DAS yang berada di kawasan HPGW. Enam sub DAS tersebut memiliki outlet di luar kawasan HPGW. Laju erosi dan nilai SDR di Sub DAS HPGW disajikan dalam Tabel 5.9. Tabel 5.9 Laju erosi dan nilai SDR di Sub DAS HPGW Sub DAS Luas Sub DAS Erosi Potensial Erosi Aktual SDR (Ha) (ton/tahun) (ton/tahun) 1 34,26 0,170 997.522,8 2.992,6 2 46,30 0,159 2.436.708,1 7.310,1 3 73,49 0,143 1.924.492,4 5.771,3 4 96,35 0,134 3.660.241,0 10.980,7 5 96,39 0,134 1.696.592,4 5.149,4 6 38,49 0,166 366.161,6 1.098,5 Nilai SDR yang digunakan dalam penelitian ini merupakan fungsi dari luas sub DAS, semakin luas sub DAS, maka nilai SDR akan semakin kecil, hal ini dikarenakan jarak dari tempat terjadinya erosi di atas lereng hingga ke saluran air (sungai) akan bertambah jauh, sehingga sedimen yang terbawa ke sungai akan semakin sedikit. Tabel 5.9 menunjukkan bahwa di kawasan HPGW tersebut sebagian besar tanah yang tererosi terendapkan di lahan atau tidak terbawa ke sungai, terlihat dari rata-rata nilai SDR kurang dari 0,2. Hal tersebut dapat disebabkan oleh topografi HPGW yang mendatar pada daerah dekat sungai, sehingga pengendapan sebagian besar terjadi di kaki lereng. Sub DAS 4 memiliki total laju erosi potensial dan erosi aktual tertinggi, tetapi karena memiliki luasan yang besar, sehingga nilai SDRnya kecil (13,4 %), maka tanah yang masuk ke dalam sungai lebih sedikit dibandingkan dengan sub DAS yang memiliki SDR lebih besar dan erosinya lebih kecil. Hal ini menunjukkan bahwa pendangkalan sungai tidak hanya ditentukan oleh total laju erosi yang terjadi, tetapi juga oleh nilai SDR yang dalam penelitian ini merupakan fungsi dari luas sub DAS. Enam sub DAS di kawasan HPGW, jaringan sungai, serta outletnya disajikan dalam Gambar 5.7.

51 PETA SUB DAS U 0 0,5 1 Km LEGENDA _ Sub DAS 1 Sub DAS 2 Sub DAS 3 Sub DAS 4 Sub DAS 5 Sub DAS 6 Batas HPGW Jaringan sungai Outlet Gambar 5.7 Peta sub DAS di kawasan HPGW. 51