BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Infark miokard akut merupakan salah satu penyakit yang tergolong dalam non-communicable disease atau penyakit tidak menular (PTM) yang kini angka kejadiannya makin tinggi. Berdasarkan laporan global burden of disease WHO tahun 2004 (Mathers et al., 2008), penyakit terkait kardiovaskular merupakan penyebab mortalitas tertinggi di dunia (wanita=32%, pria=27%). Sekitar 45% beban penyakit global berupa PTM utamanya terdapat pada negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah. Hal ini diprediksi akan terus meningkat hingga tahun 2030, dimana sekitar 66% PTM akan meningkat lebih pesat dibandingkan penyakitpenyakit menular atau infeksius. Selain mortalitas yang tinggi, aspek yang juga akan mengalami perubahan adalah Disabilities Adjusted Life Years (DALY) yang pada tahun 2030 diperkirakan akan diduduki oleh tiga penyakit tidak menular, salah satunya adalah penyakit 1
2 jantung iskemik yang mengalami peningkatan DALY dari peringkat 4 menjadi peringkat 2. Tabel 1.1 Penyebab kematian, semua usia, 2004 (Mathers et al., 2008) Penyakit atau cidera Jumlah kematian (juta) Presentase total kematian (%) 1 Penyakit jantung iskemik 2 Penyakit serebrovaskular 3 Infeksi saluran nafas bawah 4 Penyakit paru obstruktif kronis 7.2 12.2 5.7 9.7 4.2 7.1 3.0 5.1 5 Diare 2.2 3.7 6 HIV/AIDS 2.0 3.5 7 Tuberculosis 1.5 2.5 8 Kanker trakea, bronkus, paru 1.3 2.3 9 Kecelakaan lalu lintas 1.3 2.2 10 Prematuritas & berat bayi lahir rendah 1.2 2.0 11 Infeksi neonatus 1.1 1.9 12 Diabetes melitus 1.1 1.9
3 13 Hipertensi 1.0 1.7 14 Malaria 0.9 1.5 15 Trauma saat lahir dan asfiksia 0.9 1.5 16 Self-inflicted injuries 0.8 1.4 17 Kanker lambung 0.8 1.4 18 Sirosis hepar 0.8 1.3 19 Nefritis & nefrosis 0.7 1.3 20 Kanker kolorektal 0.6 1.1 Seperti terlihat pada tabel di atas, penyakit jantung iskemik merupakan penyebab kematian nomor satu. Salah satu dampak buruk penyakit jantung iskemik adalah gagal jantung. Berdasarkan sebuah studi yang mempelajari disfungsi ventrikel kiri (SOLVD), penyakit jantung koroner berperan atas 75% kasus gagal jantung gagal jantung kronis pada pasien pria ras kaukasoid. Sementara itu, menurut studi jantung Framingham, penyakit jantung koroner berperan atas 46% kasus gagal jantung pada pria dan 27% kasus pada wanita (Lip et al., 2000).
4 Berdasarkan data riset kesehatan dasar Republik Indonesia tahun 2013, prevalensi gagal jantung berdasar wawancara terdiagnosis dokter di Indonesia sebesar 0.13%, dan yang terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 0.3%. Prevalensi tertinggi gagal jantung berdasarkan diagnosis dokter terdapat pada provinsi DI Yogyakarta, yaitu sebesar 0.25%. Sementara itu, prevalensi gagal jantung tertinggi berdasarkan diagnosis atau gejala terdapat pada provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 0.8%. Gagal jantung sulit didiagnosis secara klinis karena banyak gejala yang tidak spesifik dan hanya sedikit gejala yang muncul di awal penyakit. Penelitian terbaru menyatakan bahwa deteksi dini kasus gagal jantung perlu diterapkan karena saat ini telah ditemukan terapi yang dapat meringankan gejala dan memperbaiki kualitas hidup, mengurangi biaya perawatan di rumah sakit, menurunkan laju progresi penyakit, dan meningkatkan survival (Davis, 2000). Mengetahui adanya beban penyakit yang semakin tinggi, perlu diadakan upaya-upaya pencegahan berupa perubahan pola hidup hingga penggunaan teknologi kesehatan yang memungkinkan deteksi dini bagi penyakit-
5 penyakit yang perjalanan penyakitnya seringkali terabaikan sehingga luaran klinis dan prognosis yang seringkali buruk bisa dicegah. Berdasarkan penampakan klinis penyakit jantung iskemik, salah satu yang dapat dijadikan penanda adalah peningkatan kadar marka tertentu. Beberapa marka yang sering muncul terbukti mampu digunakan dalam stratifikasi maupun prognosis suatu penyakit kardiovaskular. Manfaat klinis marka-marka ini tergantung pada kemampuan tiap marka untuk merefleksikan tiap kejadian aterosklerosis, kemampuan dalam menghasilkan informasi yang reliabel, akurat, dan cost-effective, serta kemampuan untuk memprediksi kejadian yang akan datang (Tsimikas et al., 2006). Evaluasi menggunakan marka tidak hanya dapat memprediksi penyakit, tetapi juga sebenarnya bisa dijadikan faktor risiko seperti yang seringkali digunakan dalam Framingham Risk Score. Pada dasarnya, penyakit arteri koroner seringkali dikaitkan dengan kadar kolesterol yang mengandung low density lipoprotein (LDL-C). Namun, hal ini pada kenyataannya tidak selalu bisa menjelaskan semua risiko yang ada. Suatu jurnal ilmiah menyatakan bahwa setengah kejadian
6 serangan jantung terjadi tanpa didahului dengan hiperkolesterolemia, dan seperlimanya terjadi tanpa adanya faktor risiko utama (Riedel et al., 2011). Pada suatu strategi penilaian risiko global, uji lipid merupakan satu-satunya pemeriksaan darah rutin yang direkomendasikan, tetapi evaluasi dengan menambahkan uji hscrp diperkirakan mampu menambah daya prediksi risiko kejadian buruk kardiovaskular. Misalnya, pada Women s Health Study, area di bawah kurva receiver-operator curve (ROC) yang menggambarkan kombinasi penggunaan uji hscrp dengan kolesterol total dan kolesterol HDL ternyata memiliki signifikansi yang lebih besar (p<0.001) dibandingkan dengan penggunaan uji lipid saja (Ridker, 2001). Data epidemiologi yang mendukung peran hscrp sebagai marka untuk risiko penyakit negatif juga menunjukkan data klinis yang konsisten di berbagai studi populasi, yaitu, perokok yang tergabung dalam studi Multiple Risk Factor Intervention Trials; pasien usia lanjut yang tergabung dalam suatu studi kesehatan kardiovaskular, wanita-wanita paska menopause yang tergabung dalam studi the Women s Health Study; dan studi kohort Eropa independen, the MONICA Augsberg cohort, the Helsinki Heart Study, dan the British
7 Regional Practice study. Pada kebanyakan studi ini, efek hscrp pada kelompok tanpa risiko masih bernilai sangat signifikan setelah dikaitkan dengan faktorfaktor risiko yang biasanya digunakan dalam program global risk-assessment. Data terakhir juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antar hscrp dengan semua penyebab kejadian mortalitas (Ridker, 2001). Pengobatan dengan prinsip pencegahan pada individu dengan risiko gagal jantung yang tinggi dapat meningkatkan cost-effectiveness. Pencegahan sejak dini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi tanda awal remodeling otot jantung yang abnormal. Perubahan dini pada struktur dan fungsi jantung bisa dideteksi dengan berbagai cara, seperti teknologi imaging, tetapi metode ini kenyataannya kurang bisa diterapkan pada populasi umum (Ponikowski et al., 2014) sehingga pengecekan marka bisa menjadi alternatif pilihan. I.2 Perumusan Masalah Bagaimana hubungan antara kadar hscrp dengan kejadian gagal jantung akut pada pasien infark miokard akut?
8 I.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana gambaran hasil kadar hscrp dan kejadian gagal jantung akut pada pasien infark miokard. I.4 Keaslian Penelitian Suryadipradja et al., pada tahun 2003 melakukan penelitian terhadap 106 subjek dengan penyakit jantung koroner. Pada penelitian ini didapatkan korelasi negatif yang signifikan antara kadar hscrp dengan fungsi sistolik kardiak. Pada populasi ini didapatkan kadar hscrp rerata adalah 5.9 ± 14.1 mg/l (median = 2.5 mg/l). Berdasarkan jenis kelamin, kadar hscrp rerata pada pria adalah 13.2 ± 29.8 mg/l dan pada wanita adalah 4.4 ± 6.6 mg/l. Pada penelitian ini, fungsi sistolik dinilai dengan melihat fraksi ejeksi melalui ventriculography kiri, sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan klasifikasi Killip untuk menilai kondisi gagal jantung akut pasien saat admisi IGD. Pada tahun 2011, Nozari dan Geraiely melakukan penelitian pada 188 orang di Iran untuk mencari hubungan antara asam urat dan hscrp dengan gagal jantung kiri berdasarkan rasio fraksi ejeksi dan kelas Killip pada pasien infark miokard akut. Pembagian kelas
9 Killip pada penelitian ini tidak dibagi menjadi dua kelompok dan masing-masing kelas dicari nilai rataratanya. Dalam studi ini, kejadian gagal jantung dinilai pada 3-5 hari paska infark. I.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat akademik dan praktis, berupa sumbangan pengetahuan dan pemahaman yang lebih mendalam bagi penulis maupun pembaca dalam memahami kaitan fungsi hscrp sebagai marka inflamasi miokard dengan kejadian gagal jantung akut.