I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kinerja perekonomian di suatu wilayah dapat diketahui dari perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB), inflasi, dan tingkat pengangguran. Sasaran yang ingin dicapai adalah tingginya pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan pertumbuhan PDB, stabilnya inflasi atau tercapainya inflasi yang sesuai dengan kemampuan ekonomi serta rendahnya tingkat pengangguran. Salah satu upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi yaitu melalui penyelenggaraan penanaman modal atau investasi. Investasi merupakan kunci utama untuk mencapai peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari kemampuannya meningkatkan laju pertumbuhan dan tingkat pendapatan. Semakin besar investasi suatu negara akan semakin besar pula tingkat pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi merupakan fungsi investasi (Haryanto, 2005). Selain itu investasi juga memperluas kesempatan kerja, mendorong kemajuan teknologi dan spesialisasi dalam produksi sehingga meminimalkan ongkos produksi serta penggalian sumberdaya alam, industrialisasi dan ekspansi pasar yang diperlukan bagi kemajuan perekonomian daerah (Machmud, 2002). Pendapat tersebut didukung dengan adanya UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa salah satu tujuan dari penyelenggaraan investasi baik investasi PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) maupun PMA (Penanaman Modal Asing) adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, secara khusus Wiranata (2004) menyampaikan bahwa investasi asing dalam hal ini PMA dapat dianggap sebagai salah satu modal pembangunan
2 ekonomi yang penting. Semua negara yang menganut ekonomi terbuka pada umumnya memerlukan investasi asing, terutama perusahaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk kepentingan ekspor. Di negara maju seperti Amerika, modal asing terutama dari Jepang dan Eropa Barat tetap dibutuhkan guna memacu pertumbuhan ekonomi domestik, menghindari kelesuan pasar dan penciptaan lapangan kerja. Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia, modal asing sangat diperlukan sebagai akibat dari modal dalam negeri yang tidak mencukupi. Peran penting investasi terhadap pertumbuhan ekonomi dapat diketahui dari perkembangan ekonomi Indonesia pasca krisis ekonomi tahun 1997. Walaupun satu atau dua tahun setelah krisis ekonomi, Indonesia kembali menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang positif, namun sampai saat ini rata-rata pertumbuhan per tahunnya relatif masih lambat dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang juga terkena krisis, seperti Thailand dan Filipina. Pada Tahun 1999 Thailand mampu mendorong pertumbuhan ekonominya sebesar 4.4 persen sedangkan Indonesia hanya 0.8 persen Demikian juga dengan Filipina, pada tahun 2001 pertumbuhan ekonominya hanya 1.8 persen, tetapi tiga tahun kemudian pertumbuhan ekonominya menanjak hingga 6.1 persen sedangkan Indonesia hanya 5.1 persen. Salah satu penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah belum intensifnya kegiatan investasi, termasuk arus investasi dari luar terutama dalam bentuk PMA. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), diketahui bahwa setelah krisis ekonomi tahun 1997, jumlah proyek baru PMA sempat mengalami peningkatan. Akan tetapi setelah tahun 2000 jumlahnya menurun dan cenderung berkurang terus kecuali pada tahun 2005 yang mengalami
3 peningkatan persetujuan investasi menjadi 1 648 proyek. Satu hal menarik dari data BKPM tersebut bahwa sejak krisis ekonomi tahun 1997, jumlah proyek baru PMA lebih tinggi dari PMDN (Tabel 1). Kondisi tersebut menandakan bahwa bagi perkembangan investasi langsung dalam negeri khususnya periode pasca krisis, peran PMA lebih penting daripada PMDN. Namun demikian apabila dilihat dari nilai nettonya (arus investasi masuk dikurangi arus keluar), kondisi PMA setelah krisis lebih memprihatinkan, walaupun pada tahun 2002 dan 2004 sempat kembali positif seperti yang terlihat dalam Tabel 2 (Tambunan, 2006). Lebih banyaknya arus PMA yang keluar daripada masuk mencerminkan buruknya iklim investasi di Indonesia, khususnya perusahaan-perusahaan asing di industri-industri yang sifat produksinya footloose seperti elektronik, tekstil dan pakaian jadi, sepatu dan lainnya yang tidak terlalu tergantung pada sumber daya alam atau bahan baku lokal di Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut dengan mudahnya pindah ke negara-negara tetangga jika melakukan produksi di dalam negeri sudah tidak menguntungkan lagi. Beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap baik buruknya iklim investasi di Indonesia adalah (1) adanya stabilitas politik dan sosial, (2) stabilitas ekonomi, (3) kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan), (4) berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu perburuhan), (5) regulasi dan perpajakan, birokrasi (dalam waktu dan biaya yang diciptakan), dan (6) masalah good governance termasuk korupsi, konsistensi dan kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keuntungan netto atas biaya resiko jangka
4 panjang dari kegiatan investasi dan hak milik mulai dari tanah sampai kontrak (Tambunan, 2006). Tabel 1. Perkembangan Persetujuan Rencana Investasi di Indonesia Tahun 1997-2005 PMDN PMA Tahun Proyek Nilai ( Rp. Milyar) Proyek Nilai (US$ Juta) 1997 719 119 320.5 778 33 665.7 1998 323 57 999.2 958 13 635.0 1999 239 53 930.8 1 179 10 894.3 2000 415 95 643.0 1 599 16 014.9 2001 270 59 881.5 1 375 15 201.9 2002 196 25 935.7 1 238 9 955.4 2003 232 55 120.9 1 238 14 278.1 2004 199 44 101.4 1 226 10 415.6 2005 218 50 577.3 1 648 13 579.2 Sumber: BKPM (2005) Tabel 2. Nilai Netto Arus Penanaman Modal Asing ke Indonesia Tahun 1997-2004 Tahun Nilai (US$ Juta) 1997 4 667 1998-356 1999-2 745 2000-4 550 2001-2 978 2002 145 2003-597 2004 423 Sumber: Bank Indonesia dalam Tambunan (2006) Kondisi perkembangan investasi PMDN dan PMA di Provinsi Jawa Timur juga mengalami hal yang serupa dengan kondisi perkembangan investasi nasional. Perkembangan investasi tahun 2000-2006 belum menunjukkan kemajuan seperti yang diharapkan, padahal Jawa Timur mempunyai potensi untuk pengembangan investasi dengan beberapa alasan sebagai berikut, (1) sebagai pusat utama wilayah kawasan timur Indonesia untuk perkembangan sistem industry processing dan perdagangan nasional. Jawa Timur memiliki prospek yang sangat bagus untuk wilayah investasi, seperti investasi properti, pusat perbelanjaan dan hiburan,
5 perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, transportasi dan lain sebagainya (Badan Penanaman Modal atau BPM Jatim dan Universitas Airlangga atau UNAIR, 2004), (2) posisi Jawa Timur yang relatif dekat dengan Jakarta tapi belum padat seperti Tangerang dan Bekasi, upah buruh yang rendah dibandingkan dengan Bandung dan Tangerang, serta dengan dukungan investasi lahan yang relatif masih murah merupakan daya tarik tersendiri bagi pengusaha (Wahyuni, 2007), (3) mempunyai fasilitas pelabuhan laut dan udara yang cukup memadai dan (4) adanya pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2001. Dengan otonomi tersebut diharapkan dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif melalui efisiensi dan kemudahan dalam prosedur perijinan sehingga dapat menarik investor lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya ke Jawa Timur. Tabel 3. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri di Provinsi Jawa Timur Tahun 2000-2006 Tahun Jumlah Proyek Investasi (Rp Juta) Rencana Realisasi % Rencana Realisasi % 2000 50 21 42 2 642 522 628 373 24 2001 32 10 31 2 741 897 428 673 16 2002 9 0 0 137 851 0 0 2003 22 5 23 634 367 132 477 21 2004 13 1 8 262 984 9 000 3 2005 4 0 0 283 552 0 0 2006 27 3 11 154 412 036 152 668 828 99 Rata-rata 23 32.6 Sumber: BPM Provinsi Jawa Timur (2006) Pada Tabel 3, terlihat bahwa perkembangan realisasi investasi PMDN di Jawa Timur sejak tahun 2000-2006 berfluktuasi dan cenderung menurun kemudian berangsur-angsur naik. Penurunan yang cukup tajam terjadi pada tahun 2002 dan 2005, dari 21 proyek di tahun 2000 dengan nilai investasi sebesar Rp 628.37 milyar menjadi tidak ada proyek sama sekali. Akan tetapi, pada tahun 2006 kondisi investasi PMDN membaik dan mengalami peningkatan menjadi 3 proyek dengan nilai investasi sebesar Rp 152 668.83 milyar. Selain itu, realisasi
6 proyek PMDN tersebut lebih rendah daripada yang direncanakan yaitu rata-rata per tahunnya sebesar 23 persen sedangkan realisasi nilai investasinya sebesar 32.6 persen per tahun. Hal tersebut menandakan bahwa banyak proyek-proyek yang telah disetujui tidak jadi dilaksanakan atau dengan kata lain banyak investor yang membatalkan rencana investasinya. Serupa dengan PMDN, perkembangan PMA tahun 2000-2006 baik dari jumlah proyek maupun nilai investasinya cenderung menurun. Walaupun pada tahun 2005, sempat mengalami kenaikan yang cukup berarti yaitu dari 8 proyek pada tahun 2004 menjadi 13 proyek dengan nilai investasi sebesar US$ 617.47 juta. Secara umum realisasi investasi baik dari segi jumlah proyek maupun nilainya lebih rendah dari rencana investasi dan cenderung menurun yaitu 27.48 persen dan 66.99 persen per tahun. Perkembangan realisasi investasi PMA secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Asing di Provinsi Jawa Timur Tahun 2000-2006 Tahun Jumlah Proyek Investasi (US$ Juta) Rencana Realisasi % Rencana Realisasi % 2000 92 34 37 960.77 101.23 11 2001 59 27 46 136.36 109.95 81 2002 55 22 40 98.07 49.00 50 2003 71 16 23 357.38 19.33 5 2004 42 8 19 170.43 5.94 3 2005 68 13 19.11 193.94 617.47 318.38 2006 58 5 8.26 471.89 2.58 0.55 Rata-rata 27.48 66.99 Sumber: BPM Provinsi Jawa Timur (2006) Rendahnya realisasi investasi PMDN dan PMA di Jawa Timur tersebut menunjukkan bahwa daya serap Jawa Timur terhadap investasi relatif rendah. Apabila dibandingakan realisasi antara PMDN dan PMA maka ternyata realisasi investasi PMA per tahun lebih tinggi daripada PMDN. Ini menandakan bahwa
7 bagi perkembangan investasi langsung di Jawa Timur khususnya pada periode tahun 2000-2006, peran PMA jauh lebih penting daripada PMDN dan menunjukkan bahwa perencanaan investor asing (PMA) lebih baik dan mantap dibandingkan PMDN dalam menanamkan modalnya di Jawa Timur. Sementara itu, dari segi penyebaran investasi berdasarkan lokasinya maka lokasi PMDN sebagian besar berada di wilayah Surabaya kemudian Gresik, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto dan Malang. Wilayah yang tidak dimasuki PMDN adalah Trenggalek, Ngawi dan Pamekasan. Untuk PMA tidak jauh berbeda dengan PMDN, sebagian besar berlokasi di Surabaya kemudian Sidoarjo, Gresik dan Pasuruan. Wilayah yang tidak dimasuki PMA adalah Bojonegoro, Tulungagung, Nganjuk, Trenggalek, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Pamekasan dan Sampang. Apabila dibandingkan menurut pola penyebarannya maka penyebaran PMDN lebih merata daripada PMA. Berdasarkan bidang usaha yang diminati pada dasarnya antara PMDN dan PMA juga tidak jauh berbeda. Untuk PMDN bidang usaha yang diminati dari yang tertinggi jumlah proyeknya adalah industri kimia, makanan, barang logam, kayu dan industri tekstil. Sedangkan untuk PMA bidang usaha yang diminati adalah industri kimia, barang logam, perdagangan, industri makanan, kayu dan tekstil. Apabila dicermati ternyata industri tekstil menempati urutan ke-lima dalam Bidang usaha yang diminati PMDN dan urutan ke-enam dalam PMA. Ini menunjukkan bahwa PMA tidak hanya berinvestasi pada usaha yang padat modal saja tetapi juga turut berkontribusi pada bidang usaha yang relatif padat karya, seperti industri tekstil.
8 Penyebab fluktuatifnya PMDN dan menurunnya PMA di Jawa Timur antara lain ialah (1) adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan, kurang kondusifnya kehidupan politik, serta ancaman gangguan keamanan seperti meledaknya bom di Bali, kerusuhan di Ambon dan Poso. Walaupun hal ini bersifat nasional tapi turut berpengaruh terhadap besarnya investasi PMDN dan PMA di Jawa Timur, (2) kurs rupiah yang senantiasa berfluktuasi terhadap mata uang asing (cenderung depresiasi), (3) tidak adanya kepastian hukum maupun lemahnya perlindungan hukum bagi investor dalam negeri maupun asing, (4) rendahnya kapasitas calon investor atau rendahnya kemampuan modal sendiri untuk mendukung investasi yang direncanakan yang menyebabkan struktur modal investasinya terlalu didominasi oleh dana pinjaman. Sehingga apabila penerimaan yang diharapkan tidak lebih besar dari biaya modal maka calon investor akan cenderung membatalkan niat investasinya, (5) adanya peningkatan biaya melakukan bisnis yang timbul karena ekses pelaksanaan otonomi daerah. Contohnya pengenaan pungutan atas lalu lintas barang dan penumpang antar provinsi atau antar kabupaten dengan alasan untuk meningkatkan penerimaan asli daerah (BPM Jatim dan UNAIR, 2004), (6) terbatasnya informasi investasi bagi para investor, (7) menurunnya kondisi infrastruktur, misalnya banyaknya jalan yang berlubang serta bencana luapan lumpur Sidoarjo dan (8) belum terjaminnya kontinuitas bahan baku serta pasokan listrik (Wahyuni, 2007). Kondisi perkembangan Investasi PMDN dan PMA yang tidak sesuai dengan harapan tersebut pada kenyataanya tidak menyebabkan pertumbuhan ekonomi turut menurun, bahkan sebaliknya, terus mengalami peningkatan. Pertumbuhan ekonomi dalam tataran daerah diukur dengan pertumbuhan PDRB. Peningkatan
9 pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dilihat dari perkembangan PDRB Jawa Timur atas dasar harga konstan (tahun 2000=100) yang mengalami kenaikan dari Rp 169 680 milyar pada tahun 2000 menjadi Rp 470 627 milyar pada tahun 2006. Hal ini menunjukkan adanya anomali antara investasi dan pertumbuhan ekonomi. Selain PDRB, indikator lain yang cukup penting dalam mengukur kinerja perekonomian adalah pengangguran. Jumlah penganggur di Provinsi Jawa Timur cenderung mengalami kenaikan dari 845 590 jiwa pada tahun 2000 meningkat menjadi 1 502 903 jiwa tahun 2006. Sedangkan kemampuan PMDN untuk menyerap tenaga kerja pada tahun 2006 sebesar 8 386 jiwa dan PMA sebesar 124 jiwa. Sehingga apabila dilihat dari segi jumlah maka peran kedua jenis investasi tersebut dalam mengurangi jumlah pengangguran relatif masih kecil. Dengan adanya peran penting investasi PMDN dan PMA dalam perekonomian khususnya pertumbuhan ekonomi, meskipun pada kenyataanya di Jawa Timur terjadi anomali, serta adanya peran investasi dalam menciptakan lapangan kerja yang diharapkan dapat menurunkan angka pengangguran di Jawa Timur, maka penelitian mengenai dampak investasi terhadap kinerja perekonomian di Jawa Timur merupakan sesuatu yang menarik untuk dilakukan. 1.2. Perumusan Masalah Investasi merupakan kunci utama dalam upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Haryanto, 2005). Pendapat tersebut dilengkapi dengan penjelasan mengenai arti penting investasi dalam menentukan pertumbuhan ekonomi oleh Rostow dan Domar (Todaro, 2000). Menurut Rostow, setiap upaya tinggal landas mengharuskan adanya mobilisasi tabungan dalam dan luar negeri dengan maksud untuk menciptakan investasi yang cukup untuk mempercepat
10 pertumbuhan ekonomi. Pada model pertumbuhan Harrod Domar, arti penting investasi lebih ditekankan, khususnya mengenai watak ganda yang dimiliki investasi. Pertama investasi menciptakan pendapatan dan kedua investasi memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok kapital. Pada kenyataannya perkembangan investasi PMDN dan PMA tahun 2000-2006 di Jawa Timur masih jauh dari harapan, yaitu berfluktuasi cenderung menurun. Namun demikian kondisi tersebut tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonominya seperti yang terlihat dalam Tabel 5. Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur mengalami pertumbuhan positif dari tahun ke tahun. Pertumbuhan tersebut lebih banyak diakibatkan oleh meningkatnya pertumbuhan di semua sektor ekonomi terutama oleh sektor perdagangan, industri, pengangkutan dan sektor keuangan (Analisis Indikator Makro Provinsi Jatim, 2004). Sehingga pertanyaan yang muncul adalah seberapa besar peranan investasi PMDN dan PMA dalam pembentukan PDRB di Jawa Timur? Tabel 5. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri, Penanaman Modal Asing dan Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2006 Tahun Jumlah Izin Usaha Tetap yang Dikeluarkan PMDN Nilai Realisasi Investasi ( Rp Milyar) Jumlah Izin Usaha Tetap yang Dikeluarkan PMA Nilai Realisasi Investasi (US$ Juta ) Produk Domestik Regional Bruto (Harga Konstan Tahun 2000) Pertumbuhan Ekonomi (%) 2001 10 428.67 27 109.95 210 448.57 3.26 2002 0 0.00 22 49.00 218 452.39 3.80 2003 5 132.48 16 19.33 228 884.45 4.78 2004 1 9.00 8 5.94 242 228.89 5.83 2005 0 0.00 13 617.47 256 374.73 5.84 2006 3 152 668.83 5 2.58 271 237.67 5.80 Sumber: BPM Provinsi Jatim (2004) dan Analisis Indikator Makro Provinsi Jatim (2004) Kenaikan PDRB atau pertumbuhan ekonomi tersebut diikuti dengan naiknya inflasi Jawa Timur walaupun kenaikannya cenderung berfluktuasi yaitu
11 berturut-turut dari tahun 2000-2006 adalah 9.62, 14.10, 9.38, 3.59, 6.24, 15.89, dan 6.76 persen ( BPS, berbagai tahun terbit). Inflasi yang tertingi terjadi pada tahun 2005 yang dipicu oleh inflasi pada kelompok perumahan, kesehatan dan pendidikan, rekreasi dan olah raga. Selain sebagai salah satu faktor dalam menunjang pertumbuhan ekonomi, investasi juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja sehubungan dengan kemampuannya untuk menciptakan lapangan kerja seperti pada Tabel 6. Apabila dicermati pada Tabel 6, memperlihatkan bahwa rasio tenaga kerja PMDN dan PMA fluktuatif cenderung menurun. Secara agregat rasio tenaga kerja pada PMDN relatif sama dengan PMA. Ini berarti bahwa pada kurun waktu tujuh tahun kemampuan PMDN dan PMA dalam menyerap tenaga kerja hampir sama. Tabel 6. Jumlah Investasi, Tenaga Kerja yang Diserap dan Rasio Tenaga Kerja Terhadap Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing Tahun 2000-2006 PMDN PMA Jumlah Jumlah Rasio Pekerja/ Jumlah Jumlah Rasio Pekerja/ Tahun Tenaga Investasi Riil Investasi Investasi Riil Tenaga Kerja Investasi Kerja (Rp Juta) (Jiwa/Rp Juta) (Rp Juta) (Jiwa) (Jiwa/Rp Juta) (Jiwa) 2000 628 435.84 9 734 0.015 850 322 4 936 0.006 2001 485 900.85 5 472 0.011 1 221 714 3 745 0.003 2002 0.00 0 0.000 544 725 2 698 0.005 2003 178 963.18 1 767 0.010 206 581 1 266 0.006 2004 12 963.60 17 035 0.005 68 302 987 0.014 2005 0.00 0 0.000 8 240 002 4 664 0.001 2006 265 170 487 8 386 0.000 35 883 124 0.003 Total 266 476 751 2541 0.041 11 167 529 18420 0.038 Sumber: BPM Provinsi Jawa Timur (2006) diolah Penyerapan tenaga kerja erat kaitannya dengan pengangguran. Semakin besar tenaga kerja yang terserap maka jumlah pengangguran makin menurun. Kombinasi rendahnya realisasi investasi PMDN dan PMA selama tahun 2000-2006 di Jawa Timur yang disertai dengan menurunnya nilai investasi menyebabkan lambannya penciptaan lapangan kerja baru dan perluasan
12 kesempatan kerja. Keadaan tersebut menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran yang tercermin pada meningkatnya tingkat pengangguran terbuka terutama pada tahun 2003, sebesar 8.68 persen seperti dalam Tabel 7. Tabel 7. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, Kesempatan Kerja dan Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun 2000-2006 Tahun Tingkat Partisipasi Tingkat Kesempatan Tingkat Pengangguran Angkatan Kerja (%) Kerja (%) Terbuka (%) 2000 65.16 95.17 4.83 2001 68.22 94.93 5.07 2002 68.87 93.57 6.43 2003 66.64 91.32 8.68 2004 69.20 92.31 7.69 2005 69.17 91.55 8.45 2006 67.36 92.28 7.72 Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (2004) Faktor lain yang mendorong tingginya angka pengangguran adalah (1) ketidaksesuaian antara pendidikan/ketrampilan pencari kerja dengan kebutuhan pasar tenaga kerja, (2) penyebaran informasi kesempatan kerja yang belum optimal, (3) kurangnya kepedulian dunia usaha dalam melaporkan dan mempublikasikan lowongan pekerjaan yang tersedia, (4) masih rendahnya angkatan kerja untuk menciptakan lapangan kerja secara mandiri, (5) adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari berbagai usaha seperti industri garmen, tekstil, sepatu dan kayu dan (6) pemulangan (deportasi) Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal. Banyaknya tenaga kerja yang bekerja ke luar negeri menggambarkan sulitnya mencari pekerjaan di negeri sendiri atau tingkat upah yang belum sepenuhnya memberikan kepuasan bagi mereka. Hal tersebut menyebabkan sebagian warga Indonesia memaksakan diri untuk menjadi TKI walaupun tidak memiliki persyaratan yang lengkap baik administrasi maupun keahlian (Pemprov Jatim dan BPS Jatim, 2005). Selanjutnya, pertanyaan yang muncul adalah
13 seberapa besar peran atau pengaruh investasi PMDN dan PMA terhadap pengurangan pengangguran? dan investasi mana yang paling berperan, apakah PMDN atau PMA? Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap kinerja perekonomian Jawa Timur yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran? 2. Seberapa besar dampak investasi PMDN dan PMA terhadap pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran? 3. Investasi mana yang memberikan dampak paling besar terhadap pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran, investasi PMDN atau PMA? 1.3. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran di Jawa Timur. 2. Mengetahui dampak investasi PMDN dan PMA terhadap pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran di Jawa Timur. 3. Menganalisis investasi PMDN atau PMA yang mempunyai dampak terbesar dalam pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran di Jawa Timur.
14 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Kinerja perekonomian Jawa Timur meliputi pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari pertumbuhan PDRB, inflasi, dan tingkat pengangguran. Investasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah realisasi investasi swasta yang memperoleh fasilitas baik dari dalam negeri (PMDN) maupun luar negeri (PMA) di provinsi Jawa Timur. Cakupan analisis menggunakan data regional dengan rentang waktu tahun 1980-2006 (27 tahun). Model ekonometrik deret waktu yang digunakan adalah model persamaan simultan. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah data realisasi investasi yang dianalisis belum menggambarkan seluruh kegiatan investasi yang terdapat di Jawa Timur. Hal ini disebabkan data realisasi investasi PMDN dan PMA yang tersedia belum memasukan investasi di sektor minyak dan gas bumi, perbankan, lembaga keuangan non bank, asuransi, sewa guna usaha, pertambangan dalam rangka kontrak karya, perjanjian karya perusahaan pertambangan batubara, investasi yang perizinannya dikeluarkan oleh instansi teknis/sektor, investasi portofolio (pasar modal) dan investasi rumah tangga. Selain itu, lemahnya dokumentasi data tentang investasi yang bersifat non fasilitas yaitu investasi yang dilakukan oleh pengusaha atau masyarakat yang umumnya berskala kecil dan menengah sehingga investasi tersebut tidak bisa diakomodir dalam penelitian ini. Walaupun diperkirakan investasi jenis ini mempunyai peranan yang cukup besar dalam perekonomian Jawa Timur.
15 1.5. Kegunaan Penelitian 1. Sebagai bahan pertimbangan dalam merencanakan kebijakan tentang investasi khususnya PMDN dan PMA dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat inflasi yang rendah dan mengurangi angka pengangguran di Jawa Timur. 2. Sebagai bahan pembanding untuk penelitian selanjutnya.