II. TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Potensi Ampas Sagu di Kabupaten Kepulauan Meranti Menurut Bintoro dkk (2010) sagu ( Metroxylon sp) merupakan tanaman monokotil dari keluarga palmae. Genus Metroxylon secara garis besar digolongkan menjadi dua yaitu tanaman yang berbunga atau berbuah dua kali (Pleonanthic) dengan kandungan pati rendah dan tanaman sagu yang berbunga atau berbuah sekali (Hepaxanthic) yang memiliki pati lebih tinggi. Bagian utama tanaman sagu yang diambil hasilnya adalah batang yang merupakan tempat menyimpan cadangan makanan berupa karbohidrat. Batang sagu berbentuk silinder dengan kulit luar keras dan bagian dalam berupa empulur yang mengandung serat dan pati. Sagu memiliki anak daun dan berpelepah. Daun berperan penting dalam pembentukan pati melalui proses fotosintesis (Bintoro dkk., 2010). Gambar 2.1. Gambar Pohon Sagu Sumber: Sangadji (2009) 4
Potensi ampas sagu dapat dilihat dari luas areal tanaman sagu dan produksi sagu di Kabupaten Kepulauan Meranti. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) luas areal tanaman sagu di Kecamatan Tebing Tinggi, Tebing Tinggi Barat, Rangsang, Rangsang Barat dan Merbau pada Tahun 2009 diketahui 37.042 Ha dengan produksi sagu 196.101 ton (BPS, 2010). Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Tahun 2010 dan 2011 memperlihatkan bahwa luas areal tanaman sagu diketahui sama dan sedikit meningkat dari tahun sebelumnya, luas areal tanaman sagu pada Tahun 2010 dan 2011 adalah 37.436 Ha (BPS, 2011; 2012) dengan produksi sagu 198.162 ton pada Tahun 2010 (BPS, 2011) dan 225.723 ton pada Tahun 2011 (BPS, 2012). Menurut Bintoro dkk (2010) kandungan pati dalam empulur batang sagu berbeda-beda, tergantung jenis pohon sagu, umur dan lingkungan tumbuhnya. Tanaman sagu dapat dipanen apabila telah mencapai masak secara fisiologis yang ditandai dengan fase menyorong (munculnya calon bunga) yaitu umur tanaman 10-12 tahun. Menurut Idral dkk (2012) pada proses produksi sagu dihasilkan tiga jenis limbah, yaitu limbah empulur sagu berserat (ampas sagu), kulit batang sagu (bark) dan air buangan (waste water). Kulit batang sagu dan ampas sagu yang dihasilkan dari proses produksi sagu berturut-turut sekitar 26 % dan 14 % berdasarkan bobot total batang sagu. Perbandingan antara tepung dan ampas sagu yang dihasilkan dalam proses pengolahan balok sagu menjadi tepung sagu adalah 1 : 6 (Rumalatu, 1998). Ditambahkan oleh Kiat (2006) dalam pengolahan balok sagu menjadi tepung sagu 5
diperoleh 18,5 % pati sagu dan 81,5 % berupa ampas sagu. Bagan pengolahan balok sagu menjadi tepung sagu dapat dilihat pada Gambar 2.2 di bawah ini. Batang Sagu Pengupasan kulit dan pemotongan Ditambah Air Ditambah Air Pemarutan Peremasan Penyaringan Kulit Batang Sagu Pengendapan Pengeringan Ampas Sagu Air Sisa Tepung Sagu Gambar 2.2. Bagan Pengolahan Sagu Sumber: Sangadji (2009) Nuraini dkk (2005) menyatakan bahwa ampas sagu berupa serat-serat empelur yang diperoleh dari pemarutan dan pemerasan isi batang sagu dalam pengolahan batang sagu menjadi tepung sagu. Ampas sagu dapat menjadi alternatif bahan pakan sumber energi karena mengandung bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) yang tinggi yaitu 76,51 %, tetapi ampas sagu kurang baik bila 6
digunakan sebagai pakan tunggal karena berdasarkan bahan keringnya, ampas sagu memiliki kandungan protein kasar rendah. Kandungan nutrisi ampas sagu dapat dilihat pada Tabel 2.1 di bawah ini. Tabel 2.1. Kandungan Nutrisi Ampas Sagu Kandungan Nutrisi Kandungan (%) (a) (b) (c) (d) Kandungan air 11,68 - - - Protein kasar 3,38 3,29 1,36 2,10 lemak kasar 1,01 0,97-1,80 serat kasar 12,44 18,50 28,30 20,30 Abu 12,43 4,65-4,60 Bahan Kering 88,32 - - 86,00 BETN - - - 71,30 Keterangan: (a) Sumber: Adelina (2008) (b) Sumber: Martaguri dkk (2011) (c) Sumber: Tampoebolon (2009) (d) Sumber: Sangadji (2009) 1.2. Pengolahan Bahan Pakan Umumnya bahan pakan yang berasal dari limbah memiliki nilai nutrisi yang rendah terutama protein dan kecernaannya (Dev endra, 1980). Dibutuhkan perlakuan untuk meningkatkan kualitas bahan pakan dari limbah (Sangadji, 2009). Pengolahan bahan pakan secara fisik dapat dilakukan dengan pencacahan, penggilingan, peleting, pembasahan, pemasakan (sterilisasi) dan pemanasan dengan tekanan uap (Ryu, 1989). Pakan dengan bentuk fisik yang lebih halus dapat meningkatkan konsumsi, efisiensi, pertambahan bobot badan dan kecernaan (Anggorodi, 1979). Menurut Mucra et al (2009) perlakuan secara biologis bertujuan untuk meningkatkan nilai kecernaan bahan pakan berserat tinggi dengan bantuan mikroorganisme seperti jamur, bakteri atau penambahan enzim. Tujuannya adalah 7
mendegradasi lignohemiselulosa yaitu komponen serat kasar yang mengganggu kecernaan. Bahan pakan berkualitas rendah dapat ditingkatkan kualitasnya dengan perlakuan alkali menggunakan NaOH, Ca(OH) 2, atau gas NH 3 (Sutardi dkk., 1993). Dari berbagai penelitian yang dilakukan tentang pengolahan bahan pakan secara kimiawi dilaporkan bahwa perlakuan kimiawi dapat memperbaiki kualitas pakan, kecernaan dan intake beberapa komponen dinding sel dapat meningkat dengan perlakuan kimia (Ryu, 1989). Menurut Parakkasi (1999) bahan -bahan yang dapat digunakan untuk perlakuan kimiawi dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu alkali, asam, reagen oksidatif (NaOH, urin sapi, urea dan amonia encer). Parakkasi (1999) menambahkan bahwa bahan kimia yang dapat digunakan untuk pengolahan bahan pakan adalah alkali (NaOH, KOH, Ca(OH) 2, amonia anhidrase (NH 3 ), larutan amonia (NH 4 OH). 2.3. Urea Menurut Parakkasi (1999) urea merupakan salah satu sumber Non Protein Nitrogen (NPN) yang berbentuk kristal berwarna putih dan bersifat mudah larut dalam air dengan kandungan nitrogen 45 %. Penggunan urea dalam bahan pakan bertujuan untuk meningkatkan kandungan protein kasar, meningkatkan kecernaan dinding sel, menghancurkan aflatoksin, meningkatkan kandungan energi pada bahan pakan mencapai 70 % - 80 %, berfungsi sebagai pengawet serta meningkatkan palatabilitas bahan pakan. 8
Menurut Komar (1984) keunggulan amoniasi dengan urea dibandingkan dengan perlakuan alkali lainnya adalah amoniasi urea mampu menyediakan nitrogen (N) unt uk pertumbuhan mikroba rumen. Kelebihan lainnya adalah sederhana dalam pengerjaannya, murah, mudah, berfungsi sebagai pengawet, mengurangi kontaminasi mikroorganisme yang tidak dikehendaki, meningkatkan kandungan protein kasar hingga dua kali lipat, lebih disukai dan tidak menimbulkan polusi atau ramah lingkungan. Rumus kimia urea dan urea ditambah air dapat dilihat pada Gambar 2.3 dan Gambar 2.4 di bawah ini. NH 2 C O NH 2 Gambar 2. 3. Rumus Kimia Urea Sumber : Siregar (1995) CO(NH 2 ) 2 + H 2 O 2NH 2 + CO 2 Gambar 2.4. Rumus Kimia Urea Ditambah air Sumber : Marjuki (2013) 2.4. Amoniasi Menurut Klopfestein (1987) amoniasi merupakan salah satu perlakuan kimiawi pada bahan pakan dengan menambahkan amonia bersifat alkalis yang dapat melarutkan hemiselulosa dan akan memutuskan ikatan lignin dengan selulosa dan hemiselulosa. Penambahan amonia mengakibatkan perubahan komposisi dan struktur dinding sel yang berperan membebaskan ikatan antara lignin dengan selulosa dan hemiselulosa sehingga serat tersebut akan mudah diuraikan oleh enzim mikroba. 9
Penambahan amonia dapat meningkatkan kandungan protein kasar bahan pakan yang diamoniasi dengan urea karena adanya amonia hasil hidrolisis urea yang terfiksasi ke dalam jaringan serat dan nitrogen yang terfiksasi akan terukur sebagai protein kasar (Klopfestein, 1987). Prinsip amoniasi adalah penggunaan urea sebagai sumber amonia dengan tujuan melarutkan mineral silikat, menghidrolisis ikatan lignoselulosa dan lignohemiselulosa, meningkatkan kecernaan, meningkatkan kandungan protein kasar, serta menekan pertumbuhan jamur (Setyono dkk., 2009). Bahan kimia yang sangat efisien digunakan untuk pengolahan bahan pakan secara kimiawi adalah alkali (NaOH, KOH, Ca(OH) 2 ), amonia anhidrase (NH 3 ) dan larutan amonia (NH 4 OH) (Komar, 1984). Sangadji (2009) menambahkan bahwa penggunaan NH 3 gas yang dicairkan dan larutan amonia (NH 4 OH) umumnya menemui kendala karena harga yang relatif mahal. Lebih lanjut, Sangadji (2009) menambahkan penggunaan NH 3 gas membutuhkan tangki khusus yang tahan tekanan tinggi ( minimum 10 bar) dan penggunaan NH 4 OH terbatas hanya di laboratorium. Menurut Marjuki (2013) kandungan air mempengaruhi lama amoniasi, kandungan air yang kurang dari 30 % menyebabkan proses hidrolisis urea akan berlangsung lambat sehingga akan memperlambat proses amoniasi. Kandungan air lebih dari 60 % maka akan terlalu banyak air yang digunakan sehingga amonia yang terbentuk larut dalam air dan mengendap di bagian bawah silo sehingga proses amoniasi menjadi tidak merata. Menurut Marjuki (2013) proses hidrolisis urea menjadi amonia berlangsung dengan baik pada kisaran suhu 30 o C - 60 o C. Hidrolisis urea dapat 10
berlangsung dalam waktu sehari sampai seminggu pada suhu antara 20 o C - 45 o C dan proses tersebut berlangsung sangat lambat pada suhu 5 o C - 10 o C. Semakin tinggi suhu dan tekanan maka proses amoniasi akan berlangsung semakin cepat. Zain (2006) melaporkan amoniasi tandan kosong sawit dengan larutan urea 0 %, 2 %, 4 % dan 6 % dan lama amoniasi 3 minggu, dengan level urea hingga 6 % dapat meningkatkan kandungan protein kasar menjadi 9,82 %, menurunkan kandungan faksi serat Neutral Detergent fiber (NDF) menjadi 74,91 %, acid detergent fiber (ADF) menjadi 54,93 %, selulosa menjadi 44,98 %, hemiselulosa menjadi 19,98 % dan lignin mejadi 8,71 %. Afrijon (2011) melakukan penelitian amoniasi pod kakao dengan level urea yang berbeda, yaitu 0 %, 3 %, 6 % dan 9 %. Dilaporkan bahwa terjadi peningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik pod kakao berturut-turut dari 40,017 % (kontrol) menjadi 54,492 % dan 46,377 % (kontrol) menjadi 63,555 % pada level urea 9 %. Hanafi (1999) melaporkan amoniasi daun kelapa sawit dengan level urea 8 % dan lama amoniasi 30 hari menghasilkan ph basa dengan rataan ph amoniasi daun kelapa sawit 8,31. Penambahan molases pada amoniasi jerami padi menggunakan urea menghasilkan ph 5,5-7 (Bata, 2008). Sangadji (2009) melaporkan pemberian ampas sagu amoniasi sebagai pengganti rumput lapangan dengan level 15 % - 45 % menghasilkan ph cairan rumen 6,7-6,9, level amonia 9,8-10,00 mm dan volatile fatty acid (VFA) 88,3-98,2 mm maka disimpulkan bahwa pemberian ampas sagu amoniasi dengan level 15 % - 45 % tidak mengganggu keseimbangan mikroorganisme dalam rumen secara in vitro karena proses fermentasi berjalan dengan baik. 11
Suhardi (2011) melaporkan substitusi rumput gajah dengan jerami padi amoniasi pada level 5 % - 15 % tidak mempengaruhi kandungan protein, lemak susu, laktosa susu dan berat jenis susu sapi FH (Friesian Holstein), sehingga jerami padi amoniasi dapat digunakan untuk menggantikan sebagian rumput gajah pada ransum dan tidak mempengaruhi kualitas susu sapi FH (Friesian Holstein). Ditambahkan oleh Khasrad dan Rusdimansyah (2011) pemberian jerami padi amoniasi dengan taraf 25 % - 50 % menghasilkan tingkat keempukan daging 3,80 kg/cm 2-6,44 kg/cm 2, daya ikat air 44,86 % - 51,22 %, susut masak 37,27 % - 44,16 % dan ph 5,16 % - 5,38 % dan disimpulkan bahwa pemberian jerami padi amoniasi tidak mempengaruhi kualitas daging sapi pesisir. Mayulu dkk (2012) melaporkan pemberian ransum komplit berbasis limbah kelapa sawit amoniasi fermentasi pada domba tidak menyebabkan gangguan hematologis. Ini terlihat dari profil darah domba perlakuan dengan kandungan glukosa darah berkisar antara 73,70-81,18 mg/dl, kandungan hemoglobin berkisar antara 10,3-11,25 g/dl dan kandungan hematokrit berkisar antara 30 % - 33,75 %. 2.5. Kandungan Nutrisi Bahan Pakan Menurut Hanafi ( 1999) dalam bentuk bahan kering pemberian bahan pakan bagi ternak ruminansia berkisar antara 1,5 % - 3,5 % tetapi umumnya diberikan sebanyak 2 % - 3 % dari bobot badan ternak. Jumlah bahan kering yang dapat dikonsumsi oleh seekor ternak dalam 24 jam perlu diketahui, tujuannya agar jumlah konsumsi pakan yang dikonsumsi oleh ternak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi seekor ternak untuk pertumbuhan, hidup pokok dan produksinya. 12
Bahan kering suatu bahan pakan terdiri atas senyawa nitrogen, karbohidrat, lemak vitamin dan mineral (Parakkasi, 2006). Bahan kering merupakan salah satu parameter dalam menilai palatabilitas terhadap pakan yang digunakan dalam menentukan mutu suatu pakan (Hanafi, 1999). Menurut Hanafi (1999) bahan kering hijauan tinggi kandungan serat kasar karena terdiri dari kira-kira 20 % isi sel dan 80 % dinding sel. Isi sel terdiri atas zat-zat yang mudah dicerna yaitu protein, karbohidrat, mineral dan lemak dan dinding sel terdiri dari sebagian besar selulosa, hemiselulosa, protein dinding sel, lignin dan silika. Kandungan serat kasar dipengaruhi oleh spesies, umur dan bagian tanaman. Protein merupakan senyawa organik kompleks yang tersusun dari unsur C, H, O, dan N ( Suprijatna dkk., 2005). Protein berfungsi untuk pertumbuhan dan mempertahankan jaringan tubuh, mengatur keseimbangan air dalam tubuh, mengatur keseimbangan ph cairan tubuh dan sebagai antibodi, protein merupakan zat makanan dengan molekul kompleks yang terdiri dari asam-asam amino (Piliang & Haj, 2006). Menurut Suprijatna dkk (2005) protein tersusun dari 20 senyawa organik yang terdiri dari asam amino sehingga disebut ikatan peptida. Menurut Suprijatna dkk (2005) lemak adalah sekelompok ikatan organik yang terdiri atas unsur C, H dan O yang dapat larut dalam petroleum, benzene dan eter. Lemak merupakan ester gliserol yang mempunyai asam lemak rantai panjang dan merupakan persenyawaan karbon, hidrogen dan oksigen. Lemak dan minyak merupakan bahan yang dapat diekstraksi dengan eter (Wahju, 2004). Selain itu lemak juga larut dalam kloroform dan benzena (Piliang & Haj, 2006). 13
Lemak merupakan ester gliserol padat pada suhu ruang sedangkan minyak berbentuk cair pada temperatur tersebut ( Piliang & Haj, 2006; Suprijatna dkk., 2005). Lemak berfungsi sebagai insulator untuk mempertahankan suhu tubuh dan melindungi organ-organ dalam tubuh (Piliang & Haj, 2006). Menurut Amrullah (2003) komponen abu pada analisis proksimat bahan pakan tidak memberi nilai nutrisi yang penting karena sebagian besar abu terdiri dari silika. Kandungan abu pada hijauan banyak dipengaruhi oleh umur tanaman. Menurut Amrullah (2003) bahan ekstrak tanpa nitrogen ( BETN) terdiri dari zat-zat monosakarida, disakarida, trisakarida dan polisakarida terutama pati yang seluruhnya bersifat mudah larut dalam larutan asam dan larutan basa pada analisis serat kasar dan memiliki daya cerna yang tinggi. Bahan ekstrak tanpa nitrogen ( BETN) memiliki kandungan energi yang tinggi sehingga digolongkan kedalam bahan pakan sumber energi yang tidak berfungsi spesifik. 14