BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. kelangsungan hidup manusia, demikian juga halnya dengan kesehatan gigi dan

BAB I PENDAHULUAN. mutu pelayanan kesehatan pada seluruh masyarakat. Menurut WHO kesehatan adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. utama bila dibandingkan dengan penyakit umum lainnya. Penyakit gigi yang paling banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas) tahun 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. Hasil studi morbiditas Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) tahun menitikberatkan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Mufidah (2012) umumnya permasalahan keseh atan pada

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan balita adalah kesehatan pada anak umur 1-5 tahun sesuai

BAB I PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing (UU No. 17/2007).

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyelenggaraan pembangunan kesehatan dasar terutama ibu, bayi dan anak balita

BAB I PENDAHULUAN menjadi 228 kasus pada Angka kematian bayi menurun dari 70

BAB I PENDAHULUAN. penanganan secara komprehensif, karena masalah gigi berdimensi luas serta mempunyai

BAB 1 PENDAHULUAN. ini. Anak sekolah dasar memiliki kerentanan yang tinggi terkena karies,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Posyandu merupakan salah satu bentuk upaya kesehatan yang strategis serta

BAB 1 PENDAHULUAN. yang optimal meliputi kesehatan fisik, mental dan sosial. Terdapat pendekatanpendekatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pelayanan kesehatan masyarakat pada prinsipnya mengutamakan

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya yang tinggi. Bahkan Indonesia menduduki peringkat ke-empat

BAB I PENDAHULUAN. target Millenium Depelopment Goals (MDGs) Dimana angka kematian bayi

BAB 1 PENDAHULUAN. umum. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut dilakukan upaya kesehatan yang. masyarakat dengan peran serta aktif masyarakat.

BAB 1 PENDAHULUAN. Karies gigi adalah proses perusakan jaringan keras gigi yang dimulai dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. rawan terhadap masalah gizi. Anak balita mengalami pertumbuhan dan. perkembangan yang pesat sehingga membutuhkan suplai makanan dan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data WHO (World Health Organization) (2013), terjadi peningkatan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG DINAS KESEHATAN PUSKESMAS DONGI Alamat : Jl. Lattabe No 4 Dongi, Kec. Pitu Riawa.

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan yang merugikan kesehatan. Hal-hal ini secara langsung menjadi. anak usia dibawah 2 tahun (Depkes RI, 2009)

BAB 1 PENDAHULUAN. faktor yang perlu diperhatikan dalam menjaga kesehatan, karena masa balita

BAB I PENDAHULUAN. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk membentuk

BAB I PENDAHULUAN. Usia antara 0-5 tahun adalah merupakan periode yang sangat penting

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. 2012). Status kesehatan gigi dan mulut umumnya dinyatakan dalam prevalensi

BAB 1 PENDAHULUAN. cerdas dan produktif. Indikatornya adalah manusia yang mampu hidup lebih lama

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. turut berperan dalam menentukan status kesehatan seseorang. Berdasarkan hasil

BAB I PENDAHULUAN. Posyandu diselenggarakan untuk kepentingan masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan kesehatan yang semakin muncul di permukaan. Kesehatan gigi dan mulut masyarakat Indonesia masih merupakan hal

BAB 1 PENDAHULUAN. pemberdayaan masyarakat atau kader posyandu (Depkes, 2007). Menurut MDGs (Millenium Development Goals) di tingkat ASEAN, AKB

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi dan radang gusi (gingivitis) merupakan penyakit gigi dan

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu faktor penting dalam perkembangan normal anak. 1 Penyakit gigi dan

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan

BAB I PENDAHULUAN. bahwa 90% dari anak didunia mengalami masalah kerusakan gigi. Hasil Riset Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. dalam perkembangan kesehatan anak, salah satunya disebabkan oleh rentannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

2015 GAMBARAN PENGETAHUAN ANAK USIA 7 SAMPAI DENGAN 12 TAHUN TENTANG ORAL HYGIENE BERDASARKAN KARAKTERISTIK DI SDN JALAN ANYAR KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesehatan termasuk dalam hal gizi. Hal ini terbukti dari

BAB VII PENUTUP. 1. Lebih dari separoh responden mengalami karies gigi di wilayah puskesmas Padang

BAB I PENDAHULUAN. Gigi dan mulut merupakan alat pencernaan mekanis manusia. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung maupun tidak langsung. Status gizi secara langsung

Wujud pemberdayaan masyarakat UKBM (Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat) Promotif, Preventif Mulai dicanangkan 1986

PERAWATAN GIGI SUSU PADA ANAK USIA SEKOLAH DI TAMAN GIZI ANAK SEHAT DESA GUMPANG, KARTASURA SUKOHARJO

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan berat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Lanjut usia yang lazim disingkat, Lansia adalah warga negara Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. kurang berfungsinya lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat, seperti posyandu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Selama beberapa periode belakangan ini, pembangunan sosial di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Gigi merupakan bagian dari alat pengunyahan pada system pencernaan dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu prioritas Kementrian Kesehatan saat ini adalah meningkatkan status

RENCANA KINERJA TAHUNAN KEGIATAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PROMOSI KESEHATAN TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. terencana melalui pendidikan. Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi memiliki dimensi luas, tidak hanya masalah kesehatan tetapi

BAB I PENDAHULUAN. gizi anak balitanya. Salah satu tujuan posyandu adalah memantau peningkatan status

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk terciptanya kesadaran, kemauan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang berkualitas. Salah satu upaya yang strategis untuk meningkatkan

PENDAHULUAN. mulut adalah penyakit jaringan keries gigi (caries dentis) disamping penyakit gusi.

BAB 1 PENDAHULUAN. makan dengan ciri makanannya. Pola makan ini dipengaruhi oleh beberapa hal,

BAB 1 PENDAHULUAN. jika gigi mengalami sakit akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Kesehatan gigi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

BAB I PENDAHULUAN. memiliki fungsi estetik yang menunjang kecantikan. Menjaga kebersihan gigi dan

BAB I PENDAHULUAN. baik. Penelitian yang di lakukan Nugroho bahwa dari 27,1% responden yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Banyak ahli mengatakan bahwa kesehatan rongga mulut merupakan bagian

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Ismawati tahun 2010 (dalam Ariyani dkk, 2012), posyandu

BAB I PENDAHULUAN. pada anak usia sekolah dasar (Soebroto, 2009). mulut adalah penyakit jaringan keras gigi (karies gigi) dan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak kalah pentingnya yaitu pertumbuhan gigi. Menurut Soebroto

BETTY YULIANA WAHYU WIJAYANTI J.

BAB I PENDAHULUAN. program Oral Health 2010 yang telah disepakati oleh WHO (World Health

BAB I PENDAHULUAN. masalah gizi utama yang perlu mendapat perhatian. Masalah gizi secara

BAB 1 PENDAHULUAN. karies karena struktur dan morfologi gigi sulung yang berbeda dari gigi tetap. 1

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 155/Menkes/Per/I/2010 TENTANG PENGGUNAAN KARTU MENUJU SEHAT (KMS) BAGI BALITA

EFEKTIFITAS STRATEGI UPSTREAM TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU HIDUP SEHAT GIGI MELALUI KONSELING PADA SISWA/I KELAS I SDN 12 PONTIANAK KOTA

BAB I PENDAHULUAN. perlu dilakukan karena kesehatan bukan tanggung jawab pemerintah saja, namun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Jakarta, Maret 2013 Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga, DR. Sudibyo Alimoeso, MA

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan ketertiban dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. tujuan tersebut yaitu dengan pemberian Air Susu Ibu (ASI) sampai bayi

BUPATI MADIUN SALISSS SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 46 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karbohidrat oleh bakteri, gigi, dan saliva.karies yang terjadi pada gigi desidui

BAB I PENDAHULUAN. dan nilai gizi, berdasarkan data terbaru pada tahun , masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan kerusakan bahan organik yang dapat menyebabkan rasa ngilu sampai

BAB 1 PENDAHULUAN. seperti berbicara, makan, dan bersosialisasi tidak akan terganggu karena terhindar dari rasa sakit,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Teknik radiografi yang digunakan dalam bidang kedokteran gigi ada dua yaitu teknik intraoral dan ekstraoral.

BAB I PENDAHULUAN. The World Health Report Tahun 2005 dilaporkan Angka Kematian Bayi Baru

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Posyandu adalah suatu bentuk keterpaduan pelayanan kesehatan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. lainnya. 2 Karies yang terjadi pada anak-anak di antara usia 0-71 bulan lebih dikenal

BAB I PENDAHULUAN. oleh Pemerintah (UU RI No. 36 Tahun 2009 Pasal 93). (Rahmawati dkk., 2011). Anak-anak yang berusia 6-12 tahun diseluruh

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan gigi dan mulut saat ini masih menjadi keluhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan di Indonesia saat ini, seperti dinyatakan dalam Sistem Kesehatan Nasional, terus mengedepankan upaya kesehatan yang bersifat peningkatan (promotif) dan pencegahan (preventif) dengan pemberdayaan dan kemandirian masyarakat sebagai dasar penyelenggaraannya (Departemen Kesehatan RI, 2009). Kesehatan secara menyeluruh, terutama pada bayi dan anak-anak, menjadi tujuan utama. Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan gigi dan mulut adalah bagian dari kesehatan secara keseluruhan dan penting bagi kualitas hidup. Kesehatan secara umum sangat dipengaruhi oleh kesehatan gigi dan rongga mulut, karena rongga mulut merupakan pintu gerbang masuknya beragam unsur ke dalam tubuh manusia, baik yang bermanfaat maupun merugikan kesehatan. Masa kanak-kanak adalah periode yang paling rentan terjadinya kerusakan gigi. Dental karies merupakan masalah yang sangat sering dijumpai dan masih menjadi persoalan utama dalam kesehatan gigi dan mulut pada anak (Tinanoff dan Reisine, 2009; Sayegh et al., 2005). Negara maju seperti Australia, mencatat jumlah anak yang menderita karies sebesar 48,7% pada usia 5-6 tahun, dan 45,1% pada usia 12 tahun (Australian Institute of Health and Welfare, 2011). Di negara-negara berkembang, angka prevalensi karies pada anak dilaporkan jauh lebih tinggi. Bagramian et al. (2009) mengulas kondisi di beberapa negara terkait dengan peningkatan angka kejadian karies pada anak, di antaranya di Filipina, Taiwan dan China. Prevalensi karies pada anak umur 6 tahun di Filipina mencapai 97,1%, sementara di Taiwan sebesar 89,4%. Untuk negara China, pada anak usia 5-6 tahun, prevalensi karies dilaporkan sebesar 84%. Adapun di Indonesia, menurut hasil Riskesdas tahun 2007, prevalensi karies masyarakat termasuk anak-anak adalah sebesar 72,1% (Departemen Kesehatan RI, 2007). Beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai wilayah 1

di Indonesia juga menunjukkan tingginya angka karies pada anak. Hidayanti (2005) melaporkan bahwa di Kecamatan Cihedeung Kota Tasikmalaya, jumlah anak usia sekolah yang menderita karies mencapai 96,8% dari 278 siswa sekolah dasar yang diperiksa. Prevalensi karies yang tinggi pada anak usia sekolah dasar, mencapai 94,10% juga ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan di salah satu sekolah dasar di Kota Medan (Meishi, 2011). Tingginya angka kejadian karies pada anak dipengaruhi oleh banyak faktor. Struktur gigi susu yang lebih lunak daripada gigi permanen, adanya kebiasaan buruk balita seperti minum susu dari dot selama tidur, makan makanan manis serta kurangnya kebersihan mulut membuat kerusakan gigi lebih mudah terjadi. Selain itu, kurangnya pengetahuan orangtua akan upaya kesehatan gigi dan mulut bagi anak, juga turut berperan pada meluasnya kerusakan gigi anak karena karies (Selwitz et al., 2007). Kondisi kesehatan gigi dan mulut balita yang buruk akan membawa dampak negatif bagi tumbuh kembang anak, di antaranya pertumbuhan tulang rahang yang terganggu. Barham dan Morris (1980) mengatakan bahwa pertumbuhan tulang maksila dan mandibula berkaitan erat dengan kondisi gigi-geligi. Sepertiga bagian bawah profil wajah dibentuk oleh tulang rahang ini, sehingga apabila pertumbuhan tulang rahang terganggu akan dapat mengakibatkan profil wajah yang tidak proposional. Sementara itu, Tinanoff dan Reisine (2009) memaparkan bahwa anak-anak yang menderita karies akan mengalami rasa nyeri yang dapat mengganggu aktivitas mereka. Selain itu, juga menimbulkan keluhan psikologis seperti murung dan malu untuk tersenyum. Pemantauan tumbuh kembang anak seyogyanya dilakukan secara terus menerus. Salah satu sarana yang dapat digunakan oleh orangtua untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan balita adalah melalui pos pelayanan terpadu atau posyandu. Posyandu adalah kegiatan yang dilaksanakan oleh, dari, dan untuk masyarakat. Sasaran utamanya adalah balita dan orangtuanya, ibu hamil, ibu menyusui dan bayinya, serta wanita usia subur, sedangkan yang bertindak sebagai pelaksana posyandu adalah kader. Posyandu dikembangkan sebagai sebuah strategi yang tepat untuk menjaga kelangsungan hidup anak 2

sejak dalam kandungan sampai usia balita dan untuk membina tumbuh kembang anak secara sempurna, baik fisik maupun mental (Departemen Dalam Negeri, 2001). Posyandu memiliki peran penting sebagai salah satu kegiatan sosial bagi ibu-ibu untuk memantau tumbuh kembang balita, termasuk proses tumbuh kembang gigi-geligi anak. Pemerintah, melalui posyandu, berusaha memberikan pendidikan dan pelayanan kesehatan gigi primer dengan menyelenggarakan Usaha Kesehatan Gigi Masyarakat Desa (UKGMD). Akan tetapi pelaksanaan UKGMD tersebut sering terkendala keterbatasan fasilitas dan kurangnya kemampuan kader. Untuk wilayah Kota Yogyakarta, pelaksanaan UKGMD juga belum dapat berjalan optimal. Sebagai contoh, di Kecamatan Mantrijeron, baru sekitar 50% posyandu di wilayah tersebut yang melakukan kegiatan UKGMD. Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Puskesmas Mantrijeron, didapatkan hasil bahwa pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan kader mengenai kesehatan gigi dan mulut masih kurang sehingga kegiatan UKGMD belum dapat menyeluruh (Permanasari, 2010). Adapun di Puskesmas Tegalrejo, kegiatan UKGMD belum dapat dijalankan karena adanya beberapa hambatan, antara lain kesulitan pengadaan alat dan pelatihan kader. Pelaksanaan UKGMD membutuhkan alat dan sarana seperti dental diagnostic set serta bahan habis pakai (alkohol, kapas, sarung tangan) yang masih terkendala alokasi dana untuk penyediaannya. Selain itu pula, letak wilayah yang berada di pusat kota, membuat masyarakat lebih memilih langsung pergi ke tempat layanan kesehatan atau dokter gigi apabila merasa mengalami keluhan masalah kesehatan gigi daripada berkonsultasi terlebih dahulu dengan kader di posyandu. Sementara itu, kader posyandu di wilayah juga merasa belum memiliki pengetahuan yang cukup terkait dengan permasalahan gigi dan mulut pada anak, sehingga kader merasa tidak percaya diri untuk melaksanakan UKGMD di posyandu (Wulansari, 2006). Selain sebagai pelaksana rutin, kader juga bertugas memberikan penyuluhan terkait dengan kesehatan ibu dan anak. Oleh karena itu, kader harus menguasai berbagai teknik keterampilan dan pengetahuan (Sulistyorini et al., 2010). Pengetahuan yang harus dimiliki kader tersebut termasuk juga 3

pengetahuan mengenai kesehatan gigi dan mulut balita sebagai bagian dari kesehatan anak secara umum. Pelatihan atau penyegaran mengenai pengetahuan kesehatan gigi dan mulut pada anak, tidak hanya khusus bagi kader UKGMD saja. Kader posyandu secara umum juga dapat diberi pelatihan tersebut untuk menambah pengetahuan dan kemampuan kader, sehingga walaupun posyandu tidak memiliki program UKGMD, kader tetap mampu melayani masyarakat yang membutuhkan bantuan seputar permasalahan tumbuh kembang gigi dan mulut anak. Metode pelatihan dan penyegaran kader posyandu yang selama ini banyak digunakan adalah pendekatan konvensional, yaitu pelatihan yang diberikan secara ceramah dan tanya jawab. Pada metode ini sering terjadi komunikasi satu arah saja, sehingga hasil yang diperoleh kurang optimal (Pandiangan, 2005). Penggunaan media audiovisual merupakan salah satu bentuk intervensi lain yang dapat diberikan sebagai tambahan pada metode konvensional. Penelitian Snowdon et al. (2009) yang dilakukan di Ontario, Kanada menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan yang signifikan pada orangtua mengenai keselamatan saat berkendara bagi anak-anak. Adapun untuk penggunaan media audiovisual di Indonesia masih banyak terkendala, antara lain dengan biaya pembuatan yang cukup tinggi dan penguasaan teknologi yang masih kurang. Upaya lain guna mengoptimalkan hasil pelatihan dilakukan oleh Gunanti et al. (2005) dengan menambahkan adanya contoh studi kasus yang terjadi, selain pemberian ceramah dan tanya jawab dalam pelatihan kepada kader. Strategi yang saat ini banyak dilakukan guna mengoptimalkan hasil pelatihan adalah dengan meningkatkan peran aktif peserta selama pelatihan berlangsung. Peserta diharapkan tidak hanya duduk, diam dan mendenga rkan, tetapi juga mampu terlibat secara aktif dalam proses pembelajarannya. Salah satu metode pelatihan dengan strategi active learning ini adalah metode belajar berdasarkan masalah (problem based learning). Sukiarko (2007) menggunakan metode belajar berdasarkan masalah ini untuk mengetahui pengaruh pelatihan terhadap pengetahuan dan keterampilan kader gizi dalam kegiatan posyandu. 4

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kader yang dilatih dengan menggunakan metode belajar berdasarkan masalah memiliki pengetahuan dan keterampilan yang jauh lebih tinggi daripada kader yang dilatih dengan metode konvensional. Bentuk lain penerapan metode active learning pada pelatihan kader posyandu, juga dijumpai dalam model pelatihan partisipatif (Zuhaimi, 2009). Dalam pelatihan partisipatif ini, para kader dirangsang untuk ikut serta berpartisipasi aktif dalam pelatihan bersama-sama dengan peserta yang lain. Metode tersebut mampu menarik perhatian kader dan membuat materi yang diberikan lebih mudah diterima. Posyandu merupakan suatu upaya kesehatan melalui pemberdayaan mayarakat yang bekerjasama dengan berbagai lintas sektor seperti puskesmas, pemerintahan desa/kelurahan, dan lembaga swadaya masyarakat lainnya. Seluruh pihak tersebut diharapkan memiliki kemampuan kerja sama yang baik, sehingga dapat bekerja bersama-sama untuk kepentingan masyarakat (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Kader sebagai kelompok penggerak kesehatan di masyarakat tidak dapat bekerja sendiri-sendiri. Tidak hanya pengetahuan dan keterampilan teknis saja yang harus dimiliki oleh seorang kader posyandu, namun juga kemampuan untuk berinteraksi dan bekerjasama, baik dalam satu tim maupun dengan pihak lain. Oleh karena itu, pendidikan kesehatan yang diberikan kepada kader posyandu seyogyanya tidak hanya berorientasi pada peningkatan pengetahuan saja, tetapi juga mampu melatih keterampilan sosialisasi dan kemampuan bekerjasama sebagai teamwork. Salah satu metode baru yang dapat diaplikasikan dalam pelatihan kader dengan tujuan tersebut di atas adalah dengan collaborative learning atau pembelajaran kolaborasi. Pembelajaran kolaborasi merupakan model pembelajaran dalam kelompok yang lebih berfokus pada murid daripada guru. Melalui model pembelajaran ini, peserta didik dibagi dalam kelompok kecil dan distimulasi untuk secara aktif berperan dalam setiap proses yang dilalui secara bersamasama. Penggunaan metode collaborative learning ini dapat meningkatkan komitmen dalam kelompok, motivasi dan antusiasme selama proses pendidikan 5

(Marlow et al., 2008). Sementara itu, Yang et al. (2011) menyatakan bahwa collaborative learning merupakan pendekatan strategis untuk mempersiapkan tenaga kesehatan yang akan bekerja sebagai kelompok kerja (teamwork) di masyarakat. Tenaga kesehatan yang dilatih melalui collaborative learning akan mempunyai kemampuan untuk bekerjasama dan memberikan peran terbaiknya bagi keberhasilan tim. Adanya metode collaborative learning tersebut dapat menjadi alternatif cara baru dalam pembelajaran yang dapat memberikan hasil optimal. Terkait dengan upaya peningkatan pengetahuan kader mengenai kesehatan gigi dan mulut balita, perlu dikaji lebih lanjut pengaruh pelatihan dengan metode collaborative learning tersebut terhadap pengetahuan dan keterampilan kader mengenai kesehatan gigi dan mulut pada balita. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan masalah penelitian, yaitu: Bagaimana pengaruh pelatihan dengan metode collaborative learning terhadap pengetahuan dan keterampilan kader posyandu mengenai kesehatan gigi dan mulut pada balita?. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui pengaruh penggunaan metode collaborative learning dalam pelatihan terhadap peningkatan pengetahuan dan keterampilan kader posyandu mengenai kesehatan gigi dan mulut pada balita. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui pengaruh pelatihan dengan metode collaborative learning terhadap peningkatan pengetahuan kader posyandu mengenai kesehatan gigi dan mulut pada balita. 6

b. Mengetahui pengaruh pelatihan dengan metode collaborative learning terhadap peningkatan keterampilan kader posyandu mengenai kesehatan gigi dan mulut pada balita. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi instansi pemerintah Sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dalam hal pemilihan metode untuk kegiatan pelatihan kader posyandu dalam bidang kesehatan gigi dan mulut bagi balita. 2. Bagi peneliti Sebagai bagian dari proses pembelajaran dengan menambah pengetahuan dan pengalaman terkait dengan permasalahan dan pendalaman penelitian ilmiah. 3. Bagi peneliti lain Sebagai informasi dan masukan bagi penelitian lain mengenai pengaruh pelatihan dengan metode collaborative learning terhadap pengetahuan dan keterampilan kader posyandu. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang pengaruh pelatihan kader posyandu dengan metode collaborative learning terhadap pengetahuan dan keterampilan kader posyandu mengenai kesehatan gigi dan mulut pada balita belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Adapun beberapa penelitian mengenai pemberian pelatihan kepada kader posyandu di antaranya adalah: 1. Sukiarko (2007) dengan judul Pengaruh Pelatihan dengan metode Belajar Berdasarkan Masalah terhadap Pengetahuan dan Keterampilan Kader Gizi dalam Kegiatan Posyandu. Studi di Kecamatan Tempuran Kabupaten Magelang. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa metode belajar berdasarkan masalah dapat 7

memberikan hasil yang lebih baik terkait dengan pengetahuan dan keterampilan kader gizi dibandingkan dengan metode konvensional ceramah. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah pada tema dan metode pelatihan yang digunakan. Penelitian tersebut menggunakan metode BBM dengan kelompok kontrol diberikan metode konvensional ceramah, sedangkan pada penelitian ini menggunakan metode collaborative learning dengan kelompok kontrol tidak hanya ceramah, tetapi juga tanya jawab dan demonstrasi. 2. Zuhaimi (2009) dengan judul Perbedaan Pengetahuan tentang Peran Kader dan Kemampuan dalam Menilai Kurva Pertumbuhan Balita Sebelum dan Sesudah Pelatihan Partisipatif. Hasil penelitian tersebut menyatakan ada perbedaan antara pengetahuan dan kemampuan kader sebelum dan sesudah dilakukan pelatihan partisipatif. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada tema, metode, dan rancangan penelitian. Pada penelitian tersebut, postes hanya dilakukan sekali sesudah pelatihan berakhir. adapun pada penelitian ini, postes dilaksanakan dua kali yaitu pada saat pelatihan berakhir dan satu bulan sesudahnya. 3. Yang et al. (2011) dengan judul Collaborative Learning among Undergraduate Students in Community Health Nursing. Penelitian tersebut dilakukan di Pittsburgh, USA pada mahasiswa keperawatan. Hasil penelitian menyatakan adanya peningkatan efektivitas tim, kerja sama, komunikasi, dan pembelajaran yang aktif dari siswa dengan penggunaan metode collaborative learning. Perbedaan dengan penelitian ini terutama pada jenis penelitian, yaitu penelitian tersebut merupakan sebuah penelitian kualitatif dengan metode survei, evaluasi kelompok, dan evaluasi formatif dan sumatif oleh fakultas. 8