BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi dan Morfologi Hama Ulat Api (Setothosea asigna) Klasifikasi Setothosea asigna menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Phylum : Arthopoda Class : Insekta Ordo : Lepidoptera Family : Limacodidae Genus : Setothosea Species : Setothosea asigna van Eacke Ulat api merupakan salah satu jenis ulat pemakan daun kelapa sawit yang paling sering menimbulkan kerugian besar di perkebunan-perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Jenis-jenis ulat api yang paling banyak ditemukan adalah S. asigna, S. nitens, D. trima, D. diducta dan D,bradleyi. Sedangkan jenis yang jarang ditemukan adalah T. vestusa, B. bisura, Susica malayana dan Birthamula chara ulat api yang paling merusak di Indonesia dilaporkan adalah S.asigna. S. nitens dan D. trima (Susanto dkk, 2012). 2.2 Siklus Hidup Hama Ulat Api S. asigna 2.2.1 Telur Pada gambar 2.1 kita dapat melihat telur berwarna kuning kehijauan, berbentuk oval, sangat berukuran tipis dan transparan. Telur diletakkan berderet 3-4 baris sejajar pada permukaan daun bagian bawah, biasanya pada pelepah daun ke-6 dan ke-17. Satu tumpukan telur berisi sekitar 44 butir dan seekor ngengat betina mampu menghasilkan telur sebanyak 300-400 butir. Telur menetas 4-8 hari setelah diletakkan (Susanto dkk, 2012). 4
Gambar 2.1 Telur S. asigna 2.2.2 Larva Jelas kita lihat pada Gambar 2.2 Larva berwarna hijau kekuningan dengan duri-duri yang kokoh di bagian punggung dan bercak bersambung sepanjang punggung, berwarna coklat sampai ungu keabu-abuan dan putih. Warna larva dapat berubah-ubah sesuai dengan instarnya, semakin tua umurnya akan menjadi semakin gelap. Larva instar terakhir (instar ke-9) berukuran panjang 36 mm dan lebar 14,5 mm, sedangkan apabila sampai instar ke-8 ukurannya sedikit lebih kecil. Menjelang berpupa, ulat menjatuhkan diri ke tanah. Stadia larva ini berlangsung selama 49-50, 3 hari (Susanto dkk, 2012). Gambar 2.2 Larva Ulat Api S. asigna 2.2.3 Pupa Seperti pada Gambar 2.3 Pupa berada di dalam kokon yang terbuat dari campuran air liur ulat dan tanah, berbentuk bulat telur dan berwarna cokelat 5
gelap, terdapat di bagian tanah yang relatif gembur di sekitar piringan atau pangkal batang kelapa sawit. Pupa jantan dan pupa betina masing-masing berukuran berlangsung selama ± 39,7 hari (Susanto dkk, 2012). Gambar 2.3 Pupa S. asigna Kokon dengan ukuran 16 x 13 mm untuk jantan dan 20 x 16,5 mm untuk betina. Masa kepompong ± 40 hari. Waktu akan menetas menjadi kupu-kupu kepongpong berwarna coklat tua (Eliakim, 2014). 2.2.4 Ngengat Pada Gambar 2.4 adalah gambaran ngengat dimana mempunyai periode hidup yang pendek yaitu 7 hari. Waktu yang pendek tersebut hanya digunakan untuk kawin dan bertelur dengan produksi telur antara 300-400 butir/induk. Gambar 2.4 Ngengat Ulat Api S. asigna Siklus hidup hama pemakan daun kelapa sawit melalui empat stadium yaitu telur, larva, pupa, dan imago. Laju perkembangan populasi didukung oleh kemampuan berkembangbiak dan waktu yang diperlukan dalam 6
menyelesaikan siklus hidup. Semakin tinggi daya berbiak dan semakin pendek siklus hidup semakin cepat laju pertumbuhan populasi semakin tinggi kemampuan hama untuk merusak, toleransi tingkat batas kritis populasi menjadi rendah (Eliakim, 2014). Dengan demikian perkembangan dari telur sampai dengan ngengat berkisar antara 92,7 98 hari, tetapi ada keadaan kurang menguntungkan dapat mencapai 115 hari (Susanto dkk, 2012). Lebar rentangan sayap serangga dewasa (ngengat) jantan dan betina masing-masing 41 mm dan 51 mm. sayap depannya berwarna cokelat kemerahan dengan garis transparan dan bintikbintik gelap, sedangkan sayap belakang berwarna cokelat muda. Siklus hidup masing-masing spesies ulat api berbeda. S. asigna mempunyai siklus hidup 106-138 hari. Siklus hidup tergantung pada lokasi dan lingkungan (Susanto dkk, 2012). 2.3 Gejala dan Kerusakan Gejala serangan dari ulat api hampir sama yaitu melidinya daun kelapa sawit apabila serangan berat. Serangan S. asigna di lapangan umumnya mengakibatkan daun kelapa sawit habis dengan sangat cepat dan berbentuk seperti melidi tanaman tidak dapat menghasilkan tandan selama 2-3 tahun jika serangan yang terjadi sangat berat (Susanto dkk, 2012). Umumnya gejala serangan di mulai dari daun bagian bawah seperti gambar 2.5 hingga akhirnya helaian daun berlubang habis dan bagian yang tersisa hanyalah tulang daun saja. Ulat ini sangat rakus, mampu mengkonsumsi 300-500 cm² daun sawit perhari. Tingkat populasi 5-10 ulat per pelepah merupakan populasi kritis hama tersebut di lapangan dan harusnya segera diambil pengendalian (Susanto dkk, 2012). 7
Gambar 2.5 Tanaman Sawit Terserang Ulat Api S. asigna 2.4 Metode Pengendalian Hama Ulat Api (S. asigna) 2.4.1 Pengendalian Hayati Pengendalian dilakukan secara hayati. Beberapa agens antagonis telah banyak digunakan untuk megendalikan hama ulat diantaranya adalah Bacillus thuringiensis untuk stadia larva, Cordyceps militaris untuk stadia pupa ulat api, dan Nucleopolyhedral virus (NPV) untuk beberapa stadia ulat api. Produk bioinsektisida berbahan aktif B. thuringiensis telah banyak di jumpai di pasaran sedangkan jamur C. militaris masih di kembangkan pada media jagung giling dengan dosis aplikasi 20 gr/piringan pohon. Namun demikian, saat ini PPKS telah berhasil memformulasikan dalam tablet effervescent yang merupakan konsorsim agen hayati B. thuringiensis, C. militaris, Beauveria bassiana, dan Metarizium anisopliae, virus NPV saat ini tersedia spesifik untuk ulat api S. asigna dan S. nitens yang cukup efektif menurunkan populasi ulat dalam waktu satu minggu dengan dosis 400 gram ulat terinfeksi virus perhektar (Susanto dkk, 2015). 8
2.4.2 Pengendalian Mekanik Secara mekanik dengan pengutipan semua stadia hama seperti telur, ulat, pupa/kepompong maupun ngengat/kupu-kupu. Cara mekanik lain adalah melakukan pemerangkapan stadia ngengat menggunakan perangkap cahaya/light trap (Susanto dkk, 2015). 2.4.3 Pengendalian Bioligis Dengan menggunakan organisme lain sebagai musuhnya yakni. Parasit : Organisme yang hidupnya tergantung dan merugikan organisme lain. Predator : Organisme pemakan serangga/hama. (SPO PT. Perkebunan Nusantara IV, 2007). 2.4.4 Pengendalian Kimiawi a) Sistem Fogging Salah satu pengendalian hama ulat api dengan menggunakan fogging yaitu sistem pengendalian dengan cara pengasapan dengan bahan kimia insektisida dan solar. Pada alat pengasapan tekanan aliran-aliran udara berfungsi sebagai pengangkut butir-butir racun (insektisida) melalui nozzle, sehingga menghasilkan butiran yang sangat halus (Eliakim, 2014). Decis 2,5 EC insektisida ini berbentuk cairan, dalam menggunakannya harus diencerkan dulu dengan air. Bahan aktif yang dikandungnya adalah Deltametrin 25 g/l. Decis 2,5 EC bisa bekerja secara ganda, yaitu bersifat racun kontak dan racun perut. Banyak sekali kegunaan insektisida ini, yaitu untuk memberantas hama-hama yang menyerang tanaman cokelat, kapas, kedelai, kelapa sawit, kubis, teh, dan tembakau (Wudianto, 1989). Dalam pengaplikasian insektisida agar hasilnya lebih baik dapat ditambahkan bahan adiktif seperti zat pengemulsi. Emulsifier atau zat pengemulsi 9
berfungsi untuk membantu menjaga kestabilan emulsi minyak dan air sedangkan emulgator berfungsi menstabilkan emulsi pada Fogging. Keuntungan sistem Fogging : 1. Cakupan luas ± 20-25 Ha/hari kerja 2. Sangan efektif untuk insektisida kontak Kekurangan system Fogging : 1. Hanya dapat di aplikasi pada malam hari 2. Diperlukan tenaga kerja yang terlatih 3. Tidak sesuai untuk areal yang bergelombang Cara kerja Fogging : 1. Air di campur dengan emulgator kemudian di campur dengan solar dan dicampur dengan bahan kimia insektisida sesuai dengan anjuran dalam tong/derigen/botol lalu di aduk 2. Kemudian masukkan 5 liter larutan yang telah di campur ke dalam tangki 3. Aplikasi pada areal yang di tentukan Gambar 2.6 Mesin Fogging Tasco KB 150 Pemakaian insektisida dilakukan jika populasi sudah sangat tinggi atau tidak dapat dilakukan dengan cara pengendalian alami yaitu dengan cara menyemprotkan bahan kimia sesuai dengan buku komisi pestisida. Pada tanaman muda yang baru ditanam (1 tahun) dapat dilakukan dengan semprot gendong biasa (knapsack) sedangkan pada tanaman umur 2-3 tahun menggunakan Mist blower karena jumlah pelepah sudah banyak dan luas serta posisi daun sudah tinggi dari permukaan tanah. 10
Tipe fogging yang digunakan di perkebunan terutama kelapa sawit pada umumya ada dua tipe yaitu fogging dengan satu tabung insektisida dan fogging dengan dua tabung insektisida (Susanto dkk, 2015). Tabel. 2.1 Dosis Larutan untuk Pengendalian UPDKS dengan Alat Fogging pada Berbagai Ketinggian. No Bahan Tanaman Rendah Tanaman Tinggi 1 Air 23-30% 13-20% 2 Emulgator 2-5% 2-5% 3 Insektisida Sesuai dosis (8-12%) Sesuai dosis (8-12%) 4 Solar 60% 70% Total 100% 100% Sumber : Susanto dkk, 2015 Cara kalibrasi larutan untuk fogging : 1. Bahan yang dibutuhkan : botol plastik kapasitas 650 ml sebanyak 4 buah, emulgator, air, insektisida dan solar. 2. Tuangkan air kedalam botol pelastik selanjutnya ditambah emulgator dan insektisida selanjutnya diaduk. 3. Setelah tiga bahan tadi telah tercampur sempurna maka masukkan solar dan diaduk sampai mendapatkan larutan yang sempurna (minyak dan air menyatu). 4. Selanjutnya didiamkan dalam waktu ± 30 menit dan diamati hasilnya, setelah mendapatkan hasil dengan dosis yang terbaik ditandai dengan tidak adanya pemisahan pada larutan minyak dan air maka dosis tersebut dapat di jadikan acuan dalam pencampuran sekala besar. Pada Tabel 2.2 kita dapat melihat dosis yang digunakan untuk kalibrasi. 11
Tabel 2.2 Dosis untuk Kalibrasi Larutan Fogging Ulat Api. No. Bahan Dosis (ml) Botol 1 (2%) Botol 2 (3%) Botol 3 (4%) Botol 4 (5%) 1 Air 140 135 130 125 2 Emulgator 10 15 20 25 3 Insektisida 50 50 50 50 4 Solar 300 300 300 300 Total 500 500 500 500 Sumber : Susanto dkk, 2015. b) Infus Akar Pengendalian dengan menggunakan teknik infus akar sangat efektif, efisien dan lebih selektif serta dapat dilakukan pada tanaman muda maupun tanaman tua, namun cara ini membutuhkan biaya yang cukup besar. Selain itu infus akar juga membutuhkan keahlian atau tenaga terlatih sehingga dalam pelaksanaannya tidak kesulitan mendapatkan akar yang cocok untuk aplikasi ini. Untuk syarat-syarat dan cara yang harus dipenuhi dalam aplikasi infus akar harus benar-benar tepat sasaran (Susanto dkk, 2015). c) Injeksi Batang Injeksi batang mempunyai tujuan sama dengan infus akar yaitu memasukkan insektisida sistemik ke dalam tanaman, namun injeksi batang tidak dianjurkan pada tanaman kelapa sawit muda di bawah 7 tahun (Susanto dkk, 2015). d) Mist Blower Alat aplikasi insektisida ini sangat cocok untuk mengendalikan hama pada tanaman muda kelapa sawit. Aplikasi dapat dilakukan pada siang hari maupun petang hari tergantung biologi hamanya. Kendala utama adalah untuk tanaman yang sudah agak tinggi kadang Mist Blower tipe lama (3-5 m) tidak mampu menjangkau tanaman yang agak tinggi tersebut. Mortalitas yang dihasilkan alat mist blower ini biasanya lebih dari 90%. Untuk meningkatkan 12
mortalitas dapat ditambahkan sticer atau perata. Kelemahan alat aplikasi ini adalah kecepatan aplikasi, karena sekali aplikasi hanya mampu meyemprot kira-kira 8 tanaman kelapa sawit yang agak tinggi. Dengan demikian akan membutuhkan tenaga kerja yang banyak dan mahal (Susanto dkk, 2015). 13