BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

DAFTAR ISI Dina Meyraniza Sari,2013

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB 5 Simpulan, Diskusi, Saran

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan

Studi Deskriptif Psychological Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Penderita Autism yang Bersekolah Di SLB-C YPLB Bandung

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB V PENUTUP. Pada bab ini akan dijelaskan permasalahan penelitian dengan. kesimpulan hasil penelitian, diskusi, serta saran untuk penelitian sejenis

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing

BAB V PENUTUP. orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki. tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan pribadi.

BAB III METODE PENELITIAN

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. yang beragam dan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan manusia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masa untuk menjadi sakit sakitan, sesuatu hal buruk, mengalami penurunan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN...i. KATA PENGANTAR.ii. ABSTRAK..v. DAFTAR ISI..vi. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR DIAGRAM.xi. DAFTAR LAMPIRAN..

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

DAFTAR ISI. LEMBAR PENGESAHAN...ii. KATA PENGANTAR...iii. DAFTAR ISI..vi. DAFTAR BAGAN.ix. DAFTAR TABEL...x. DAFTAR LAMPIRAN.xi BAB I PENDAHULUAN...

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi serta restrukturisasi organisasi, begitu pula di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi orang tua dari anak-anak mereka. Orang tua merupakan individu yang

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif adalah fakta-fakta dari objek penelitian realitas dan variabel-variabel

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku

BAB I PENDAHULUAN. yang telah merubah peradaban manusia, menjadikan manusia menjadi. berguna bagi diri sendiri maupun orang lain. Ilmu pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman sekarang ini untuk mendapatkan pekerjaan sangat sulit contohnya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Memiliki anak yang terlahir sempurna merupakan dambaan setiap orangtua yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

LAMPIRAN A. Alat Ukur

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan. Sumber daya manusia itu sendiri dapat dirincikan menjadi seorang

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah

BAB I PENDAHULUAN. penutup dalam rentang hidup seseorang yaitu suatu periode dimana seseorang

BAB I PENDAHULUAN. Semua manusia pasti berharap dapat terlahir dengan selamat dan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai kodratnya manusia adalah makhluk pribadi dan sosial dengan

BAB I PENDAHULUAN. narkoba ataupun seks bebas di kalangan remaja. Pergaulan bebas ini akan

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Deniaty Sinaga, 2015

TINJAUAN PUSTAKA. Orang tua menurut I.P. Simanjuntak adalah ayah dan ibu dari anak-anaknya.

BAB I PENDAHULUAN. diulang kembali. Hal yang terjadi di masa awal perkembangan individu, akan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Manusia merupakan makhluk sosial yang memerlukan interaksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan mendengar dan kemampuan bicara (Somantri, 2006). selayaknya remaja normal lainnya (Sastrawinata dkk, 1977).

1. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia ini menganggap jaringan dalam tubuh sebagai benda

BAB I PENDAHULUAN. secara fisik. Anak Berkebutuhan Khusus dibagi ke dalam dua kelompok yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia terdapat 6 agama yang diakui negara yaitu Islam, Kristen,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. dasar kepribadiannya. Seberapa besar ia menghayati agama yang dianutnya,

BAB I PENDAHULUAN. tersebut disebabkan oleh karena keluarga merupakan tempat yang nyaman untuk

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan banyak kesulitan dalam kehidupan sehari-hari bagi orang yang

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

GAMBARAN KEBAHAGIAAN MAHASISWA FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN DENGAN LATAR BELAKANG BUDAYA BATAK, JAWA, MINANG, DAN SUNDA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, didapatkan data jumlah penduduk di Indonesia sebanyak 87% memeluk agama

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia. Menurut Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang

PEMETAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GURU PG PAUD SE KOTA PEKANBARU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles yang selanjutnya dalam ilmu psikologi menjadi istilah

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. Teori tentang psychological well-being dikembangkan oleh Ryff. Ryff

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sehingga mempengaruhi kualitas hidupnya. Individu yang merasakan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. dilalui seorang individu sepanjang rentang kehidupannya. Keunikan pada masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pendidik yang kemudian terjadi interaksi di antara keduanya. Interaksi tersebut. didik atau siswa, dalam suatu konteks tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

Employee engagement merupakan topik yang sudah banyak. diperbincangkan dalam perusahaan. Employee engagement menjadi sangat

BAB I PENDAHULUAN. Difabel atau kecacatan banyak dialami oleh sebagian masyarakat, baik

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Keberhasilan seseorang tentunya tidak akan pernah lepas dari peranan orang tua karena orang tua merupakan tumpuan pertama anak dalam memahami dunia. Orang tua pun memiliki peran yang penting dalam tumbuh kembang anaknya sehingga anak mampu untuk mandiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, orang tua adalah ayah ibu kandung (Alwi, 2003). Muhammad mengartikan orang tua tidak hanya sebagai orang yang telah melahirkan dan membesarkan anaknya namun dapat didefinisikan sebagai orang yang telah memberi arti kehidupan bagi anaknya (Kompasiana.com, edisi 23 Desember 2011). Orang tua memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan anaknya. Menurut Soelaeman (1994) orang tua memiliki delapan fungsi dalam mengembangkan potensi anak, yaitu fungsi biologis, fungsi religiusitas atau agama, fungsi ekonomis, fungsi edukasi atau pendidikan, fungsi sosialisasi, fungsi afektif atau perasaan, fungsi protektif atau perlindungan, dan fungsi rekreasi. Fungsi biologis ialah ketika anak yang lahir dalam suatu keluarga harus dipenuhi kebutuhankebutuhan biologisnya termasuk didalamnya kebutuhan secara fisik dan psikologisnya. Fungsi religius adalah orang tua berkewajiban untuk memperkenalkan kehidupan beragama kepada anak-anaknya, tidak hanya kaidah-kaidahnya saja namun bagaimana menjadikan anak sebagai insan beragama yang mengabdi pada-nya serta mengharap ridho-nya. Fungsi ekonomis adalah orang tua memberikan nafkah untuk anak. Fungsi edukasi adalah ketika orang tua memberikan pendidikan dengan pengarahan dan tujuan pendidikan, perencanaan dan pengelolaannya, penyediaan dana dan sarana, pengayaan wawasan dan kebutuhan lainnya yang menunjang pendidikan anak. Fungsi sosialisasi merupakan tugas orang tua dalam mendidik 1

anaknya tidak hanya mencakup pengembangan seorang anak agar menjadi pribadi yang mantap, namun upaya membantu dan mempersiapkannya menjadi anggota masyarakat yang baik. Fungsi protektif merupakan fungsi orang tua dalam melindungi anaknya, dan berkaitan erat dengan mendidik dan sosialisasi. Mendidik pada hakikatnya bersifat melindungi, yaitu melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik dan dari hidup yang menyimpang dari norma dimasyarakat. Pada fungsi afeksi ketika anak masih kecil, ia secara intuitif dapat merasakan atau menangkap suasana hati perasaan yang meliputi orang tuanya pada saat berkomunikasi dengan mereka. Fungsi rekreasi adalah fungsi orang tua dalam memelihara suasana keluarga sehat dan hangat. Rekreasi itu dirasakan apabila ia menghayati suasana yang tenang dan damai, jauh dari ketegangan batin, segar dan santai pada suasana yang terlepas dari kesibukan sehari-hari. Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa pada dasarnya orang tua berperan dalam memenuhi kebutuhan anak, menanamkan kehidupam beragama, memberikan pendidikan, perlindungan dalam masa perkembangan anak, menjadi penghubung dalam kehidupan sosial anak, memperhatikan perasaan anak dan memberikan rasa nyaman, serta memberikan nafkah demi keberlangsungan hidup anak. Namun menjalankan peran tersebut bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi jika peran tersebut diterapkan terhadap anak berkebutuhan khusus, khususnya anak tunarungu. Dalam menjalankan perannya tersebut orang tua dengan anak tunarungu biasanya akan menghadapi banyak permasalahan. Seperti yang diungkapkan R sebagai orang tua anak tunarungu dalam komentarnya pada sebuah blog mengenai ketunarunguan pada anaknya. R menyatakan bahwa anaknya yang berumur 3 tahun, ia sekolahkan di sekolah khusus. R pun melatih berbicara anaknya ketika di rumah sehingga anak R memiliki kemajuan dalam berbahasa. Namun tetap saja ketika bersosialisasi dengan anak-anak normal lain, anak R tetap mengalami kesulitan (http://tunarungu.wordpress.com, 21 Juli 2008). Pada peristiwa yang dialami ibu R, beliau membutuhkan usaha lebih agar anaknya mampu berkomunikasi dengan 2

menyekolahkan anaknya di sekolah khusus, dan melindungi anaknya dengan memberikan pendidikan serta pengajaran mengenai berbahasa yang baik dirumah agar anaknya mampu bersosialisasi dengan lingkungan anak-anak normal. Beda halnya dengan SA yang memiliki anak tunarungu berusia 5,6 tahun ini memaparkan bahwa anaknya baru memiliki alat bantu dengar di salah satu telinganya sehingga anaknya masih kurang mampu mendengar dengan baik. Hal ini dikarenakan SA hanya mampu membeli satu alat bantu dengar untuk anaknya (http://tunarungu.wordpress.com, 21 Januari 2012). Adapun upaya lebih yang dilakukan SA ketika ia hanya mampu membeli alat bantu dengar untuk salah satu telinga anaknya. Ketunarunguan yang dialami anak, sangat berpengaruh terhadap peran-peran orang tua. Hal ini dikarenakan orang tua harus melaksanakan usaha yang lebih dibandingkan orang tua pada anak yang normal. Menurut Sadjaah (2005: 69) anak tunarungu adalah anak yang karena berbagai hal menjadikan pendengarannya mendapat gangguan atau mengalami kerusakan sehingga mengganggu aktivitas kehidupannya. Jumlah penyandang cacat di Indonesia dipaparkan Nurali pada hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2004 adalah 6.047.008 jiwa diantaranya terdapat jumlah keseluruhan tunarungu wicara 602.784 jiwa (9,9%) sedangkan jumlah anak penyandang cacat di Indonesia sebanyak 358.738 anak yang diantaranya terdapat tunarungu wicara sebanyak 14,27% (http://www.gizikia.depkes.go.id, 2010). Menurut sumber lainnya yaitu penyandang cacat tahun 2009 mencapai 11.580.117 orang diantaranya terdapat tunarungu sebanyak 1.567.810 orang (http://www.jpnn.com, 2010). Banyaknya anak tunarungu yang ada di Indonesia tidak serta-merta mengubah pandangan-pandangan yang berkembang dimasyarakat umum mengenai keberadaan anak tunarungu itu sendiri. Pandangan tersebut menurut Soemantri (2007:100) bahwa Anak tunarungu tidak dapat melakukan apapun sehingga anak nantinya akan sulit mendapat pekerjaan juga adanya kesulitan dalam bersaing dengan orang normal. Sehingga akan muncul kecemasan-kecemasan baik dari anak maupun orang tua. 3

Hal ini ditambah lagi dengan adanya dampak ketunarunguan yang terjadi pada anak, tentunya akan menyulitkan fungsi dan peran orang tua itu sendiri. Adapun dampak ketunarunguan itu sendiri menurut Soemantri (2007: 100) bahwa ketunarunguan yang terjadi pada anak tunarungu itu sendiri berhubungan dengan karakteristik anak tunarunguan yaitu miskin dalam kosakata, sulit memahami katakata abstrak, sulit mengartikan kata-kata yang mengandung kiasan, dan juga gangguan berbicara, maka hal-hal itu merupakan sumber masalah pokok bagi anak tersebut. Pelaksanaan fungsi dan peran orang tua yang memiliki anak tunarungu dalam membantu anaknya bersosialisasi, tentu akan berbeda dengan usaha orang tua yang memiliki anak normal. Untuk bisa bersosialisasi, seseorang dituntut untuk bisa berkomunikasi, baik secara verbal maupun nonverbal. Hambatan berkomunikasi khususnya komunikasi secara verbal menghambat proses sosialisasi pada anak tunarungu. Anak tunarungu sulit menyatakan secara verbal keinginan, ide, pikiran dan harapannya. Untuk mengurangi hambatan ini, anak tunarungu pun mempelajari bahasa isyarat. Sementara itu anak-anak lain yang normal tidak memahami bahasa isyarat tersebut. Oleh karena itu, maka orang tua perlu melakukan berbagai upaya agar anaknya dapat bersosialisasi menggunakan bahasa dengan anak lainnya. Sebuah studi terpadu dikota Bandung membuktikan bahwa anak-anak yang sejak dini disekolahkan serta dikuatkan dengan pemberian pendidikan bahasa dikeluarga menunjukkan kemampuan mereka mencapai prestasi sekolah sama halnya dengan anak normal lainnya (Sadjaah, 2005). Dalam hal ini tentunya orang tua sangat berperan dalam pendidikan anak berbahasa sehingga anak mampu berprestasi, bersosialisasi dan menyesuaikan diri disekolah. Pada anak yang baru memasuki sekolah, mereka membutuhkan banyak penyesuaian. Penyesuaian tidak hanya dilakukan oleh anak namun juga orang tua. Dimana orang tua berperan dalam mendukung anaknya dalam melaksanakan pendidikan dan bersosialisasi. Alimin (2008) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara orang tua anak tunarungu yang juga tunarungu (cddp) dengan orang tua anak tunarungu yang mendengar (cdph) dalam hal membangun perhatian bersama dengan anaknya yang 4

tunarungu. Perbedaan ini sangat terkait dengan pengalaman yang dimiliki oleh orang tua yang tunarungu khususnya dalam berkomunikasi dengan orang tunarungu lainnya dengan menggunakan bahasa isyarat. Jelas sekali bagi para orang tua yang mampu mendengar tidak memiliki pengalaman dalam penggunaan bahasa isyarat dan tidak dapat menyediakan bahasa yang aksesibel bagi anaknya yang tunarungu. Dengan adanya perbedaan kebudayaan pada orang tua mendengar dan anak tunarungu inilah yang menyebabkan komunikasi sulit dilakukan diantara keduanya, serta mempersulit pula usaha orang tua dalam menjalankan fungsi serta perannya dalam mengasuh anak. Berhasil tidaknya anak tunarungu dalam mengembangkan potensinya sangat bergantung pada bimbingan dan pengaruh orang tua. Studi mengenai Pengaruh Penerimaan Orang Tua Tentang Kondisi Anak Terhadap Aktualisasi Diri Anak Penyandang Cacat oleh Sadiyah (2009) menunjukkan bahwa tingkat penerimaan yang tinggi dari orang tua berpengaruh terhadap tingkat aktualisasi anak yang tinggi. Hasil yang tidak jauh berbeda juga di kemukakan Ningrum (2007) berdasarkan studi mengenai Pengaruh Penerimaan Orang Tua Terhadap Penyesuaian Diri Anak Tua Rungu di Sekolah. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi penerimaan orang tua terhadap anaknya maka akan semakin tinggi pula penyesuaian anak terhadap lingkungan. Banyaknya tantangan yang akan di hadapi oleh orang tua dalam membesarkan anak tunarungu tentunya akan menjadi stressor bagi orang tua, baik itu orang tua yang baru memiliki pengalaman sebagai orang tua tunarungu maupun yang sudah mengalami penyesuaian dengan adanya pengalaman sebagai orang tua anak tunarungu. Untuk itu orang tua diharuskan memiliki kemampuan pemikiran dan keterampilan yang lebih kompleks. Dalam keadaan tersebut, terdapat masa seseorang membutuhkan optimalisasi potensi yang ia miliki dengan meninjau dan mengevaluasi kembali pengalaman dari aktivitas masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang untuk mengadapi tantangan di masa depannya. Hasil evaluasi dan 5

tinjauan yang dilakukan untuk optimalisasi potensi yang dilakukan ini, disebut juga psychological well-being. Ryff (1995) mendefinisikan psychological well-being sebagai hasil evaluasi atau penelitian seseorang terhadap kemampuannya untuk mengenali potensi unik dalam dirinya dan kemudian mengoptimalkan potensi tersebut dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam menghadapi berbagai macam tantangan dan perubahan dalam hidupnya. Penelitian mengenai psychological well-being penting untuk dilakukan karena nilai positif dari kesehatan mental yang ada di dalamnya membuat seseorang mengidentifikasi apa yang hilang dalam hidupnya (Ryff, 1995). Adapun faktor-faktor dalam diri yang diidentifikasi untuk dioptimalkan, yaitu pada aspek selfacceptance (penerimaan diri), positive relations with other (relasi yang positif dengan orang lain), autonomy (kemandirian), environmental mastery (penguasaan lingkungan), purpose in life (tujuan dalam hidup), personal growth (perkembangan pribadi). Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian ini. Salah satunya studi yang dilakuakan Departemen Pekerja Sosial dari The Chinese University of Hong Kong (2006). Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki resiko psychological well-being yang rendah dihubungkan dengan seseorang yang merasa tidak puas dengan status finansialnya dan kurangnya orientasi diri untuk melakukan koping. Penelitian lainnya oleh Umberson dan Gove (1989) yang menemukan bahwa orang tua yang memiliki anak akan memiliki efek negatif atau positif terhadap psychological well-being orang tua, dimana keseimbangan dari efek negatif dan positif tersebut tergantung pada dimana anak tinggal, umur anak bungsu, status marital orang tua, dan dimensi psychological well-being yang diujikan. Adapun hasil yang dibandingkan antara orang tua yang memiliki anak dengan nonorang tua, ditemukan bahwa orang tua yang memiliki anak memiliki tingkat kesejahteraan (well-being) dan kepuasan yang rendah sedangkan tingkat makna hidup yang tinggi. Dari kedua penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa berbagai faktor 6

demografis orang tua tentunya akan berpengaruh terhadap psychological well-being orang tua. Dari uraian yang telah disampaikan diatas, peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian dengan judul Psychological well-being pada orang Tua Anak Tunarungu di Kota Bandung. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada orang tua anak tunarungu di beberapa SLB di Bandung serta menampilkan gambaran karakteristik orang tua anak tunarungu yang memiliki tingkat psychological well-being kategori tinggi dan rendah. Penelitian ini difokuskan terhadap orang tua yang memiliki anak tunarungu yang duduk di kelas satu sekolah dasar karena orang tua harus membantu anaknya yang tunarungu untuk penyesuaian terhadap lingkungan yang baru yaitu sekolah. Sementara itu, Bandung dipilih sebagai lokasi penelitian karena memudahkan peneliti dalam menjangkau subjek penelitian. B. Rumusan Masalah Kesulitan yang dimiliki oleh orang tua dalam membesarkan anaknya yang tunarungu akan mempengaruhi kualitas hidup yang dijalani. Namun kondisi kesulitan yang dialami berbeda-beda berdasarkan dari pandangan orang tua tersebut dalam membesarkan anaknya. Perbedaan ini diduga terjadi karena perbedaan faktor-faktor tertentu yang berpengaruh terhadap penilaian orang tua yang memiliki anak tunarungu tersebut terhadap kehidupannya. Berdasarkan hal tersebut, sejumlah pertanyaan yang akan menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran umum psychological well-being orang tua anak tunarungu? 2. Bagaimana gambaran psychological well-being orang tua anak tunarungu ditinjau dari aspek demografis di Kota Bandung? 7

3. Bagaimanakah gambaran karakteristik orang tua anak tunarungu yang memiliki tingkat psychological well-being tinggi dan rendah ditinjau dari dimensi psychological well-being? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini merupakan jawaban dari rumusan masalah yang ada, yaitu: 1. Mengetahui gambaran umum psychological well-being orang tua anak tunarungu di Kota Bandung. 2. Mengetahui gambaran psychological well-being orang tua anak tunarungu di tinjau dari aspek demografis di Kota Bandung. 3. Mengetahui gambaran karakteristik orang tua anak tunarungu yang memiliki tingkat psychological well-being tinggi dan rendah di tinjau dari dimensi psychological well-being D. Manfaat Penelitian Secara teoritis penelitian diharapkan dapat menjelaskan mengenai proses psychological well-being gambaran karakteristik pada orang tua anak tunarungu yang memiliki tingkat psychological well-being tinggi dan rendah pada aspek selfacceptance (penerimaan diri), positive relations with other (relasi yang positif dengan orang lain), autonomy (kemandirian), environmentalmastery (penguasaan lingkungan), purpose in life (tujuan dalam hidup), personal growth (perkembangan pribadi). Berikut ini adalah kegunaaan praktis dari penelitian ini : 1. dapat memberikan kontribusi dalam ilmu pengetahuan khususnya dalam psikologi klinis dan perkembangan. 2. bagi peneliti selanjutnnya, dapat dijadikan referensi untuk menambah khazanah keilmuan psikologi. 8

3. memberikan kontribusi kepada orang tua anak tunarungu untuk meningkatkan psychological well-being yang dimiliki. E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: 1. BAB I PENDAHULUAN, berisi paparan tentang latar belakang dilakukannya penelitian. 2. BAB II KAJIAN PUSTAKA, membahas teori-teori yang berhubungan dengan penelitian, seperti psychological well-being, orang tua dan ketunarunguan. 3. BAB III METODE PENELITIAN, berisi uraian tentang metode penelitian yang akan digunakan. 4. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, menjelaskan uraian tentang hasil penelitian yang telah didapatkan saat pengambilan data dan membahas serta menganalisis hasil penelitian dengan teori yang ada. 5. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN, berisi kesimpulan dari penelitian yang dilakukan dan saran yang diberikan untuk pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini. 6. DAFTAR PUSTAKA, berisikan sumber-sumber literatur yang digunakan dalam penelitian. 7. LAMPIRAN-LAMPIRAN, mencakup bukti-bukti yang dimiliki dalam penelitian seperti verbatim wawancara, dokumentasi, pengkodean dan hal-hal yang terkait dalam penelitian. 8. RIWAYAT HIDUP, berisikan paparan mengenai riwayat hidup peneliti. 9

10