BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi dan Morfologi Klasifikasi ulat api di klasifikasikan sebagai berikut: Phylum : Arthropoda Klass : Insekta Ordo : Lepidoptera Family : Limacodidae Genus : Setothosea Spesies : Setothosea asigna Sethotoea asigna (Lepidoptera : Limacodidae) merupakan salah satu jenis hama penting pada tanaman kelapa sawit di Indonesia. Ulat api ini merupakan salah satu hama yang dapat menyebabkan kerusakan berat serta sangat merugikan perkebunan kelapa sawit di Indonesia (Prabudi, 2014). Ulat api (nettle caterpillar) menurut klasifikasinya termasuk dalam Famili Limacodidae, Ordo Lepidoptera (bangsa ngengat dan kupu-kupu). Beberapa spesies ulat api merupakan hama tanaman perkebunan, misalnya, Parasa lepida yang merusak hampir sebagian pertanaman kelapa, kelapa sawit, kakao, kopi, dan teh di Indonesia. Selain itu Setora nitens, Setothosea asigna, Darna trima, dan Thosea spp. merupakan hama utama pada kelapa sawit. Adapula ulat api yang tidak memiliki duri sengat pada tubuhnya, yaitu Chalcocelis spp. yang hidup sebagai hama kelapa di wilayah Kalimantan. Bahkan di Hawaii, spesies Darna pallivitta dinyatakan sebagai hama pendatang yang bukan hanya berbahaya namun juga bersifat invasive (menyerbu) pada tanaman kelapa. Ulat ini berwarna hijau kekuningan dengan bercak-bercak yang khas di bagian punggungnya. Selain itu di bagian punggung juga dijumpai duri duri yang kokoh. Ulat instar terakhir (instar ke-9) berukuran panjang 36 mm dan lebar 14,5 mm. Stadia ulat ini berlangsung selama 49 50,3 hari (Prawirosukarto, 2001).
2.2 Siklus Hidup Ulat api (Setothosea asigna) Siklus hidup masing - masing spesies ulat api berbeda. Setothosea asigna mempunyai siklus hidup 106-138 hari. Selain itu siklus hidup hama ulat api juga tergantung pada lokasi dan lingkungan, seperti terlihat pada tabel 1. Tabel 2.1. Siklus Hidup Ulat Api S.asigna Stadia Lama (Hari) Keterangan Telur 6 Jumlah telur 300-400 butir Larva 50 Terdiri dari 9 instar, konsumsi daun 300-500 cm² Pupa 40 Habitat di tanah Imago - Jantan lebih kecil dari betina Total 96 Tergantung pada lokasi dari lingkungan Sumber : Susanto, 2012 2.2.1 Telur Telur berwarna kuning kehijauan, berbentuk oval, dan transparan. Telur diletakkan berderet 3-4 baris sejajar pada permukaan daun bagian bawah, biasanya pada pelepah daun ke-6 dan ke-7. Satu tumpukan telur berisi sekitar 44 butir, dan seekor ngengat betina mampu menghasilkan telur sebanyak 300-400 butir. Telur menetas 4-8 hari setelah diletakkan (Susanto, 2012). Seperti gambar 2.1 berikut. Sumber: Lokasi Kebun Kerasaan Estate PT. Kerasaan Indonesia. (Arif, 2017) Gambar 2.1. Telur Ulat Api
2.2.2 Larva Sumber: Lokasi Kebun Kerasaan Estate PT. Kerasaan Indoneia. (Arif, 2017) Gamabar 2.2. Ulat Api yang baru menetas Larva yang baru menetas, hidupnya secara berkelompok, memakan bagian permukaan bawah daun. Larva instar 2-3 memakan helaian daun mulai dari ujung kearah bagian pangkal daun. Selama perkembangannya larva mengalami pergantian instar sebanyak 7-8 kali atau 8-9 kali dan mampu menghabiskan helaian daun seluas 400 cm². Larva berwarna hijau kekuningan dengan duri-duri yang kokoh di bagian punggung dan bercak bersambung sepanjang punggung, berwarna coklat sampai ungu keabu-abuan dan putih. Warna larva dapat berubah-ubah sesuai dengan instarnya, semakin tua umurnya akan menjadi semakin gelap. Larva instar terakhir (instar ke-9) berukuran panjang 36 mm dan lebar 14,5 mm, sedangkan apabila sampai instar ke-8 ukurunnya sedikit lebih kecil. Menjelang berpupa, ulat menjatuhkan diri ke tanah. Stadia larva ini berlangsung selama 40-50,3 hari (Susanto, 2012). Seperti gambar 2.3 berikut.
Sumber: Lokasi Kebun Kerasaan Estate PT. Kerasaan Indoesia. (Arif, 2017) Gambar 2.3. Larva Ulat Api 2.2.3 Pupa Pupa berada di dalam kokon yang terbuat dari campuran air liur ulat dan tanah, berbentuk bulat telur dan berwarna coklat gelap, terdapat di bagian tanah yang relatif gembur di sekitar piringan atau pangkal batang kelapa sawit. Hama ulat api berukuran 16 x 13 mm untuk jantan dan 20 x 17 mm untuk betina. Masa kepompong ± 40 hari, menjelang akan menetas menjadi kupu-kupu kepompong berwarna coklat tua (Prabudi, 2014). Berikut gambar 2.4 kokon ulat api. Sumber: Lokasi Kebnn Kerasaan Estate PT. Kerasaan Indonesia. (Arif, 2017) Gambar 2.4. Pupa (kokon) ulat api
Dengan demikian perkembangan dari telur sampai menjadi ngengat berkisar antara 92,7 98 hari, tetapi pada keadaan kurang menguntungkan dapat mencapai 115 hari. Lebar rentang sayap serangga dewasa (ngengat) jantan dan betina masing-masing 41 mm dan 51 mm. Sayap depannya berwarna coklat kemerahan dengan garis transparan dan bintik-bintik gelap, sedangkan sayap belakang berwarna coklat muda, ngengat mempunyai periode hidup yang pendek yaitu 7 hari. Waktu tersebut hanya digunakan untuk kawin dan bertelur (Susanto, 2012., Prabudi, 2014). 2.3 Gejala Serangan Dan Tingkat Kerugian Gejala serangan ulat api pada kelapa atau kelapa sawit umumnya sama, yaitu rusaknya daun tanaman. Gejala serangan dimulai dari daun bagian bawah. Larva akan memakan helaian daun mulai dari tepi hingga helaian daun yang telah berlubang habis, tinggal menyisakan tulang daun atau lidi. Bagian daun yang disukai ulat api adalah anak daun pada ujung pelepah. Akibatnya tanaman terganggu proses fotosintesisnya karena daun menjadi kering, pelepahnya menggantung dan akhirnya berdampak pada tidak terbentuknya tandan selama 2-3 tahun. Ulat api terkenal sangat rakus. Dalam sehari mampu memakan 300-500 cm daun kelapa sawit. Batas ambang ekonomi (AE) untuk ulat api adalah 5-10 ekor. Ini berarti bila dalam 1 pohon ditemukan sedikitnya 5 ekor larva, maka pengendalian perlu segera dilakukan. Gejala serangan ulat api S. asigna dan berbagai macam ulat api hampir sama yaitu melidinya daun kelapa sawit apabila serangan berat (Susanto, 2012). Ulat api banyak dijumpai di negara-negara berilkim tropis, misalnya Indonesia, Muangthai, dan Malaysia. Meskipun begitu, di negara-negara 4 (empat) musim pun keberadaan ulat api diduga lebih banyak. Salah satu kasus yang menarik disimak yaitu yang terjadi di Hawaii. Migrasi ngengat D. pallivitta ke Hawaii pada tahun 2001 yang diduga berasal dari Taiwan, juga ditemukan di Cina, Muangthai, Malaysia, dan Indonesia (Susanto, 2012). Di Indonesia kerugian yang ditimbullkan serangan ulat api pada kelapa sawit diperkirakan dapat mengakibatkan penurunan produksi sampai 70% pada tahun pertama, bahkan jika serangan berat, tanaman dapat tidak berbuah selama 1-2 tahun berikutnya (Susanto, 2012)
Kriteria tingkat serangan rata-rata ulat api per pelepah adalah sebagai berikut: Ringan : 2-5 ekor per pelepah Sedang : 6-10 ekor per pelepah Berat : > 10 ekor per pelepah Sedangkan tingkat produksi kelapa sawit akibat serangan ulat api dapat di lihat pada tabel 2 di bawah ini, Tabel 2.2. Penurunan Produksi Kelapa Sawit Akibat Serangan Ulat Api. Presentase Defoliasi Penurunan Produksi (%) Tahun I* Tahun II** Hampir 100% 70 93 50% 80 78 25% 8 29 12% 5 11 Sumber : Widinarko, 2011 Keterangan : Defoliasi yaitu pemotongan atau pengambilan bagian tinggi rendahnya tanaman. *Serangan hanya sekali **Terjadi serangan ulang dalam tahun yang sama. 2.4 Metode Pengendalian Hama Ulat Api (Setothosea asigna) 2.4.1 Sistem Monitoring Monitoring populasi dilakukan dengan dua pengamatan yaitu dengan pengamatan global dan pengamatan efektif. a. Pengamatan Global Pengamatan global dilakukan dengan cara: 1. Pusingan/rotasi 1 kali/bulan ; 1 pohon/ha 2. Pelepah pada pohon contoh diamati. Pada tanaman muda daunnya cukup di gantol/dikait dan pada tanaman tua pelepahnya dipotong. 3. Menghitung ulat, telur, dan kepompongnya kemudian dijumlahkan. 4. Menentukan kelas serangannya dan menggambarkan pada formulir pengamatan yaitu: - Ringan = R ; beri tanda simbol 0/warna biru. - Sedang = S ; beri tanda simbol +/warna kuning
- Berat = B ; beri tanda simbol */warna merah - Tabel 2.3 Kelas Serangan Hama ulat api Jenis TBM ULAT API Ringan Sedang Berat Setora nitens <3 3-4 <7 Setothose asigna <7 7-9 <15-19 Thosea bisura <7 7-9 <15 Darna trina <7 15-25 <35 Sumber: Widinarko, 2011 b. Pengamatan Efektif Dilakukan bila tingkat serangan hama pada umumnya mencapai kelas S (Sedang), Sensus dipercepat 1 kali tiap 2 minggu, Pohon contoh ditambah menjadi 6 pohon/ha, dengan menambah titik sensus menjadi selang baris 6 dan selang pohon 6, caranya seperti sensus global. 2.4.2 Pengendalian Secara Mekanis Pengendalian mekanis dapat dilakukan dengan cara handpicking larva, yaitu larva stadia berukuran sedang sampai besar untuk tanaman dengan umur < 5 tahun, sedangkan Handpicking pupa dilakukan pada semua umur tanaman. Selain pengutipan pengendalian secara mekanis juga dapat dilakukan dengan cara pemasangan perangkap. Pemerankapan dilakukan pada stadia imago dengan menggunakan perangkap cahaya lampu (lightrap), seperti lampu petromak dan ember plastik yang di isi air deterjen (Ginting, 2014). 2.4.3 Pengendalian Secara Biologi Apabila hasil sensus menunjukan populasi ulat api dibawah ambang ekonomi maka tindakan pengendalian tetap perlu dilakukan. Pengendalian yang paling cocok adalah pengendalian hayati. Populasi ulat api dapat stabil secara alami dilapangan oleh adanya musuh alami yaitu, predator dan parasitoit. Predator ulat api yang sering di temukan adalah Eochantecona furcellata (Ginting, 2014)
2.4.4 Pengendalian Kimiawi Insektisida yang paling banyak digunakan pada perkebunan kelapa sawit untuk ulat api saat ini adalah deltametrin, Sepermetrin dan lamda sihalotrin dan bahan aktif lain dari golongan pirethroid. Pengendalian dapat dilakukan berdasarkan umur tanaman. Pengendalian untuk tanaman belum menghasilkan dapat dilakukan dengan aplikasi penyemprotan yang menggunakan mist blower. Pengendalian untuk tanaman menghasilkan dapat dilakukan dengan aplikasi penyemprotan mist bolwer tekanan tinggi atau pengasapan yang menggunakan fogger pada malam hari. Insektisida yang digunakan biasanya berbahan aktif Sipermetrin dengan dosis 200-300 ml/ha (Ginting, 2014). 2.4.5 Pengendalian Secara Hayati Pada saat ini telah banyak tersedia dipasaran bioinsektisida berbahan aktif B. thuringeinsis dan jamur cordyceps militaris efektif memparasit pupa ulat api jenis S. asigna. Jenis ini dapat diaplikasikan dalam formulasi khusus atau menggunakan hasil garusan pupa yang terinfeksi. Selain itu agens hayati lain yakni virus NPV digunakan untuk mengendalikan larva ulat api. Virus NPV ini bersifat sangat spesifik. Virus NPV Setothosea asigna hanya cocok untuk Setothosea asigna dan Setora nitens. Penggunan. larutan virus sebanyak 400 gram, cukup efektif untuk mengendalikan hama ulat api, dengan biaya 3,6 kali lebih murah dibandingkan dengan penggunaan pestisida kimia. Walaupun pengaruhnya tidak secepat pestisida, akan tetapi kesesuaiannya sebagai metode pengendali yang berkesinambungan sangat tepat (Susanto, 2012). 2.4.6 Pengendalian Hama Terpadu PHT sistem memantau ulat api, ulat kantong pada saat ini sudah tersusun dengan tujuan sebagai sistem peringatan dini atau Early Warning Sistem (EWS). Observasi serangan adalah untuk mengetahui ada tidak serangan yang dilakukan secara sekilas, cepat, dan menyeluruh. EWS sebenarnya sudah masuk sistem pengendalian hama terpadu (PHT) yaitu pada tahap monitoring. Strategi yang diterapkan pada masing-masing hama juga sangat berbeda yang sangat tergantung pada biologi hama dan kondisi tanaman kelapa sawit (Susanto, 2012).
2.4.7 Pengendalian Secara Bioinsektisda B. thuringiensis merupakan bakteri gram-positif berbentuk batang. Jika nutrien di mana dia hidup sangat kaya, maka bakteri ini hanya tumbuh pada fase vegetatif, na-mun bila suplai makanannya menu-run maka akan membentuk spora dorman yang mengandung satu atau lebih jenis kristal protein. Kristal ini mengandung protein yang disebut δ-endotoksin, yang bersifat lethal jika dimakan oleh serangga yang peka. Produksi bioinsektisida Bt berkembang dengan pesat dari 24 juta dolar Amerika Serikat pada 1980 menjadi 107 juta dolar Amerika Serikat pada tahun 1989. Kenaikan permodalan diperkirakan mencapai 11% per tahun, di mana pada tahun 1999 mencapai 300 juta dolar Amerika Serikat. Bt yang dikomersialkan dalam bentuk spora yang membentuk inklusi bodi. Inklusibo-di ini mengandung kristalprotein yang dikeluarkan pada saat bakteri lisis pada masa phase stationary. Produk ini digunakan sebanyak 10-50 g per acre atau 1020 molekul per acre. Potensi toksisitasnya berlipat kali dibandingkan dengan pestisida, misalnya 300 kali dibandingkan dengan sintetik pyrethroid (Feitelson et al., 1992). Penggunaan Bt tidak hanya dalam bentuk microbial spray yang berkembang di lapang, tetapi juga dalam bentuk tanaman transgenik Bt. Sebagai contoh luas penanaman transgenik Bt di USA meningkat hampir 3 kali lipat, yaitudari 4 juta ha pada tahun 1997 men-jadi 11,5 ha pada tahun 2000 (James, 2000). CARA KERJA B. thuringiensis adalah bakteri yang menghasilkan kristal protein yang bersifat membunuh serangga (insektisidal) sewaktu mengalami proses sporulasinya (Hofte dan Whiteley, 1989). Kristal protein yang bersifat insektisidal ini sering dise-but dengan δ-endotoksin. Kristal ini sebenarnya hanya merupakan pro-toksin yang jika larut dalam usus se-rangga akan berubah menjadi poli-peptida yang lebih pendek (27-149 kd) serta mempunyai sifat insektisi-dal. Pada umumnya kristal Bt di alam bersifat protoksin, karena ada-nya aktivitas proteolisis dalam sistem Buletin AgroBio 5(1):21-28 pencernaan serangga dapat mengubah Bt-protoksin menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat toksin. Toksin yang telah aktif berinteraksi dengan sel-sel epithelium di midgut serangga. Bukti-bukti telah menunjukkan bahwa toksin Bt ini menyebabkan terbentuknya poripori (lubang yang sangat kecil) di sel membrane di saluran pencernaan dan mengganggu
keseimbangan osmotik dari sel-sel tersebut. Karena keseimbangan os-motik terganggu, sel menjadi bengkak dan pecah dan menyebabkan matinya serangga (Hofte dan Whiteley, 1989).