Demokrasi Sudah Digagas Jauh Sebelum Merdeka Desain Negara Indonesia Merdeka terbentuk sebagai Negara modern, dengan kerelaan berbagai komponen pembentuk bangsa atas ciri dan kepentingan primordialismenya, seperti kepentingan kelompok, suku, agama dan kepntingan lainya. Jadi apa yang kita kenal sekarang dengan pluralitas sudah digagas jauh sebelum Indonesia merdeka. Demikian juga dengan penerimaan demokrasi sebagai cara Bangsa Indonesia untuk mengambil keputusan politik lahir bersama-sama dengan gagasan pluralitas tersebut. Kemerdekaan Indonesia kemudian menjadi pintu gerbang untuk mewujudkan cita-cita tersebut, dengan demikian pemilihan jalan demokrasi adalah sesuatu yang final dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasang surut kehidupan politik pasca kemerdekaan merupakan dinamika sejarah, sebagai bangsa muda yang ingin meraih cita-cita sebagai bangsa besar yang bermartabat di tengah pergaulan dunia. Bahkan pada awal-awal gerakan kemerdekaan di dua benua Asia dan Afrika, Indonesia berada di garda depan perjuangan membebaskan diri bangsa-bangsa di wilayah tersebut untuk lepas dari bangsa-bangsa Eropa. Secara inspiratif kemerdekaan Amerika Serikat dengan system demokrasi yang dianutnya menjadi bagian dari warna cita cita pejuang muda Indonesia untuk membangun negeri ini. Jatuh bangun pemerintahan dan eksperimen demokrasi menjadi bagian dari pergulatan sejarah yang kadang diwarnai dengan benturan pemahaman dan kepentingan di antara komponen bangsa. Pelaksanaan Pemilu Pertama Pemilu pertama tahun 1955 menjadi titik awal bangsa Indonesia menerapkan demokrasi, dalam hal ini rakyat yang memiliki hak pilih pada masa itu menentukan wakil-wakilnya di badan konstituante, sebuah badan yang akan menentukan UUD Negara melalui bilik-bilik suara di seluruh Indonesia. Di kabarkan saat itu bahwa pemilu pertama setelah 10 tahun merdeka berjakan lancar dan cukup demokratis untuk sebuah Negara yang belum lama lepas dari 1 / 5
penjajahan yang masih diwarnai berbagai pergolakan politik dan pemberontakan berenjata saat itu. Hal itu menandakan bahwa sebagai sebuah Bangsa Indonesia cukup solid untuk menyatukan pendangan dan langkah, sekligus juga memiliki potensi yang sangat kuat sebagai negara demokrasi, dimana salah satu cirinya adalah terlaksananya pemilu secara berkala yang demokratis. Moralitas bengsa yang sangat besar sebagai sebuah bangsa yang mampu berdemokrasi ternyata tidak dibarengi dengan kesiap para pemimpin untuk mengelola dan memperkuat politik demokrasi. Rongrongan terhadap kepemimpinan dan pemerintahan saat itu sedemikian besar, sehingga tak mampu mengelola konflik secara demokratis, ketegangan politik tersebut memuncak dengan tumbangnya kekuasaan Soekarno pada September 1965. Sebuah harapan pun digantungkan kepada perubahan Kepemimpinan Nasional saat itu untuk memperbaiki keadaan yang pernah menyeret bangsa Indonesia pada konflik politik dan kebangkrutan ekonomi akibat salah urus negara pada rejim Orde Lama. Pemilu Masa Orde baru Orde Baru mencoba membangun antitesa terhadap paradigma Orde Lama, dengan mengurangi keterlibatan politik rakyat, atau yang disebut dengan depolitisasi. Pemilu 1970 dengan 10 Parpol peserta pemilu diperkenalkan di tengah tekanan terhadap kebebasan publik untuk menyampaikan pendapat. Bebagai langkah pengaturan pemilu yang dilakukan pada tahun 1977 serta pemilu selanjutnya yang dilaksanakan secara periodic setiap lima tahun sekali untuk memilih DPR dan DPRD tingkat I dan Tingkat II, sebuah istilah untuk DPRD Propinsi dan Kabupaten saat itu, dibarengi dengan pengurangan kebebasan Warga Negara dalam bidang politik, sehingga dalam masa itu Pemilu yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah tak ubahnya sebuah even legitimasi public atas kekuasaan dengan mengurangi kebebasan publik secara massif. Saat itu kecurangan, intimidasi dan penyalahgunaan kekuasaan untuk memenangkan penguasa dilakukan secara luas. Puncak kekecewaan publik atas penyelenggaraan negara yang mengekang kebebasan Warga 2 / 5
Negara mulai menghangat pasca pemilu Orba terakhir tahun 1997. Hasil pemilu yang saat itu dimenangkan secara mutlak oleh Golkar satu dari tiga peserta pemilu saat itu diselingi dengan berbagai peristiwa kekerasan serta rekayasa pemilu di hampir semua lini. Kemerosotan ekonomi tahun 1998 menjadi momentum lahirnya reformasi yang puncaknya adalah kemarahan public melalui kerusuhan masal bulan Mei 1998 di Jakarta dan diberbagai daerah di Indonesia. Pada bulan Mei 1998 itu pula Presiden Soeharto menyatakan lengser atau mengundurkan diri sebagai presiden dan digantikan oleh Wakil Presiden BJ Habibie. Dalam pemerintahan transisi itulah terjadi perubahan demokratisasi penyelenggaraan negara yang secara besar-besaran. Pemilu Pasca Reformasi dan Permasalahanya Dalam pemerintahan transisi itulah lahir paket UU Pemilu No 2, 3 dan 4 yang mengatur pemilu secara demokratis. Sebutan LUBER (Langsung Umum, Bebas dan Rahasia) kemudian ditambah dengan JURDIL (Jujur dan Adil) dalam pengaturan dan pelaksanaan pemilu yang dilaksanakan tahun 1999. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan lahir sebagai peraih suara terbanyak pada pesta demokrasi tersebut menggantikan posisi Golkar yang berkuasa selama 3 dasa warsa. Sistem dan proses pemilu sejak saat itu bisa dibicarakan secara terbuka, sehingga setiap orang dapat mengeluarkan pendapatnya tanpa ketakutan akan mendapat sanksi atau dihukum oleh karenanya. Peristiwa Sidang Istimewa MPR yang melengserkan Presiden Abdurahman Wahid sebagai peristiwa pertama pasca reformasi terjadi pada periode parlemen hasil pemilu 1999. Megawati diangkat menjadi presiden melalui Sidang SI tersebut, namun system pemerintahan demokrasi tak berubah banyak setelah itu. Pemilu yang dilaksanakan tahun 2004 menggunakan UU Pemilu yang pada intinya cukup memberikan kebebasan berpendapat kepada Warga Negara, sehingga secara bebas pula rakyat memilih Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono secara langsung untuk pertama kalinya mengalahkan Megawati dan calon presiden lainya. Pemilu 2009 mengulang kemenangan bagi Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono yang diawali dengan kemenangan Partai Demokrat, 3 / 5
yakni partai yang mengusung pencalonannya sebagai presiden. Perjalanan demokrasi dengan pelaksanaan pemilu yang LUBER dan JURDIL ternyata tak menghasilkan pemerintahan sebagaimana yang diharapkan, dalam hal inilah sejarah bangsa-bangsa menyatakan bahwa proses demokratisasi dengan pemilu yang baik dan berkualitas memerlukan sebuah proses pembelajaran, yang kadang menjadi permasalahan-permasalahan sulit dan pelik, sebagaimana yang kita saksikan saat ini ketidak puasan public atas pemerintah dan penyelenggara pemilu sangat besar. Untuk itulah diperlukan pemikiran dan upaya keras untuk melahirkan sebuah system demokrasi dengan pelaksanaan pemilu yang semakin baik. Penyederhanaan pemilu dan pembentukan penyelenggara pemilu yang kuat dan akuntable menjadi sebuah keniscayaan untuk menjawab persoalan tersebut, bahkan hal-hal teknis seperti sistim pendataan pemilih, proses pencalonan dan pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara sampai rekapitulasi secara berjenjang perlu dipikirkan bukan sekadar sebuah masalah teknis kepemiluan. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan kita adalah bahwa Demokrasi dengan pelaksanaan pemilu yang baik adalah tanggungjawab semua pihak. Beberapa hal penting yang harus ada untuk keperluan tersebut adalah: 1. Lahirnya peraturan perundang-undangan yang memberikan ruang bagi akses dan partisipasi public dalam pelaksanaan pemilu. 2. Penguatan kelembagaan penyelenggara pemilu yang independen dan profesional harus menjadi usungan semua pihak. 3. Penyederhanaan system pemilu, sehingga memudahkan partisipasi publik harus dibuat dengan baik. Lalu soal rekrutmen penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU juga menjadi hal yang sangat penting. 4 / 5
4. Peranserta Partai politik untuk melakukan pendidikan politik dan rekrutmen penyelenggara negara perlu diperkuat, sehingga melahirkan pemimpin di setiap tingkatan yang capable dan memiliki legitimasi yang kuat. *) Ketua KPU Kab. Subang 5 / 5