Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Menghadapi Perubahan Sosial

dokumen-dokumen yang mirip
MENGENAL BUDAYA RUPA SUNDA WIWITAN (BADUY) (bagian ke-1: Kain Tenun Baduy) Oleh: Nanang Ganda Prawira (Pemerhati, Peneliti Budaya Rupa Nusantara)

BAB I PENDAHULUAN. kemajuan teknologi komunikasi dan media massa, mengakibatkan munculnya New

STRATEGI HIDUP HUBUNGANNYA DENGAN LAHAN PERTANIAN

SISTEM PERLADANGAN MASYARAKAT BADUY Oleh : Wilodati *)

BAB I PENDAHULUAN. Propinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang

Makna Simbolik Huma (Ladang) Di Masyarakat Baduy. Jamaludin

BAB I PENDAHULUAN. Baduy merupakan salah satu suku adat di Indonesia yang sampai

SISTEM TATANAN MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN ORANG BADUY

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Kata sapaan..., Annisa Rahmania, FIB UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB II LANDASAN TEORI

2015 KEHID UPAN MASAYARAKAT BAD UY LUAR D I D ESA KANEKES KABUPATEN LEBAK BANTEN

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DAN RESOLUSI KONFLIK STUDI KASUS UMAT BERAGAMA PADA MASYARAKAT SUKU BADUY PERBATASAN DI PROVINSI BANTEN. Arsyad Sobby Kesuma

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Create PDF with GO2PDF for free, if you wish to remove this line, click here to buy Virtual PDF Printer

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat adat Baduy dalam perjalanannya sebagai masyarakat adat

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II LEBAK

BAB I PENDAHULUAN. Tanah bagi manusia memiliki arti yang sangat penting. Hubungan antara manusia

SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT BADUY PASCA TERBENTUKNYA PROPINSI BANTEN TAHUN 2000

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 6 MALANG

TINJAUAN PUSTAKA Komunitas Adat Terpencil Baduy

PENDAHULUAN Latar Belakang

IDENTITAS AGAMA ORANG BADUY Oleh: Kiki Muhamad Hakiki*

Kata Kunci : Identitas, Agama, Baduy

BAB 2 ANALISA DAN DATA. Sumber data dan informasi untuk mendukung proyek Tugas Akhir saya diperoleh dari

PAMARENTAHAN BADUY DI DESA KANEKES: PERSPEKTIF KEKERABATAN PAMARENTAHAN BADUY IN KANEKES: KINSHIP PERSPECTIVE

Sosialisasi Kearifan Lokal Masyarakat Baduy, R. Cecep Eka Permana, dkk 27

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN ASTANA GEDE. di Kabupaten Ciamis. Situs Astana Gede merupakan daerah peninggalan

Suku Baduy. Dibuat Oleh : Ade Luqman Hakim ( ) Ilmu Sejarah. Universitas Negeri Yogyakarta

SUKU BADUY. MAKALAH Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Wawasan Budaya Nusantara

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Nun jauh di pedalaman ujung baratdaya

Makalah. Disajikan dalam diskusi Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI Bandung. Oleh : Drs. Syarif Moeis NIP :

KARAKTER ARSITEKTUR TRADISIONAL SUKU BADUY LUAR DI GAJEBOH BANTEN. Djumiko. Abstrak

Kosmologi dalam Arsitektur Masyarakat Kasepuhan Banten Kiduldi Lebak Sibedug

MASYARAKAT BADUY DESA KANEKES, LEWIDAMAR LEBAK, BANTEN

KARAKTERISTIK KEBUDAYAAN KANEKES PANAMPING DI DESA KANEKES KECAMATAN LEUWIDAMAR KABUPATEN LEBAK (Suatu Kajian Geografi Budaya)

ANGKLUNG BUHUN WARISAN BUDAYA TAK BENDA KABUPATEN LEBAK

BAB III DATA, PROSES EKSPLORASI DAN ANALISA

BAB IV KESIMPULAN. Secara astronomi letak Kota Sawahlunto adalah Lintang Selatan dan

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

UPACARA SEBA PADA MASYARAKAT BADUY

SISTEM KEPERCAYAAN AWAL MASYARAKAT SUNDA. Deni Miharja*

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

BAB II ONAN RUNGGU. atas permukaan laut. Wilayah Onan Runggu memiliki luas sekitar 60,89 Km 2

KONFLIK PEMANFAATAN SUMBERDAYA TANAH ULAYAT BADUY PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG YULIYA HASANAH A

BAB I PENDAHULUAN. Prabu Siliwangi adalah seorang sosok raja Sunda dengan pusat. pemerintahan berada pada Pakuan Pajajaran.

Universitas Sumatera Utara

NGAREKSAKEUN SASAKA PUSAKA BUANA: PANDANGAN ETIKA URANG KANEKES TENTANG HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALAM. Oleh: Helmy Faizi Bahrul Ulumi 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 5 PENUTUP. Penelitian ini merupakan penelusuran sejarah permukiman di kota Depok,

diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar yang tidak harus berjenjang dan

FUNGSI DAN PERAN WANITA DALAM MASYARAKAT BADUY

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian

BAB IV KESIMPULAN. Universitas Indonesia. Kesesuaian Feng Shui..., Stephany Efflina, FIB UI, 2009

RESUME PENELITIAN PEMUKIMAN KUNO DI KAWASAN CINDAI ALUS, KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN

Tinjauan Arsitektur Interior Tradisional Desa Kanekes

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Pola pemukiman berdasarkan kultur penduduk

PERLINDUNGAN HUTAN MELALUI KEARIFAN LOKAL. Oleh: Gurniwan Kamil Pasya

DAFTAR ISI. 1. Morfologi Cerita Rakyat Malin Tembesu Berdasarkan Struktur Naratif Propp. Agatha Trisari Swastikanthi

BAB I PENDAHULUAN. kaum tua, dan lambat laun mulai ditinggalkan karena berbagai faktor penyebab.

SIMBOL SIMBOL KEBUDAYAAN SUKU ASMAT

TINGGALAN MEGALITIK DI DESA TUHAHA KECAMATAN SAPARUA KABUPATEN MALUKU TENGAH

Cagar Budaya Candi Cangkuang

JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN III (TIGA) ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) LINGKUNGAN ALAM DAN BUATAN

BAB 1 PENDAHULUAN Latar belakang

Kearifan Lokal dalam Menjaga Kelestarian Hutan: Kajian Awal pada Masyarakat Banten dan Jawa Barat

MENGENAL SUKU BADUY DARI BANTEN

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU

Gunggung Senoaji : Dinamika Sosial dan Budaya Masyarakat Baduy dalam Mengelola... ulayat yang diberikan oleh pemerintah. Pola kehidupan masyarakat Bad

PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG PAKAIAN DINAS PEGAWAI NEGERI SIPIL DILINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN TANGERANG

Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air Pemelihara Sungai 1

PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR 67 TAHUN 2009 TENTANG PAKAIAN DINAS PEGAWAI NEGERI SIPIL DILINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN BERAU BUPATI BERAU,

1

BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE. dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis tersebut

Dari Bukit Turun Ke Sawah PLPBK di Kawasan Heritage Mentirotiku dan Lakessi

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB III PAKAIAN ADAT TRADISIONAL DAERAH BUKIT HULU BANYU KALIMANTAN SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. Danandjaja (1984 : 1) menyatakan bahwa folklore adalah pengindonesiaan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut sejarah, sesudah Kerajaan Pajajaran pecah, mahkota birokrasi

Miwah sareng salam sembah, ka Mamah kairing ku kahormatan, pangabakti sareng ta'dm, moga ulah rengat gafih, anu sami Czntur gafiti, p tra Namh nu

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok

LOKASI PENELITIAN. Desa Negera Ratu dan Negeri Ratu merupakan salah dua Desa yang berada

3.1.2 Masyarakat Suku Baduy Kabupaten Banten memiliki masyarakat yang hingga kini tidak mengenal kebudayaan mesin yang modern, mereka tetap berpegang

KEARIFAN LOKAL TENTANG MITIGASI BENCANA PADA MASYARAKAT BADUY

BAB V PENGELOLAAN HUTAN DAN LUAS LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. setiap etnis menebar diseluruh pelosok Negeri. Masing masing etnis tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, kemajuan dalam bidang teknologi

- 1 - PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR 68 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nurshopia Agustina, 2013

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 60 TAHUN 2007 TENTANG

SUNDA WIWITAN BADUY: Agama Penjaga Alam Lindung di Desa Kanekes Banten. Masykur Wahid

Model Sosialisasi Kearifan Lokal Masyarakat Baduy, Isman Pratama Nasution, dkk 79

Gambar 3.1 Busana Thailand Berbentuk Celemek Panggul, Kaftan atau Tunika

Transkripsi:

Seminar Antarabangsa Bersama Universiti Kebangsaan Malaysia dan Universitas Indonesia (SEBUMI 3), 16-18 Desembe 2010 di Universiti Kebangsaan Malaysia, Malaysia Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Menghadapi Perubahan Sosial Dr. R. Cecep Eka Permana (Universitas Indonesia) Abstrak Masyarakat Baduy saat ini masih hidup sederhana di daerah Pegunungan Kendeng, Banten Selatan. Masyarakat Baduy juga pada umumnya masih terikat pada pikukuh (aturan adat). Pikukuh tersebut antara lain menyatakan lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambungan (panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung). Implikasi dari pikukuh itu adalah masyarakat Baduy menerima apa adanya atau tidak mengubah ketentuan yang sudah ada dari karuhun (luluhur/nenek moyang), termasuk didalamnya adalah tidak menerima barang moderen atau buatan pabrik. Insan Baduy yang melanggar pikukuh akan memperoleh ganjaran adat dari puun (pimpinan adat tertinggi). Hingga saat ini, pikukuh relatif bertahan pada masyarakat Baduy Dalam (tangtu), namun kecenderungan melonggar pada masyarakat Baduy Luar (panamping). Makalah ini akan mengkaji pergulatan bathin masyarakat Baduy antara menjaga kemurnian pikukuh dan mengikuti perkembangan zaman. Kajian tersebut akan didasari pada kearifan atau pengetahuan lokal Baduy dalam menghadapi perubahan sosial masyarakat pada era modernisasi dan globalisasi sekarang ini. Kata Kunci: Kearifan Lokal, Masyarakat Baduy, Perubahan Sosial 1. Pembuka Masyarakat Baduy merupakan salah satu sukubangsa di Indonesia yang masih menjalani kehidupan secara bersahaja. Kesahajaan masyaraat ini antara lain ditunjukkan dengan rumah-rumah yang bentuknya hampir sama dari bahan kayu, bambu, rumbia dan ijuk; pakaian adat dengan bahan sederhana berwarna putih dan hitam; hidup dari matapencaharian perladangan berpindah; dan menjalankan tata kehidupan berdasarkan kepercayaan Sunda Wiwitan. Masyarakat Baduy terletak di wilayah Jawa bagian Barat, pada daerah yang merupakan bagian dari pegunungan Kendeng (900 meter dari permukaan laut). Secara geografis, lokasi masyarakat Baduy ini terletak pada 6 o 27' 27" - 6 30' Lintang Utara (LU) dan 108 o 3' 9" - 106 o 4' 55" Bujur Timur (BT) (Iskandar, 1992: 21). Secara administratif, wilayah 1

Baduy sekarang termasuk dalam Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten, dengan luas 5.101,85 hektar. Sebagai suatu desa, Baduy atau Kanekes terdiri atas beberapa kampung yang terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu Baduy Tangtu (Baduy Dalam) dan Baduy Panamping (Baduy Luar). Hingga sekarang masyarakat Baduy masih menyimpan berbagai kearifan lokal sebagai senjata dan sekaligus benteng menghadapi perubahan sosial-budaya. 2. Gambaran Ringkas Masyarakat Baduy Sebutan Orang Baduy atau Urang Baduy awalnya bukanlah berasal dari mereka sendiri. Istilah Baduy diberikan oleh orang-orang di luar wilayah Baduy, dan kemudian digunakan oleh laporan-laporan etnografi pertama susunan orang-orang Belanda. Dalam laporan orang Belanda tersebut, masyarakat itu disebut dengan badoe'i, badoei, dan badoewi (Hoevell 1845, Jacob dan Meijer 1891, Pleyte 1909), sehingga sebutan "Baduy" lebih dikenal. Bahkan, pada tahun 1980, ketika Kartu Tanda Penduduk (KTP) diperkenalkan di daerah itu hampir semua penduduk tidak menolak sebutan Orang Baduy. Namun sesungguhnya, sebutan diri yang biasa mereka gunakan adalah Urang Kanekes. Mereka biasa pula dengan menyebut asal dan wilayah kampung mereka, seperti Urang Cibeo (nama salah satu kampung), Urang Tangtu, dan Urang Panamping (Garna, 1993a: 120). Istilah Baduy ini juga muncul dari nama sebuah bukit bernama Gunung Baduy, dan di dekatnya mengalir sungai kecil bernama Cibaduy. Menurut beberapa pendapat, sebenarnya hanya penduduk di daerah inilah yang disebut Urang Baduy. Karena daerah Baduy merupakan pintu gerbang masuk ke daerah ini, dan penduduk daerah ini sering bepergian ke luar dan bergaul dengan penduduk di sekitarnya, maka orang luar mengenal sebutan Urang Baduy untuk masyarakat yang lebih luas lagi (Danasasmita dan Djatisunda, 1986:1). Secara umum, masyarakat Baduy terbagi menjadi tiga lapisan masyarakat, yaitu tangtu, panamping, dan dangka. Tangtu dan panamping berada pada wilayah desa Kanekes, sedangkan dangka terdapat di luar desa Kanekes. Bila dilihat berdasarkan kesucian dan ketaatannya kepada adat, tangtu lebih tinggi dibanding panamping, dan panamping lebih tinggi dibanding dangka. Namun, pembagian yang sering digunakan adalah tangtu merujuk pada masyarakat Baduy Dalam, sedangkan panamping dan dangka merujuk pada masyarakat Baduy Luar. 2

Pada masyarakat Baduy ini dikenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional dan sistem tradisional (adat). Dalam sistem nasional, masyarakat Baduy termasuk dalam wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Desa Kanekes ini dipimpin oleh kepala desa yang disebut Jaro Pamarentah (dahulu disebut Jaro Warega, lalu pada jaman kolonial disebut Jaro Gubernemen). Seperti kepala desa atau lurah di desa lain, ia berada di bawah camat, kecuali untuk urusan adat yang tunduk kepada kepala pemerintahan tradisional (adat) yang disebut puun. Uniknya bahwa bila kepala desa lainnya dipilih oleh warga, tetapi untuk Kanekes ditunjuk oleh puun, baru kemudian diajukan kepada bupati (melalui camat) untuk dikukuhkan sebagai kepala desa. Lokasi Masyarakat Baduy (peta kiri) Salah satu kampung Baduy (foto kanan) Secara tradisional pemerintahan pada masyarakat Baduy bercorak kesukuan yang disebut kapuunan, karena puun menjadi pimpinan tertinggi. Puun di wilayah Baduy ini ada tiga orang, masing-masing puun Cikeusik, puun Cibeo, dan puun Cikartawana. Dalam menjalankan tugasnya Puun dibantu oleh sejumlah pejabat kapuunan, seperti Girang Seurat (Pembantu utama puun atau pemangku adat); Baresan (petugas keamanan kampung); Jaro (pelaksana harian urusan pemerintahan kapuunan); Palawari (petugas upacara adat); Tangkesan (dukun kepala dan sebagai 'atasan' dari semua dukun). Mata pencaharian masyarakat Baduy berfokus pada berladang dengan menanam padi. Padi merupakan hal yang tidak terpisahkan dari dunia mereka yang dilambangkan sebagai Nyi Pohaci Sanghyang Asri atau Dewi Padi. Padi harus ditanam menurut ketentuan-ketentuan karuhun (leluhur). Padi hanya boleh ditanam di lahan ladang kering tanpa pengairan yang disebut huma untuk keperluan upacara adat dan sehari-hari. Bahkan sebagian besar upacara 3

keagamaan orang Baduy tidak terlepas dari hubungannya dengan padi dan perladangan ini. Sistem kalender atau penanggalan orang Baduy pun berkaitan sangat erat dengan tata urutan kegiatan perladangan mereka. 3. Pikukuh Baduy Pada dasarnya kepercayaan orang Baduy adalah penghormatan pada roh nenek moyang. Pusat pemujaan mereka berada di puncak gunung yang disebut Sasaka Domas atau Sasaka Pusaka Buana. Obyek pemujaan ini pada dasarnya merupakan sisa kompleks peninggalan megalitik berupa bangunan berundak atau berteras-teras dengan sejumlah menhir dan arca di atasnya. Inilah yang dianggap oleh orang Baduy sebagai tempat berkumpulnya para karuhun (Permana, 2006). Keyakinan mereka sering disebut dengan Sunda Wiwitan atau agama Sunda Wiwitan. Menurut ajaran agama ini, kekuasaan tertinggi berada pada Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki), Sang Hiyang Keresa (Yang Maha Kuasa), atau Batara Tunggal (Yang Mahaesa). Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh (ketentuan adat) agar supaya orang hidup menurut alur itu dan menyejahterakan kehidupan Baduy dan luar Baduy. Menurut keyakinan mereka, masyarakat Baduy berasal dari hierarki tua, sedangkan di luar Baduy merupakan keturunan yang lebih muda. Konsep keagamaan dan adat terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy adalah seperti tertuang dalam ungkapan sebagai berikut: gunung teu meunang dilebur lebak teu meunang diruksak larangan teu meunang dirempak buyut teu meunang dirobah lojor teu meunang dipotong pondok teu meunang disambungan nu lain kudu dilainkeun nu ulah kudu diulahkeun nu enya kudu dienyakeun Artinya: gunung tak boleh dihancur lembah tak boleh dirusak larangan tak boleh dilanggar pantangan tak boleh diubah panjang tak boleh dipotong pendek tak boleh disambung 4

yang bukan harus ditiadakan yang lain harus dipandang lain yang benar harus dibenarkan (Garna, 1988:53-54, 1993a:139) Dengan demikian pikukuh mengatur tentang menjaga dan melestarikan lingkungan alam, adat, dan perilaku pantas manusia. Ketentuan yang mengatur tentang menjaga dan melestarikan lingkungan alam ditunjukkan dengan ungkapan gunung teu meunang dilebu, lebak teu meunang diruksak. Ketentuan yang mengatur tentang menjaga dan melestarikan adat ditunjukkan dengan ungkapan larangan teu meunang dirempak, buyut teu meunang dirobah, lojor teu meunang dipotong, pendek teu meunang disambung. Sementara itu, ungkapan lainnya berkaitan dengan menjaga dan melestarikan perilaku pantas manusia. 4. Perubahan Sosial-Budaya Masyarakat Baduy a. Perubahan Sosial-Budaya dalam Kepercayaan Gambaran perubahan sosial-budaya masyarakat Baduy berkaitan dengan kepercayaan dapat dilihat dari kisah asal-usulnya. Dikisahkan bahwa Batara Tunggal atau Nu Ngersakeun menciptakan tujuh batara, masing-masing Batara Cikal, Batara Patanjala, Batara Wisawara, Batara Wisnu, Batara Brahma, Batara Hyang Niskala, dan Batara Mahadewa. Secara umum terlihat bahwa para batara dalam pantheon Baduy ini merupakan para dewa Hindu. Hal ini jelas diketahui dari penggunaan istilah 'batara' dan nama-nama batara tersebut seperti Batara Tunggal, Wisawara (mungkin sama dengan Iswara atau Syiwa), Wisnu, Brahma, dan Mahadewa (nama lain untuk Syiwa). Agaknya hanya nama Cikal yang mengandung unsur 'asli' dari Baduy. Sementara nama Niskala dan Patanjala walaupun mengandung unsur Hindu, tetapi sering dijumpai dalam tokoh-tokoh Sunda dan bukan termasuk dalam pantheon Hindu. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986) tokoh Patanjala dalam mitologi Sunda Kuno dianggap sebagai 'Wisnu Sunda'. Menurut mitologi Hindu, Patanjala adalah seorang resi murid Syiwa yang berjumlah lima orang. Dalam sejarah Jawa Barat (abad ke- 13) ada dua orang raja yang dianggap penjelmaan Patanjala ini, yaitu pendiri kerajaan Galuh bernama Wretikandayun, dan seorang lagi adalah Darmasiksa. Tokoh Patanjala ini dalam kepercayaan Sunda Kuno pun sangat kuat dan bahkan menggeser kedudukan Brahma, Syiwa, dan Wisnu, terutama pada masyarakat peladang. Hal ini disebabkan kata 5

'patanjala' dapat berarti 'air hujan' (pata=jatuh, jala=air) yang sangat dibutuhkan dalam pertanian. Dalam cerita yang tergolong sakral yaitu lakon Lutung Kasarung versi pantun Baduy, tokoh Guru Minda disebut dengan Guru Minda Patanjala. Isi lakon ini berkaitan dengan perawatan tanaman padi dan pengurusannya setelah panen. Saya menduga bahwa pengangkatan dan penggunaan nama Patanjala dalam pantheon Baduy ini karena besarnya pengaruh dan perannya dalam sistem pertanian (ladang) yang merupakan fokus utama kehidupan masyarakat Baduy. Pengangkatan dan penggunaan nama-nama Hindu dalam pantheon Baduy, saya kira sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Seperti diketahui dalam sejarah nusantara pada umumnya dan Jawa Barat khususnya termasuk daerah yang sejak awal didatangi dan dipengaruhi oleh unsur Hindu; mulai dari Tarumanagara (abad 4-5 M) hingga Pajajaran (abad 15-16). Rentang waktu yang sangat lama tersebut (kira-kira 1000 tahun) unsurunsur hinduisme tersebut sangat mungkin berpengaruh dan merasuk dalam kehidupan. Pusat-pusat pemujaan asli seperti kompleks megalitik 'ditundukkan' dan dihindukan dengan bukti prasasti. Pusat-pusat pemujaan tersebut misalnya di kompleks megalitik Ciamis dengan prasasti kawalinya, di kompleks megalitik Ciampea (Bogor) dengan prasasti Ciareuteum, Kebon Kopi dan Muara Cianteunya. Namun hal seperti itu rupanya tidak terjadi di wilayah Baduy dan sekitarnya yang juga memiliki kompleks megalitik seperti Arca Domas, Kosala, Pangguyangan, Tugu Gede, Salak Datar, dan Lebak Sibedug. Di daerah Baduy ini agaknya unsur-unsur hindu yang masuk dapat disaring, diseleksi dan disesuaikan dengan inti kepercayaan dan kebutuhan setempat. Di samping itu, faktor lokasi yang terpencil dan medan yang sulit juga mendukung sulitnya atau kurangnya unsur-unsur asing yang masuk. Ketinggian derajat unsur-unsur asli setempat misalnya ditunjukkan dengan meletakkan Batara Cikal di atas batara lain yang mengandung unsur hindu. Cikal dalam bahasa setempat dapat berarti sulung dan dipandang sebagai leluhur orang Baduy. Hal lain yang menunjukkan sangat sedikitnya rembesan pengaruh Hindu ke dalam masyarakat Baduy adalah pada konsep pimpinan tertinggi dalam masyarakat. Menurut Hindu berlaku konsep dewa raja, dimana raja sebagai pemimpin tertinggi dianggap sebagai penjelaan dewa di dunia, sehingga rakyat harus berbakti, tunduk dan mengabdi padanya. Sebaliknya bagi masyarakat Baduy, pemimpin tertinggi yang disebut puun tidak dianggap sebagai penjelmaan dewa, walaupun kewenangannya mirip dengan seorang raja. 6

Ketika masuknya agama Islam sejak abad 16 M yang berpusat di Banten, masyarakat Baduy pun merasakan rembesannya sehingga pantheonnya memasukkan unsur-unsur Islam. Seperti Batara Cikal (tertua) disamakan dengan Nabi Adam sebagai penurun orang Baduy, dan Batara Tujuh (termuda) disamakan dengan Nabi Muhammad sebagai penurun orang di luar Baduy. Selain itu, dalam tradisi lisannya dikatakan: "Dahulu, umat Nabi Adam (Baduy) melakukan puasa selam sebulan, dan umat Nabi Muhammad (luar Baduy) selama tiga bulan. Tetapi suatu ketika Nabi Muhammad minta tukaran waktu puasa dengan kakaknya (Nabi Adam), karena umat Nabi Adam lebih kuat dan lebih tabah. Nabi Adam memenuhi permintaan tersebut. Maka mulai saat itu, umat Nabi Muhammad hanya berpuasa selama sebulan (bulan Ramadhan), dan umat Nabi Adam berpuasa selama tiga bulan (bulan Kawalu)" Adanya unsur Hindu dan Islam juga diperoleh gambaran dari laporan C.L. Blume ketika melakukan ekspedisi botani ke daerah tersebut pada tahun 1822. Ia menulis: "...dipangkuan sebuah rangkaian pegunungan, yang menjulang tinggi di Kerajaan Bantam di Jawa Barat... kami mendapatkan beberapa kampung pribumi, yang dengan sengaja bersembunyi dari penglihatan orang-orang luar... Di sebelah barat dan di selatan gunung ini... yang tidak dimasuki oleh ekspedisi Hasanudin... dalam kegelapan hutan yang lebat, mereka masih dapat memuja para dewa mereka selama berabad-abad..." Menurut Blume, komunitas Baduy ini berasal Kerajaan Sunda Kuno, yaitu Pajajaran, yang bersembunyi ketika kerajaan ini runtuh pada awal abad ke-17, menyusul bergeloranya ajaran Islam dari Kerajaan Banten (Garna, 1993b:144). Menurut cerita rakyat di daerah Banten diriwayatkan bahwa dalam suatu pertempuran, Kerajaan Pajajaran tidak dapat membendung serangan Kerajaan Banten. Pucuk pimpinan Pajajaran saat itu yang bernama Prabu Pucuk Umun (keturunan Prabu Siliwangi) beserta punggawa yang setia berhasil lolos meninggalkan kerajaan masuk ke dalam hutan belantara. Akhirnya mereka tiba di daerah Baduy sekarang ini dan membuat pemukiman di sana (Djuwisno, 1986:1-2). Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal pendapat yang menyatakan bahwa komunitas Baduy berasal dari Kerajaan Pajajaran. Menurut Van Tricht, mereka adalah penduduk asli dari daerah tersebut yang 7

mempunyai daya tolak yang kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b:146). Masyarakat Baduy sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian Kerajaan Pajajaran. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986:4-5) orang Baduy adalah penduduk setempat yang dijadikan mandala (kawasan yang suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur), bukan agama Hindu atau Budha. Kabuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau Sunda Asli atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Menurut saya, adanya penyebutan nama dan unsur asli setempat merupakan kearifan lokal masyarakat Baduy dalam upaya menjaga eksistensi dan sekaligus sebagai suatu adaptasi sistem kepercayaan mereka terhadap perubahan sosial-budaya. Di samping itu, juga bertujuan untuk menyatakan bahwa mereka sebenarnya tidak lebih rendah dari yang lain. Bahkan, hingga sekarang pun ketika agama Islam telah dianut hampir semua warga di sekitar wilayah Baduy, masyarakat Baduy masih tetap bertahan dengan agama Sunda Wiwitannya. b. Perubahan Sosial-Budaya dalam Perladangan Masyarakat Baduy merupakan peladang murni, karena berladang merupakan tumpuan pokok mata pencaharian mereka. Sistem perladangan yang mereka kenal berupa perladangan berpindah- pindah. Lahan ladang Baduy dalam bahasa setempat disebut huma. Bekas huma yang masih baru disebut jami, sedangkan bekas huma yang sudah lama ditelantarkan sehingga telah menjadi semak belukar disebut reuma. Menurut tradisi masyarakat Baduy, berdasarkan fungsinya, dikenal lima macam huma. Pertama, huma serang, yaitu huma adat kepunyaan bersama dan hanya ada di Baduy Dalam (tangtu) yaitu di Cikeusik, Cikartawana, dan Cibeo. Kedua, huma puun adalah ladang kepunyaan puun dan juga hanya terdapat di daerah Baduy Dalam (tangtu). Ketiga, huma tangtu disediakan untuk keperluan penduduk tangtu. Keempat, huma tuladan untuk keperluan upacara (seperti huma serang) di daerah panamping. Sedangkan, Kelima, huma panamping untuk keperluan penduduk panamping. Dalam pelaksanaan perladangan, Orang Baduy mengenal beberapa tahap kegiatan, yaitu 8

narawas (pemilih ladang), nyacar (menebas/menebang hutan), nukuh (membakar hasil tebangan), ngaseuk (menanam padi), ngored (membersihkan hama padi), dan ngunjal (panen). Namun, dalam makalah ini saya hanya akan membicarakan tentang narawas, karena lebih banyak terlihat gambaran perubahan sosial-budayanya. Kata 'narawas' berasal dari kata kerja tarawas yang berarti rintis, sehingga narawas berarti merintis. Kegiatan ini berupa mencari atau memilih lahan untuk dijadikan huma. Narawas ini dilakukan setelah terlihat munculnya bentang kidang (bintang waluku) pada bulan pertama Orang Baduy, yaitu bulan Kapat (biasanya dimulai pada tanggal 18). Lahan yang biasa dijadikan ladang baru itu berupa reuma atau hutan sekunder yang telah diberakan cukup lama yaitu rata-rata lebih dari 3 tahun. Lahan itu telah mengalami suksesi alami dari bekas huma. Selain tumbuh-tumbuhan liar atau semak belukar, biasanya pada lahan ini masih dijumpai sejumlah tanaman yang ditanam ketika lahan tersebut belum diberakan. Ada empat indikator yang merupakan kearifan lokal masyarakat Baduy dalam memilih lahan huma. Keempat indikator tersebut adalah jenis tanah, kandungan humus, jenis tumbuhan dan kemiringan lereng. Indikator pertama, yaitu jenis tanah, dapat dilihat berdasarkan paling sedikit tiga hal, yaitu warna, kandungan air dan udara, serta kandungan batu. Berdasarkan warnanya dikenal taneuh hideung (tanah hitam), taneuh bodas (tanah putih), dan taneuh beureum (tanah merah). Tanah hitam merupakan prioritas karena pada tanah tersebut banyak mengandung surubuk (humus), sedangkan tanah yang lain kurang atau tidak subur. Berdasarkan kandungan air dan udaranya dikenal taneuh liket (tanah lengket) dan taneuh bear (tanah gembur). Untuk memperoleh lahan huma yang baik, maka sebaiknya dipilih taneuh bear karena pada tanah ini selain terdapat air, tanah ini juga longgar dan terdapat banyak udara sehingga akar tanaman bisa bebas bergerak dan bernapas. Sementara itu, berdasarkan kandungan batunya, lahan yang baik adalah taneuh teu aya batuna (tanah yang tidak ada batunya) dan jangan memilih taneuh karang (tanah yang banyak terdapat batu). Indikator kedua, yaitu kandungan humus, dapat dilihat dari banyak tidaknya surubuk dan koleang. Surubuk merupakan istilah Orang Baduy untuk menyebut humus sebagai kandungan dalam tanah yang dapat menyuburkan tanaman. Sedangkan koleang adalah istilah orang Baduy untuk menunjukkan daun-daun kering yang jatuh atau terdapat pada 9

permukaan tanah. Kedua unsur ini sangat penting bagi Orang Baduy sebagai pupuk organik, mengingat mereka buyut (tabu) menggunakan pupuk, baik pupuk kandang maupun pupuk kimia. Indikator ketiga, yaitu jenis tanaman, dengan melihat berbagai jenis tanaman yang tumbuh pada lahan tersebut. Lahan yang diperkirakan subur apabila banyak ditemukan tumbuhan seperti babakoan, bintinu dan kiseureuh. Sementara itu, lahan yang diperkirakan kurang subur biasanya ditumbuhi tanaman seuhang, peuris, dan reungkang. Dan indikator keempat, yaitu kemiringan lereng, dapat dibedakan menjadi lahan gedeng (lahan yang miring atau curam) dan lahan cepak (lahan di tempat datar). Pada dasarnya lahan huma yang baik adalah lahan cepak, namun karena bentukan permukaan lahan di wilayah Baduy jarang sekali ditemukan tanah yang datar, maka umumnya huma ditemukan pada lahan gedeng. Untuk menjaga agar humus tanah tidak terbawa air hujan, maka pada lereng tersebut biasanya dibuat teras-teras penahan yang terbuat dari potongan-potongan kayu. Dalam proses pemilihan lahan ini, bila telah ditemukan calon huma (khususnya huma tangtu), maka pada tempat itu biasanya diberi tanda dengan cara meletakkan batu, batu asahan dan tanaman koneng atau kunyit (Curcuma longa). Hal ini yang tidak boleh dilupakan adalah setiap pilihan lahan huma tersebut harus sepengetahuan dan restu dari puun. Selama proses pemilihan lahan ini terdapat beberapa pantangan, yakni tidak boleh meludah, berbicara kasar/kotor, kentut, merokok, dan memakai baju kotor, serta harus mengenakan ikat kepala. Hal penting lain yang diperhatikan adalah calon huma telah cukup masa bera atau perputaran untuk kembali ke ladang semula. Dahulu waktu bera calon huma mencapai 7-10 tahun, tetapi sekarang ini memerlukan waktu sekitar 3-5 tahun. Selain itu, dari segi ukuran huma juga mengalami pengurangan dari sekitar 1 hektar menjadi 0,5 hektar. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk yang terus bertambah, sedangkan luas wilayah yang boleh dibuka untuk huma tidak bertambah atau terbatas. Data demografi tentang orang Baduy pertama kali tercatat pada tahun 1888 berjumlah 291 orang yang menempati 10 buah kampung. Namun, pada beberapa tahun berikutnya data jumlah penduduk Baduy meningkat menjadi 1.407 orang yang tinggal di 26 kampung (Jacobs 10

dan Meijer 1891; Pennings 1902). Pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1908 penduduk Baduy dilaporkan berjumlah 1.547 orang, sedangkan dua puluh tahun kemudian, jumlah penduduk dilaporkan sedikit berkurang menjadi 1.521 orang (Tricht 1929). Pada tahun 1966 penduduk Baduy diketahui berjumlah 3.935 orang, dan menjadi 4.063 pada tahun 1969. Pada tahun 1984 penduduk Baduy berjumlah 4.587 orang, dan tahun 1986 berjumlah 4850 orang (Garna, 1985, 1993; Iskandar, 1992). Menurut catatan tahun 1990 orang Baduy berjumlah 5582 jiwa, tahun 1993 tercatat 5.649 orang, tahun 1994 berjumlah 6.483 orang, dan tahun 2004 tercatat 7.532 orang (Permana, 2006). Berdasarkan perhitungan terakhir (2009) oleh Kantor Desa Kanekes penduduk Baduy berjumlah 11.172 orang. Dengan demikian, setelah 112 tahun penduduk Baduy bertambah lebih dari 40 kali lipat! Dampak lain dari berkurangnya jumlah masa bera dan ukuran lahan adalah berkurang pula hasil panen. Terlebih lagi pantangan menggunakan pupuk buatan pabrik, sehingga kesuburan tanaman berkurang. Berkurangnya hasil panen berarti berkurang pula persediaan beras di lumbung (leuit). Kenyataan sekarang ini banyak leuit yang tidak terisi dan akhirnya rusak. Untuk kebutuhan sehari-hari yang biasanya diperoleh dari leuit masing-masing keluarga, kini terpaksa harus membeli beras dari luar Baduy. Membeli berarti memerlukan uang, sementara uang diperoleh dari kegiatan jasa melalui kerja ekstra. Bahkan, tidak sedikit pula, warga Baduy (terutama Baduy Panamping) menjadi penggarap atau membuka huma di luar wilayah Baduy. Agaknya, kearifan lokal masyarakat Baduy sedang diuji. c. Perubahan Sosial-Budaya dalam Aktivitas Sehari-hari Secara lebih nyata perubahan sosial-budaya pada masyarakat Baduy terlihat pada aktivitas sehari-hari, antara lain pada pakaian, perlengkapan rumah tangga, dan pergaulan. Sejatinya pakaian orang Baduy memancarkan kesederhanaan. Menurut mereka meninggalkan kesederhanaan berarti membatalkan tapa dunianya. Hal tersebut tertuang dalam ungkapan bijak mereka: sare tambah teu tunduh, ngawadang tambah teu lapar, make tambah teu taranjang artinya tidur sekadar pelepas kantuk, makan sekadar pelepas lapar, berpakaian sekadar tidak telanjang. Pakaian kaum pria Baduy berbeda dari pakaian kaum wanitanya. Pakaian pria terdiri atas 11

tiga bagian, yaitu ikat kepala yang disebut telekung, romal, atau iket; baju tanpa kerah berlengan panjang yang disebut kutung; dan sarung yang disebut aros. Pakaian pria tangtu agak berbeda dari pria panamping, terutama pada warna dan kualitas bahannya. Pria tangtu memakai ikat kepala berwarna putih tenunan sendiri, bajunya hasil tenunan serat daun pelah atau boeh berwarna putih, dan sarungnya terbuat dari benang kanteh (benang kasar) bergaris putih dan nila yang dikenakan sebatas dengkul (mirip rok wanita) dan diikat dengan beubeur (ikat pinggang) berupa selendang kecil. Sebaliknya pria panamping mengenakan ikat kepala berwarna nila yang disebut merong. Bajunya disebut jamang kampret (baju kampret), biasanya berlapis dua, baju putih di sebelah dalam dan baju hitam di sebelah luar. Akan tetapi banyak pria panamping hanya mengenakan baju hitam. Sementara itu, wanita tangtu mengenakan pakaian yang kadang berbeda dari pakaian wanita panamping. Wanita tangtu mengenakan kemben, yaitu selendang yang dililitkan pada badan bagian atas. Untuk pakaian bawahnya digunakan sehelai samping (kain) yang dililitkan sebatas pinggang. Baik kemben maupun samping terbuat dari benang kanteh atau serat daun pelah yang dibuat sendiri. Pakaian wanita panamping berupa kebaya berwarna biru muda dan kain berwarna biru tua. Jenis kainnya ada yang disebut kacang herang hasil tenunan sendiri, dan ada pula yang disebut kain merong. Pada waktu mengikuti upacara turun muja di tangtu, mereka mengenakan kebaya warna putih dan kain biru tua atau biru muda. Dalam perjalanan waktu terjadi pergeseran atau perubahan. Pada awalnya masyarakat tangtu menenun sendiri pakaiannya, tetapi sekarang hanya masyarakat panamping yang masih menjalaninya. Itu pun bahan benang yang digunakan tidak lagi diperoleh dan dibuat sendiri, tetapi dari benang buatan pabrik. Khusus untuk masyarakat panamping, telah lama mengenakan pula kain bermotif batik warna hitam dan biru dengan hiasan tertentu buatan Majalaya Bandung atau membelinya di Pasar Tanah Abang Jakarta. Belakangan ini, batiknya pun telah menggunakan hiasan bervariasi dengan warna coklat dan hijau. Bahkan kaum remaja prianya pun sudah terbiasa menggunakan celana berbahan jeans. Dalam hal ini pun, kearifan lokal masyarakat Baduy kembali diuji. Dari segi peralatan hidup sehari-hari baik untuk pertanian, rumah tangga, maupun keperluan lainnya juga dibuat secara sederhana dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekitar mereka, misalnya kayu, bambu, pandan, tempurung kelapa, dan rotan. Hanya 12

beberapa jenis peralatan yang tidak dapat dibuat sendiri, ditukar atau dibeli dari luar, seperti golok, pisau, panjang (piring/mangkok porselen), kenceng (penggoreng logam), dan seeng (dandang tembaga). Peralatan rumah tangga yang biasa terdapat dan dibuat oleh orang Baduy, terutama oleh orang tangtu adalah: (1) peralatan tidur, berupa samak (tikar anyaman daun pandan), rekal atau angklak (bantal dari kayu), dan simbut (selimut tenunan sendiri); (2) peralatan dapur dan makan, aseupan (kukusan dari anyaman bambu), hihid (kipas dari anyaman bambu), jahas (piring kayu), comong (cangkir bambu), dan batok (cangkir tempurung kelapa); (3) peralatan rumah lainnya adalah totok atau pagawangan (semacam pelita dari ruas bambu pendek dengan gantungan kayu, bahan bakarnya: minyak picung), kelek (tempat air dari bambu satu ruas), tomo (sejenis periuk tanah liat tempat menyimpan air matang), siwur (alat penyiduk air dari tempurung kelapa dengan tangkai bambu atau kayu), lodong (tabung bambu tempat nira atau tuak), koja atau jarog (tas rajutan serat kayu), nyiru (alat penampi gabah dari anyamam bambu), dan pakara (peralatan tenun dari kayu dan bambu). Hingga sekarang, orang tangtu sebagian besar masih membuat dan menggunakannya untuk keperluan sehari-hari. Namun tidak demikian halnya pada orang panamping yang telah banyak menggunakan peralatan sehari-hari dengan buatan pabrik/moderen, seperti piring dan cangkir kaca atau porselen, sendok dan garpu dari plastik atau logam, lampu minyak tanah, kasur dan bantal kapuk/busa, bahkan memiliki lampu senter, radio, dan handphone!. 5. Penutup Kebudayaan tidak statis, melainkan bersifat dinamis. Kebudayaan selalu bergerak dan berubah menyesuaikan diri dengan lingkungan. Melalui kebudayaan itulah suatu masyarakat beradaptasi untuk melangsungkan kehidupannya. Hanya saja, daya dan cara adaptasi setiap individu dan masyarakat berbeda-beda, sehingga melahirkan penyesuaian diri dan kelompok juga berbeda-beda terhadap berbagai perubahan sosial-budaya yang terjadi dalam masyarakat. Pada masyarakat Baduy perubahan sosial-budaya relatif sedikit terjadi pada masyarakat tangtu dibandingkan panamping. Masyarakat tangtu masih teguh menjalankan pikukuh Baduy, sedangkan masyarakat panamping semakin longgar menjalankannya. Adanya 13

pembagian tangtu dan panamping secara budaya merupakan kearifan lokal sebagai buffer zone dalam pemertahanan adat terhadap pengaruh luar yang akan menyebabkan perubahan sosial-budaya masyarakat Baduy. Daerah panamping yang identik dengan Baduy Luar merupakan filter pertama yang berlapis-lapis (ditunjukkan dengan banyaknya kampung panamping) menghadapi pengaruh-pengaruh luar yang kemungkinan masuk ke wilayah budaya Baduy. Bahkan di daerah tangtu pun terdapat kampung-kampung pertahanan mulai dari kampung Cibeo dan Cikartawana, sebelum memasuki kampung adat Cikeusik yang paling sakral. Inti pikukuh untuk mempertahankan adat dan sekaligus menangkal pengaruh dari luar Baduy adalah: lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambungan (panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung). Hakikat dari pikukuh tersebut adalah tetap mempertahankan aturan dan ketentuan yang telah diturunkan oleh karuhun (leluhur), tanpa menambah atau mengurangi dari aturan dan ketentuan yang ada. Dalam rangka menjalankan pikukuh maka terdapat pula sejumlah buyut (pantangan/larangan) yang berlaku baik untuk masyarakat Baduy maupun masyarakat di luar Baduy yang datang berkunjung. Dengan mengikuti pikukuh niscaya adat dan kebiasaan sehari-hari masyarakat Baduy tidak berubah. Oleh karena itulah maka gambaran tentang masyarakat Baduy relative tidak berubah selama ratusan tahun. Seperti juga telah digambarkan di atas, walaupun pikukuh tetap dijalankan oleh masyarakat panamping, namun derasnya pengaruh dan godaan modernisasi menyebabkan longgarnya pertahanan adat mereka. Masyarakat panamping berada dalam dilema antara mempertahankan adat (dianggap tidak bisa maju) dan menerima modernisasi (dianggap melanggar pikukuh). Dalam perubahan sosial-budaya yang terus menerus itu, pilihan pahitnya adalah tetap menjadi atau keluar dari seorang Baduy dengan segala konsekuensinya. Agaknya kearifan lokal Baduy pun perlu adaptasi dalam menghadapi perubahan ini. Daftar Pustaka Adimihardja, K. (2000, Januari-April). Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air Pemelihara Sungai. Jurnal Antropologi Indonesia XXIV (61), 47-59. Danasasmita, S., dan Djatisunda, A. (1986). Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Djoewisno, M.S. (1987). Potret Kehidupan Masyarakat Baduy. Jakarta: Khas Studio. 14

Ekadjati, E. S. (1995). Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta: Pustaka Jaya. Garna, J. (1985). Masyarakat Baduy dan Siliwangi (menurut anggapan orang-orang Baduy masa kini). Makalah Seminar Sejarah dan Tradisi tentang Prabu Siliwangi. Bandung: Pemda Tk. I Propinsi Jawa Barat-Pusat Penelitian Arkeologi Nasional-Ecole Francaise d'extreme-orient. Garna, J. (1988a). Perubahan Sosial Budaya Baduy. In N. Rangkuti (Ed.), Orang Baduy dari Inti Jagat (pp. 47-55). Yogyakarta: Bentara Budaya, KOMPAS, Etnodata Prosindo, Yayasan Budhi Dharma Pradesa. Garna, J. (1988b). Nyi Pohaci Sanghyang Asri. In N. Rangkuti (Ed.), Orang Baduy dari Inti Jagat (pp. 60-66). Yogyakarta: Bentara Budaya, KOMPAS, Etnodata Prosindo, Yayasan Budhi Dharma Pradesa. Garna, J. (1993a). Masyarakat Baduy di Banten. In Koentjaraningrat (Ed.), Masyarakat Terasing di Indonesia (pp. 120-152). Jakarta: Departemen Sosial RI, Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial, dan Gramedia, Garna, J. (1993b). Orang Baduy di Jawa: Sebuah Studi Kasus Mengenai Adaptasi Suku Asli terhadap Pembangunan. L. T. Ghee dan Alberto G. Gomes (Ed.), Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara (pp. 142-160). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, Iskandar, J. (1992). Ekologi Perladangan di Indonesia: Studi Kasus dari Daerah Baduy, Banten Selatan, Jawa Barat. Jakarta: Djambatan. Jacobs, J. and Meijer, J.J. (1891). De Badoej's. 's-grahenhage: Martinus Nijhoff. Pennings, A.A. (1902). De Badoewi's in verband met enkele oudheden in de Residentie Bantam. TBG, XLV, 370-386. Permana, R.C.E. (2006). Tata Ruang Masyarakat Baduy. Jakarta: Wedatama Widya Sastra Tricht, B. van. (1929). Levende antiquiteiten in West-Java. Djawa, IX, 43-120. 15