BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi E. furcellata (Hemiptera : Pentatomidae) Menurut Kalshoven (1981) E. furcellata diklasifikasikan sebagai berikut : Phylum Klass Ordo Family Genus Spesies : Arthropoda : Insecta : Hemiptera : Pentatomidae : Eocanthecona : Eocanthecona furcellata Wolff Eochantecona furcellata merupakan predator yang baik untuk dikembangkan menjadi sarana pengendalian hayati ulat perusak daun kelapa sawit khususnya ulat api. Hal ini mengingat siklus hidup yang pendek, kemampuan berbiaknya tinggi, lama hidup imago yang panjang (sekitar 2 bulan) serta kemampuannya meletakkan telur pada helaian daun kelapa sawit, sehingga memungkinkan baik nimfa maupun imagonya hidup pada tajuk daun kelapa sawit dan aktif memangsa ulat api (Sipayung dkk., 1991). Telur Eochantecona furcellata meletakkan telur dalam kelompok kelompok telur. Seekor betina mampu meletakkan kelompok telur 1 4 kali dan jumlah telur per kelompok berbeda beda tergantung kepada spesiesnya. Dari spesies spesies yang telah dipelihara, E. furcellata adalah spesies yang paling tinggi kemampuan reproduksinya (Sipayung, 1990). Bagian samping dari telur berwarna hitam, dengan bagian atasnya lebih bersih dan bercahaya kecuali pada bagian tengahnya. Ukuran tinggi telur 1,02 mm (0,96 1,08 mm) dan lebar 0,88 (0,84 mm 0,92 mm). Telur di letakkan berkelompok sebanyak 9 sampai 74 butir telur, dengan rata rata 48,33 telur 4
dalam satu kelompok. Betina bertelur rata rata sampai 4 kali dalam waktu 23 hari (Sipayung dkk., 1991). Gambar 2.1. Telur E. furcellata Nimfa Nimfa berwarna hitam pada bagian kepala dan kaki, abdomen jingga sampai kemerahan dengan garis putus putus pada tepi dan tengah dari abdomen. Dari stadia nimfa hingga dewasa mengalami 5 kali penrgantian kulit. Perkembangan dengan menggunakan ulat api Setora nitens sebagai mangsa memerlukan waktu 4 minggu (telur sampai imago) dan 6 minggu untuk keseluruhan generasi, dan jika diberi maka Setothosea asigna, siklus hidup berkisar antara 44 sampai 76 hari (Desmier de Chenon, 1989). Nimfa instar satu yang baru menetas belum mau makan, nimfa instar dua mulai memakan hama ulat api pada daun kelapa sawit begitu juga instar tiga, instar empat, instar lima, sampai imago (Sipayung dkk., 1991). 5
Gambar 2.2. Nimfa E. furcellata Imago Imago dari predator ini mempunyai ukuran, jantan panjangnya 11,30 mm dan lebar 5,36 mm (5,16 5,66 mm); betina sedikit lebih besar dengan panjang 4,65 mm (13,83 15,50 mm) dan lebar 6,86 (6,50 7,16 mm). Imago pada umumnya tampak berwarna hitam, cukup cerah dengan warna hijau berkilau terutama pada bagian scutellum. Imago mempunyai perbesaran pada tabia, inilah yang membedakannya dengan genus Cantheconidae (Sipayung dkk., 1991). Scutellum besar pada sisi kanan dan kiri pronotum terdapat suatu struktur yang menyerupai tanduk yang disebut humerah tooth (gigi yang membujur), yang mencirikan sifat predator dari serangga tersebut (Kalshoven, 1981). 6
Gambar 2.3. Imago E. furcellata Tabel 2.1. Daur hidup E. furcellata dalam pemeliharaan dalam insektarium Stadia Jumlah hari diperlukan Range Rerata Inkubasi telur 8-14 10,95 Nimfa Instar 1 Instar 2 Instar 3 Instar 4 Instar 5 3-4 4-6 4-6 4-5 8-12 3,55 5,05 4,50 4,65 8,25 Masa imago Sebelum kawin Setelah kawin Sampai menelur 8-16 3-8 10,20 4,35 Total 42,71 51,50 (Sipayung, 1990) 7
2.1.1 Perkembangbiakan Predator E. furcellata Tujuan dari perkembangbiakan massal musuh alami ialah untuk menghasilkan musuh alami yang mudah, dalam jumlah besar, dalam kurun waktu cepat dan murah biayanya. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan membiakkan E. furcellata dengan memberikan mangsa alaminya, S. nitens (Djamin, 1994). Observasi pendahuluan menunjukkan bahwa populasi E. furcellata di lapangan sangat rendah, sehingga sangat sukar untuk menemukannya. Salah satu sebabnya adalah terbunuhnya predator predator yang ada di lapangan oleh insekta. Jika hal ini juga terjadi pada E. furcellata maka penerapan konsep PHT di perkebunan kelapa sawit akan menjadi sulit (Djamin, 1994). Eochantecona furcellata merupakan predator yang baik untuk dikembangkan menjadi agen pengendalian hayati ulat api. Hal ini mengingat siklus hidupnya yang pendek, kemampuan berbiaknya tinggi, lama hidup imago yang panjang serta kemampuannya meletakkan telur pada helaian daun kelapa sawit, sehingga memungkinkan baik nimfa maupun imagonya hidup pada tajuk daun kelapa sawit, dan aktif memangsa ulat api (Sudharto dkk, 1990). Gambar 2.4. E. furcellata memangsa ulat api 8
Gambar 2.5. E. furcellata memangsa ulat api 2.1.2 Pelepasan Predator di Lapangan Ulat pemakan daun, terutama ulat api dan ulat kantong, merupakan hama utama tanaman kelapa sawit. Di kawasan perkebunan kelapa sawit dapat dijumpai juga pemangsa atau predator dari ulat pemakan daun tersebut, antara lain : beberapa jenis kepik buas dari genus Eocanthecona, Cantheconidae (Hemiptera : Pentatomidae, Asopinae) dan Sycanus (Hemiptera : Reduviidae), serta kumbang Callimerus arcufer Chapuis (Coleoptera : Cleridae) (Sudharto dkk, 1991). Sipayung dkk (1991), menguraikan bahwa pada penelitiannya ternyata bahwa pelepasan 5 ekor imago predator perpohon pada tanaman umur 3-6 tahun yang sedang mengalami ledakan populasi rerata 29,5 ekor S. nitens dapat menurunkan populasi menjadi 3-6 ekor larva setelah tiga generasi kemudian. Pelepasan imago E.furcellata di lapangan sebanyak 3-4 ekor perpohon dalam keadaan padat populasi ulat yang masih rendah (3-6 ekor per pelepah) akan menjaga populasi hama berada di bawah ambang populasi ekonomis. 9
Dalam pelepasan predator E.furcellata di lapangan, lebih baik melepaskan nimfa instar terakhir dan imago. Nimfa dan imago tersebut dapat lebih lama tinggal pada tanaman kelapa sawit. 2.2 Ulat Api Ulat api merupakan salah satu jenis ulat pemakan daun kelapa sawit yang paling sering menimbulkan kerugian besar di perkebunan-perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Jenis-jenis ulat api yang paling banyak ditemukan adalah Setothosea asigna, Setora nitens, Darna trima, Darna bradleyi. Sedangkan jenis yang jarang ditemukan adalah Thosea monolancha, Thosea vetusta, Birthosea bisura, Birthamula chara, Susica malayana. Ulat api yang paling merusak di Indonesia dilaporkan adalah Setothosea asigna, Setora nitens, Darna trima (Susanto et al., 2012). 2.2.1 Setora Nitens Walker Klasifikasi S. nitens menurut Kalshoven (1981) adalah sebagai berikut : Phylum Class Ordo Family Genus Species : Arthropoda : Insekta : Lepidoptera : Limacodidae : Setora : Setora nitens Walker Setora nitens merupakan salah satu jenis ulat api pemakan daun kelapa sawit yang paling sering menimbulkan kerugian di perkebunan kelapa sawit. S. nitens memiliki siklus hidup yang lebih pendek dari S. asigna yaitu 42 hari. 10
Gambar 2.6. Larva S. nitens Sumber: Foto langsung Telur hampir sama dengan Setothosea asigna hanya saja peletakan telur antara satu sama lain tidak saling tindih. Telur menetas setelah 4-7 hari. Larva mula mula berwarna hijau kekuningan kemudian hijau dan biasanya berubah menjadi kemerahan menjelang masa pupa. Larva ini dicirikan adanya satu garis membujur di tengah punggung yang berwarna biru keunguan. Stadia larva dan pupa masing-masing berlangsung sekitar 50 hari dan 17-27 hari. Untuk S. nitens, selama perkembangannya, ulat berganti kulit 7,8 kali dan mampu menghabiskan helaian daun seluas 400 cm 2. S. nitens berpupa pada permukaan tanah (Susanto et al., 2010). 11
Gambar 2.7. Kokon S. nitens Telur nya berbentuk pipih dan bening, lebarnya 3 mm, diletakkan pada permukaan bawah daun 3-5 deretan, kadang kala sampai 20 deretan. Larva mula - mula berwarna hijau kekuningan kemudian hijau dan biasanya berubah menjadi kemerahan masa pupa. Panjangnya mencapai 40 mm, mempunyai dua rumpun bulu kasar di kepala dan dua rumpun di bagian ekor. Perilaku ulat ini sama dengan Setothosea asigna. Stadia ulat berlangsung sekitar 50 hari (Sudharto, 1991). Populasi kritis 5-10 ekor/pelepah. Pengendalian biasanya dilakukan secara kimiawi dengan insektisida dan hayati dengan virus NVP. 2.2.1.1 Gejala dan Kerusakan Gejala serangan dari berbagai macam ulat api hampir sama yaitu melidinya daun kelapa sawit apabila serangan berat. Serangan S. asigna di lapangan umumnya mengakibatkan daun kelapa sawit habis dengan sangat cepat dan berbentuk seperti melidi. Tanaman tidak dapat menghasilkan tandan selama 2-3 tahun jika serangan yang terjadi sangat berat. 12
Umumnya gejala serangan dimulai dari daun bagian bawah hingga akhirnya helaian daun berlubang habis dan bagian yang tersisa hanya tulang daun saja. Ulat ini sangat rakus, mampu mengkonsumsi 300-500 cm 2 daun sawit per hari. Tingkat populasi 5-10 ulat per pelepah merupakan populasi kritis hama tersebut di lapangan dan harus segera diambil tindakan pengendalian (Lubis, 2008). Tabel 2.2. Tingkat Populasi Kritis UPDKS No JENIS UPDKS POPULASI KRITIS (jumlah ulat/pelepah daun kelapa sawit) 1 Setothosea asigna 5 10 2 Setora nitens 5 10 3 Darna trima 20 30 4 Darna diducta 10 20 5 Darna bradleyi 10 20 6 Birthosea bisura 10 20 7 Mahasena corbetti 4 5 8 Metisa plana 5 10 9 Dasychira inclusa 5 10 10 Dasychira mendosa 5 10 11 Amathusia phidippus 2 5 (Susanto, 2012) 2.2.1.2 Pengendalian Ulat Api S. nitens Walker 1. Cara mengutip (hand picking) Pengutipan ulat dapat dilakukan pada tanaman muda umur 1 sampai dengan 3 tahun, apabila luas areal yang mengalami serangan mencapai 25 ha. Pengutipan ulat dapat dimulai apabila pada pemeriksaan global banyak ulat yang ditemukan 3 5 ekor/pelepah. 13
2. Cara biologis Dilakukan dengan menggunaka insektisida biologis yang siap pakai yang mengandung bakteri Basillus thuringiensis. 3. Cara kimiawi Yakni menggunakan insektisida anjuran. Penggunaan insektisida dapat dilaksanakan apabila keadaan mendesak mengingat bahan ini berbahaya terhadap keseimbangan alam. 4. Pengendalian hayati ulat api pada kelapa sawit dapat menggunakan mikroorganisme entomopatogenik, yaitu virus Nudaurelia, multiple nucleopolyhedrovirus (MNPV), dan jamur Cordyseps militaris. 5. Pelepasan sejumlah besar predator secara periodic merupakan salah satu teknik pemanfaatan predator untuk mengendalikan ulat pemakan daun kelapa sawit. 14