Hubungan Suhu Muka Laut Perairan Sebelah Barat Sumatera Terhadap Variabilitas Musim Di Wilayah Zona Musim Sumatera Barat

dokumen-dokumen yang mirip
EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

VARIABILITAS CURAH HUJAN DAN MUSIM TERKAIT SUHU MUKA LAUT DI SAMUDERA HINDIA (DIPOLE MODE) WILAYAH ZOM SUMATERA UTARA

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

PENGARUH FENOMENA GLOBAL DIPOLE MODE POSITIF DAN EL NINO TERHADAP KEKERINGAN DI PROVINSI BALI

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

PENGANTAR. Bogor, September 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR. DEDI SUCAHYONO S, S.Si, M.Si NIP

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

Keywords : sea surface temperature, rainfall, time lag

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI

I. INFORMASI METEOROLOGI

PENGARUH EL NIÑO 1997 TERHADAP VARIABILITAS MUSIM DI PROVINSI JAWA TIMUR

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

PROBABILITAS PENYIMPANGAN AWAL MUSIM DAN SIFAT CURAH HUJAN TERKAIT ANOMALI SUHU MUKA LAUT PASIFIK DAN HINDIA DI BALI

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA

PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN MENGGUNAKAN PARAMETER SEA SURFACE TEMPERATURE DI PANGKALPINANG

ANALISIS CURAH HUJAN DASARIAN III MEI 2017 DI PROVINSI NTB

KATA PENGANTAR. Kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penerbitan publikasi prakiraan musim hujan ini.

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang

PRESS RELEASE PERKEMBANGAN MUSIM KEMARAU 2011

Jurnal Einstein 3 (2) (2015): Jurnal Einstein. Available online

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

I. INFORMASI METEOROLOGI

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I APRIL 2017

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

ANALISIS INTENSITAS CURAH HUJAN WILAYAH BANDUNG PADA AWAL 2010 ANALYSIS OF THE RAINFALL INTENSITY IN BANDUNG IN EARLY 2010

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATE DASARIAN I MARET 2017

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2016

Analisis Variasi Cuaca di Daerah Jawa Barat dan Banten

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2018

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

PENGARUH SEBARAN SUHU UDARA DARI AUSTRALIA TERHADAP SUHU UDARA DI BALI. Oleh, Erasmus Kayadu

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

LITBANG KEMENTAN Jakarta, 8 Maret 2011

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT, ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN II FEBRUARI 2017

LAPORAN POTENSI HUJAN AKHIR JANUARI HINGGA AWAL FEBRUARI 2016 DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

MONITORING DINAMIKA ATMOSFER DAN PRAKIRAAN CURAH HUJAN SEPTEMBER 2016 FEBRUARI 2017

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

persamaan regresi. Adapun rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan kritis adalah sebagai berikut: CH kritis = ( 0.

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

PENGARUH FENOMENA ENSO TERHADAP PRODUKTIVITAS JAGUNG DI KABUPATEN GORONTALO

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

LAPORAN ANALISIS HUJAN DI WILAYAH DKI JAKARTA TANGGAL 04 OKTOBER 2009

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT; ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN DASARIAN I FEBRUARI 2018

El-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP CURAH HUJAN DI MANADO SULAWESI UTARA EL-NINO AND ITS EFFECT ON RAINFALL IN MANADO NORTH SULAWESI

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

ANALISIS VARIABILITAS TEMPERATUR UDARA DI DAERAH KOTOTABANG PERIODE

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

ANALISIS KLIMATOLOGI HUJAN EKSTRIM BULAN JUNI DI NEGARA-BALI (Studi Khasus 26 Juni 2017)

Analisis Korelasi Suhu Muka Laut dan Curah Hujan di Stasiun Meteorologi Maritim Kelas II Kendari Tahun

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT, ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN I FEBRUARI 2017

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

ANALISIS PENGARUH MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) TERHADAP CURAH HUJAN DI KOTA MAKASSAR

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT. ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN III FEBRUARI 2017

Musim Hujan. Musim Kemarau

ANALISIS KEJADIAN BANJIR BANDANG

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN FEBRUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI MALIKUSSALEH-ACEH UTARA. Oleh Febryanto Simanjuntak S.Tr

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

Pemodelan Jaringan Syaraf Tiruan Untuk Memprediksi Awal Musim Hujan Berdasarkan Suhu Permukaan Laut

BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

PERANCANGAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN BULANAN BERDASARKAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI KALIMANTAN SELATAN

KATA PENGANTAR. Segala kritik dan saran sangat kami harapkan guna peningkatan kualitas publikasi ini. Semoga bermanfaat.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika 2012

ANALISIS KEJADIAN BANJIR DI DESA BONAN DOLOK, KABUPATEN SAMOSIR TANGGAL 7 MARET 2018

Transkripsi:

1 Hubungan Suhu Muka Laut Perairan Sebelah Barat Sumatera Terhadap Variabilitas Musim Di Wilayah Zona Musim Sumatera Barat Diyas Dwi Erdinno NPT. 13.10.2291 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika, Prodi D.IV Klimatologi E-Mail: diyas_klimat@yahoo.com Abstrak Salah satu faktor penyebab adanya variabilitas musim disuatu wilayah diakibatkan oleh kondisi suhu muka laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Suhu Muka Laut (SML) Samudera Hindia disekitar wilayah Sumatera Barat terhadap variabilitas musim yang terjadi di ZOM Sumatera Barat. Data yang digunakan berupa data curah hujan dasarian dan data suhu muka laut periode 1986 2013 menggunakan analisis statistik dengan metode Conditional Probability serta metode Contingency Coefficient untuk mengetahui keterkaitan variabel tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi SML dalam keadaan hangat, normal, dan dingin menghasilkan peluang terjadinya AMK cenderung mundur, sedangkan untuk AMH cenderung mundur dan maju. Variabilitas SHMK di wilayah ZOM Sumatera Barat, menghasilkan prosentase peluang kejadian yang berbeda. Peluang sifat hujan dominan AN terjadi saat kondisi SML dalam keadaan hangat, sedangkan pada saat kondisi SML dalam keadaan normal dan dingin cenderung mengalami sifat hujan BN. Sementara itu, variabilitas SHMH saat kondisi SML hangat dan dingin menghasilkan peluang terjadinya sifat hujan dominan N. Sedangkan saat kondisi SML dalam keadaan normal menghasilkan peluang terjadinya sifat hujan dominan BN. Tingkat keterkaitan SML di perairan sebelah barat Sumatera terhadap variabilitas musim di wilayah zona musim Sumatera Barat tidak menunjukkan hubungan yang kuat, kecuali pada saat musim hujan sifat hujan menunjukkan tingkat hubungan yang cukup kuat. Kata kunci: Variabilitas Musim, Suhu Muka Laut, Conditional Probability, Contingency Coefficient. Pendahuluan Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keragaman bentuk muka bumi, baik di daratan maupun di dasar laut. Selain keragaman bentuk muka bumi, Indonesia juga diperkaya dari letak geografis maupun letak astronomis. Berdasarkan letak geografisnya Indonesia berada pada 6 LU 11 LS dan antara 95 BT 141 BT yang merupakan daerah tropis dengan dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Musim kemarau menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) ditandai dengan curah hujan kurang dari 50 mm dalam satu dasarian diikuti dengan dua dasarian berikutnya, sedangkan musim hujan ditandai dengan curah hujan lebih dari 50 mm. Periode musim hujan dan musim kemarau di suatu region belum tentu selalu sama. Pola curah hujan suatu tempat selain berdasarkan pada sirkulasi atmosfer yang dominan juga sangat bergantung pada berbagai kondisi antara lain topografi, orografi, dan geografi tempat yang bersangkutan. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kondisi cuaca dan iklim adalah SST (Sea Surface Temperature). Semakin hangat SST maka

2 akan semakin banyak juga uap air yang didistribusikan ke atmosfer sehingga akan semakin besar juga kemungkinan terjadinya hujan. Terdapat korelasi yang kuat antara curah hujan dengan SST untuk wilayah Indonesia. Wilayah Sumatera Barat berada pada kordinat 1 o 20 LU 3 o 50 LS dan 98 o 10 BT 102 o 10 BT yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Suhu Muka Laut (SML) Samudera Hindia disekitar wilayah Sumatera Barat diduga memiliki kaitan erat dengan sirkulasi atmosfer skala meso dan skala lokal yang menyebabkan disetiap wilayah mengalami variasi musim yang berbeda. Sebagaimana diuraikan pada latar belakang di atas bahwa adanya variasi musim di wilayah Sumatera Barat diduga diakibatkan oleh letak posisi geografis wilayah tersebut yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, sehingga diperlukan studi lebih lanjut mengenai analisis berkaitan dengan variabilitas musim terhadap suhu permukaan laut di wilayah Zona Musim Sumatera Barat. Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang keterkaitan Suhu Muka Laut (SML) dengan variabilitas musim di wilayah Zona Musim (ZOM) Sumatera Barat dengan tepat, sehingga dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk melakukan prediksi penentuan awal musim dan sifat hujan, baik musim kemarau maupun musim hujan. Musim di Indonesia Musim adalah periode dengan unsur iklim mencolok, misalnya musim panas ditandai oleh temperatur yang tinggi, musim hujan ditandai oleh jumlah curah hujan berlimpah [6]. Dalam memberikan informasi Musim Hujan (MH) dan Musim Kemarau (MK), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menggunakan kriteria banyaknya curah hujan selama sepuluh hari (dasarian). Awal musim didefinisikan sebagai dasarian awal mulainya musim. Awal musim hujan ditandai dengan jumlah curah hujan dasarian sebanyak 50 milimeter atau lebih dan diikuti dua dasarian berikutnya secara berturut-turut. Sebaliknya awal musim kemarau ditandai dengan jumlah curah hujan kurang dari 50 milimeter dan diikuti dengan dua dasarian berikutnya[4]. Panjang musim adalah banyaknya dasarian dari awal musim sampai akhir musim. Baik awal musim maupun panjang musim tidak sama setiap tahunnya tergantung pada kondisi dan tatanan cuaca lainnya dalam skala besar. Panjang musim di setiap tempat berbeda-beda. Hal ini dikarenakan pola cuah hujan suatu tempat selain berdasarkan pada sirkulasi atmosfer yang dominan, juga sangat bergantung pada berbagai kondisi antara lain seperti topografi, orografi, dan geografi tempat yang bersangkutan. Sesuai dengan letak geografisnya unsur iklim Indonesia memiliki variasi musiman. Variasi musiman adalah berubahnya nilai unsur cuaca secara bergantian dalam waktu selama setahun. Variasi musiman tersebut dapat jelas terlihat pada curah hujan. Oleh karena itu Indonesia dikenal musim hujan dan musim kemarau. Kedua musim tersebut dibedakan dari banyaknya curah hujan. Pada umumnya sewaktu matahari berada di belahan bumi selatan dari bulan Oktober sampai Maret, curah hujan di wilayah Indonesia lebih banyak dibandingkan sewaktu matahari berada di belahan bumi utara dari bulan April sampai September [7]. Interaksi Suhu Muka Laut dan Atmosfer Dalam hal cuaca atmosfer dan laut tidak dapat dipisahkan. Istilah maritime continent seperti yang diungkapkan Ramage dalam kaitannya dengan cuaca di Indonesia memang perlu didalami, karena banyak mengandung pengertian mendasar yang dapat digunakan sebagai titik awal mempelajari cuaca di suatu kawasan. Interaksi suhu muka laut dan atmosfer berperan penting dalam penentuan musim

3 di wilayah Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang memiliki lautan luas. Indonesia merupakan salah satu negara yang dilalui garis ekuator. Di wilayah sekitar ekuator memiliki suhu yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah yang jauh dari ekuator baik ke arah utara maupun ke selatan. Selain itu salah satu penelitian yang menunjukkan adanya hubungan antara interaksi laut dan atmosfer berkaitan dengan pengaruh SML dan curah hujan secara lokal [1], untuk wilayah perairan Indonesia curah hujan terjadi saat SML sekitar perairan Indonesia berkisar pada suhu 25,7 C 30,5 C dimana pada saat terjadi peningkatan SML maka akan terjadi kenaikan jumlah curah hujan. Berdasarkan siklus hidrologi dan proses terjadinya hujan, kondisi suhu muka laut merupakan salah satu indikator banyak-sedikitnya kandungan uap air di atmosfer sehingga erat hubungannya dengan proses pembentukan awan. Laut dan pulau memiliki daya untuk berinteraksi dan memodifikasi sifat udara yang melaluinya hingga terbentuk sifat cuaca lokal yang sangat kuat. Berdasarkan rumus Gill, bahwa penguapan banyak kaitannya dengan suhu muka laut [3]. Jika suhu muka laut rendah atau dingin maka penguapan di atas permukaan lautan berkurang sehingga kandungan uap air di atmosfer juga sedikit, sebaliknya jika suhu muka laut tinggi atau panas maka penguapan di atas permukaan lautan meningkat sehingga menghasilkan banyak uap air. Terdapat hubungan antara suhu muka laut dan hujan yang menunjukkan hubungan antara laut dan atmosfer dengan hubungan langsung atau interaksi antara keduanya. Interaksi antara laut dan atmosfer terjadi dipermukaan air laut dengan terjadinya perpindahan energi, massa air, momentum, dan partikel gas yang menyertainya. Kenaikan suhu laut membawa implikasi naiknya curah hujan karena naiknya suhu muka laut menunjukkan peningkatan energi di laut yang memberikan kemungkinan naiknya tingkat penguapan di atmosfer [2]. Mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas dari letak geografis serta kondisi topografi yang berbeda-beda, hal ini dapat mempengaruhi kondisi cuaca dan iklim di setiap daerah berbeda-beda pula. Salah satunya yaitu variabilitas curah hujan di setiap wilayah Indonesia. Metodologi Penelitian Lokasi yang dijadikan objek studi pada penelitian ini yaitu wilayah Zona Musim Propinsi Sumatera Barat. Secara geografis Sumatera Barat berada dikordinat 1 o 20 LU 3 o 50 LS dan 98 o 10 BT 102 o 10 BT. Wilayah penelitian Suhu Muka Laut berada di perairan sekitar wilayah Sumatera Barat dengan kisaran posisi 2,0 0 LU - 4,0 0 LS dan 92,0 0 BT - 100,0 0 BT. Data hujan yang digunakan adalah data curah hujan dasarian ZOM periode 28 tahun (1986-2013). Data curah hujan harian dari 11 pos hujan dimana disetiap ZOM memiliki beberapa pos yang kemudian digabungkan untuk mendapatkan rata-rata curah hujan dasarian, sehingga masing-masing ZOM mempunyai nilai rata-rata curah hujan dasarian tiap tahunnya periode 1986 2013. Setelah itu, perhitungan dilakukan untuk menghitung normal/rata-rata curah hujan dasarian terhadap masing-masing ZOM. Formula perhitungannya adalah sebagai berikut: X 1 n i 1 dengan : X = rata-rata hitung data n = banyaknya data Xi = data ke i, i = 1,2,3,..., n Setelah didapat data curah hujan dalam bentuk dasarian maka selanjutnya digunakan untuk penentuan terjadinya Awal Musim Kemarau (AMK) dan Awal Musim Hujan (AMH). Berdasarkan n Xi

4 kriteria BMKG normal AMK dan AMH dihitung berdasarkan rata-rata periode 30 tahun, tetapi karena keterbatasan data yang dimiliki maka digunakan periode normal hanya berdasarkan data 28 tahun yang tersedia. Berdasarkan periode data tersebut dapat diperoleh normal awal musim serta panjang musim di wilayah ZOM Sumatera Barat berdasarkan rata-rata 28 tahun dari 1986 2013. Nilai rata-rata tersebut juga akan digunakan untuk mengetahui penyimpangan dan variabilitas musim tiap tahunnya pada masing-masing ZOM. Data Suhu Muka Laut yang digunakan yaitu data harian diunduh dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dari link http://iridl.ldeo.columbia.edu dengan resolusi 0.25º x 0.25º periode tahun 1986 2013 yang berada di perairan sekitar wilayah Sumatera Barat.Langkah-langkah dalam teknik pengumpulan data SML adalah sebagai berikut : a. Data SML harian periode tahun 1986 2013 yang diunduh dengan batasan wilayah 2,0 0 LU 4,0 0 LS dan 92,0 0 BT 100,0 0 BT di pindahkan ke dalam software microsoft excel 2007 untuk kemudian diurutkan secara series data. b. Setelah data SML diurutkan, langkah selanjutnya menentukan rata-rata (mean) bulanan periode 1986 2013. c. Kemudian data SML bulanan diolah untuk mendapatkan data rata-rata tahunan periode 1986 2013 menggunakan rumus mean/rata-rata, SML rata-rata tahunan berupa data kuantitatif diubah kedalam bentuk data kualitatif. Untuk menentukan kriteria suhu muka laut yang berada di perairan Samudera Hindia sekitar wilayah Sumatera Barat. Kriteria suhu muka laut yang digunakan untuk mendapatkan variasi agar terlihat perbedaan disetiap tahunnya digunakan kelas interval sebagai berikut: Hangat : X > X t + 1 2 SD Normal : X t 1 2 SD < X < X t + 1 2 SD Dingin : X < X t 1 2 SD Metode Conditional Probability digunakan untuk mengetahui peluang kejadian bersyarat antara hasil pengolahan data SML dengan hasil pengolahan data variabilitas musim disetiap ZOM Sumatera Barat. Analisis Conditional Probability menggunakan bantuan tabel kontingensi untuk mengetahui prosentase frekuensi kejadian secara kuantitatif. Selanjutnya metode Conditional Probability (peluang kejadian bersyarat) dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini. Peluang kejadian A apabila B telah terjadi, yaitu peluang kejadian A dan B dibagi dengan peluang kejadian B. Persamaan yang digunakan adalah: P( A B) P( A / B) PB ( ) Untuk mengukur kuatnya hubungan SML di peraian Samudera Hindia disekitar Sumatera Barat mempengaruhi variabilitas musim di wilayah ZOM Sumatera Barat dilakukan dengan metode analisis korelasi data kualitatif atau yang disebut dengan metode Contingency Coefficient (Cc). Koefisien kontingensi mempunyai arti sama seperti koefisien korelasi, dimana jika nilai Cc nol, yang berarti tidak memiliki keterkaitan/hubungan. Akan tetapi, batas atas Cc tidak sebesar satu, tergantung atau sebagai fungsi banyaknya kategori (baris dan kolom). Batas tertinggi nilai Cc ialah: (r 1)/r Dimana nilai r ialah banyaknya baris atau kolom. Jika banyaknya baris tidak sama dengan banyaknya kolom, pilih

5 nilai yang terkecil. Adapun yang digunakan untuk mengukur kuatnya hubungan bersyarat data kualitatif (koefisien kontingensi) adalah sebagai berikut [5] : Cc 2 2 X X n p q ( f ij e 2 ij ) X eij i 1 j 1 2 Dimana: f ij = n ij = frekuensi atau banyaknya observasi baris i kolom j ; i = 1, 2,..., p ; j = 1, 2,..., q ; f ij = frekuensi kategori i dan j e ij = frekuensi harapan kategori i dan j ( ni )( n j ) eij frekuensiharapan n Hasil Dan Pembahasan Berdasarkan data yang diperoleh dari 5 (lima) ZOM yang terdiri dari 11 pos pengamatan curah hujan di Provinsi Sumatera Barat, maka dapat diketahui curah hujan dasarian selama periode 1986 2013 dalam jangka waktu 28 tahun untuk masing-masing ZOM terlihat pada gambar di bawah ini: Gambar 1: Curah hujan rata-rata dasarian ZOM Sumatera Barat (tahun 1986 2013) Curah hujan rata-rata dasarian ZOM Sumatera Barat selama periode 1986 2013 terlihat pada gambar 1. Musim kemarau menurut kriteria Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) ditandai dengan curah hujan kurang dari 50 mm dalam satu dasarian diikuti dengan dua dasarian berikutnya, sedangkan musim hujan ditandai dengan curah hujan sama atau lebih dari 50 mm. Dari grafik tersebut secara umum panjang musim kemarau (curah hujan < 50 mm) lebih pendek daripada panjang musim hujan (curah hujan 50 mm), kecuali pada ZOM 20 diketahui bahwa musim kemarau lebih panjang dari ZOM lainnya yang mencapai 16 dasarian dari Mei II hingga Oktober II. Pada ZOM 15 memiliki musim kemarau terpendek yang hanya terjadi sebanyak 6 dasarian, sedangkan musim hujan merupakan yang terlama dibanding dengan ZOM lainnya. Secara lengkap rata-rata AMK dan durasi kejadiannya pada setiap ZOM Sumatera Barat terinci pada tabel 1.

6 Tabel 1: Rata-rata awal, akhir, lama dan total curah hujan musim kemarau No. ZOM AWAL AKHIR LAMA Total Hujan Pada Das Bulan Das Bulan Das Bulan Musim Kemarau (mm) 1 ZOM 15 17 Jun 2 22 Agt 1 6 2 260 2 ZOM 18 14 May 2 23 Agt 2 10 3 454 3 ZOM 20 14 May 2 29 Okt 2 16 5 629 4 ZOM 21 16 Jun 1 26 Sep 2 11 4 501 5 ZOM 28 17 Jun 2 23 Agt 2 7 2 290 Rata-rata AMH dan durasi kejadiannya pada setiap ZOM Sumatera Barat secara rinci terlihat pada tabel 2. No. Tabel 2: Rata-rata awal, akhir, lama dan total curah hujan musim hujan ZOM AWAL AKHIR LAMA Total Hujan Pada Das Bulan Das Bulan Das Bulan Musim Hujan (mm) 1 ZOM 15 23 Agt 2 16 Jun 1 30 10 2825 2 ZOM 18 24 Agt 3 13 May 1 26 9 2426 3 ZOM 20 30 Okt 3 13 May 1 20 7 1387 4 ZOM 21 27 Sep 3 15 May 3 25 8 2014 5 ZOM 28 24 Agt 3 16 Jun 1 29 10 2296 Kondisi SML Terhadap AMK Gambar 2: Frekuensi kejadian dominan dan peluang kondisi SML terhadap AMK

7 Berdasarkan kejadian variabilitas AMK di wilayah ZOM Sumatera Barat selama 28 tahun periode 1986 2013 keseluruhan mengalami AMK mundur. Jika dihubungkan terhadap kondisi SML wilayah ZOM Sumatera Barat memiliki kecenderungan mengikuti pola AMK ratarata mundur saat kondisi SML hangat normal, dan dingin. Variasi AMK terlihat berbeda saat kondisi SML mengalami keadaan dingin. Kejadian AMK maju ketika kondisi SML dalam keadaan dingin hanya terjadi di wilayah ZOM 20. Sedangkan untuk wilayah lainnya yaitu pada ZOM 15, ZOM 18, ZOM 21, dan ZOM 28 mengalami keadaan berbeda yang mengkibatkan AMK datang lebih lambat. Hal ini dikarenakan karakteristik di wilayah tersebut lebih mendominasi untuk terjadinya variabilitas musim suatu wilayah dari pada pengaruh kondisi SML. Kondisi SML Terhadap AMH Gambar 3: Frekuensi kejadian dominan dan peluang kondisi SML terhadap AMH Dari kejadian variabilitas AMH di wilayah ZOM Sumatera Barat selama 28 tahun periode 1986 2013 cukup bervariasi. Untuk wilayah ZOM 15, ZOM 18, dan ZOM 21 mengalami AMH mundur, sedangkan pada wilayah ZOM 20 mengalami AMH maju. Sementara pada ZOM 28 antara AMH maju dan AMH mundur memiliki nilai frekuensi kejadian yang sama. Jika dihubungkan terhadap kondisi SML dalam kedaan menghangat wilayah ZOM Sumatera Barat yang memiliki kecenderungan untuk terjadinya AMH maju hanya terjadi pada ZOM 18 dan ZOM 20, sedangkan untuk ZOM 15, ZOM 21, dan ZOM 28 mengalami AMH mundur. Sementara saat kondisi SML dalam keadaan normal dan dingin secara spasial untuk wilayah ZOM Sumatera Barat cenderung tetap mengalami AMH mundur, hanya pada wilayah ZOM 20 dan ZOM 28 yang berpeluang mengalami AMH maju.

8 Kondisi SML Terhadap SHMK Gambar 4: Frekuensi kejadian dominan dan peluang kondisi SML terhadap SHMK Dari kejadian variabilitas SHMK di wilayah ZOM Sumatera Barat selama 28 tahun periode 1986 2013 secara spasial keadaan sifat hujan terlihat cukup bervariasi. Untuk wilayah ZOM 15, ZOM 21, dan ZOM 28 mengalami sifat hujan BN saat musim kemarau, sedangkan pada wilayah ZOM 18 dan ZOM 20 mengalami sifat hujan normal. Jika dihubungkan terhadap kondisi SML dalam kedaan hangat, wilayah ZOM Sumatera Barat secara spasial terlihat memiliki kecenderungan memiliki SHMK AN, sedangkan pada ZOM 18 dan ZOM 20 cenderung N. Sementara saat kondisi SML dalam keadaan normal dan dingin mengakibatkan sifat hujan di wilayah tersebut dominan mengalami BN.

9 Kondisi SML Terhadap SHMH Gambar 5: Frekuensi kejadian dominan dan peluang kondisi SML terhadap SHMH Berdasarkan variabilitas SHMHdi wilayah ZOM Sumatera Barat selama 28 tahun periode 1986 2013 secara spasial keadaan sifat hujan terlihat cukup bervariasi hampir sama seperti variabilitas SHMK. Untuk wilayah ZOM 15 dan ZOM 28 mengalami sifat hujan BN saat musim hujan, sedangkan pada wilayah ZOM 18, ZOM 20, dan ZOM 21 mengalami sifat hujan normal saat musim hujan. Jika dihubungkan terhadap kondisi SML dalam kedaan hangat, wilayah ZOM Sumatera Barat secara spasial terlihat memiliki kecenderungan mengikuti pola variabilitas SHMH dari rata-rata yaitu dominan mengalami sifat hujan N. Sementara saat kondisi SML normal mengakibatkan sifat hujan di wilayah tersebut cenderung mengalami BN, hanya pada ZOM 18 dan ZOM 20 menalami sifat hujan N. Sedangkan disaat kondisi SML mendingin saat musim hujan hampir keseluruhan wilayah ZOM Sumatera Barat mengalami sifat hujan N, tetapi tidak untuk ZOM 20 yang mengalami peluang sifat hujan AN saat musim hujan.

10 Korelasi Data Kualitatif Tabel 3: Perbandingan nilai Contingency Coefficient (Cc) dengan batas atas kondisi SML terhadap awal musim AWAL No. ZOM MUSIM KEMARAU MUSIM HUJAN 1 ZOM 15 0.47 0.40 2 ZOM 18 0.33 0.62 3 ZOM 20 0.58 0.33 4 ZOM 21 0.51 0.35 5 ZOM 28 0.32 0.53 Pada tabel 3 di atas diketahui hasil korelasi data kualitatif dari kondisi SML terhadap AMK dan AMH di wilayah ZOM Sumatera Barat Secara dominan tidak menunjukkan keterkaitan yang kuat. Hal ini dikarenakan nilai perbandingan Cc dengan batas atas yang menggunakan jumlah baris (maju, sama, mundur) dan jumlah kolom (hangat, normal, dingin) sebanyak 3 lebih kecil dari 0.50, maka hubungan kondisi SML terhadap AMK dan AMH di wilayah ZOM Sumatera Barat hampir sebagian besar dapat dikatakan tidak memiliki hubungan yang nyata. Sedangkan untuk ZOM 20 dan ZOM 21 kondisi SML cukup mempengaruhi AMK karena memiliki nilai perbandingan Cc dengan batas atas lebih besar dari 0.50 yaitu sebesar 0.58 dan 0.51, sementara AMH pada ZOM 18 dan ZOM 28 memiliki nilai sebesar 0.62 dan 0.53 sehingga dapat dikatakan bahwa wilayah tersebut memiliki keterkaitan yang kuat terhadap kondisi SML. Tabel 4: Perbandingan nilai Contingency Coefficient (Cc) dengan batas atas kondisi SML terhadap sifat hujan SIFAT HUJAN No. ZOM MUSIM KEMARAU MUSIM HUJAN 1 ZOM 15 0.59 0.61 2 ZOM 18 0.36 #NUM! 3 ZOM 20 0.35 0.57 4 ZOM 21 0.55 0.40 5 ZOM 28 0.44 0.50 Catatan : #NUM! Merupakan nilai tak terdefinisi negatif ( - ) Pada tabel 4 di atas diketahui hasil korelasi data kualitatif dari kondisi SML terhadap SHMK di wilayah ZOM Sumatera Barat Secara keseluruhan tidak begitu kuat. Hal ini dikarenakan nilai perbandingan Cc dengan batas atas yang menggunakan jumlah baris (AN, N, BN) dan jumlah kolom (hangat, normal, dingin) sebanyak 3 lebih kecil dari 0.50, maka hubungan kondisi SML terhadap SHMK di wilayah ZOM Sumatera Barat secara keseluruhan dapat dikatakan tidak menunjukkan keterkaitan yang kuat, hanya pada ZOM 15 dan ZOM 21 kondisi SML cukup mempengaruhi SHMK. Yang memiliki nilai sebesar 0.59 dan 0.55. Berbeda dengan SHMK, untuk korelasi data kualitatif kondisi SML terhadap SHMH di wilayah ZOM Sumatera Barat secara keseluruhan memiliki tingkat

11 hubungan yang cukup kuat. Hal ini diakibatkan oleh keadaan wilayah yang memiliki sifat hujan ketika musim hujan didominasi dengan keadaan normal pada setiap tahunnya sehingga mempengaruhi tingkat hubungan kondisi SML terhadap SHMH semakin kuat pula. Kesimpulan dan Saran 1) Kesimpulan Dari hasil pengolahan data dan analisis, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: Variabilitas musim di wilayah Zona Musim Sumatera Barat selama kurun waktu 28 tahun dari periode 1986 2013, variasi AMK dan AMH untuk wilayah ZOM Sumatera Barat setiap tahun dominan mengalami mundur dari rata-ratanya. Sifat hujan pada saat musim kemarau didominasi dengan kondisi BN, sedangkan pada saat musim hujan sifat hujan di wilayah ZOM Sumatera barat dominan mengalami N. Kondisi SML Samudera Hindia sebelah barat Sumatera Barat dihubungkan terhadap variabilitas awal musim di wilayah ZOM Sumatera Barat, menghasilkan prosentase peluang kejadian yang berbeda. Saat kondisi SML dalam keadaan hangat, normal, dan dingin akan menghasilkan peluang terjadinya AMK cenderung dominan mundur. Sedangkan untuk AMH saat kondisi SML dalam keadaan hangat, normal, dan dingin memiliki peluang AMH cenderung mundur dan maju. Kondisi SML Samudera Hindia sebelah barat Sumatera Barat dihubungkan terhadap variabilitas sifat hujan di wilayah ZOM Sumatera Barat, menghasilkan prosentase peluang kejadian yang berbeda. Saat kondisi SML dalam keadaan hangat akan menghasilkan peluang terjadinya SHMK dominan AN, sedangkan pada saat kondisi SML dalam keadaan normal dan dingin cenderung mengalami sifat hujan BN. Sementara itu, variabilitas SHMH saat kondisi SML hangat dan dingin menghasilkan peluang terjadinya sifat hujan dominan N. Sedangkan saat kondisi SML dalam keadaan normal menghasilkan peluang terjadinya sifat hujan dominan BN. Perhitungan menggunakan metode Contingency Coefficient ( Cc ) membuktikan bahwa keterkaitan SML di Samudera Hindia sebelah barat Sumatera Barat terhadap variabilitas musim di wilayah Zona Musim Sumatera Barat tidak memiliki tingkat hubungan yang kuat, kecuali pada saat musim hujan sifat hujan menunjukkan tingkat hubungan yang cukup kuat. 2) Saran Untuk memperoleh hasil penelitian mengenai variabilitas musim yang lebih representatif dibutuhkan data curah hujan yang cukup panjang dan kontinu. Perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai faktor penyebab terjadinya variabilitas musim di wilayah Zona Musim Sumatera Barat selain dari parameter suhu muka laut. DAFTAR PUSTAKA [1]. Aldrian, E., & Susanto, R. 2003. Identification Of Three Dominant Rainfall Region Within Indonesia And Their Relationship To Sea Surface Temperature. International Journal Of Climatology. 1438. [2]. Aldrian, Edvin. 2008. Meteorologi Laut Indonesia. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. [3]. Soerjadi dan Sugarin, 2008. Praktek Meteorologi Kelautan. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. [4]. Sucahyono dan Rubiyanto, 2013. Cuaca dan Iklim Ekstrim di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan BMKG. Jakarta.

[5]. Supranto, J, 2008. Statistik Teori dan Aplikasi Edisi Ketujuh. Penerbit Erlangga. Jakarta. Tjasyono, Bayong. 1998. Sains Atmosfer. Pusat Penelitian dan Pengembangan BMG. Jakarta. [6]. Tjasyono, B.H.K., dan Harijono, S.W.B. 2007. Meteorologi Indonesia 2 Awan dan Hujan Monsun. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. [7]. Wirjohamidjojo, S., dan Swarinoto, Y.S. 2010. Iklim Kawasan Indonesia. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta. 12