BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Globalisasi yang terjadi beberapa dasawarsa terakhir, mendorong perekonomian berbagai negara di dunia semakin menyatu. Keterbukaan perdagangan luar negeri dan keterbukaan finansial adalah akibat dari keterbukaan perekonomian ini. Keterbukaan perdagangan luar negeri menggambarkan semakin berkurangnya hambatan perdagangan antarnegara dan semakin tingginya pangsa perdagangan. Sedangkan keterbukaan finansial menggambarkan semakin lancarnya aliran modal masuk atau ke luar negeri. Keterbukaan ekonomi dapat dipandang sebagai peluang bisnis yang lebih menarik, pertumbuhan pengetahuan dan inovasi yang lebih cepat, atau prospek sebuah dunia yang saling bergantung sehingga dapat mencegah terjadinya sebuah perang (Todaro dan Smith, 2006). Studi yang dilakukan oleh dua ekonom dari Bank Dunia yaitu Dollar dan Kraay pada tahun 2000 membuktikan bahwa negaranegara yang lebih terbuka mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 2,9 persen di tahun 1970an menjadi 3,5 persen di tahun 1980an dan menjadi 5,0 persen di tahun 1990an. Sedangkan negara-negara yang menjalankan perekonomian yang lebih tertutup telah mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi yaitu 3,3 persen di tahun 1970an menjadi 0,8 persen di tahun 1980an dan menjadi 1,4 persen di tahun 1990an (Buckman, 2005).
2 Namun demikian Buckman (2005) memberikan 3 kritikan terhadap penelitian Dolar dan Kraay. Pertama, tidak cukup bukti kuat untuk mengatakan bahwa semakin kecil hambatan tarif berarti semakin besar pertumbuhan ekonomi. Kedua, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh banyak variabel, dan bukan hanya oleh perdagangan semata. Ketiga, argumentasi yang mengatakan bahwa perdagangan adalah baik untuk pertumbuhan dan tidak adanya hubungan antara meningkatnya kegiatan perdagangan dengan meningkatnya ketidakmerataan bukan berarti perdagangan adalah baik untuk mengurangi ketidakmerataan. Walaupun demikian, sejarah membuktikan bahwa keterbukaan ekonomi dapat menjadi stimulator untuk lebih menggerakkan roda perekonomian (Wijaya dan Sambodo, 2006). Hal ini juga senada dengan kesimpulan yang diberikan oleh Asian Development Bank (1997) bahwa faktor paling penting di balik keberhasilan cepatnya pertumbuhan ekonomi Asia Timur dalam tiga dekade ke belakang yaitu derajat keterbukaan terhadap perekonomian dunia, khususnya dengan berorientasi terhadap ekspor, terpeliharanya institusi secara baik, dan implementasi kebijakan fiskal secara berhati-hati. Dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat dan stabil diharapkan akan memberikan dampak positif baik secara langsung maupun tidak langsung bagi variabel ekonomi lainnya, antara lain tingkat pengangguran, angka kemiskinan, dan laju inflasi. Pertumbuhan ekonomi tidak dapat lepas dari pembangunan ekonomi karena pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi. Syarat utama bagi pembangunan ekonomi adalah bahwa proses pertumbuhannya harus
3 bertumpu pada kemampuan perekonomian dalam negeri karena pada hakikatnya pembangunan ekonomi harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan individu maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pembangunan, pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi sasaran utama. Papua adalah provinsi paling timur Indonesia dan ini berimplikasi pada sangat jauhnya jarak antara Papua dan ibukota negara. Tidak meratanya pembangunan di masa Orde Baru dimana pembangunan hanya terpusat di Pulau Jawa mengakibatkan Papua menjadi wilayah yang termarjinalkan pada saat itu. Pada tahun 1996, sumbangan PDRB Pulau Jawa yang hanya terdiri dari 4 provinsi terhadap PDB mencapai 59,6 persen. Sedangkan PDRB Papua pada tahun yang sama, hanya memberikan kontribusi sebesar 1,7 persen terhadap PDB (BPS, 1997). Hingga saat ini Papua masih menjadi provinsi yang tertinggal pembangunannya dibandingkan provinsi lain. Hal ini terlihat dari peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua berada pada rangking ke 33 dari 33 provinsi seluruh Indonesia (BPS, 2009); Kemiskinan penduduk Papua menempati urutan tertinggi di Indonesia yaitu sebesar 36,8 persen dari 2,8 juta jiwa penduduk Papua (BPS, 2010); dan angka partisipasi murni tingkat SMU hanya sebesar 36,06 persen (BPS, 2010). Di balik segala permasalahan yang dihadapi Papua, Papua memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat melimpah. SDA unggulan yang
4 dimiliki Papua adalah hasil tambang berupa emas dan tembaga; hasil hutan; serta hasil perikanan darat dan laut berupa ikan, kepiting, dan udang. Cadangan emas Grasberg di Papua merupakan cadangan emas terbesar di Indonesia bahkan menjadi salah satu cadangan emas terbesar di dunia. Kandungan sumber dayanya mencapai 3,12 miliar ton (Indonesian Commercial Newsletter, 2011). Pada tahun 2010, Papua telah mengekspor kayu dan bahan dari kayu ke Timur Tengah dan Asia senilai US$138,93 juta. Pada tahun yang sama Papua juga telah mengekspor ikan & hewan air lainnya senilai US$35,38 juta (BPS Provinsi Papua, 2011). Dengan kebijakan dan pengelolaan yang tepat guna, semua kelebihan SDA yang dimiliki Papua tersebut bisa menjadi keunggulan absolut dalam perdagangan internasional, sehingga dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Salvatore (1997) bahwa perdagangan internasional dapat digunakan sebagai mesin bagi pertumbuhan ekonomi di suatu negara (trade as engine of growth). Dengan adanya akitivitas perdagangan internasional maka diharapkan akan mendorong percepatan pembangunan ekonomi di negara atau wilayah tersebut. Manfaat dari adanya perdagangan internasional antara lain: 1. Untuk memenuhi kebutuhan barang/jasa yang tidak tersedia di dalam negeri. 2. Dapat memperoleh barang/jasa dengan harga yang lebih murah. 3. Mendorong kegiatan ekonomi dalam negeri. 4. Memperluas lapangan kerja. 5. Merupakan sumber devisa negara.
5 6. Memperoleh manfaat dari adanya spesialisasi dalam bentuk keunggulan komparatif dan peningkatan kemakmuran. 7. Meningkatkan produktivitas dan efisiensi produksi, yang pada dasarnya bersumber pada skala ekonomis dalam proses produksi, teknologi baru, dan rangsangan bersaing. 8. Meningkatkan proses tukar-menukar antarnegara sehingga mampu mendorong sektor transportasi baik darat, laut, maupun udara. 9. Mendorong terjadinya persaingan sehat yang pada gilirannya menimbulkan perkembangan teknologi. 10. Meningkatkan perluasan pasar. Adapun hambatan perdagangan antarnegara bisa berupa : 1. Ancaman perang. 2. Perbedaan tingkat upah. 3. Serta peraturan/kebijakan negara lain dalam bentuk proteksi (berupa tarif & bea masuk, pelarangan impor, pelarangan ekspor, kuota, subsidi, dan dumping) guna melindungi industri dalam negerinya. Kebijakan perdagangan luar negeri merupakan sebuah kebijakan yang sangat strategis mengingat hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan dan belanja negara. Besarnya volume ekspor dan impor suatu jenis barang akan sangat berpengaruh terhadap neraca perdagangan bilateral antar dua negara, bahkan lebih jauh akan berpengaruh terhadap semakin fluktuatifnya harga komoditi tersebut di peta perdagangan dunia. Dengan kata lain, kebijakan
6 perdagangan luar negeri suatu negara akan memengaruhi keterbukaan ekonomi negara tersebut. Strategi kebijakan perdagangan luar negeri diperlukan saat suatu negara ingin memaksimalkan keuntungan dari perdagangan (gain from trade) guna meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Terdapat dua strategi dalam kebijakan perdagangan, yakni: 1. Export Promotion. Dalam strategi ini arah dari setiap kebijakan perdagangan berorientasi pada peningkatan daya saing komoditi ekspor yang dimiliki oleh negara tersebut. Komponen kebijakan yang sering digunakan antara lain a. Duty Draw Back (Pengembalian pajak import bahan baku bila bahan baku tersebut diolah menjadi barang jadi dan diekspor kembali). b. Pengurangan pajak bagi perusahaan yang berorientasi memproduksi barang-barang ekspor. c. Subsidi dan dukungan biaya riset dan pengembangan produk ekspor. d. Devaluasi untuk daya saing produk. 2. Import Substitution. Dalam strategi ini arah dari setiap kebijakan perdagangan berorientasi untuk membangun atau menciptakan industri yang tadinya merupakan komoditi impor. Strategi ini bertujuan untuk menurunkan jumlah komoditi impor dan digantikan dengan produksi dalam negeri. Komponen kebijakan yang sering digunakan antara lain: a. Pengenaan tarif yang tinggi untuk komoditi impor. b. Kuota komoditi impor. c. Non Tarif Barrier.
7 d. Infant Industry Model. Namun hingga saat ini masih terdapat perbedaan pendapat di antara para ekonom mengenai bagaimana sebenarnya interaksi antara kebijakan perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi di negara bersangkutan. Hal ini dikarenakan dalam perspektif teori ekonomi pembangunan, masalah hubungan kedua variabel tersebut lebih tertuju pada apakah ekspor bagi suatu negara mampu menggerakkan perekonomian secara keseluruhan yang pada akhirnya membuahkan kesejahteraan bagi masyarakat. Berkaitan dengan permasalahan di atas, Jung dan Marshall (1985) mengemukakan bahwa dalam hubungan antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi, setidaknya ada empat hipotesis atau pandangan yang masuk akal dan dapat diterima. Pertama, hipotesis ekspor sebagai motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi (export-led growth hypothesis). Kedua, hipotesis ekspor merupakan penyebab turunnya pertumbuhan ekonomi (export-reducing growth hypothesis). Ketiga, hipotesis yang menyatakan bahwa ekspor bukan merupakan motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi, tetapi sebaliknya pertumbuhan ekonomi dalam negeri merupakan penggerak bagi ekspor (internally generated export hypothesis). Terakhir, hipotesis yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan penyebab turunnya ekspor (growth-reducing export hypothesis). 1.2. Perumusan Masalah Salah satu cara untuk menghitung keterbukaan perdagangan yang sangat populer adalah dengan menjumlahkan ekpor dan impor kemudian membaginya
8 dengan PDRB (Squalli dan Wilson, 2006). Rata-rata keterbukaan perdagangan Papua selama periode 2000-2010 mencapai 124,16 persen. Hal ini menggambarkan bahwa Papua sangat aktif dalam melakukan perdagangan, serta semakin lancarnya arus barang dan jasa masuk ke atau keluar dari Papua. Namun apabila kita lihat Grafik 1.1 mengenai pertumbuhan keterbukaan perdagangan dan pertumbuhan PDRB ADHB selama periode 2000-2010, ternyata peningkatan keterbukaan perdagangan tidak selalu diikuti oleh peningkatan PDRB ADHB. Persen 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 - (0.10) (0.20) 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Pertumbuhan PDRB ADHB Pertumbuhan Keterbukaan Perdagangan Sumber : BPS Provinsi Papua (diolah), 2011. Gambar 1.1 Pertumbuhan keterbukaan perdagangan dan pertumbuhan PDRB ADHB Provinsi Papua Tahun 2000 2010 (persen). Dari kondisi diatas dan dihubungkan dengan hipotesis yang dikemukakan Jung dan Marshall, pertanyaan yang harus diajukan adalah hipotesis yang manakah yang terjadi di Papua. Pertanyaan ini penting karena nantinya akan menentukan arah dari kebijakan yang tepat bagi Papua, yang tentu saja disesuaikan dengan keadaan dan karakteristik Papua. Apabila pemerintah Provinsi
9 Papua dapat memahami benar kategori dari hipotesis yang membangun Papua maka pemerintah Provinsi Papua dapat memilih kebijakan strategi perdagangan internasional yang tepat, sehingga pada akhirnya dapat mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat Papua pada khususnya dan Indonesia pada umumnya. Dari latar belakang masalah yang dipaparkan di atas maka penulis mengidentifikasi masalah tersebut sebagai berikut : 1. Bagaimanakah keadaan perekonomian, ekspor dan impor Provinsi Papua? 2. Apakah ekspor, impor, nilai tukar, tingkat partisipasi angkatan kerja dan dummy krisis secara simultan dan parsial berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Papua sehingga Papua dapat dikategorikan sebagai daerah berkarakteristik Export Led Growth? 1.3.Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis keadaan perekonomian, ekspor dan impor Provinsi Papua. 2. Menganalisis pengaruh ekspor, impor, nilai tukar, tingkat partisipasi angkatan kerja dan dummy krisis terhadap pertumbuhan ekonomi Papua serta besarnya pengaruh dari masing-masing faktor tersebut. 1.4.Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran mengenai kondisi perekonomian, ekspor dan impor di Provinsi Papua serta dapat
10 memberikan masukan bagi pemerintah Provinsi Papua dalam mengambil kebijakan strategi perdagangan di masa yang akan datang. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi tambahan bagi penelitian selanjutnya khususnya terkait masalah keterbukaan perdagangan di Provinsi Papua. 1.5.Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini hanya mencakup wilayah Provinsi Papua. Periode data yang digunakan untuk penelitian adalah data triwulanan tahun 2000 2010. Penggunaan kata ekspor dan impor yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencakup semua jenis barang dan jasa yang keluar masuk wilayah Papua. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, penelitian ini hanya meneliti dari sudut pandang ekonomi dan tidak membahas mengenai kesejahteraan yang diterima penduduk Papua. Kedua, data yang digunakan adalah data time series triwulanan, sehingga variabel yang tidak tersedia dalam bentuk triwulanan yaitu tingkat partisipasi angkatan kerja dilakukan interpolasi menggunakan metode interpolasi cubic spline. Ketiga, keterbukaan perdagangan hanya dilihat dari pangsa perdagangan terhadap PDRB, tidak memperhitungkan perbedaan tingkat tarif dan non-tarif yang masih diberlakukan pada produk atau wilayah tertentu. Keempat, dalam analisis deskriptif nilai ekspor dan impor yang dirinci berdasarkan komoditas dan tujuan, hanya dapat disajikan dengan cakupan antarnegara, dalam satuan juta dollar dan dengan bentuk nilai nominal.