RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan I. PEMOHON 1. Ricky Kurnia Margono, S.H., M.H. 2. David Surya, S.H., M.H. 3. H. Adidharma Wicaksono, S.H., LLM. 4. Hendro Sismoyo, S.H., M.H. II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 83 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: - Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi ; - Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945); - Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang -Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; - Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final 1
untuk: a. Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; - Pasal 9 ayat (1) Undang -Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan, Dalam hal suatu Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi ; - Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir tunggal UUD 1945 ( the sole interpreter of constitution) merupakan satu-satunya lembaga yang berhak memberikan penafsiran atas ketentuan pasal-pasal dalam suatu undangundang agar sejalan dengan konstitusi. IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) - Para Pemohon merupakan warga negara Republik Indonesia yang berprofesi advokat yang seringkali bersentuhan dengan proses peradilan, terutama praperadilan yang cenderung melanggar hak asasi warga negara serta bertentangan dengan asas kepastian hukum sebagaimana yang dijunjung tinggi oleh konstitusi dan menciderai asas praduga tidak bersalah; - Para Pemohon menaruh perhatian penuh atas penegakan hukum serta dan hak asasi warga negara, serta mencurahkan pikiran, tenaga dan waktu demi tegaknnya peradilan yang bersih, adil, akuntabel, bebas dan memihak untuk seluruh warga negara Indonesia tanpa terkecuali; - Para Pemohon merupakan warga negara yang taat akan kewajibannya sebagai pembayar pajak. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN Norma materiil yaitu: Pasal 83 ayat (1) KUHAP Sepanjang frasa tidak dapat dimintakan banding dari Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding. 2
B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945. 1. Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum ; 2. Pasal 27 ayat (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya ; 3. Pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ; 4. Pasal 28I ayat (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun ; 5. Pasal 28I ayat (5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangundangan. VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Sesuai Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, segala peraturan perundang -undangan yang ada harus mampu memberikan perlindungan semaksimal mungkin terhadap perwujudan pelaksanaan hak asasi manusia; 2. Salah satu fungsi sentral dari Hukum Acara Pidana menurut Van Bemmelen adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil. Dalam upaya menjalankan fungsinya untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil, hukum acara menggunakan proses dan prosedur hukum. Pelaksanaan proses dan prosedur hukum tidak boleh ditafsirkan secara sewenangwenang oleh aparat penegak hukum; 3
3. Warga negara ketika dihadapkan dengan hukum atas perkara pidana, status warga negara tersebut berubah menjadi tersangka atau terdakwa sebagaimana Pasal 1 butir 14 KUHAP yang menyatakan: Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 penafsiran terhadap bukti permulaan adalah adanya dua alat bukti. 4. Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat, dinilai sebagai subjek, bukan objek. Tujuan diakomodirnya ketentuan mengenai praperadilan di dalam KUHAP adalah untuk menegakkan hukum serta melindungi hak-hak tersangka dalam proses pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. 5. Pasal 83 ayat (1) KUHAP pada frasa tidak dapat dimintakan banding menerangkan kepada kita, bahwa asas presumption of innocence sebagai bentuk perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia juga harus mempertimbangkan sisi kepastian hukum. Maka terhadap perkara yang telah diputus berkekuatan tetap oleh hakim ( inkracht van gewijsde) dalam hal ini putusan praperadilan tidak dapat diajukan kembali karena proses hukum yang diujikan pada praperadilan dengan berdasar pada dua alat bukti dalam penyidikan tidak sesuai dengan due process of law ; 6. Dalam praktek yang berkembang, ada dua hal yang umum dilakukan oleh Penyidik (Polisi/Jaksa/K PK) ketika putusan praperadilan dimenangkan oleh pihak Tersangka. Pertama, penyidik akan mengajukan upaya hukum Kasasi atau upaya hukum luar biasa berupa pengajuan permohonan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung untuk mempertimbangkan kembali putusan praperadilan. Kedua, penyidik akan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan/Sprindik baru untuk mengulang kembali proses penyidikan dengan bukti yang sama dan hanya memodifikasi sedikit materi dugaan tindak pidana yang disangkakan, dengan maksud agar penyidikan tetap dapat dilakukan dan putusan praperadilan tidak di-indahkan. VII. PETITUM 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 4
2. Menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang mempunyai hak/atau kewenangan konstitusi yang telah dirugikan oleh berlakuknya Pasal 83 ayat (1) KUHAP karena telah bertentangan dengan UUD 1945; 3. Menyatakan frasa tidak dapat dimintakan banding dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak ditafsirkan bersifat final dan mengikat, karenanya tidak dapat diajukan upaya hukum lainnya, termasuk penyidik tidak dapat menerbitkan kembali surat perintah penyidikan kecuali memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara a quo ; 4. Menyatakan frasa tidak dapat dimintakan banding dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak ditafsirkan bersifat final dan mengikat, karenanya tidak dapat diajukan upaya hukum lainnya, termasuk penyidik tidak dapat menerbitkan kembali surat perintah penyidikan kecuali memenuhi paling sedikit dua alat bukti baru yang sah, berbeda dengan alat bukti sebelumnya yang berkaitan dengan materi perkara a quo ; 5. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Atau apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). 5