BAB I PENDAHULUAN. adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat dari

dokumen-dokumen yang mirip
PERBANDINGAN KETUNTASAN PERAWATAN KLIEN PERILAKU KEKERASAN ANTARA YANG MENERIMA KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DAN PEKERJA SOSIAL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa ditemukan disemua lapisan masyarakat, dari mulai

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan dinamisnya kehidupan masyarakat. Masalah ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan jiwa bukan hanya sekedar terbebas dari gangguan jiwa,

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang menggambarkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. akan mengalami kekambuhan. WHO (2001) menyatakan, paling tidak ada

BAB 1 PENDAHULUAN. melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya

BAB 1 PENDAHULUAN. fungsional berupa gangguan mental berulang yang ditandai dengan gejala-gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. kelompok atau masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh terpenuhinya kebutuhan dasar

BAB I PENDAHULUAN. siklus kehidupan dengan respon psikososial yang maladaptif yang disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. stressor, produktif dan mampu memberikan konstribusi terhadap masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengendalian diri serta terbebas dari stress yang serius. Kesehatan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. adanya tekanan fisik dan psikologis, baik secara internal maupun eksternal yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sisiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptif

BAB I PENDAHULUAN. serta ketidakpastian situasi sosial politik membuat gangguan jiwa menjadi

BAB I PENDAHULUAN. tersebut yang disertai dengan perilaku mengamuk yang tidak dapat dibatasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural.

BAB I PENDAHULUAN. penyimpangan dari fungsi psikologis seperti pembicaraan yang kacau, delusi,

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan pernikahan dengan calon istrinya yang bernama Wida secara

BAB 1 PENDAHULUAN. keluarga, kelompok, organisasi, atau komunitas. (Stuart, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. ringan dan gangguan jiwa berat. Salah satu gangguan jiwa berat yang banyak

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECEMASAN DENGAN KEMANDIRIAN PELAKSANAAN AKTIVITAS HARIAN PADA KLIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. baik dalam proses penyembuhan maupun dalam mempertahankan derajat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk hidup yang lebih sempurna dibandingkan

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang pesat menjadi stresor pada kehidupan manusia. Jika individu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. berat sebesar 4,6 permil, artinya ada empat sampai lima penduduk dari 1000

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Krisis multi dimensi yang melanda masyarakat saat. ini telah mengakibatkan tekanan yang berat pada sebagian

BAB I PENDAHULUAN. muncul dalam masyarakat, diantaranya disebabkan oleh faktor politik, sosial

BAB I PENDAHULUAN. efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional (Videbeck, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. kecacatan. Kesehatan jiwa menurut undang-undang No.3 tahun 1966 adalah

BAB I PENDAHULUAN. mendasar bagi manusia. World Health Organization (WHO) sejaterah seseorang secara fisik, mental maupun sosial.

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa Menurut World Health Organization adalah berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN. deskriminasi meningkatkan risiko terjadinya gangguan jiwa (Suliswati, 2005).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perilaku seseorang. Gangguan jiwa adalah sebuah penyakit dengan. manifestasi dan atau ketidakmampuan psikologis atau perilaku yang

BAB I PENDAHULUAN. dan kestabilan emosional. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan. pekerjaan, & lingkungan masyarakat (Videbeck, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa adalah salah satu masalah kesehatan yang masih. banyak ditemukan di setiap negara. Salah satunya adalah negara

BAB I PENDAHULUAN. terpisah. Rentang sehat-sakit berasal dari sudut pandang medis. Rentang

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA TN. S DENGAN GANGGUAN MENARIK DIRI DI RUANG ABIMANYU RSJD SURAKARTA

RENCANA TESIS OLEH : NORMA RISNASARI

BAB I PENDAHULUAN. yaitu gangguan jiwa (Neurosa) dan sakit jiwa (Psikosa) (Yosep, hubungan interpersonal serta gangguan fungsi dan peran sosial.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut World Health Organitation (WHO), prevalensi masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan suatu keadaan dimana seseorang yang terbebas dari gangguan

BAB 1 PENDAHULUAN. klinis bermakna yang berhubungan dengan distres atau penderitaan dan

BAB I PENDAHULUAN. mengadaptasikan keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan akhir-akhir

BAB I PENDAHULUAN. Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang mengarah pada kestabilan emosional (Nasir dan Muhith, 2011). mencerminkan kedewasaan kepribadiannya.

BAB I PENDAHULUAN. sehat, maka mental (jiwa) dan sosial juga sehat, demikian pula sebaliknya,

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan disability (ketidakmampuan) (Maramis, 1994 dalam Suryani,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang sering juga disertai dengan gejala halusinasi adalah gangguan manic depresif

BAB I PENDAHULUAN. kurang baik ataupun sakit. Kesehatan adalah kunci utama keadaan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut undang undang Kesehatan Jiwa Tahun 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keperawatan jiwa adalah proses interpesonal yang berupaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan ini sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan jiwa seseorang. yang berarti akan meningkatkan jumlah pasien gangguan jiwa.

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Jiwa menurut Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana. tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain,

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. menjadi permasalahan besar karena komunikasi 1. Oleh sebab itu komunikasi

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan sebagai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, merasa gagal

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang Undang No. 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa, mampu memberikan kontribusi pada komunitasnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. sendiri. Kehidupan yang sulit dan komplek mengakibatkan bertambahnya

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 18 pasal 1 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan penurunan semua fungsi kejiwaan terutama minat dan motivasi

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan oleh semua orang. Menurut Yosep (2007), kesehatan jiwa adalah. dan kecakapan dalam beradaptasi dengan lingkungan.

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi berkepanjangan juga merupakan salah satu pemicu yang. memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa (Mental Disorder) merupakan salah satu dari empat

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO),

BAB I PENDAHULUAN. keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan

BAB I PENDAHULUAN. yang meliputi bidang ekonomi, teknologi, politik dan budaya serta bidang-bidang lain

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. D DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI DI RUANG MAESPATI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berfikir (cognitive),

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan sehat atau sakit mental dapat dinilai dari keefektifan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa di masyarakat yang sangat tinggi, yakni satu dari empat

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global bagi

BAB I PENDAHULUAN. (WHO, 2005). Kesehatan terdiri dari kesehatan jasmani (fisik) dan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang. menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan sematamata

BAB 1 PENDAHULUAN. yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitkan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. H DENGAN PERUBAHAN PERSEPSI SENSORI HALUSINASI PENDENGARAN DI RUANG SENA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

/BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mengganggu kelompok dan masyarakat serta dapat. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

PENGARUH PENERAPAN STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN PERILAKU KEKERASAN. Abstrak

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan jiwa adalah kematangan emosi dan sosial seseorang disertai dengan adanya kesesuaian dengan dirinya dan lingkungan sekitar. Kesehatan jiwa juga diartikan sebagai kemampuan untuk memikul tanggung jawab kehidupan, menghadapi segala permasalahan yang menghadangnya diiringi dengan adanya rasa menerima realitas kehidupan, rasa keridhaan, dan kebahagiaan atas apa yang terjadi (Az-Zahrani, 2005). Menurut Videbeck (2008, dalam Johnson, 1997) : Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan emosional. Ketidakmampuan individu dalam menjalankan peran sebagai makhluk sosial, perilaku tidak pantas, dan sikap maladaptif dalam masyarakat dapat disebut sebagai gangguan jiwa (Videbeck, 2008). Gangguan jiwa adalah suatu penyimpangan proses fikir, alam perasaan, dan perilaku seseorang. Penyimpangan atau ketidakmampuaan perilaku pada klien gangguan jiwa disebabkan oleh gangguan pada fungsi sosial, psikologis, genetik, fisik/ kimiawi, atau biologis (Thong, et al. 2011). Data riset kesehatan dasar (riskesdas) Departemen Kesehatan tahun 2014 menyebutkan, terdapat 1 juta jiwa pasien gangguan jiwa berat dan 19 juta pasien gangguan jiwa ringan di Indonesia (Berita Jakarta, 2014). Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) pada tahun 2013, menunjukkan bahwa Jawa Timur menduduki urutan ke-6 dari pravelensi gangguan jiwa berat (kompasiana, 2014). Sebanyak 0.9 persen penduduk di Jawa Timur mengalami gangguan jiwa berat. Jika 1

2 diasumsikan penduduk Jawa Timur sebanyak 37 juta jiwa maka penderita gangguan jiwa adalah sebanyak 333.000 (Satu Harapan, 2013). Perilaku menyimpang dari klien gangguan jiwa yang dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang-barang disebut perilaku kekerasan (Yosep, 2010). Perilaku kekerasaan dianggap sebagai akibat yang ekstrem dari marah atau ketakutan/ panik (Kusumawati & Hartono, 2010). Perilaku kekerasan dipandang sebagai tindakan yang bersifat destruktif (Dalami, et al. 2009). Permasalahan gangguan jiwa perlu mendapatkan perhatian khusus dan penanganan yang tepat. Penanganan yang baik dari gangguan jiwa tidak dapat dipisahkan dari sistem yang berlaku tentang kesehatan jiwa (Wordpress, 2011). Dalam UU No.18 tahun 2014 menjelaskan bahwa upaya kesehatan jiwa adalah setiap kegiatan untuk mewujudkan derajat kesehatan jiwa yang optimal bagi setiap individu, keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. Rehabilitasi sosial eks psikotik dilakukan oleh UPT milik Dinas Sosial. Khusus di daerah Jawa Timur, terdapat Unit Pelaksana Teknis (UPT) Rehabilitasi Sosial Eks Psikotik di Pasuruan (Untuk selanjutnya di singkat dengan UPT RSEP Pasuruan). Tugas pokok UPT RSEP Pasuruan adalah melaksanakan pelayanan, penyantunan, rehabilitasi sosial, dan penyaluran serta pembinaan lanjut eks psikotik (Sutaat dkk, 2012). Hasil wawancara dengan petugas UPT RSEP Pasuruan memaparkan bahwa jumlah klien UPT RSEP Pasuruan adalah 182 orang. Sehubungan dengan itu, berdasarkan karakteristik klien terdiri dari halusinasi 45%, isolasi sosial 20%, harga diri rendah 15%, perilaku kekerasan 12%, dan waham 8%. Petugas juga menjelaskan

3 bahwa klien dengan perilaku kekerasan biasanya diikuti dengan gangguan lainnya, seperti halusinasi dan isolasi sosial yang memiliki jumlah dengan persentasi tinggi di UPT RSEP Pasuruan. UPT RSEP Pasuruan menjalankan proses rehabilitasi dengan terapi medis dan terapi dengan beberapa kegiatan penunjang. Kegiatan tersebut berupa kegiatan keagamaan, kegiatan olahraga/integrasi-rekreatif, kegiatan kesenian, kegiatan bimbingan sosial kelompok, dan bina diri. Penatalaksanaan yang diberikan perawat pada klien dengan perilaku kekerasan adalah asuhan keperawatan perilaku kekerasan. Intervensi yang diberikan dapat berupa strategi preventif, strategi antisipatif (komunikasi), dan strategi pengurungan (Kusumawati & Hartono, 2010). Kolaborasi dengan pekerja sosial dalam penerapan penatalaksanaan untuk klien dengan perilaku kekerasan guna mencapai kesembuhan fisik-mental-sosial (Thong, 2011). Dalam pemberian penatalaksanaan, perawat dan pekerja sosial menggunakan komunikasi terapeutik (Nasir et al. 2011). Hasil wawancara dengan petugas UPT RSEP Pasuruan menyatakan bahwa komunikasi terapeutik merupakan kemampuan yang perlu dimiliki oleh petugas UPT RSEP Pasuruan dalam pelaksanaan rehabilitasi. Petugas menerima pelatihan secara bergantian dan melakukan sharing tentang komunikasi terapeutik antar sesama untuk menunjang proses rehabilitasi, dipengaruhi dengan pengetahuan dan keterampilan atau kapasitas petugas. Aplikasi rehabilitasi memiliki keterbatasan waktu, dana, dan pegawai. Pegawai terdiri dari pegawai negeri dan honorer, meliputi petugas administrasi, perawat, pengasuh, juru masak, dan satpol PP. Jumlah petugas tidak sebanding dengan jumlah klien yang mencapai 182. Hal ini membuat petugas bekerja double job.

4 Berdasarkan penelitian pengaruh komunikasi terapeutik terhadap penurunan tingkat perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa daerah surakarta oleh Witojo dan Widodo memaparkan bahwa komunikasi terapeutik yang benar dapat digunakan untuk menurunkan tingkat perilaku kekerasan. Penurunan dapat ditunjukkan dari tingkat perilaku kekerasan berat menjadi perilaku kekerasan sedang, tingkat perilaku kekerasan sedang menjadi perilaku kekerasan ringan, atau menurunkan nilai perilaku kekerasan. Berdasarkan hasil penelitian, kelompok perlakuan memiliki persentase tingkat perilaku kekerasan sedang sebesar 46,0 %, dan persentase tingkat perilaku kekerasan ringan sebesar 53,3 %. Komunikasi terapeutik adalah hubungan antara petugas dan klien, dimana petugas mengetahui kondisi klien yang sedang dirawat, mengenali tanda dan gejala yang ditampilkan serta keluhan yang dirasakan klien (Nasir et al. 2011). Menurut Nasir et al. (2011, dalam Stuart G.W, 1998) : Komunikasi terapeutik merupakan hubungan interpersonal antara petugas dan klien. Melalui hubungan ini, petugas dan klien memperoleh pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional klien. Menurut Hamid (2000, dalam Diana, Asrin, & Wahyu, 2006) menyatakan bahwa efek terapeutik, dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan kemampuan petugas pemberi komunikasi terapeutik. Persentase klien pulang UPT RSEP Pasuruan selama bulan september sampai bulan desember 2014 klien perilaku kekerasan sebanyak 72,8%, dan klien tanpa perilaku kekerasan sebanyak 27,2%. Lama waktu minimal perawatan klien perilaku kekerasan di UPT RSEP Pasuruan adalah 53 hari, sedangkan data rumah sakit jiwa pusat Bogor 2001 menunjukkan lama waktu minimal perawatan klien perilaku kekerasan adalah 42 hari (Keliat et al, 2009). Hal ini menunjukkan, meskipun terdapat

5 keterbatasan petugas lama hari rawat di UPT RSEP Pasuruan tidak memiliki perbedaan signifikan dibandingkan rumah sakit jiwa pusat Bogor. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai perbandingan ketuntasan perawatan klien perilaku kekerasan antara yang menerima komunikasi terapeutik perawat dan pekerja sosial di UPT RSEP Pasuruan. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana perbandingan ketuntasan perawatan klien perilaku kekerasan antara yang menerima komunikasi terapeutik perawat dan pekerja sosial 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan ketuntasan perawatan klien perilaku kekerasan antara yang menerima komunikasi terapeutik perawat dan pekerja sosial 1.3.2 Tujuan Khusus 1) Mengidentifikasi penerapan komunikasi terapeutik oleh perawat dan pekerja sosial 2) Mengidentifikasi ketuntasan perawatan klien oleh perawat dan non pekerja sosial 3) Mengidentifikasi ketuntasan perawatan klien perilaku kekerasan antara yang menerima komunikasi terapeutik perawat dan pekerja sosial

6 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan wawasan dan menambah pengetahuan peneliti, serta menjadi pengalaman berharga untuk peneliti dan kemudian sebagai refrensi untuk penelitian berikutnya 1.4.2 Manfaat Bagi Instansi Sumber data bagi UPT RSEP Pasuruan terkait penerapan pelayanan, dan dapat digunakan sebagai bukti untuk pengembangan sumber daya manusia 1.4.3 Manfaat Bagi Peneliti Lain Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber untuk peneliti lain yang akan meneliti tentang komunikasi terapeutik dimasa yang akan datang 1.5 Keaslian Penelitian 1) Penelitian Emi Wuri Wuryaningsih, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena C.D (2013) meneliti tentang Study Fenomenologi: Pengalaman Keluarga Mencegah Kekambuhan Perilaku Kekerasan Pasien Pasca Hospitalisasi RSJ. Perbedaan penelitian Emi Wuri Wuryaningsih, Achir Yani S. Hamid, Novy Helena C.D adalah Emi, Achir dan Novy bertujuan untuk mengetahui pengalaman keluarga mencegah kekambuhan perilaku kekerasan pasien pasca hospitalisasi RSJ, sedangkan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan ketuntasan perawatan klien perilaku kekerasan antara yang menerima komunikasi terapeutik perawat dan pekerja sosial di UPT RSEP Pasuruan yang sebelumnya telah mendapatkan perawatan di RSJ. 2) Penelitian Djoko Witojo dan Arif Widodo (2008) meneliti tentang Pengaruh Komunikasi Terapeutik Terhadap Penurunan Tingkat Perilaku Kekerasan Pada

7 Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian Djoko Witojo dan Arif Widodo adalah penelitian Djoko dan Arif terdapat perlakuan (eksperimen), sedangkan penelitian ini tidak melakukan perlakuan (observasi). 3) Penelitian Maria L. Ulloa (2008) meneliti tentang Developing Skills in Therapeutic Communication in Daily Living with Emotionally Disturbed Children and Young People. Perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian Maria L. Ulloa adalah penelitian Maria meneliti tentang komunikasi terapeutik oleh pekerja sosial pada anak-anak dengan masalah emosional, sedangkan penelitian ini meneliti tentang komunikasi perawat dan pekerja sosial pada klien dengan perilaku kekerasan.