BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bukti yang dibutuhkan dalam hal kepentingan pemeriksaan suatu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

TINJAUAN YURIDIS PERANAN BUKTI FORENSIK DAN LAPORAN INTELEJEN PADA TAHAP PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERORISME DI KOTA MEDAN (STUDI DI POLRESTA MEDAN)

BAB I PENDAHULUAN. pribadi maupun makhluk sosial. Dalam kaitannya dengan Sistem Peradilan Pidana

BAB II. 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP. yang dibuat tertulis dengan mengingat sumpah jabatan atau dikuatkan dengan

METODE PENELITIAN. penelitian guna dapat mengolah dan menyimpulkan data serta memecahkan suatu

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHUUAN. lainya, mengadakan kerjasama, tolong-menolong untuk memperoleh. pertikaian yang mengganggu keserasian hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM DALAM PERKARA PENGANIAYAAN. Zulaidi, S.H.,M.Hum

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

Presiden, DPR, dan BPK.

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

III. METODE PENELITIAN. Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah,

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan 5 besar negara dengan populasi. penduduk terbanyak di dunia. Jumlah penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. sering terjadi penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan. tingkat kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

TINJAUAN TERHADAP LANGKAH JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MEMBUKTIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA YANG MENGGUNAKAN RACUN

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

III. METODE PENELITIAN. satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Kecuali

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang Undang Dasar Repubik Indonesia (UUD 1945) Pasal 1 ayat (3).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. perilaku remaja di Indonesia mulai dari usia sekolah hingga perguruan tinggi.

METODE PENELITIAN. dengan seksama dan lengkap, terhadap semua bukti-bukti yang dapat diperoleh

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB III PENUTUP. Dari pembahasan yang telah diuraikan mengenai peranan Visum Et Repertum

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN F. Latar Belakang Masalah

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dapat diungkap karena bantuan dari disiplin ilmu lain. bantu dalam penyelesaian proses beracara pidana sangat diperlukan.

I. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

III. METODE PENELITIAN. digunakan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

III. METODE PENELITIAN. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

III. METODE PENELITIAN. satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya 1

VISUM et REPERTUM dr, Zaenal SugiyantoMKes

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kejahatan sudah ada sejak manusia dan masyarakat ada, demikian

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sebagaimana tersirat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB V PENUTUP. pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa:

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. kepentingan itu mengakibatkan pertentangan, dalam hal ini yang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama pemeriksaan suatu perkara pidana dalam proses peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara, baik dalam tahap pemeriksaan, penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. Dalam upaya untuk memperolah keterangan yang jelas mengenai tindak pidana seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri, karena masalah tersebut berada diluar kemampuan atau keahlian para penegak hukum tersebut. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut. Dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin. Berdasarkan pada Pasal 184 ayat 1

1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan alat bukti yang sah ialah: a) Keterangan Saksi, b) Keterangan Ahli, c) Surat, d) Petunjuk, e) Keterangan Terdakwa. Bantuan seorang ahli yang diperlukan dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana, baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan dan pada tahap pemeriksaan lanjutan di sidang pengadilan, dan mempunyai peran dalam membantu aparat yang berwenang untuk membuat terang suatu perkara pidana, mengumpulkan bukti-bukti yang memerlukan keahlian khusus, memberikan petunjuk yang lebih kuat mengenai pelaku tindak pidana, serta pada akhirnya dapat membantu hakim dalam menjatuhkan putusan dengan tepat terhadap perkara yang diperiksanya. Pada tahap pemeriksaan pendahuluan dimana dilakukan proses penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana, tahapan ini mempunyai peran yang cukup penting bahkan menentukan untuk tahap pemeriksaan selanjutnya dari keseluruhan proses peradilan pidana. Tindakan penyidikan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian atau pihak lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan tindakan penyidikan, bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan hasil yang didapat dari tindakan 2

penyidikan suatu kasus pidana, hal ini selanjutnya akan diproses pada tahap penuntutan dan persidangan di pengadilan. Dalam kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung terhadap keterangan ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang ditanganinya. Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan, perkosaan, dan pencabulan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan tenaga ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya, untuk memberikan keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut. Dalam Kitab Undang -Undang Hukum Acara pidana tidak tercantum visum et repertum, namun sebutan yang digunakan adalah keterangan ahli. Visum et repertum merupakan alat bukti yang sah yaitu yang termasuk suratsurat sesuai dengan KUHAP Pasal 188 ayat (1) Seorang ahli yang dimaksud disini adalah dokter yang menjalankan pekerjaannya merupakan kemampuan bersaksi. Proses penyaksian barang bukti oleh dokter akan sangat berbeda dengan penyaksian yang dilakukan oleh yang bukan dokter. Oleh karena itu apa yang disaksikan oleh dokter, apa yang didengar dan dilihatnya merupakan perbuatan hukum yang berkonsekuensi hukum juga. Pertimbangnnya adalah bahwa apa yang dilakukan memang diminta, sementara aktifitasnya pun berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. 3

Keterangan ahli dalam bentuk laporan ini didalamnya mencakup visum et repertum.visum Et Repertum ini telah ditentukan sebagai alat bukti yang sah. Sebab yang dimuat dalam pemberitaan nya merupakan kesaksian. Hal ini dikarenakan dalam Visum et Repertum memuat segala sesuatu hal yang dilihat dan ditentukan pada waktu dilakukannya, jadi sama halnya dengan seorang yang melihat dan menyaksikan sendiri misalnya suatu kecelakaan ditempat peristiwa itu terjadi. Visum et repertum berkaitan erat dengan Ilmu Kedokteran Forensik. Mengenai disiplin ilmu ini, dimana sebelumnya dikenal dengan Ilmu Kedokteran Kehakiman, R. Atang Ranoemihardja menjelaskan bahwa Ilmu Kedokteran Kehakiman atau Ilmu Kedokteran Forensik adalah ilmu yang menggunakan pengetahuan Ilmu Kedokteran untuk membantu peradilan baik dalam perkara pidana maupun dalam perkara lain (perdata). Tujuan serta kewajiban Ilmu Kedokteran Kehakiman adalah membantu kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dalam menghadapi kasus-kasus perkara yang hanya dapat dipecahkan dengan ilmu pengetahuan kedokteran. 1 Seperti halnya pada terhadap tindak pidana pencabulan. Terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban pencabulan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat 1 R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), Edisi kedua (Bandung: Tarsito 1983), 10 4

menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana pencabulan. Dalam persoalan yang berkembang dalam tingkat penyelidikan pada kasus pencabulan yang kemudian mengingat urgensi Visum Et Repertum sebagai bagian alat bukti yang sah dalam peradilan, maka pembuatan BAP seharusnya juga melampirkan hasil dari keterangan dokter yang berupa Visum Et Repertum untuk di jadikan pedoman dalam pembuktian di pengadilan. Walaupun berdasarkan ketentuan hukum acara pidana Indonesia, khususnya KUHAP tidak diberikan pengaturan secara eksplisit mengenai pengertian visum et repertum. Satu-satunya ketentuan perundangan yang memberikan pengertian mengenai visum et repertum yaitu Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350. Disebutkan dalam ketentuan Staatsblad tersebut bahwa : Visum et Repertum adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaikbaiknya. 2 Dalam proses pembuktian pada kasus tindak pidana pencabulan sangatlah mempengaruhi keadaan psikologis korban, korban harus memberikan keterangan yang detail pada saat proses pembuktian terkait kejadian yang telah dialaminya. Lemah dan kurangnya alat bukti dalam tindak pidana pencabulan menyebabkan banyak pelaku yang lolos dari jeratan 2 Ibid 5

hukum. Hal tersebut terjadi karena kurangnya pengetahuan dari pihak korban. Banyak korban yang melaporkan kejadian tindak pidana pencabulan itu setelah beberapa hari atau beberapa minggu setelah kejadian itu terjadi. Bukti telah terjadinya pencabulan dapat hilang apabila korban tidak segera melapor telah terjadinya pencabulan pada dirinya. Hal-hal tersebut menyulitkan penyidik dalam mengumpulkan alat bukti, yang kemudian akan menyulitkan bagi penyidik dalam proses penyidikan dan jaksa dalam membuktikan di muka persidangan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana pencabulan. Berdasarkan kenyataan mengenai pentingnya penerapan hasil Visum Et Repertum dalam pengungkapan suatu kasus pencabulan pada tahap penyidikan sebagaimana terurai di atas, hal tersebut memenjadi latar belakang penulis untuk mengangkatnya menjadi topik pembahasan dalam penulisan skripsi dengan judul PENGGUNAAN VISUM ET REPERTUM DALAM PROSES PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK. B. Rumusan Masalah Dalam suatu penelitian, perumusan masalah merupakan hal yang penting, agar dalam penelitian dapat lebih terarah sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. 6

Adapun perumusan masalah dari penelitian ini adalah : Apakah alat bukti Visum et Repertum dijadikan sebagai dasar pertimbangan hakim untuk menetapkan seorang bersalah di pengadilan? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut untuk mengetahui apakah alat bukti Visum et Repertum dijadikan sebagai dasar pertimbangan hakim untuk menetapkan seorang bersalah di pengadilan. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dalam skripsi ini mencakup manfaat akademis dan manfaat praktis, sebagai berikut : 1. Manfaat Akademis Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat akademis, dengan memberikan sebuah wawasan baru atau memberikan gambaran yang berguna bagi pengembangan dan penelitian secara lebih jauh terhadap ilmu hukum, sehingga diharapkan akan mendapatkan hasil yang bermanfaat dan berguna untuk masa yang akan datang. 2. Manfaat Praktis Sebagai gambaran mengenai realitas penerapan hubungan ilmu hukum khususnya hukum pidana dengan bidang ilmu lainnya yaitu ilmu kedokteran forensik. 7

E. Kegunaan Penelitian 1. Bagi Penulis Selain sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum, harapannya melalui penelitian ini dapat menambah wawasan penulis dalam mempraktikkan ilmu hukum acara pidana dan ilmu kedokteran forensik, sehingga nantinya dapat dimanfaatkan untuk proses pembuktian dalam pertimbangan hakim memutus suatu perkara. 2. Bagi Penegak Hukum Dengan diadakannya penelitian ini, harapannya penelitian ini akan menjadi sebuah informasi kepada para penegak hukum untuk dijadikan referensi dalam pengembangan keilmuan praktis. 3. Bagi Masyarakat Dengan dilaksanakannya penelitian ini, harapannya masyarakat dapat terlindungi dalam hal jika terjadi tindak pidana pencabulan maka Visum et Repertum yang akan menjadi alat pembuktian. F. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang di maksud dengan penelitian hukum normatif, di sini adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau 8

data sekunder. 3 Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi konsep dan asas-asas yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang di teliti. 2. Lokasi Penelitian Lokasi yang akan dijadikan sebagai tempat penelitian adalah Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Jember, lokasi tersebut dipilih karena penulis ingin menganalisis penggunaan Visum et Repertum dalam proses pembuktian tindak pidana pencabulan terhadap anak. 3. Sumber Data a. Sumber Data Primer Sumber Data Primer : Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Putusan Pengadilan negeri Jember Nomor : 418/Pid.Sus/2015/PN.Jmr, 438/Pid.Sus/2015/PN Jmr, 898/Pid.B/2014/PN Jmr, 429/Pid.Sus/2015/PN Jmr, serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian. 3 Mengenai istilah penelitian hukum normatif, tidak terdapat keseragaman diantara para ahli hukum. Diantara pendapat beberapa ahli hukum dimaksud, yakni : Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan (Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hlm. 13-14.); 9

b. Sumber Data Sekunder Merupakan data yang diperoleh dari dokumen tertulis, file, rekaman, informasi, pendapat dan lain-lain yang diperoleh dari sumber yang kedua. (Buku, Jurnal, Hasil Penelitian Terdahulu, dan lain-lain) Data Skunder terdiri dari : a) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat Bahan Hukum Primer yaitu data yang diperoleh dari lokasi penelitian atau data yang bersumber atau berasal dari informan yang berkaitan dengan peranan Visum et Repertum dalam proses pembuktian tindak pidana pencabulan terhadap anak. b) Bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah literatur-literatur yang relevan dengan topik yang dibahas, baik literatur hukum yang ditulis para ahli yang berpengaruh, hasil penelitian, pendapat para pakar hukum, jurnal hukum yang berkaitan dengan topik penelitian maupun literatur non hukum, dan artikel-artikel yang diperoleh dalam media elektronik. Data sekunder bersumber dari dokumendokumen hukum baik dalam bentuk Undang-Undang, literatur, jurnal, artikel dan majalah baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing. 10

4. Metode Pengumpulan Data Data dikumpulkan melalui proses inventarisasi dan identifikasi peraturan perundang-undangn, serta klasifikasi dan sestematisasi bahan hukum sesuai permasalahan penelitian. Teknik pengumpulaan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan. Studi kepustakaan dalam penelitian ini dilakukan dengan membaca serta mengolah bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan penggunaan visum et repertum dalam proses pembuktian tindak pidana pencabulan terhadap anak. 5. Analisis Data Data yang diperoleh baik primer maupun sekunder dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesauai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini. Analisa data dalam penelitian ini nantinya juga akan dikaitkan dengan bagaimana penggunaan Visum et Repertum dalam proses pembuktian tindak pidana pencabulan terhadap anak. G. Rencana Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN Bab ini memuat hal-hal yang melatarbelakangi pemilihan topik dari penulisan skripsi dan sekaligus menjadi pengantar umum di dalam memahami penulisan secara keseluruhan yang terdiri dari latar belakang masalah, 11

identifikasi masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan menguraikan dan menjelaskan berbagai teori-teori hukum yang dapat mendukung penelitian dalam membahas dan menjawab rumusan mengenai penggunaan Visum et Repertum dalam proses pembuktian tindak pidana pencabulan terhadap anak. BAB III : PEMBAHASAN Bab ini akan menguraikan dan menjelaskan berbagai teori-teori hukum yang dapat mendukung penelitian dalam membahas dan menjawab rumusan mengenai penggunaan Visum et Repertum dalam proses pembuktian tindak pidana pencabulan terhadap anak. BAB IV : PENUTUP Bab terakhir ini adalah kesimpulan yang merupakan kristalisasi hasil analisis dan intepretasi yang dirumuskan dalam bentuk pernyataan dan merupakan jawaban atas identifikasi masalah. 12