BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lanjut usia (Lansia) adalah seseorang yang berusia di atas 60 tahun (UU 13 Tahun 1998). Secara biologis penduduk lansia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ (Darmojo, 2004). Populasi lansia di dunia menurut World Health Organization (WHO) akan terus mengalami peningkatan, pada tahun 2000 jumlah lansia sebanyak 7,4% dari total populasi, pada tahun 2010 jumlah lansia meningkat menjadi 9,77% dari total populasi dan pada tahun 2020 diperkirakan jumlah lansia akan meningkat menjadi 11,34% dari total populasi (Kemenkes RI, 2013). Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (Aging Struktured Population) karena jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas sekitar 7,18%. Pada tahun 2011 jumlah lansia meningkat sebesar 9,51% dari jumlah penduduk dan pada tahun 2020 diperkirakan akan terjadi peningkatan jumlah lansia sebesar 11,34% dari jumlah penduduk (Depkes, 2012). Provinsi Bali dengan jumlah penduduk mencapai 1,5 juta pada tahun 2011 memiliki lansia sebanyak 300 ribu jiwa. Provinsi Bali termasuk salah satu dari lima provinsi yang memiliki jumlah lansia terbanyak di Indonesia yaitu sekitar 1
2 8,77%. Diperkirakan pada tahun 2015 akan mengalami peningkatan hampir dua kali lipat dibandingkan pada tahun 2011 menjadi lebih dari 432 ribu jiwa dari jumlah penduduk atau sekitar 11,4% (BPS, 2011). Kabupaten Karangasem merupakan salah satu kabupaten yang berada dibagian timur pulau Bali, dengan jumlah penduduk 839.540 jiwa, dimana 75.546 jiwa berusia lebih dari 60 tahun (BPS, 2010). Berdasarkan data dari laporan tahunan Puskesmas Kubu II jumlah lansia di wilayah kerja Puskesmas Kubu II pada tahun 2011 sebanyak 3.037 orang dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 3.854 orang. Meningkatnya jumlah penduduk lansia berdampak terhadap meningkatnya permasalahan khusus yang terjadi pada lansia. Dampak perubahan epidemologis penyakit pada lansia cenderung ke arah penyakit degeneratif. Salah satu dari penyakit degeneratif yang banyak dijumpai pada lansia adalah perubahan pada sistem muskuloskeletal dimana tulang akan mengalami pengeroposan, pembesaran sendi, pengerasan tendon, keterbatasan gerak atau sering disebut Osteoartritis (Smeltzer & Bare, 2004). Osteoartritis (OA) lebih sering menyerang pria dibawah umur 45 tahun daripada wanita, tetapi diatas umur 45 tahun wanita lebih sering menderita OA dan cenderung lebih berat daripada pria. Dari lima juta penduduk di Inggris, 80% dari penderita OA adalah berusia 70 tahun. Demikian juga dari 40 juta penduduk Amerika, diperkirakan 70-90% penderita OA adalah usia 75 tahun (BPPK Depkes RI, 2008). Di Indonesia prevalensi OA mencapai 5% pada usia kurang dari 40 tahun, 30% pada usia 40-60 tahun, dan 65% pada usia diatas 61 tahun (Suroso, dalam Koentjoro, 2010).
3 Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2010 OA dikelompokkan kedalam penyakit pada otot dan jaringan pengikat yang merupakan bagian dari sepuluh pola penyakit terbanyak pada pasien di puskesmas, dengan jumlah kasus 142.750. Pada tahun 2011 jumlah kasus penyakit pada otot dan jaringan pengikat yang ada diseluruh puskesmas di Bali sebanyak 178.282 kasus dan pada tahun 2012 sebanyak 123.636 kasus (Profil Kesehatan Provinsi Bali, 2010). Tingkat kabupaten berdasarkan hasil survey Dinas Kesehatan Kabupaten Karangasem tahun 2012, penyakit otot dan jaringan pengikat dengan jumlah kasus sebanyak 19.069 kasus dari semua kasus yang ada (Dinkes Karangasem, 2012). Peningkatan derajat kesehatan lansia sangat dipengaruhi oleh pelayanan kesehatan, semakin tinggi pelayanan kesehatan lansia maka derajat kesehatan lansia juga akan semakin tinggi. Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Bali tahun 2012 cakupan pelayanan kesehatan untuk lansia masing-masing kabupaten yaitu Kabupaten Buleleng sebanyak 27,34%, Kabupaten Jembrana sebanyak 43,75%, Kabupaten Tabanan sebanyak 36,84%, Kabupaten Badung sebanyak 31,81%, Kota Denpasar sebanyak 80,59%, Kabupaten Gianyar sebanyak 10,03%, Kabupaten Klungkung sebanyak 67,95%, Kabupaten Bangli sebanyak 49,80% dan yang paling rendah cakupan pelayanan kesehatan untuk lansia adalah Kabupaten Karangasem yaitu sebanyak 5,43%. Laporan bulanan program Sistem Pencatatan Pelaporan Terpadu Puskesmas tahun 2012, dari data lima bulan terakhir yaitu dari bulan Agustus-Desember 2012 penyakit otot dan jaringan pengikat dengan jumlah kasus sebanyak 951 dari 4.801 kasus yang ada. Data bulan Januari - Juni 2013 penyakit otot dan jaringan
4 pengikat dengan banyaknya kasus sebanyak 841 dari 4.498 kasus yang ada. Setiap bulannya rata-rata kunjungan penderita baru sekitar 30 sampai 40 penderita dengan rata-rata usia penderita 56-70 tahun. Dengan jumlah kasus terbanyak terdapat di Desa Tianyar Tengah yaitu 537 kasus (29,96%), Tianyar Timur 353 kasus (20,03%), Tianyar Barat 484 kasus (27,01%), dan Desa Ban 412 kasus (22,99%). Nyeri adalah keluhan yang paling menonjol dan keluhan yang paling sering membuat pasien OA memerlukan pertolongan dokter (Koopman, 2007 dalam Anggreni, 2010). Strategi penatalaksanaan nyeri mencakup pendekatan farmakologis dan nonfarmakologis, pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan pasien secara individu (Syaifudin, 2009). Intervensi farmakologis untuk menangani nyeri dilakukan kolaborasi dengan dokter melalui pemberian obat-obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID). Intervensi nonfarmakologis dalam menurunkan nyeri biasanya mempunyai resiko yang sangat rendah dibandingkan dengan intervensi farmakologis. Beberapa intervensi nonfarmakologis yang sering digunakan untuk mengurangi nyeri seperti stimulasi dan massage, terapi es dan panas, tehnik distraksi, tehnik relaksasi, dan kompres ( Smeltzer & Bare, 2004). Kompres air hangat merupakan salah satu terapi yang dapat menurunkan intensitas nyeri. Penelitian yang dilakukan oleh Fanada (2012). Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan skala nyeri yang signifikan antara sebelum dan sesudah dikompres hangat. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa kompres hangat dapat menurunkan skala nyeri pada lansia yang mengalami rematik.
5 Penelitian lain yang dapat dilakukan untuk menurunkan nyeri adalah kompres jahe. Penelitian yang dilakukan oleh Therkleson (2010) meneliti tentang penggunakan jahe sebagai kompres. Hasilnya semua sampel (usia rata-rata 64 tahun, 80% perempuan) memiliki skor nyeri rata-rata pada awal sebelum perlakuan sebesar 2,1 3. Setelah diberikan perlakuan selama satu minggu terjadi penurunan nyeri dengan skor nyeri rata-rata 1,1. Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan, hal ini membuktikan bahwa pemberian kompres air hangat dan kompres jahe memiliki khasiat untuk mengurangi nyeri. Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melihat Perbedaan Intensitas Nyeri Pada Lansia dengan OA yang diberikan kompres air hangat dengan kompres jahe merah. 1.2 Rumusan Masalah Adakah perbedaan intensitas nyeri pada lansia dengan osteoartritis yang diberikan kompres air hangat dengan kompres jahe merah di wilayah Kerja Puskesmas Kubu II, Kabupaten Karangasem?
6 1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui perbedaan intensitas nyeri pada lansia dengan osteoartritis yang diberikan kompres air hangat dengan kompres jahe merah. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Mengidentifikasi nyeri pada lansia dengan OA lutut sebelum dan sesudah diberikan kompres air hangat. b. Mengidentifikasi nyeri pada lansia dengan OA lutut sebelum dan sesudah diberikan kompres jahe merah. c. Menganalisis pengaruh kompres air hangat terhadap intensitas nyeri pada lansia dengan OA lutut. d. Menganalisis pengaruh kompres jahe merah terhadap intensitas nyeri pada lansia dengan OA lutut. e. Menganalisis perbedaan intensitas nyeri pada responden yang diberikan kompres air hangat dan kompres jahe merah.
7 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Praktis a. Untuk pedoman bagi petugas puskesmas dalam memberikan penyuluhan mengenai terapi non farmakologi yang dapat menurunkan intensitas nyeri, terutama nyeri pada lansia karena menderita osteoartritis. b. Untuk acuan bagi perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan, khususnya dalam hal nyeri. c. Untuk bahan masukan bagi Puskesmas Kubu II dalam upaya untuk menurunkan angka kesakitan nyeri pada lansia yang menderita osteoartritis dan meningkatkan kualitas hidup lansia. d. Untuk bahan masukan kepada masyarakat khususnya keluarga yang memiliki lansia sehingga dapat melakukan tindakan untuk menurunkan intensitas nyeri. e. Untuk bahan masukan kepada lansia yang menderita nyeri akibat osteoartritis sehingga dapat melakukan tindakan untuk menurunkan intensitas nyeri. 1.4.2 Manfaat Teoritis a. Untuk menambah pengetahuan dalam bidang keperawatan tentang terapi nonfarmakologi untuk menurunkan nyeri. b. Sebagai bahan untuk peneliti selanjutnya dalam memanfaatkan jahe merah untuk nyeri yang lain dengan skala dan intensitas nyeri yang hampir sama dengan penelitian ini.