(Varius Kind of Lower Plants on Dipterocarpaceae in KHDTK (Forest Area With Special Purpose) Haurbentes, Kecamatan Jasinga.

dokumen-dokumen yang mirip
Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan bersifat deskriptif kuantitatif. Pengamatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KUBU KABUPATEN KUBU RAYA

IV. METODE PENELITIAN

Amiril Saridan dan M. Fajri

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni Pengambilan

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

KEANEKARAGAMAN JENIS MERANTI (SHORE SPP) PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROPINSI KALIMANTAN BARAT

KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN PENCEGAH EROSI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan metode transek belt yaitu dengan menarik garis lurus memanjang

KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU (Bambusodae) DALAM KAWASAN HUTAN AIR TERJUN RIAM ODONG DUSUN ENGKOLAI KECAMATAN JANGKANG KABUPATEN SANGGAU

BAB II KAJIAN PUSTAKA

ANALISIS VEGETASI PADA KAWASAN HUTAN DESA DI DESA NANGA YEN KECAMATAN HULU GURUNG KABUPATEN KAPUAS HULU

BAB I PENDAHULUAN. 41 tahun 1999). Menurut Indriyanto (2006), hutan merupakan masyarakat


BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

KEANEKARAGAMAN JENIS BAMBU DI HUTAN KOTA KELURAHAN BUNUT KABUPATEN SANGGAU Bamboo Species Diversity In The Forest City Bunut Sanggau District

KEANEKARAGAMAN JENIS DAN POTENSI TEGAKAN PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAYA KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

BAB III. METODE PENELITIAN

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI TUMBUHAN. Analisis Vegetasi dengan Point Intercept

BAB III METODE PENELITIAN

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN TINGKAT POHON PADA HUTAN ADAT GUNUNG BERUGAK DESA MEKAR RAYA KECAMATAN SIMPANG DUA KABUPATEN KETAPANG

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam pandangan al-qur an, mempelajari dan mengamati fenomena

PRAKATA. Purwokerto, Februari Penulis. iii

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

KEANEKARAGAMAN VEGETASI DI HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

STRATIFIKASI HUTAN MANGROVE DI KANAGARIAN CAROCOK ANAU KECAMATAN KOTO XI TARUSAN KABUPATEN PESISIR SELATAN

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PAKU EPIFIT DI KAWASAN HUTAN PINUS KRAGILAN KABUPATEN MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif dengan metode

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAHAN DAN METODE. Gambar 3 Lokasi penelitian ( ) Alat dan Bahan

METODE PENELITIAN. A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. A. Materi (Bahan dan Alat), Waktu dan Lokasi Penelitian

Proses Pemulihan Vegetasi METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

B III METODE PENELITIAN. ada di di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Denpasar Bali.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis vegetasi strata semak yang memiliki

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

ANALISIS FAKTOR EKOLOGI DOMINAN PEMILIHAN KUBANGAN OLEH BADAK JAWA (Rhinoceros sondaicus Desmarest 1822) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

ANALISIS VEGETASI STRATA TIANG DI BUKIT COGONG KABUPATEN MUSI RAWAS. Oleh ABSTRAK

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan 28 Juni selesai di Taman Hutan. Raya Raden Soerjo Cangar yang terletak di Malang

KEANEKARAGAMAN JENIS VEGETASI PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA PROVINSI KALIMANTAN BARAT

JENIS-JENIS POHON DI SEKITAR MATA AIR DATARAN TINGGI DAN RENDAH (Studi Kasus Kabupaten Malang)

I. PENDAHULUAN. tumbuhan asing yang dapat hidup di hutan-hutan Indonesia (Suryowinoto, 1988).

II. METODE PENELITIAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Penelitian menggunakan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan metode penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Gorontalo Utara, yang meliputi 4 stasiun penelitian yaitu:

BAB I PENDAHULUAN UKDW. bumi, namun demikian keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya sangat

ANALISIS VEGETASI STRATA SEEDLING PADA BERBAGAI TIPE EKOSISTEM DI KAWASAN PT. TANI SWADAYA PERDANA DESA TANJUNG PERANAP BENGKALIS, RIAU

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (NEPENTHES SPP) DI KAWASAN HUTAN BUKIT BELUAN KECAMATAN HULU GURUNG

Keanekaragaman Anggrek Di Cagar Alam Dan Taman Wisata Alam Telaga Warna, Puncak, Bogor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN REGENERASI ALAMI DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI SUSI SUSANTI

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman

KEBERADAAN RAMIN (GONYSTYLUS BANCANUS (MIQ.) KURZ) DI KAWASAN HUTAN LINDUNG AMBAWANG KECIL KECAMATAN TELUK PAKEDAI KABUPATEN KUBU RAYA

Paket INFORMASI DAMPAK HUTAN TANAMAN TERHADAP LINGKUNGAN

KOMPOSISI DAN STRUKTUR RERUMPUTAN DI KAWASAN DANAU TOBA DESA TOGU DOMU NAULI KECAMATAN DOLOK PARDAMEAN KABUPATEN SIMALUNGUN SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ANALISIS VEGETASI DAN PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI KAWASAN HUTAN CAGAR ALAM LEMBAH HARAU KABUPATEN 50 KOTA SUMATERA BARAT

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN BAWAH PADA TEGAKAN DIPTEROCARPACEAE DI KHDTK ( KAWASAN HUTAN DENGAN TUJUAN KHUSUS ) HAURBENTES, KECAMATAN JASINGA, KABUPATEN BOGOR (Varius Kind of Lower Plants on Dipterocarpaceae in KHDTK (Forest Area With Special Purpose) Haurbentes, Kecamatan Jasinga. Kabupaten Bogor) Reza Muhammad 1, Sri Wiedarti 2, Triastinurmiatiningsih 3 1.2.3 Program Studi Biologi, FMIPA Universitas Pakuan, Bogor ABSTRAK The research done in three different location of KHDTK Haurbentes. The first location is under Dipterocarpaceae three dominated by kind of Shorea selanica. Second location is under Dipterocarpaceae tree dominated by Shorea leprosula, and the third location is under Dipterocarpaceae dominated by Shorea stenoptera. Each location divided into 3 transect line, each line is 110 m long. Every transect created 10 swath size 1 1 m and the distance between plots is 10 m. According to the research results, retrived 20 kinds of lower plants included in the 17 tribes. Kind of plant that has the highest Important Value Indeks (IVI) of three locatoin is Oplismenus compositus which has the IVI range between 46,54% - 67,61%. Various Kind Indeks of lower plants in every location is low, that the index point is range between 0,72 0,77. Keyword: lower plants, Dipterocarpaceae, KHDTK Haurbentes. PENDAHULUAN Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Soerianegara, 2008). Menurut Muttaqin (2010), berdasarkan fungsinya hutan di Indonesia dikelompokkan menjadi hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Haurbentes merupakan hutan penelitian yang berada di Kampung Haurbentes, Desa Jugala jaya dan Desa Wirajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. KHDTK Haurbentes bertipe hutan hujan tropis dataran rendah dan memiliki luas 100 hektar. Vegetasi tanaman yang ada di KHDTK Haurbentes meliputi jenis jenis dipterocarpaceae, rotan dan bambu (FORDA Litbang, 2012). Dipterocarpaceae adalah salah satu suku penting diantara flora pohon di Indonesia. Pohon pohon dari suku ini umumnya mendominasi hutan hujan dataran rendah. Suku Dipterocarpaceae memiliki 3 anak suku yaitu Dipterocarpoidea, Pakaramoideae dan Monotoideae. Diantara ketiga anak suku tersebut, yang terpenting adalah Dipterocarpoideae dan lebih dikenal dengan Dipterocarpaceae (Noorhidayah, 2007). Menurut Purwaningsih (2004), jenis dalam golongan suku Dipterocarpaceae tersebar di seluruh dunia lebih dari 500 species dan sebagian besar tumbuh di Indonesia sebagai kayu perdagangan yang bernilai ekonomi tinggi. Banyak jenis pohon dari suku Dipterocarpaceae ialah jenis endemik Indonesia, yaitu berjumlah 128 species (53%) dari 238 dipterocarps di Indonesia

yang tersebar di ketinggian 0-500 m dan 500 1000 m. Suku Dipterocarpaceae mempunyai 9 marga yang tersebar di seluruh Indonesia, meliputi Anisoptera, Cotylelobium,Dryobalanops,Dipterocarpu s, Hopea, Parashorea, Upuna, Shorea dan Vatica (Noorhidayah, 2007). Di KHDTK Haurbentes marga yang paling mendominasi ialah dari marga Shorea (FORDA Litbang, 2012). METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari - Februari 2014 di KHDTK Haurbentes, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Identifikasi jenis dilakukan di Laboratorium Biologi, Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pakuan. Penelitian dilakukan pada 3 lokasi di KHDTK Haurbentes. Lokasi pertama di bawah tegakan Dipterocarpaceae dominasi jenis Shorea selanica, pada lokasi kedua di bawah tegakan Dipterocarpaceae dominasi jenis Shorea leprosula, lokasi ketiga di bawah tegakan Dipterocarpaceae dominasi jenis Shorea stenoptera. Pada setiap lokasi dibuat tiga jalur transek dengan panjang tiap transek 110 m. Tiap transek dibuat 10 petak contoh yang berukuran 1 x 1 m dengan jarak antar petak contoh ialah 10 m (Indriyanto, 2008). Penentuan lokasi petak contoh didasarkan pada kondisi medan yang memadai, aman dan searah dengan jalur transek. Petak contoh ini diharapkan cukup mewakili pengambilan sampel untuk menghitung keanekaragaman tumbuhan bawah di bawah tegakan Dipterocarpaceae di KHDTK Haurbentes. Parameter utama yang diamati yaitu identifikasi tumbuhan bawah, jumlah jenis tumbuhan bawah yang ditemukan dalam setiap petak contoh dan jumlah individu setiap jenis. Sedangkan parameter pendukung yang diamati adalah suhu, kelembaban, intensitas cahaya, ketinggian tempat dan ph tanah. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sebagai berikut : 1. Frekuensi a. Frekuensi Mutlak (FM) FM = Jumlah petak contoh ditemukannya suatu jenis Jumlah seluruh petak contoh b. Frekuensi Relatif (FR) FR = Frekuensi Mutlak Suatu Jenis X 100% Frekuensi Mutlak seluruh jenis 2. Kerapatan a. Kerapatan Mutlak (KM) KM = Jumlah seluruh individu suatu jenis Luas seluruh petak contoh b. Kerapatan Relatif (KR) KR = Kerapatan Mutlak Suatu Jenis X 100% Kerapatan Mutlak seluruh Jenis 3. Indeks Nilai Penting INP = Kerapatan Relatif (KR) + Frekuensi Relatif (FR) 4. Indeks Keanekaragaman H = - ni/n log ni/n Keterangan : H = Indeks keragaman jenis Shannon Wiener ni = Jumlah individu suatu jenis N = Jumlah individu seluruh jenis (Fachrul, 2007) H < 1, keanekaragaman rendah H 1-3, keanekaragaman tergolong sedang H > 3, keanekaragaman tergolong tinggi HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian di tiga lokasi penelitian pada tegakan Dipterocarpaceae di KHDTK Haurbentes, diperoleh 20 jenis tumbuhan bawah yang termasuk dalam 17 suku. Terdapat perbedaan jenis tumbuhan bawah yang ditemukan pada setiap lokasi penelitian.

Suku Acanthaceae Agavaceae Asteraceae Athyriaceae Burseraceae Melastomataceae Poaceae Polygalaceae Rubiaceae Schizacaceae Selaginellaceae Smilacaceae Theaceae Thelypteridaceae Tiliaceae Urticaceae Vitaceae Jumlah Jenis Strobilanthes crispus Cordyline fruticosa Jumlah individu per Lokasi 1 2 3-3 - - 2 - Plucea indica 4 4 5 Diplazium esculentum 3 - - Protium javanicum 5 - - Clidemia hirta 8 73 63 Melastoma malabatricum - 4 - Oplismenus aemulus 59 - - Oplismenus compositus 183 125 96 Xanthophyllum excelsum 4 - - Neonauclea lanceolata 1 - - Psychotria nervosa 2 2 - Lygodium circinnatum 66 45 36 Selaginella pallescens 10 25 72 Smilax macrocarpa 1-12 Schima wallichii 8 4 - Thelypteris phegopteris - - 25 Grewia occindetalis Pilea pumila Cayratia trifolia Keterangan : ( - ) Tidak ada tumbuhan bawah 2 3-16 23 38-1 - 372 314 347 Pada lokasi penelitian pertama, ditemukan sebanyak 15 jenis tumbuhan bawah yang termasuk dalam 13 suku. Jenis tumbuhan bawah yang ditemukan pada lokasi penelitian kedua sebanyak 13 jenis yang termasuk dalam 12 suku. Sedangkan pada lokasi penelitian ketiga ditemukan sebanyak 8 jenis tumbuhan bawah yang termasuk dalam 8 suku. Perbedaan jumlah jenis tumbuhan bawah ini disebabkan juga oleh perbedaan kondisi lingkungan dan tegakan yang mendominasi di setiap lokasi penelitian. Pada lokasi penelitian pertama didominasi tegakan Shorea selanica yang memiliki tajuk tidak terlalu lebat sehingga intensitas cahaya cukup tinggi. Pada lokasi penelitian kedua yaitu dominasi Shorea leprosula memiliki tajuk lebat tetapi kanopinya tidak menutupi tanah. Sedangkan pada lokasi penelitian ketiga didominasi oleh Shorea stenoptera yang memiliki tajuk lebat sehingga kanopinya menutupi tanah. Menurut Indriyanto (2008), bahwa perbedaan jumlah tumbuhan bawah disebabkan oleh adanya persaingan dengan pepohonan yang lebih besar disekitarnya. Terdapat 6 jenis tumbuhan bawah yang ditemukan di ketiga lokasi penelitian tersebut yaitu jenis Plucea indica, Clidemia hirta, Oplismenus compositus, Lygodium circinnatum, Selaginella pallescens dan Pilea pumila. Hal ini menunjukkan bahwa ke enam jenis tumbuhan tersebut mampu beradaptasi dengan lingkungan pada ketiga lokasi penelitian tersebut. Terdapat 5 jenis tumbuhan bawah yang hanya ditemukan di lokasi penelitian pertama dan tidak ditemukan di lokasi penelitian lainnya yaitu Diplazium esculentum, Protium javanicum, Oplismenus aemulus, Xanthophyllum excelsum dan Neonauclea lanceolata. Sedangkan pada lokasi penelitian kedua terdapat 3 jenis tumbuhan yang hanya ditemukan di lokasi tersebut yaitu Strobilanthes crispus, Cordyline fruticosa dan Cayratia trifolia. Pada lokasi penelitian ketiga hanya satu jenis tumbuhan bawah yang ditemukan di lokasi tersebut yaitu Thelypteris phegopteris. Keadaan ini menunjukan bahwa beberapa jenis tumbuhan bawah tersebut hanya mampu beradaptasi dengan lingkungan yang ada di masing masing lokasi penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Maisyaroh (2010), bahwa setiap jenis tumbuhan mempunyai suatu kondisi minimum, maksimum dan optimum terhadap faktor lingkungan yang ada, serta

ketahanan hidup terhadap berbagai kondisi lingkungan. Keterangan : = nilai tertinggi FR = nilai tertinggi KR = nilai tertinggi INP Dari perhitungan nilai Frekuensi, Kearapatan, Indeks Nilai Penting, dan Indeks Keanekaragaman diperoleh hasil sebagai berikut : 1. Frekuensi Frekuensi Relatif pada lokasi penelitian pertama berkisar antara 1,13%- 30,19%. Jenis Oplismenus compositus mempunyai nilai Frekuensi Relatif tertinggi sebesar 30,19%, sedangkan jenis yang mempunyai nilai Frekuensi Relatif terendah sebesar 1,13%, yaitu Neonauclea lanceolata, Psychotria nervosa, Smilax macrocarpa. Tingginya nilai frekuensi jenis Oplismenus compositus dikarenakan faktor lingkungan pada lokasi penelitian pertama seperti intensitas cahaya sangat baik atau sesuai untuk pertumbuhan Oplismenus compositus. Hal ini sesuai dengan pendapat Wirakusumah (2003), yaitu intensitas cahaya sangat dibutuhkan oleh tumbuhan untuk dapat melakukan proses fotosintesis, sehingga dapat tumbuh dan berkembang. Rendahnya Frekuensi Relatif beberapa jenis tumbuhan bawah pada lokasi penelitian pertama disebabkan oleh kurang mampunya beberapa jenis tumbuhan bawah tersebut untuk beradaptasi dengan lingkungan. Menurut Sabarno (2002), bahwa setiap jenis tumbuhan bawah berbeda area persebaran, disebabkan oleh faktor adaptasi lingkungan seperti nutrisi, ruang dan cahaya. Frekuensi Relatif pada lokasi penelitian kedua berada pada kisaran antara 0,83%-20,17%. Pada lokasi ini nilai frekuensi relatif tertinggi dimiliki oleh jenis Oplismenus compositus sebesar 20,17%, sedangkan jenis dengan nilai Frekuensi Relatif terendah sebesar 0,83% yaitu, Cayratia trifolia. Tingginya nilai frekuensi jenis Oplismenus compositus dikarenakan jenis ini hampir selalu ditemukan pada tiap petak contoh, yaitu sebanyak 22 petak contoh dari 30 petak contoh. Faktor lingkungan seperti cahaya matahari sangat menentukan penyebaran dan pertumbuhan tumbuhan bawah, ini karena kanopi pohon dari Shorea leprosula tidak terlalu menutupi permukaan tanah. Rendahnya jenis Cayratia trifolia karena jenis ini

mempunyai pertumbuhan dan area distribusi kecil di lokasi tersebut. Menurut Irwan (2007), tinggi rendahnya frekuensi jenis tumbuhan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor penyebaran tumbuhan dan faktor lingkungan. Frekuensi Relatif pada lokasi penelitian ketiga berkisar antara 1,87% - 23,68%. Nilai Frekuensi Relatif tertinggi dimiliki oleh jenis Selaginella pallescens sebesar 23,68%, sedangkan spesies yang mempunyai nilai Frekuensi Relatif terendah sebesar 1,87%, yaitu Plucea indica. Tingginya nilai frekuensi jenis Selaginella pallescens dikarenakan jenis ini mampu beradaptasi baik dengan kelembaban dan suhu di lokasi tersebut. Menurut Suin (2002), yang menyatakan kelembaban dan suhu yang sesuai dapat membuat jenis tertentu tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Rendahnya nilai Frekuensi Relatif jenis Plucea indica disebabkan oleh kurang mampunya tumbuhan tersebut untuk beradaptasi dengan lingkungan. 2. Kerapatan Jenis tumbuhan bawah dengan nilai Kerapatan Relatif (KR) tinggi merupakan jenis tumbuhan dengan jumlah individu paling banyak dalam suatu lokasi penelitian per satuan luas lokasi tersebut, sedangkan jenis tumbuhan bawah dengan nilai Kerapatan Relatif (KR) rendah memiliki jumlah individu yang lebih sedikit per satuan luas lokasi. Pada lokasi penelitian pertama, jenis tumbuhan bawah dengan nilai kerapatan tertinggi adalah jenis Oplismenus compositus sebanyak 183/30 m 2 individu dengan nilai Kerapatan Relatif sebesar 67,61 %. Hal ini dikarenakan habitat yang sesuai bagi pertumbuhan Oplismenus compositus. Terdapat dua jenis tumbuhan bawah dengan nilai Kerapatan Relatif terendah sebesar 0,18 % yaitu Neonauclea lanceolata dan Smilax macrocarpa. Tingginya nilai KR Oplismenus compositus disebabkan oleh perkembangbiakan tumbuhan tersebut yang baik di lokasi penelitian satu. Menurut Wirakusumah (2003), intensitas cahaya sangat penting untuk melakukan proses fotosintesis. Rendahnya nilai KR dua jenis tumbuhan bawah dikarenakan kurang mampunya kedua tumbuhan tersebut untuk beradaptasi dengan lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sabarno (2002), yaitu tumbuhan memerlukan kondisi tertentu untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Pada lokasi penelitian kedua, jenis tumbuhan bawah dengan nilai kerapatan tertinggi yaitu Oplismenus compositus sebanyak 125 individu/30 m 2 dengan nilai sebesar 39,23%. Terdapat satu jenis tumbuhan bawah dengan nilai Kerapatan Relatif (KR) terendah yaitu Cayratia trifolia sebanyak 1 individu/30 m 2 sebesar 0,28%. Tingginya KR dari Oplismenus compositus pada lokasi penelitian ini dikarenakan Oplismenus compositus mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan disekitarnya seperti intentitas cahaya. Hal ini sesuai dengan pendapat Wirakusumah (2003), bahwa intensitas cahaya memberikan berbagai pengaruh terhadap pertumbuhan tumbuhan. Pada penelitian ketiga, jenis dengan nilai kerapatan tertinggi yaitu Oplismenus compositus sebanyak 96 individu/30 m 2 dengan nilai Kerapatan Relatif sebesar 27,68%. Jenis dengan nilai kerapatan terendah yaitu Plucea indica sebanyak 5 individu/30 m 2 dengan nilai sebesar 1,38%. Rendahnya KR Plucea indica disebabkan kurang mampunya tumbuhan tersebut untuk tumbuh dan berkembang di lingkungan tersebut terlebih kurangnya asupan cahaya matahari. Menurut Wirakusumah (2003), bahwa kekurangan intensitas cahaya karena tertutup pohon dapat menyebabkan proses fotosintesis pada tumbuhan tidak berjalan dengan baik. 3. Indeks Nilai Penting Dari hasil penelitian diketahui bahwa jenis yang mempunyai Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi di lokasi penelitian

satu adalah Oplismenus compositus dengan nilai INP sebesar 67,61%. Pada lokasi penelitian kedua adalah Oplismenus compositus dengan INP sebesar 59,4%. Pada lokasi penelitian ketiga adalah Oplismenus compositus dengan nilai INP sebesar 46,54%. Hal ini dikarenakan pertumbuhan jenis Oplismenus compositus sangatlah baik, karena faktor adaptasi dengan lingkungan yang mendukung bagi perkembangbiakan dan pertumbuhan di setiap lokasi penelitian. Menurut Irwan (2007), faktor lingkungan sangat berpengaruh dalam perkembangan tumbuhan bawah pada suatu komunitas. Dengan jumlah yang banyak dan selalu ditemukan pada setiap petak contoh maka Oplismenus compositus menjadi jenis tumbuhan bawah yang paling dominan di ketiga lokasi penelitian. Terdapat dua jenis tumbuhan yang mempunyai INP terendah pada lokasi penelitian pertama yaitu Neonauclea lanceolata dan Smilax macrocarpa sebesar 1,31%. Jenis dengan INP terendah pada lokasi penelitian kedua yaitu Cayratia trifolia sebesar 1,11%. Jenis dengan INP terendah pada lokasi penelitian ketiga dimiliki oleh Plucea indica sebesar 3,25%. Kurangnya kemampuan untuk beradaptasi dan persaingan antar tumbuhan untuk berkompetisi membuat beberapa jenis tumbuhan bawah ini kurang mampu tumbuh dan berkembangbiak secara optimal. Hal ini sesuai dengan pendapat Indriyanto (2008), bahwa persaingan antar jenis tumbuhan disebabkan masing masing tumbuhan mencoba menempati suatu wilayah ekologi yang sama, yang mengakibatkan jenis yang tahan bersainglah yang dapat bertahan hidup untuk tumbuh dan berkembang. 4. Indeks Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Bawah Berdasarkan hasil perhitungan indeks keanekaragaman jenis tumbuhan bawah pada ketiga lokasi penelitian, dapat dikategorikan dalam keanekaragaman rendah. Nilai keanekaragaman jenis tumbuhan bawah pada ketiga lokasi penelitian berada pada kisaran 0,72 0,77. Itu berarti keanekaragaman jenis tumbuhan bawah pada tegakan Dipterocarpaceae di HDTK Haurbentes termasuk dalam keanekaragaman jenis yang rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Fachrul (2007), bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis dikatakan rendah apabila nilai hasil perhitungannya berada di bawah kisaran angka satu. Perbedaan kisaran nilai yang kecil antara indeks keanekaragaman jenis pada lokasi penelitian satu, dua dan tiga menunjukkan bahwa jenis tumbuhan bawah pada ketiga lokasi penelitian memiliki tingkat keanekaragaman yang hampir sama. Rendahnya tingkat keanekaragaman jenis tumbuhan bawah pada ketiga lokasi penelitian disebabkan sebagian besar tumbuhan bawah kurang bisa beradaptasi secara baik dengan lingkungan disekitarnya seperti intensitas cahaya, kelembaban dan suhu. Hal ini sesuai dengan pendapat Wirakusumah (2003), bahwa suatu tumbuhan dalam proses pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan disekitarnya. SIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan : 1. Pada Tegakan Dipterocarpaceae di KHDTK Haurbentes, diperoleh 20 jenis tumbuhan bawah yang termasuk dalam 17 suku. Jenis yang paling banyak ditemukan ialah pada tegakan Shorea selanica yaitu sebanyak 15 jenis. 2. Pada ketiga lokasi penelitian ditemukan 6 jenis tumbuhan bawah yang mampu tumbuh di semua lokasi penelitian yaitu jenis Plucea indica, Clidemia hirta, Oplismenus compositus, Lygodium circinnatum, Selaginella pallescens dan Pilea pumila. Dan yang mempunyai Indeks Nilai Penting tertinggi adalah Oplismenus compositus. 3. Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis tumbuhan bawah pada tegakan

Dipterocarpaceae di KHDTK Haurbentes berada pada kisaran 0,72 0,77 dan dikategorikan rendah, karena nilai hasil perhitungannya berada di bawah kisaran angka satu. SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui ada tidaknya jenis tumbuhan bawah tertentu yang hanya dapat tumbuh dan berkembang pada Tegakan Dipterocarpaceae tertentu saja. DAFTAR PUSTAKA Fachrul, F.M. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara. Hal : 29-45. FORDA Litbang. 2012. Forestry Research And Development Agency. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Sabarno, M. Y. 2002. Ekologi Taman Nasional Baluran. Biodiversitas. 3(1) : 207-212 Soerianegara I dan A Indrawan. 2008. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor. Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Suin, N.M. 2002. Metode Ekologi. Universitas Andalas : Padang Wirakusumah, S. 2003. Dasar-Dasar Ekologi Bagi Populasi dan Komunitas. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Indriyanto. 2008. Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara. Irwan, Z.D. 2007.Prinsip-.prinsip Ekologi Ekosistem, Lingkunagan dan Pelestariannya. Jakarta :PT Bumi Aksara. Maisyaroh, W. 2010. Stuktur Komunitas Penutup Tanah di Taman Hutan Raya R. Soerjo Cangar, Malang. Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari. 1(1): 1-8. Noorhidayah. 2007. Jenis jenis dipterocarpaceae. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda.Departemen Kehutanan. Purwaningsih. 2004. Ecological distribution of Dipterocarpaceae species in Indonesia. Journal Biodiversitas. 5(2): 89-95