Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017

dokumen-dokumen yang mirip
Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016. Pangemanan, SH, MH; M.G. Nainggolan, SH, MH, DEA. 2. Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM,

Kata kunci: Perintah, Jabatan, Tanpa Wewenang

PENGGUNAAN KEKERASAN SECARA BERSAMA DALAM PASAL 170 DAN PASAL 358 KUHP 1 Oleh : Soterio E. M. Maudoma 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 7/Sep/2017

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 6/Ags/2017

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

Lex Crimen Vol. III/No. 2/April/2014

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016. PERCOBAAN MELAKUKAN KEJAHATAN MENURUT PASAL 53 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 1 Oleh: Dodi Ksatria Damapolii 2

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang

Lex Privatum Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya aktivitas manusia tersebut harus didukung oleh fasilitas pendukung

BAB I PENDAHULUAN. yaitu, pleger, doen pleger, medepleger, uitlokker. Suatu penyertaan. dilakukan secara psikis maupun pisik, sehingga harus dicari

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUNUHAN BERENCANA. tertentu tanpa menyebutkan wujud dari tindak pidana. Unsur-unsur yang dapat

TAWURAN DARI SUDUT PASAL 170 DAN PASAL 358 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA 1 Oleh: Hendy Pinatik 2

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA

BAB III PENCURIAN DENGAN KEKERASAN MENURUT HUKUM POSITIF. Menyimpang itu sendiri menurut Robert M.Z. Lawang penyimpangan perilaku

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016. PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PERBUATAN PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA 1 Oleh: Magelhaen Madile 2

BAB IV ANALISIS PERCOBAAN MELAKUKAN PELANGGARAN DAN KEJAHATAN YANG TIDAK DIKENAI SANKSI

1. PERCOBAAN (POGING)

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

BAB III PENUTUP. a. Kesimpulan. 1. Pertanggungjawaban pidana menyangkut pemidanaannya sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN

KAJIAN PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

III. METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah

KAJIAN TENTANG PERINTAH JABATAN YANG DIATUR PASAL 51 KUH PIDANA 1 Oleh: Ines Butarbutar 2

Lex Administratum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

atau catatan itu tidak dapat diperlihatkan aslinya. Kata kunci: Tindak Pidana, Pengurus Dan Komisaris, Perseroan Terbatas, Pailit, Hukum Pidana.

KAJIAN JURISDIS TERHADAP PERSOALAN PENGHUKUMAN DALAM CONCURSUS DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. :

BAB I PENDAHULUAN. pencurian tersebut tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atau. aksinya dinilai semakin brutal dan tidak berperikemanusiaan.

PERANAN SIDIK JARI DALAM PROSES PENYIDIKAN SEBAGAI SALAH SATU ALAT BUKTI UNTUK MENGUNGKAP SUATU TINDAK PIDANA. (Studi Kasus di Polres Sukoharjo)

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah

Lex Administratum, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

TINDAK PIDANA PEMBERONTAKAN BERDASARKAN PASAL 108 KUH PIDANA 1 Oleh : Hendrick Winatapradja 2

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB III PENUTUP. pidana pembunuhan berencana yang menggunakan racun, yaitu: b. Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang merupakan dasar

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNAAN PSIKOTROPIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN Oleh: Oktaphiyani Agustina Nongka 2

PELAKSANAAN SANKSI PIDANA DENDA PADA TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015. TINDAK PINDANA PENYELUNDUPAN SEBAGAI DELIK EKONOMI 1 Oleh : Ryan Merianto 2

BAB II UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA PENGGELAPAN. Tindak pidana penggelapan (verduistering) diatur dalam Bab XXIV Pasal

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

BAB I PENDAHULUAN. hukum Indonesia, hal seperti ini telah diatur secara tegas di dalam Kitab Undangundang

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DI SURAKARTA)

AKIBAT HUKUM SURAT DAKWAAN BATAL DAN SURAT DAKWAAN DINYATAKAN TIDAK DAPAT DITERIMA DALAM PERKARA PIDANA 1 Oleh : Wilhelmus Taliak 2

BAB III PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA TAK TERKENAN. dipakai dalam kitab undang-undang), tidak dijumpai rumusan arti atau definisi

DAFTAR PUSTAKA. Andi Hamzah, Asas - Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.

Lex Crimen Vol. V/No. 3/Mar/2016. KAJIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN (PENERAPAN PASAL 303, 303 BIS KUHP) 1 Oleh: Geraldy Waney 2

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

METODE PENELITIAN. cara melakukan penelitian hukum dengan teratur (sistematis). 39 Dengan

METODE PENELITIAN. sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisisnya. Metode

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

BAB II PENERAPAN KONSEP NOODWEER DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN SEBAGAI AKIBAT ADANYA TINDAK PIDANA KEHORMATAN KESUSILAAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

MENGHALANGI PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN UNTUK KEPENTINGAN ORANG LAIN MENURUT PASAL 221 AYAT (1) KUHPIDANA 1 Oleh : Rendy A. Ch.

METODE PENELITIAN. Pendekatan masalah yang digunakan dalam proses pengumpulan dan penyajian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

EKSISTENSI TINDAK PIDANA PELANGGARAN KESUSILAAN DI DEPAN UMUM (PASAL 281 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA) 1 Oleh: Grant P.

III. METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar,

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB II LANDASAN TEORI

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

BAB I PENDAHULUAN. keselarasan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. kepentingan itu mengakibatkan pertentangan, dalam hal ini yang

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

Lex Crimen Vol. VI/No. 6/Ags/2017

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan

BAB II TINDAK PIDANA INSUBORDINASI. A. Pengertian Dan Subjek Tindak Pidana Militer

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

III. METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

Transkripsi:

KAJIAN YURIDIS TENTANG SYARAT UNTUK DAPAT DIPIDANANYA DELIK PERCOBAAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER 1 Oleh: Stewart Eliezer Singal 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apa syarat untuk dapat dipidananya delik percobaan menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan bagaimana syarat untuk dapat dipidananya delik percobaan menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), syarat-syarat untuk dapat dipidananya delik percobaan, haruslah dipenuhi unsur-unsur berikut: Adanya niat untuk melakukan kejahatan; Niat tersebut telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan untuk melakukan kejahatan; dan Tidak adanya pengunduran diri secara sukarela atau tidak selesainya pelaksanaan kejahatan bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. 2. Syarat-syarat untuk dapat dipidananya delik percobaan menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) pada dasarnya mengikuti atau menganut syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 53 KUHP. Prinsip tersebut sesuai dengan amanat dari ketentuan Pasal 103 KUHP. Akan tetapi dalam delik-delik tertentu, yaitu delikdelik yang ditentukan dalam Pasal-pasal 66 ayat (2), 79, 94, 116, 125, 144 KUHPM, KUHPM telah menentukan secara khusus tentang syarat untuk dapat dipidananya delik percobaan yaitu dengan adanya unsur niat/permufakatan jahat saja, pelaku sudah dapat dipidana. Kata kunci: Kajian Yuridis, Syarat-Syarat Untuk Dapat Dipidana, Delik Percobaan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan Berdasarkan ketentuan Pasal 103 KUHP tersebut dapat dipahami bahwa ketentuanketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Max Sepang, SH., MH. Nontje Rimbing, SH., MH 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat. NIM. 13071101383 Buku I KUHP berlaku bagi ketentuan-ketentuan pidana di luar KUHP, termasuk di dalamnya adalah hukum pidana militer, kecuali dalam KUHPM ditentukan lain. Delik Percobaan, ketentuannya diatur dalam Buku I Bab IV Pasal 53 dan Pasal 54 Buku I KUHP. Di lingkungan peradilan militer, peranan Pasal 103 (KUHP) ini sangat penting. Sedemikian pentingnya sehingga Pasal-pasal pendahuluan yaitu Pasal 1 sampai 3 KUHPM mengulangi bahkan mempertegas ketentuan dalam Pasal 103 KUHP. Dalam penjelasan Pasal 2 KUHPM, justru ditentukan bahwa ketentuan dan yurisprudensi yang dianut dalam penerapan KUHP, pada dasarnya digunakan juga dalam penerapan KUHPM. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri (Pasal 53 ayat (1) KUHP). Kemudian menurut Pasal 54 KUHP menentukan bahwa: Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 53 dan Pasal 54 KUHP tersebut, yang dapat dipidana adalah percobaan melakukan kejahatan, sedangkan percobaan melakukan pelanggaran, tidak dipidana. Ketentuan Pasal 53 dan Pasal 54 KUHP tersebut dihubungkan dengan dianutnya pembedaan tindak pidana dalam KUHP, atas tindak pidana kejahatan (Bld.: misdrijven) dan tindak pidana pelanggaran (Bld.: overtredingen). Tindak pidana kejahatan ditempatkan dalam Buku II KUHP, kemudian tindak pidana pelanggaran ditempatkan dalam Buku III KUHP. Demikian jelas pada rumusan pasal-pasal tersebut, bahwa ada perbuatanperbuatan yang walaupun tidak sampai selesai dilakukan, tetapi pelakunya telah dapat dipidana, yaitu tindak pidana yang ditentukan dalam Buku II KUHP tentang Kejahatan. Perbuatan seperti tersebut disebut sebagai delik percobaan (Bld.: Poging). Syarat-syarat untuk dapat dipidananya delik percobaan, secara limitative ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya pemulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri 137

Sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 103 KUHP yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatanperbuatan yang oleh ketentuan perundangundangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain, berarti bahwa ketentuan-ketentuan tentang syarat untuk dapat dipidananya delik percobaan dalam Pasal 53 KUHP berlaku juga untuk penerapan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), kecuali oleh KUHPM telah menentukan secara menyimpang. Dalam Memorie Penjelasan KUHP, memberikan penjelasan yang berbeda tentang syarat adanya permulaan pelaksanaan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP, yaitu : permulaan pelaksanaan dari kejahatan yang telah dimulai tapi tidak selesai; dan permulaan pelaksanaan dari niat yang dinyatakan untuk melakukan suatu kejahatan. Penjelasan tersebut menimbulkan kesulitan penerapannya dalam praktek peradilan, karena seolah-olah KUHP menganut dua teori poging secara sekaligus, yaitu : teori poging obyektif dan teori poging subyektif. Materi tersebut penting untuk dilakukan kajian secara mendalam. Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan tersebut, maka dalam rangka penulisan skripsi ini, penulis berkehendak untuk mengkajinya dengan judul Kajian Yuridis Tentang Syarat Untuk Dapat Dipidananya Delik Percobaan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer. B. Rumusan Masalah 1. Apakah syarat untuk dapat dipidananya delik percobaan menurut Kitab Undangundang Hukum Pidana? 2. Bagaimana syarat untuk dapat dipidananya delik percobaan menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer? C. Metode Penelitian Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif, yakni suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. 3 Pada penelitian hukum normatif, data yang digunakan hanya data sekunder dan pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan kepustakaan atau documenter, dengan teknik analisis umumnya adalah legal content analysis. 4 PEMBAHASAN A. Syarat untuk dapat dipidananya delik percobaan menurut KUHP Berdasarkan Ketentuan Pasal 53 KUHP, telah ditetapkan dalam keadaan apa percobaan dapat dipidana, yaitu kalau memenuhi syaratsyarat: 1. Adanya niat untuk melakukan kejahatan; 2. Niat itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan; 3. Pelaksanaan itu tidak selesai bukan sematamata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Syarat-syarat tersebut akan dibahas secara satu persatu sebagai berikut: 1. Adanya niat untuk melakukan kejahatan Adanya niat adalah salah satu syarat dari percobaan untuk melakukan kejahatan. Hal ini ternyata dalam perumusan Pasal 53 KUHP. Mengenai cakupan dari niat (Bld.: Voornemen) pada umumnya para ahli hukum pidana sependapat bahwa hal ini mencakup semua bentuk kesengajaan, yaitu meliputi: - Sengaja sebagai maksud (Bld.: Opzet als oogmerk); - Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian/keharusan; dan - Sengaja dengan kesadaran tentang kemungkinan (dolus eventualis). 5 Dipersoalkan apakah niat untuk melakukan kejahatan mempunyai kedudukan yang sama pada percobaan sebagaimana kedudukan kesengajaan pada delik dolus yang selesai. Dalam yurisprudensi niat sering disamakan dengan kesengajaan. 6 2. Niat itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan. 3 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitan Hukum, Penerbit UI Press, Jakarta, hal. 43 4 Muhammad Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 67 5 Fakultas Hukum, Op.Cit. hal. 92 6 Schaffmeister, Op.Cit, hal. 215 138

Syarat berikutnya adalah mengenai arti permulaan pelaksanaan. Sehubungan dengan masalah ini, Schaffmeister, menjelaskan bahwa: Jadi untuk dapat dipidananya percobaan disyaratkan adanya permulaan pelaksanaan. Agaknya pembuat undang-undang bermaksud bahwa perbuatan persiapan belum termasuk bidang percobaan yang dapat dipidana dan baru memasukinya kalau pebuatan yang dilakukan dipandang sebagai perbuatan pelaksanaan. Batas antara perbuatan persiapan yang belum dapat dipidana dan perbuatan pelaksanaan yang sudah dapat ditentukan secara abstrak dalam Pasal 53 KUHP, tetapi doktrin dan prakteklah yang harus menariknya secara konkrit. 7 3. Pelaksanaan itu tidak selesai bukan sematamata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Pasal 53 KUHP mensyaratkan bahwa pelaksanaan kejahatan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Jadi yang tidak selesai itu adalah kejahatan. Kejahatan itu tidak terjadi sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang, atau tidak sempurna memenuhi unsur-unsur dari kejahatan menurut rumusannya. Niat pembuat untuk melaksanakan kejahatan tertentu yang sudah dinyatakan dengan perbuatannya, terhenti sebelum sempurna terjadi kejahatan itu. Atau perbuatan untuk merugikan sesuatu kepentingan hukum yang dilindungi oleh undang-undang hukum pidana itu terhenti sebelum terjadi kerugian yang sesuai dengan perumusan undang-undang. 8 B. Syarat Untuk Dapat Dipidananya Percobaan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer Ditinjau dari sudut kejahatan, pemberontakan militer baru dikatakan ada bilamana telah terjadi suatu perlawanan bersenjata oleh sejumlah anggota militer yang terorganisasi. Dibandingkan dengan yang ditentukan pada Pasal 66 ayat (2) ke-3 tersebut, maka sebenarnya perbuatan menyimpan alatalat dengan maksud mempersiapkan kejahatan tersebut merupakan percobaan, yang lebih cenderung pada ajaran percobaan subyektif. 7 Ibid 8 Satochid Kartanegara, Op. Cit, hal. 380 Tetapi Pasal 66 secara tegas telah menentukannya sebagai kejahatan yang berdiri sendiri dan diancam dengan pidana yang sama dengan pemberontakan militer itu sendiri. Ketentuan lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah beberapa ketentuan dalam KUHPM yang menegaskan bahwa permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan-kejahatan tertentu dipidana sebagai percobaan. Akan tetapi ketentuan-ketentuan dalam KUHPM dimaksud adalah menyimpang dari syarat-syarat untuk dapat dipidananya delik percobaan menurut Pasal 53 KUHP. Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan-kejahatan tertentu yang dipidana sebagai percobaan menurut KUHPM yang menyimpang dari syarat-syarat delik percobaan dalam KUHP adalah sebagai berikut: 1. Permufakatan jahat untuk melakukan pemberontakan militer ( Pasal 66 KUHPM ); 2. Permufakatan jahat untuk melakukan salah satu kejahatan dari kejahatan-kejahatan yang disebutkan dalam pasal-pasal 73-78 ( Pasal 79 KUHPM); 3. Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan yang disebutkan dalam Bab III tentang Kejahatan-kejahatan yang disebabkan karena anggota militer menghindarkan diri untuk memenuhi kewajiban dinasnya ( Pasal 94 KUHPM); 4. Permufakatan jahat untuk tidak taat ( Pasal 116 KUHPM ); 5. Permufakatan jahat untuk melakukan salah satu kejahatan dari kejahatan-kejahatan yang disebutkan dalam pasal-pasal 118-123 ( Pasal 125 KUHPM); dan 6. Permufakatan jahat untuk melakukan salah satu kejahatan dari kejahatan-kejahatan yang disebutkan dalam pasal-pasal 140-143 ( Pasal 144 KUHPM). Ketentuan-ketentuan permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan-kejahatan tertentu yang dipidana sebagai percobaan menurut KUHPM tersebut akan dibahas berikut ini. Ad.1. Permufakatan jahat untuk melakukan pemberontakan militer. Pasal 66 KUHPM menentukan: Permufakatan jahat untuk melakukan pemberontakan militer dihukum dengan hukuman yang sama seperti kejahatannya (ayat (1)); 139

Dihukum dengan hukman yang sama, anggota militer yang mempunyai maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pemberontakan militer: 1. Berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan, dapat memberikan bantuan pada waktu atau memberikan kesempatan, daya upaya atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut; 2. Beruaha mendapatkan kesempatan, ikhtiar-ikhtiar atau keteranganketerangan untuk melakukan kejahatan itu, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain; 3. Memiliki persediaan barang-barang yang diketahuinya, bahwa barang-barang itu disediakan untuk melakukan kejahatan tersebut; 4. Menyiapkan atau mempunyai rencanarencana untuk melaksanakan kejahatan itu, rencana mana diperuntukkan guna diberitahukan kepada orang lain; 5. Berusaha untuk mencegah merintangi atau menggagalkan sesuatu tindakan pemerintah yang diambilnya untuk mencegah atau menindas pelaksanaan kejahatan itu (ayat (2)). 9 Menurut ketentuan Pasal 53 KUHP, bahwa syarat untuk dapat dipidananya delik percobaan kalau ketiga unsur tersebut terpenuhi. Harus ada niat dari pelaku, ada permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya perbuatan bukan semata-mata dari kehendak pelaku (tidak ada pengunduran diri secara suka rela). Ketentuan tentang syarat untuk delik percobaan dalam KUHP disimpangi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 KUHPM. Artinya bahwa ketiga syarat untuk delik percobaan dalam KUHP tidak harus dipenuhi dalam penerapan Pasal 66 KUHPM. Dengan satu unsur saja, yaitu mufakat atau niat telah terpenuhi, maka seorang militer sudah dapat dihukum melakukan percobaan kejahatan, yaitu: sudah adanya niat atau permufakatan jahat untuk melakukan pemberontakan militer. Walaupun pemberontakan militer itu belum dilaksanakan maka bagi si pelaku diancam dengan pidana yang sama pada kejahatan tersebut. Pasal 66 ayat (2) KUHPM menegaskan bahwa: Dihukum dengan hukuman yang sama, anggota tentara yang mempunyai maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pemberontakan tentara. Kalimat untuk mempersiapkan atau mempermudah pemberontakan tentara: (tersebut 1-5) mempertegas bahwa walaupun belum ada unsur ke-2 yaitu perbuatan permulaan pelaksanaan dan baru merupakan perbuatan persiapan, pelaku sudah dapat dihukum melakukan percobaan. Ancaman pidana untuk suatu delik percobaan menurut ketentuan Pasal 53 ayat (2) KUHP yang menentukan Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga, juga disimpangi dalam KUHPM. Pasal 66 ayat (2) KUHPM mengancam pidana bagi percobaan dengan pidana yang sama pada kejahatan tersebut. Ad.2. Permufakatan jahat untuk melakukan salah satu kejahatan dari kejahatankejahatan yang disebutkan dalam pasal-pasal 73-78. Ketentuan Pasal 79 KUHPM menyatakan: Permufakatan jahat untuk melakukan salah satu kejahatan dari kejahatan-kejahatan yang disebutkan dalam pasal-pasal 73-78 dihukum dengan hukuman yang sama seperti percobaan untuk itu. 10 Kejahatan-kejahatan yang disebutkan dalam Pasal-pasal 73-78 KUHPM ditempatkan di bawah Bab II dengan judul Pelanggaranpelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban militer tanpa maksud untuk membantu musuh atau merugikan Negara bagi keuntungan musuh. Berdasarkan ketentuan Pasal 79 KUHPM tersebut, maka dengan tegas dinyatakan bahwa permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam Pasal-pasal 73 sampai dengan Pasal 78 KUHPM dihukum dengan hukuman yang sama seperti percobaan melakukan kejahatan pelanggaranpelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban militer tanpa maksud untuk membantu musuh 9 Karjadi, Op. Cit, hal. 19 20 10 Ibid 140

atau merugikan Negara bagi keuntungan musuh. Kalimat yang menyatakan dihukum dengan hukuman yang sama seperti percobaan untuk itu berarti bahwa maksimum hukuman yang akan diterapkan adalah maksimum pidana pokok yang diancamkan terhadap kejahatan yang disebutkan dalam Pasal-pasal 73-78 KUHPM, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga. Kalimat permufakatan jahat berarti unsur niat untuk melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam Pasal 73 sampai Pasal 78 KUHPM telah ternyata dari perbuatan pelaku. Tetapi unsur permulaan pelaksanaan dan unsur tidak selesainya perbuatan itu bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri belum terjadi. Oleh karena itu berpedoman pada ketentuan Pasal 53 KUHP tentang percobaan, maka dalam hal tersebut sebenarnya belumlah ada delik percobaan atau percobaan yang dapat dipidana. Ketiga unsur yang disyaratkan sebagai percobaan yang dapat dipidana oleh ketentuan Pasal 53 belum terpenuhi seluruhnya. Dapatlah dipahami bahwa KUHPM sebagai hukum pidana khusus telah mengatur dan menentukan secara menyimpang tentang syarat-syarat untuk dapat dipidananya delik percobaan yang diatur dan ditentukan dalam KUHP sebagai hukum pidana umum. Berlakulah asas Lex specialis derogate legi generali (ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan umum). Ketentuan Pasal 79 KUHPM secara tegas menentukan bahwa walaupun perbuatan pelaku kejahatan baru memenuhi satu unsur dari delik percobaan yang ditentukan dalam Pasal 53 KUHP, maka pelaku sudah dianggap telah melakukan percobaan yang dapat dipidana (delik percobaan). Ad. 3. Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan yang disebabkan karena anggota militer itu menghindarkan diri untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dinas. Pasal 94 KUHPM menentukan bahwa: Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan yang disebutkan dalam bab ini dihukum dengan hukuman yang sama seperti percobaan untuk itu. Yang dimaksudkan dengan kalimat dalam bab ini adalah Bab III tentang kejahatan yang menyebabkan anggota tentara menghindarkan diri untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dinasnya. Kejahatan-kejahatan yang diterangkan di dalam Bab ini adalah kejahatan-kejahatan tidak hadir dengan tidak sah dan disersi. Dalam kejahatan-kejahatan tersebut, anggota militer menghindarkan diri untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dinasnya dengan jalan tanpa ijin pergi atau pada umumnya tetap terus tidak hadir dari tempat atau tempat-tempat di mana seharusnya ia berada untuk memenuhi tugas kewajiban yang diserahkan kepadanya. Pada umumnya kejahatan-kejahatan itu semua dapat dikatakan kejahatan tidak hadir dengan tidak sah. 11 Ad.4. Permufakatan jahat untuk tidak taat. Pasal 116 KUHPM, menyatakan bahwa: (1) Permufakatan jahat untuk ketidaktaatan, perlawanan nyata bersama (muiterij) dan pengacauan militer (militer proer) diancam dengan pidana yang sama pada percobaannya. Semua bentuk petmufakatan jahat merupakan suatu tindak pidana. Dalam pasal ini lebih ditekankan lagi bahwa permufakatan jahat untuk ketidaktaatan, perlawanan nyata bersama dan pengacauan militer dianggap merupakan suatu kejahatan terlepas perbuatan itu dilakukan dengan sengaja atau tidak. Bagi para pelaku permufakatan jahat itu dianggap perbuatan itu telah dimulai atau telah adanya percobaan pelaksanaan perbuatan dari permufakatan jahat tersebut. Menurut Marjoto, bahwa: Permufakatan jahat dianggap telah ada, apabila dua orang atau lebih telah bermufakat untuk melakukan kejahatan itu. Yang diperlukan sekali dalam permufakatan jahat, yang pertama adalah suatu persesuaian pendapat atau suatu persetujuan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. 12 Permufakatan jahat untuk tidak taat ini diatur dalam Bab IV Buku II KUHPM tentang Kejahatan terhadap ketaatan. Kejahatan-kejahatan yang diterangkan dalam Bab ini termasuk bab yang sangat penting di dalam perundang-undangan hukum 11 Marjoto, Op. Cit, hal. 94 12 Marjoto, Op. Cit, hal. 155-156) 141

pidana militer. Di dalam kehidupan militer kejahatan-kejahatan terhadap ketaatan adalah kejahatan yang terberat. Ratio dari pada ketentuan-ketentuan yang diterangkan dalam bab ini ialah untuk melindungi para atasan, baik di dalam maupun di luar dinas terhadap serangan atau perlawanan dari pada bawahan dan menyelenggarakan adanya ketaatan yang mutlak dari bawahan terhadap atasan. 13 Selanjutnya ditentukan bahwa maksimum ancaman pidananya ialah sama dengan maksimum ancaman pidana terhadap percobaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 53 KUHP. 14 Hal tersebut berarti bahwa syarat untuk dapat dipidananya percobaan melakukan kejahatan permufakatan jahat untuk ketidaktaatan dan pengacauan militer telah ditentukan secara khusus. Dalam hal ini yaitu: cukup memenuhi syarat adanya niat permufakatan jahat, maka si pelaku sudah dapat dipidana karena percobaan melakukan kejahatan ketidaktaatan dan pengacauan militer. Jadi menyimpang terhadap syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 53 KUHP, kecuali mengenai ancaman pidananya. Ancaman pidananya mengikuti ketentuan Pasal 53 ayat (2) KUHP, yaitu: Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dalam hal percobaan dikurangi sepertiga. Ad.5. Permufakatan jahat untuk melakukan salah satu kejahatan dari kejahatankejahatan yang disebutkan dalam Pasal-pasal 118-123 KUHPM. Pasal 125 KUHPM menentukan bahwa: (1) Permufakatan jahat untuk melakukan salah satu kejahatan-kejahatan yang dirumuskan pada pasal-pasal 118 sampai dengan 123 diancam dengan pidana yang sama pada percobaannya. Sianturi (1985, Op. Cit.: 383), menyatakan bahwa: Maksimum ancaman pidana untuk permufakatan jahat ditentukan sama dengan percobaannya. Ketentuan ini berbeda dengan maksimum ancaman pidana yang ditentukan pada pasal 64 (KUHPM), dimana ditentukan sama dengan maksimum ancaman pidana pada kejahatannya itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa kejahatan-kejahatan tersebut alam Pasal 118-123 cukup berbahaya namun tidak sebahaya kejahatan tersebut pada Pasal 64, sehingga ancaman pidananya tidak perlu disamakan dengan kejahatannya itu sendiri. 15 Perlu kiranya diketahui bahwa kejahatankejahatan yang diatur dalam Pasal-pasal 118 sampai dengan 123 KUHPM adalah sebagai berikut: - Pasal 118 mengenai kejahatan terhadap tugas penjagaan dan pelanggarannya; - Pasal 119 mengenai kejahatan terhadap menarik diri dari suatu dinas yang berbahaya; - Pasal 120 mengenai kejahatan terhadap pelaksanaan suatu macam kewajiban dinas; - Pasal 121-122 mengenai kejahatan terhadap kewajiban menyampaikan suatu pemberitahuan jabatan; - Pasal 123 mengenai kejahatan terhadap menghalangi suatu tindakan dinas. Bahwa ketentuan Pasal 125 KUHPM tersebut telah jelas bahwa syarat untuk dapat dipidananya delik percobaan melakukan kejahatan-kejahatan tersebut pada Pasal 118 sampai dengan 123, cukup satu syarat saja yang dipenuhi, adalah: adanya niat/permufakatan jahat dari si pelaku. Adanya unsur niat dari pelaku saja sudah cukup untuk menghukum si pelaku. Berarti pula bahwa tiga unsur yang disyaratkan oleh ketentuan Pasal 53 KUHP untuk menghukum delik percobaan, disimpangi oleh KUHPM. Akan tetapi syarat ancaman pidana yang ditentukan dalam Pasal 53 ayat (2) KUHP, dianut oleh KUHPM, yakni: Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga. Ad.6. Permufakatan jahat untuk melakukan salah satu kejahatan dari kejahatankejahatan yang disebutkan dalam Pasal-pasal 140-143. Pasal 144 KUHPM menentukan bahwa: (1) Permufakatan jahat untuk melakukan salah satu kejahatan yang dirumuskan pada Pasal-pasal 140 sampai dengan 143, diancam dengan pidana yang sama dengan percobaannya. 13 Ibid. hal. 115 14 Ibid 15 S.R. Sianturi, Op. Cit, hal. 383 142

Adapun yang ditentukan dalam Pasal-pasal 140-143 KUHPM, sebagai berikut: - Pasal 140, mengatur tentang pencurian dengan menyalahgunakan kesempatan; - Pasal 141, mengatur tentang pencurian pada suatu tempat yang dijaganya; - Pasal 142, mengatur tentang perampokan; dan - Pasal 143, mengatur tentang pefcurian dari atau terhadap orang mati. Dalam hubungannya dengan permufakatan jahat pada pasal ini menentukan bahwa apabila terjadi permufakatan terhadap kejahatankejahatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 sampai dengan Pasal 143, terhadap adanya permufakatan jahat itu saja walaupun belum ada realisasi tentang maksud permufakatan jahat itu, para pelaku tersebut sudah dianggap telah melaksanakan maksud permufakatan jahat itu, namun pelaksanaannya gagal. Atau dengan perkataan lain, permufakatan itu telah dicoba untuk dilaksanakan, maka ancaman hukumannya sama dengan percobaan melakukan kejahatan sebagaimana dimaksud dalam permufakatan jahat tersebut. Jelaslah bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 144 KUHPM, maka adanya permufakatan jahat saja atau adanya niat saja sudah cukup untuk menghukum si pelaku terhadap kejahatankejahatan yang tersebut pada Pasal 140 sampai dengan Pasal 143 KUHPM. Hal tersebut berarti bahwa sebagai hukum pidana khusus, KUHPM telah menyimpang dari ketentuan Pasal 53 KUHP tentang syarat-syarat untuk dapat dipidananya delik percobaan. Sedangkan tentang ancaman pidananya KUHPM mengikuti ketentuan yang ditentukan dalam Pasal 53 ayat (2) KUHP, yaitu: Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga. Demikianlah pembahasan tentang syaratsyarat untuk dapat dipidananya delik percobaan menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana Mliter. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), syarat-syarat untuk dapat dipidananya delik percobaan, haruslah dipenuhi unsur-unsur berikut: Adanya niat untuk melakukan kejahatan; Niat tersebut telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan untuk melakukan kejahatan; dan Tidak adanya pengunduran diri secara sukarela atau tidak selesainya pelaksanaan kejahatan bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. 2. Syarat-syarat untuk dapat dipidananya delik percobaan menurut Kitab Undangundang Hukum Pidana Militer (KUHPM) pada dasarnya mengikuti atau menganut syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 53 KUHP. Prinsip tersebut sesuai dengan amanat dari ketentuan Pasal 103 KUHP. Akan tetapi dalam delik-delik tertentu, yaitu delik-delik yang ditentukan dalam Pasal-pasal 66 ayat (2), 79, 94, 116, 125, 144 KUHPM, KUHPM telah menentukan secara khusus tentang syarat untuk dapat dipidananya delik percobaan yaitu dengan adanya unsur niat/permufakatan jahat saja, pelaku sudah dapat dipidana. B. Saran 1. Bahwa KUHP Nasional di masa yang akan datang perlu kiranya mengadakan penafsiran secara otentik tentang kata percobaan untuk menghindari adanya penafsiran yang berbeda dalam penerapan pada praktek peradilan pidana. Pengaturan tentang delik percobaan perlu untuk dipertahankan dalam KUHP yang baru di masa yang akan datang. Walaupun deliknya tidak selesai dilakukan oleh si pelaku tetapi delik percobaan sudah sangat membahayakan kepentingan hukum. 2. Pembuat Undang-undang telah menjadikan pengunduran diri secara tidak suka rela atau tidak selesainya pelaksanaan perbuatan tidak sematamata disebabkan karena kehendaknya sendiri sebagai bagian khusus dari delik percobaan yang dapat dipidana. Karena itu dalam praktek peradilan, Penuntut umum harus menyebutkan unsur tersebut dalam surat dakwaan, untuk membuktikan bahwa antara pelaku dan tidak selesainya pelaksanaan kejahatan tidak ada hubungan kerja sama. Tidak ada kerja sama suka rela dari pelaku 143

untuk menghalangi apa yang akan terjadi. DAFTAR PUSTAKA Abdulkadir, Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Fakultas Hukum, 2010, Hukum Pidana, Bahan Ajar Pada Uniersitas Sam Ratulangi, Manado. Hamzah, Andi, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit PT. Rineka Cipta, Jakarta. Kansil, C. S. T., dan Kansil, Christine, S. T., 2007, Pokok-pokok Hukum Pidana, Hukum Pidana Untuk Tiap Orang, Pradnya Paramita, Jakarta. Karjadi, M., 1979, Himpunan Undang-undang Hukum Militer KUHPT, KUHDT, PDT, dan HAPT, Polieia, Bogor. Kartanegara, Satochid, Tanpa Tahun, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah dan Pendapat-pendapat Para Ahli Hukum Terkemuka, Penerbit Balai Lektur Mahasiswa. Lamintang, P. A. F., 1990, Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Baru, Bandung. -----------------------, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Marjoto, 1958, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara (KUHPT) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor. Moeljatno, 2008, Asas Asas-Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Poernomo Bambang, 1978, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta. Poerwadarminta, 1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Diolah Kembali Oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, PN. Balai Pustaka, Jakarta. Salam Moh. Faisal, 2006, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, Schaffmeister, at.al., 1995, Hukum Pidana, Editor Penerjemah J. E. Sahetapi, Konsorsium Ilmu HUkum Departemen P & K, Liberty, Yogyakarta. Sianturi S.R., 1985, Hukum Pidana Militer Di Indonesia, Alumni AHAEM- PETEHAEM, Jakarta. -----------------------, 1989, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Penerbit Alumni AHAEM-PETEHAEM, Jakarta. Soerjono, Soekanto, 1986, Pengantar Penelitan Hukum, Penerbit UI Press, Jakarta. Soerodibroto, Soenarto, 2000, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Utrecht E., 1962, Hukum Pidana I, Penerbit Universitas Bandung, Bandung. Van Bemmelen, J. M., 1984, Hukum Pidana I, Hukum Pidana Material Bagian Umum, Terjemahan Hasnan, Bina Cipta Jakarta. Van Schravendijk, H. J., 1956, Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia, Penerbit J. B. Wolters, Jakarta, Groningen. 144