label 1. Karakteristik Sensor Landsat TM (Sulastri, 2002) 2.3. Pantai

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG BATAS SEMPADAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

I. PENDAHULUAN. Menurut Mahi (2001 a), sampai saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang

DINAMIKA PANTAI (Geologi, Geomorfologi dan Oseanografi Kawasan Pesisir)

BAB I PENDAHULUAN. Pesisir merupakan daratan pinggir laut yang berbatasan langsung dengan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap garam (Kusman a et al, 2003). Hutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

HIDROSFER V. Tujuan Pembelajaran

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

By. Lili Somantri, S.Pd.M.Si

KARAKTERISTIK PANTAI GUGUSAN PULAU PARI. Hadiwijaya L. Salim dan Ahmad *) ABSTRAK

ISTILAH DI NEGARA LAIN

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

IDENTIFIKASI POTENSI DAN PEMETAAN SUMBERDAYA PULAU-PULAU KECIL

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH PESISIR UNTUK BUDIDAYA DENGAN MEMANFAATAN CITRA SATELIT DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI SEBAGIAN BALI SELATAN

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

5 PEMBAHASAN. Landsat (citra sejenis)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

TINJAUAN PUSTAKA. Terdapat beberapa penelitian dan kajian mengenai banjir pasang. Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati;

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEMANTAUAN GARIS PANTAI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT. oleh. Bambang Hermanto 1 ) ABSTRACT

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

INVENTARISASI DAN PREDIKSI DINAMIKA KAWASAN PESISIR SEGARA ANAKAN MENGGUNAKAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH

BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain, yaitu masing-masing wilayah masih dipengaruhi oleh aktivitas

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

Pemantauan perubahan profil pantai akibat

Praktikum m.k Sedimentologi Hari / Tanggal : PRAKTIKUM-3 ANALISIS SAMPEL SEDIMEN. Oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.1.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. seperti tercantum dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 di dalam

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

Teori Pembentukan Permukaan Bumi Oleh Faktor Eksogen. Oleh : Upi Supriatna, S.Pd

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

TINJAUAN PUSTAKA. Status administrasi dan wilayah secara administrasi lokasi penelitian

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

Kajian Hidro-Oseanografi untuk Deteksi Proses-Proses Dinamika Pantai (Abrasi dan Sedimentasi)

BAB I PENDAHULUAN. dapat dimanfaatkan secara tepat tergantung peruntukkannya. perkembangan yang sangat pesat. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh

19 Oktober Ema Umilia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 10. PELESTARIAN LINGKUNGANLatihan soal 10.4

BAB III GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 3.1 Kabupaten Gunungkidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN MARGINAL KAWASAN PESISIR

BAB I PENDAHLUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah

Pemetaan Perubahan Garis Pantai Menggunakan Citra Penginderaan Jauh di Pulau Batam

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pesisir Pantai. merupakan daerah yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

Transkripsi:

H. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh didefmisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Sistem penginderaan jauh terdiri dari lima komponen dasar, yaitu sumber tenaga, atmosfer, interaksi antara tenaga dengan benda di muka bumi, sensor, dan sistem pengolahan data dan berbagai penggunaannya. Kemajuan teknologi penginderaan jauh dalam hal resolusi temporal, resolusi spektral, dan resolusi spasial, menyebabkan citra satelit dapat digunakan sebagai informasi dasar pada survey dan pemetaan penggunaan lahan. Penginderaan jauh dapat diterapkan untuk menyediakan mformasi mengenai liputan lahan melalui interpretasi dari kenampakan objek-objek pada citra. Sutanto (1994) menyatakan bahwa berdasarkan jenis sensor yang dibawa, satelit penginderaan jauh digolongkan menjadi dua, yaitu: 1. Satelit pasif, yaitu satelit yang membawa sensor pasif. Satelit ini hanya menangkap gelombang yang dipancarkan oleh suatu objek dari permukaan bumi. Contoh satelit pasif antara lain: Landsat, NOAA, Ikonos, SPOT, dan Iain-lain. 2. Satelit aktif, yaitu satelit yang membawa sensor aktif. Sensor yang ada pada satelit memancarkan gelombang mikro, gelombang mikro tersebut diterima sekaligus dipantulkan kembali oleh objek di permukaan bumi. Gelombang pantul ini yang kemudian diterima oleh sensor satelit. Contoh satelit aktif antara lain: JERS, ERS, Radarsat, dan Iain-lain. 2.2. Citra Satelit Landsat Satelit Landsat TM merupakan satelit multispektral, yaitu dalam sekali perekaman mampu menghasilkan citra dalam beberapa band sekaligus. Landsat TM memiliki 7 band, setiap band memiliki karakteristik berbeda-beda dalam memvisualisasikan kenampakan objek di permukaan bumi sesuai dengan panjang

gelombang yang digunakan. Sensor Landsat TM merupakan sensor pasif yang menggunakan matahari sebagai sumber energi utama. Energi matahari yang mengenai objek di permukaan bumi akan dipantulkan kembali dan pantulan tersebut yang direkam oleh sensor satelit. label 1. Karakteristik Sensor Landsat TM (Sulastri, 2002) Band 1 2 3 4 5 6 7 Panjang Gelombang (Mm) 0,45-0,52 0,52-0,60 0,63-0,69 0,70-0,90 1,55-1,75 10,40-12,50 2,08-2,35 Warna Biru Hijau Merah dekat tengah termal tengah Resolusi (m) 120x120 Aplikasi Untuk memetakan daerah pesisir, membedakan jenis vegetasi dan tanah, tipe hutan, dan mengidentifikasi hasil budidaya Mengidentifikasi tingkat pertumbuhan vegetasi, mengukur nilai pantulan spektrum hijau (klorofil), dan memperkirakan sedimentasi serta kekeruhan air Dapat melihat daerah yang menyerap klorofil, dan pendugaan jenis tumbuhan berdasarkan penyerapan sinar oleh klorofil Dapat membedakan objek air dan bukan air, kelembaban lahan, dan area banjir. Membedakan awan dengan salju, mengidentifikasi kelembaban tumbuhan dan lahan Pemetaan hidrotermal, dan penentuan lokasi geothermal. Untuk menganalisis tumbuhan berdasarkan tingkat kelembabannya, dan menentukan jenis tanah serta batuan 2.3. Pantai Pengertian tentang perairan pantai atau secara singkat disebut sebagai pantai sangat beragam, tergantung pada latar belakang profesi dari para pembahasnya. Definisi yang dipakai oleh para ahli kelautan, ekonomi, politisi, militer, atau peiayaran, tentang pantai berbeda antara satu dengan lainnya. Salah satu definisi yang sering dipakai untuk pantai adalah wilayah pantai, yang mencakup wilayah air dan daratannya. Definisi tersebut telah dirumuskan 20 tahun yang lalu oleh para pakar kelautan Indonesia pada waktu itu dan definisi itu masih cocok untuk dipakai hingga kini. Definisi tersebut dirumuskan pada suatu lokakarya yang diprakarsai oleh

LON-LIPI (sekarang Puslitbang Oseanologi - LIPI) pada tahun 1976, yang berbunyi sebagai berikut: Wilayah pantai adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pantai meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat lauf seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedang ke arah laut wilayah pantai merlcakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darafan seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Estuaria didefmisikan oleh Cameron dan Pritchard pada tahun 1963 yang dalam bahasa aslinya berbunyi sebagai berikut (Dyer 1979 dalam Pariwono, 1997): An estuary is a semi-enclosed coastal body of water which has a free connexion with the open sea and within which sea water is measurably diluted with fresh wafer derived from land drainage. Dari kedua definisi tersebut di atas dapat disebutkan bahwa estuaria adalah bagian dari perairan. Estuaria sendiri terbentuk antara laut dan darat di suatu wilayah yang sempit dibandingkan dengan luas pantai. Karena bentuk dan areal estuaria selalu berubah karena erosi, sedimentasi, dan perubahan tinggi muka laut, maka daur hidup dari suatu estuaria sering dikatakan relatif pendek. Wilayah pantai, seperti juga wilayah-wilayah lain di bumi, terbentuk oleh berbagai proses geologi yaitu proses endogen yang diprakarsai oleh proses yang terjadi dari dalam bumi, dan proses eksogen yang dimotori oleh kegiatan dari luar bumi. Proses endogen bermula dari gerak-gerak dari dalam bumi seperti gempa bumi, letusan gunung api; proses tersebut membentuk benua, lautan, deretan

pegunungan, dan sebagainya. Proses eksogen diprakarsai oleh pancaran sinar matahari, kegiatan atmosflr tanah, erosi oleh air, angin atau es, transpor sedimen, dan sedimentasi di berbagai tempat. Wilayah pantai merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan lautan. Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat proses endogen dan eksogen akan dapat terlihat pada wilayah tersebut, baik perubahan dari geomorfologi, proses-proses erosi dan sedimentasi, jenis tanah dan batuan sedimen yang terbentuk, kondisi hidrogeologi, berbagai proses bencana alam, dan perubahan ekosistem maupun lingkungan manusia (Sampurno, 2001). 2.3.1. Tipe dan Jenis Pantai Pantai merupakan kawasan yang selalu berubah disebabkan terutama oleh proses pengendapan (sedimentasi) atau pengikisan (abrasi) di pantai dan transportasi sedimen dari suatu tempat ke tempat lainnya. Perilaku pantai tersebut sangat erat kaitannya dengan parameter oseanografi, seperti gelombang, arus pantai, pasang surut, maupun angin. Tipe-tipe pantai yang umum ditemui menurut (Pariwono, 1997) adalah : Pantai berbatu. Pantai ini terbentuk dari batu granit dari berbagai ukuran tempat ombak memecah. Umumnya pantai berbatu terdapat bersamasama atau berseling dengan pantai berdinding batu. Kawasan ini paling padat makro-'organismenya, dan mempunyai keragaman fauna maupun flora yang paling besar. Tipe pantai ini banyak ditemui di selatan Jawa, Nusa Tenggara, dan Maluku. Panfai berpasir. Pantai ini dapat ditemui di daerah yang jauh dari pengaruh sungai besar, atau di pulau kecil terpencil. Makroorganisme yang hidup disini tidak sepadat di kawasan pantai berbatu, dan karena kondisi lingkungannya organisme yang ada cenderung menguburkan

dirinya ke dalam substrat. Kawasan ini lebih banyak dimanfaatkan manusia untuk berbagai aktivitas rekreasi. Pantai berlumpur. Perbedaan antara tipe pantai ini dengan tipe pantai sebelumnya terletak pada ukuran butiran substratnya. Tipe pantai berlumpur mempunyai ukuran butiran yang paling halus. Pantai berlumpur terbentuk di sekitar muara-muara sungai, dan umumnya berasosiasi dengan estuaria. Tebal endapan lumpurnya dapat mencapai 1 meter atau lebih. Pada pantai berlumpur yang amat lembek sedikit fauna maupun flora yang hidup disana. Perbedaan lain adalah gelombang yang tiba di pantai. Di pantai berlumpur aktivitas gelombang sangat kecil, sedangkan pada pantai berpasir kebalikannya yang terjadi. Pantai berkarang. Pantai jenis ini terbentuk dari rumah/cangkang yang dibangun oleh hewan laut jenis Acropora, Fungia, dan Porites (semua termasuk filum Coelenterata), maupun oleh tumbuhan laut seperti Halimeda dan Lithothamnion. Koloni terumbu karang (coral reef) ini merupakan ekosistem khas daerah tropis, yang barkembang di perairan jernih, cukup cahaya surya, suhu air antara 20-30 C, salinitas antara 32-40 loo, arus kaya akan zat hara, ombak cukup besar, dan bersubstrat dasar tertentu. Terumbu karang dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu: (1) Atol, terumbu karang berbentuk cincin yang muncul dari perairan dalam, jauh dari daratan. (2) Terumbu Penghalang (Barrier Reef), yang terbentuk dari susunan-susunan karang kuat, dan terletak relatif agak jauh dengan daratan. (3) Terumbu Tepi (Fringing Reef), mirip dengan terumbu penghalang, hanya jarak terumbu tepi ke daratan lebih kecil dibanding dengan terumbu

penghalang. Koloni terumbu karang tersebar di perairan pantai barat Sumatera, pantai NTB dan NTT, Maluku dan Sulawesi Utara. Bentuk-bentuk pantai ada berbagai macam sebagai akibat dari berbagai proses geologi yang membentuknya dan batuan serta struktur geologi yang mengendalikannya. Ada pantai yang berbentuk dataran yang landai baik yang sempit maupun yang lebar, atau pantai yang bertebing terjal dan berbatu-batu, dan berteluk-teluk. Berikut ini beberapa ulasan mengenai hal tersebut. 2.4. Abrasi Berdasarkan Kamus Oseanografi (Setiyono, 1996), abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Abrasi biasanya disebut juga erosi pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi ini dipacu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut. Perubahan keseimbangan alam seiring dengan tuntutan kebutuhan manusia tentunya. Karena sebenarnya abrasi ini pada kondisi alami masih dikatakan terkendali. Proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang dan arus laut yang bersifat merusak ini disebabkan oleh berbagai faktor dan tidak sama untuk daerah yang berbeda. Adapun perubahan keseimbangan lokal yang dominan memacu tingkat pengikisan pantai salah satunya adalah semakin terbukanya alur sepanjang pinggir pantai dengan hilangnya pemecah gelombang (breaker). Sehingga energi dari gelombang dan arus laut langsung menerjang pinggiran pantai secara penuh. Seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang dikuasai hingga saat ini, perlu dicarikan alternatif untuk menggantikan pemecah gelombang yang hilang atau telah semakin berkurang tadi. Tentunya dengan mempertimbangkan berbagai aspek, misal seberapa besar kemampuannya mengurangi energi dari gelombang dan arus laut serta seberapa lama keberlanjutannya.

10 Secara alami, mulai dari terumbu karang, padang lamun hingga hutan mangrove memiliki fungsi mengurangi energi gelombang dan arus laut. Sedangkan pembangunan tembok atau tonggak beton sepanjang garis pantai juga merupakan usaha buatan manusia untuk mengurangi abrasi tersebut.