BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja menurut Mappiare (1982), berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria (Ali & Asrori, 2009). Menurut Hall dalam Santrock (2007) masa remaja dianggap sebagai masa yang sulit secara emosional. Segolongan orang menganggap remaja sebagai sekelompok individu yang sering melakukan pelanggaran, menyusahkan orang tua maupun orang lain disekitarnya (Rumini & Sundari, 2004). Hal ini dibuktikan dengan fenomena yang sangat memprihatinkan di kalangan remaja; seperti suka bergerombol, memberontak orang tua dan guru, melakukan penyimpangan seksual, mengkonsumsi miras dan narkoba, dan sebagainya (Al-Mighwar, 2006). Selain itu sering kita dengar seorang murid menyakiti guru dengan perkataan bahkan disakiti secara fisik oleh muridnya karena tidak lulus (Al-Bukhori, 2006). Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para pelajar dewasa ini sudah sangat memprihatinkan. Beberapa media massa memberitakan mengenai berbagai bentuk tindak kekerasan pelajar yang bersifat fisik, misalnya perkelahian antar pelajar (tawuran), pembunuhan, penodongan, perusakan sekolah, pemerasan dan penganiayaan terhadap sesama pelajar sendiri (Abidin, Djunaidi & Utomo, 2003). Masa remaja seringkali dikenal dengan fase mencari jati diri atau fase topan dan badai (Ali & Asrori, 2009). Ini terjadi karena masa remaja merupakan peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa. Oleh karena itu, ada sejumlah sikap atau karakteristik umum yang sering ditunjukkan oleh remaja seperti kegelisahan, kebingungan, terjadi
2 suatu pertentangan, keinginan untuk mengkhayal, dan aktivitas berkelompok (Ali & Asrori, 2009). Sebagai individu yang sedang mencari jati diri, remaja berada pada situasi psikologis antara ingin melepaskan diri dari orang tua dan perasaan masih belum mampu untuk mandiri. Oleh karena itu, pada umumnya remaja sering mengalami kebingungan karena sering terjadi pertentangan pendapat antara mereka dengan orang tua (Ali & Asrori, 2009). Kegagalan remaja dalam mengembangkan rasa identitas dirinya (krisis identitas) akan mengakibatkan terganggunya proses perkembangan remaja yang sehat (Syamsu, 2004). Dampaknya, mereka mungkin akan mengembangkan sifat-sifat negative yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain seperti perilaku yang menyimpang (delinquent), membolos, berbohong, melakukan kriminalitas (seperti mencuri, menipu, merusak, berkelahi, dan melanggar kesusilaan) atau menutup diri dari masyarakat (Sujanto, 1996). Berbagai peristiwa yang berhubungan dengan masalah remaja sebagai akibat ulah dan perilakunya telah banyak menarik perhatian dari berbagai kalangan, baik orang tua, masyarakat, pemerintah, ahli psikologi maupun ilmuwan-ilmuwan sosial, karena adanya gejala peningkatan perilaku agresif, terutama yang terjadi di kalangan remaja. Maraknya perselisihan, perkelahian/ tawuran antar pelajar yang tidak jarang menimbulkan korban jiwa dari mereka merupakan bentuk nyata dari agresifitas yang dilakukan oleh remaja (www. DEPDIKNAS.co.id.). Data kepolisian Polda Metro Jaya 2000 menunjukkan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para pelajar setiap tahun mengalami peningkatan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Jenis kekerasan yang dilakukan oleh mereka cukup bervariasi, mulai dari pencurian, tawuran, perkelahian, penganiayaan, sampai pembunuhan. Dari data tersebut diperoleh informasi bahwa banyak kasus kekerasan pelajar terutama dilakukan oleh pelajar Sekolah Teknik Menengah (STM), atau sekarang disebut Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) (Mansoer, 2000; Sheila, 2001). Dalam banyak
3 kasus kekerasan pelajar, siswa SMK (STM) paling banyak terlibat tawuran, dibandingkan dengan siswa Sekolah Menengah Umum (SMU). Untuk kasus tawuran saja misalnya dari tahun 1995-1999. telah terjadi ratusan kasus, dan 432 kasus dilakukan oleh siswa STM, sedangkan 218 kasus dilakukan oleh siswa SMU. Padahal, menurut data Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) jumlah STM di Jakarta jauh lebih sedikit daripada jumlah SMU (Abidin, Djunaidi & Utomo, 2003). Secara teoritis lebih besarnya kasus tawuran yang dilakukan oleh siswa STM dibandingkan siswa SMU bisa dimengerti, karena mayoritas siswa SMK (STM) adalah pria, sedangkan jumlah pria dan wanita di SMU cukup seimbang. Beberapa penelitian mengenai agresif menunjukkan bahwa pria secara fisik lebih agresif dibandingkan wanita, meskipun secara verbal wanita lebih agresif daripada pria (Harris, 1995). Dengan demikian, bisa dimengerti bahwa karena pelajar STM sebagian besar adalah pria, mereka lebih agresif daripada pelajar SMU (Abidin, Djunaidi & Utomo, 2003). Agresif menurut Moore dan Fine (dalam Koeswara, 1998) adalah tingkah laku kekerasan secara fisik ataupun secara verbal terhadap individu lain atau objek-objek lain. Menurut Abidin (2005) agresif mempunyai beberapa karakteristik. Karakteristik yang pertama, agresif merupakan tingkah laku yang bersifat membahayakan, menyakitkan dan melukai orang lain. Karakteristik yang kedua, agresif merupakan suatu tingkah laku yang dilakukan seseorang dengan maksud untuk melukai, menyakiti, dan membahayakan orang lain atau dengan kata lain dilakukan dengan sengaja. Karakteristik yang ketiga, agresif tidak hanya dilakukan untuk melukai korban secara fisik, tetapi juga secara psikis (psikologi); misalnya kegiatan yang menghina atau menyalahkan. Menurut Stuart & Sundeen (1991), faktor penyebab remaja berperilaku agresif terdiri dari faktor predisposisi (neurobiologi, psikologis, sosial budaya, situasional dan spiritual), sedangkan faktor presipitasi perilaku agresif adalah faktor yang berasal dari diri klien sendiri (internal) dan faktor yang berasal dari lingkungan (eksternal).
4 Perilaku agresif pada remaja dapat diminimalkan dengan beberapa cara diantaranya seperti untuk pelajar sendiri perlu mengisi waktu luangnya dengan kegiatan yang lebih bermanfaat (misal: kursus, berolahraga, mengikuti kegiatan ekstrakulikuler, dan lain-lain). Lingkungan keluarga perlu memberi kebebasan yang bertanggung jawab, menghargai jika anak berbuat baik atau mencapai prestasi tertentu, menciptakan suasana yang hangat dan bersahabat, orang tua memberi contoh yang baik dengan tidak menunjukkan perilaku agresif, seperti: memukul, menghina dan mencemooh; memperkuat kehidupan beragama, melakukan pembatasan dalam menonton adegan film kekerasan, menciptakan suasana demokratis dalam keluarga. Di sekolah menyelenggarakan kurikulum pendidikan yang bisa mengembangkan secara seimbang tiga potensi, yaitu berfikir, berestetika, dan berkeyakinan kepada Tuhan, pendirian suatu sekolah baru perlu dipersyaratkan adanya ruang untuk kegiatan olahraga, karena tempat tersebut perlu untuk penyaluran agresifitas remaja. Sekolah Tinggi Maritim dan Transportasi STIMART AMNI adalah sebuah Perguruan Tinggi Swasta di bidang Maritim dan Transportasi, dimana disiplin militer sangat kental diterapkan. Pola kakak asuh pun diterapkan, sehingga jika ada junior atau adik asuh yang tidak disiplin maka kakak asuh tanpa segan memberikan hukuman push-up atau scot jump. Hukuman fisik acapkali diberlakukan disini, tetapi tidak ada sentuhan fisik antara kakak asuh dengan adik asuhnya pada saat menghukum. Berdasarkan informasi yang peneliti peroleh dari Polsek Pedurungan, diperoleh informasi bahwa pada tanggal 14 agustus 2009 bertempat di depan kampus AMNI Jl. Soekarno Hatta No. 180 telah terjadi tawuran antara mahasiswa STIMART AMNI dengan mahasiswa Politeknik Institut Pelayaran (PIP). Selain itu, pada tanggal 22 januari 2010 berlokasi di kampus AMNI terjadi penganiayaan oleh senior kepada juniornya hanya karena senior merasa tersinggung tidak dihargai oleh junior tersebut. Dengan mempertimbangkan sistem pendidikan serta disiplin yang semimiliter atau ala militer yang diterapkan di STIMART AMNI dan
5 beberapa kasus yang terjadi di STIMART AMNI maka peneliti berminat untuk melakukan penelitian di STIMART AMNI untuk mengetahui apakah disiplin yang semimiliter ini berpengaruh pada perilaku agresif mahasiswa STIMART AMNI. Penelitian yang akan dilakukan ini penting dalam rangka usaha untuk memberikan pegangan bagi orang tua, pertama untuk mencapai pengertian yang lebih baik tentang masa ini; kedua untuk mengenali tanda-tanda yang menunjukkan bahwa anak mereka akan atau sedang menghadapi masalahmasalah yang perlu penanganan yang lebih intensif; dan akhirnya apabila anak mereka telah ditengah-tengah kesusahan, bagaimana mereka dapat membantu. Bagi sekolah, untuk memaksimalkan peran guru sebagai pembimbing dan pendidik yang profesional dalam menghadapi berbagai kemelut yang terjadi pada setiap pribadi siswa serta membuat suatu program kerja secara kontinyu dalam pembinaan siswa agar kondisi anak terpantau. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti berasumsi bahwa perilaku agresif pada remaja bukan hanya secara fisik akan tetapi juga secara verbal. Perilaku agresif secara fisik lebih didominasi oleh pelajar pria dan agresif verbal biasanya didominasi oleh pelajar wanita. STIMART AMNI adalah suatu Universitas Swasta di Semarang, yang mayoritas mahasiswanya adalah pria dan menerapkan sistem pendidikan disiplin yang semi militer sehingga peneliti juga berasumsi bahwa dengan sistem pendidikan yang semi militer ini merupakan salah satu faktor yang bisa meningkatkan perilaku agresif. Berdasarkan asumsi-asumsi dari peneliti, maka masalah yang muncul dalam penelitian ini adalah Apa saja faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku agresif remaja pada mahasiswa di STIMART AMNI, Semarang, Jawa Tengah.
6 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku agresif remaja pada mahasiswa di STIMART AMNI, Semarang, Jawa Tengah. 2. Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan faktor keluarga, masyarakat, sekolah dan teman sebaya pada perilaku agresif. b. Mendeskripsikan perilaku agresif pada remaja. c. Menganalisis hubungan antara faktor keluarga dengan perilaku agresif remaja pada mahasiswa di STIMART AMNI, Semarang, Jawa Tengah. d. Menganalisis hubungan antara faktor masyarakat dengan perilaku agresif remaja pada mahasiswa di STMART AMNI, Semarang, Jawa Tengah. e. Menganalisis hubungan antara faktor sekolah/pendidikan dengan perilaku agresif remaja pada mahasiswa di STIMART AMNI, Semarang, Jawa Tengah. f. Menganalisis hubungan antara faktor teman sebaya dengan perilaku agresif remaja pada mahasiswa di STIMART AMNI, Semarang, Jawa Tengah. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Memberikan dan memperdalam pemahaman mengenai pentingnya perhatian yang optimal terhadap proses perkembangan remaja. 2. Bagi Institusi Tinggi Ilmu Keperawatan Memberikan gambaran dan informasi pada mahasiswa tentang kondisi masyarakat, khususnya remaja. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai
7 dasar bagi penelitian selanjutnya dalam usaha pengembangan ilmu keperawatan, baik keperawatan jiwa, maupun keperawatan komunitas, terutama pada remaja. Dengan menggunakan metodologi keperawatan maka perawat komunitas dapat mengkaji lebih dini tanda-tanda atau gejala dimana anak teridentifikasi berperilaku agresif kemudian dari tanda-tanda tersebut perawat komunitas dapat menyimpulkan diagnosa baik aktual ataupun resiko. Sehingga dapat dilakukan rencana tindakan untuk mengatasi atau upaya dalam pencegahannya, serta perawat komunitas dapat mengimplementasikan intervensi-intervensi yang telah disusun dengan baik kemudian mengevaluasi implementasi dari intervensi yang telah dilakukan. 3. Bagi Sekolah Memberi masukan dalam penetapan kebijakan sekolah dengan dukungan yang supportif terhadap proses perkembangan remaja (peserta didik) yang optimal dan sehat. 4. Bagi Masyarakat Sebagai upaya dalam penanggulangan dan pencegahan masalah remaja demi keamanan, ketentraman dan kedamaian di kehidupan masyarakat.