BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Penelitian ini memperkenalkan beberapa istilah untuk menyebutkan orang dengan disabilitas yang seringkali dipakai kalangan publik atau institusi pemerintah lainnya. Istilah yang umumnya dikenal yaitu difabel, anak berkebutuhan khusus dan penyandang cacat. Difabel meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Difabel mengalami masalah pada penurunan fungsi tubuh atau struktur dan keterbatasan kegiatan, hal tersebut menjadi kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan. Sementara pembatasan partisipasi adalah masalah yang dialami oleh individu dalam keterlibatan di lingkungan sosial (World Health Organization, 2013). Menurut Dinas Pendidikan, anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya, tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Menurut Undangundang No. 4 tahun 1997 (pasal 1 ayat 1), penyandang cacat adalah setiap orang yang mengalami kelainan fisik dan mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Namun istilah penyandang cacat seakan subyek hukum yang dipandang kurang diberdayakan. Istilah Cacat berkonotasi sesuatu yang negatif. Kata penyandang memberikan predikat kepada seseorang dengan tanda atau label negatif yaitu cacat pada keseluruhan pribadinya. Namun kenyataan bisa saja seseorang penyandang disabilitas hanya mempunyai kekurangan fisik tertentu, 1
2 bukan disabilitas secara keseluruhan. Untuk itu istilah "cacat" dirubah menjadi "disabilitas" yang mempunyai pengertian suatu keterbatasan atau kehilangan kemampuan sebagai akibat dari suatu kelemahan untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal bagi seorang manusia (Tarsidi, 2009). Menurut UU no. 19 tahun 2011, penyandang disabilitas mempunyai hak asasi manusia yang merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng sehingga itu harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan, sehingga perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan khususnya penyandang disabilitas perlu ditingkatkan. Seperti yang telah dijelaskan di atas, disabilitas memiliki hak sebagaimana orang normal lainnya, antara lain hak untuk menempuh pendidikan. Sekolah khusus yang diperuntukkan bagi disabilitas dikenal dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Salah satu kategori SLB, yaitu SLB-A: sekolah untuk anak disabilitas netra (gangguan penglihatan). SLB merupakan sekolah khusus yang sudah berstandar nasional jadi karakteristik populasinya sama mulai dari kebijakan, sebaran umurnya hampir sama dan kurikulum sekolah, berbeda dengan yayasan yang didirikan perseorangan. Disabilitas netra adalah kondisi seseorang yang mengalami keterbatasan penglihatan (Somantri, 2007). Anak disabilitas netra mengalami keterbatasan dalam hal penerimaan informasi. Kondisi ini normal, informasi diperoleh dari indera penglihatan, sedangkan pada disabilitas netra informasi diterima melalui indera lain, antara lain indera penciuman, peraba, dan perasa. Selain itu juga
3 masih terbatasnya media informasi untuk remaja disabilitas netra. Hal itu menyebabkan anak dengan disabilitas netra kesulitan mengakses atau mendapat sumber informasi. Anak atau remaja dengan disabilitasnetra memiliki sikap tidak berdaya, sifat ketergantungan, tingkat kemampuan rendah dalam hal orientasi waktu, resisten terhadap perubahan, cenderung kaku dan cepat menarik tangan saat bersalaman, serta mudah mengalami kebingungan saat berada di lingkungan baru yang tidak familiar (Somantri, 2007). Disabilitas ini juga mengalami masa pubertas, salah satu tanda masa pubertas pada wanita yaitu menstruasi. Menstruasi adalah keluarnya sedikit darah selama beberapa hari melalui vagina setiap bulan (Meredith, 2007). Darah yang dikeluarkan tersebut adalah dinding endometrium yang tidak mengalami pembuahan. Biasanya menarche (menstruasi) terjadi saat usia 12 atau 13 tahun (Rosana, 2015). Pengalaman remaja putri disabilitas netra dalam menghadapi menstruasi hampir sama dengan pengalaman remaja putri normal pada umumnya kecuali praktik kebersihan menstruasi yang kurang, ketergantungan pada orang lain dalam hal deteksi kebersihan diri, serta penggunaan indera penciuman untuk menandai datangnya menstruasi. Peran orang tua, guru, teman, serta petugas kesehatan sangat penting dalam hal memberikan pendidikan kesehatan yang benar terkait menstruasi (Herningsih, 2014). Sehingga masalah saat menghadapi menstruasi pada remaja putri disabilitas netra ini perlu ditindaklanjuti. Namun pada menstruasi ini dapat terjadi keadaan yang tidak normal (Harmanto, 2006). Keadaan yang tidak normal atau gangguan yang terjadi pada menstruasi ada beberapa jenis, dan digolongkan menjadi sebelum menstruasi dan sesudah
4 menstruasi. Pada golongan sebelum menstruasi, dibagi menjadi Premenstrual Syndrome (PMS) dan Premenstrual Dysphoric Disorder (PMDD). Premenstrual Syndrome (PMS) adalah suatu kondisi yang dimanifestasikan sebagai gejala emosional, fisik dan perilaku, dan berpengaruh pada perempuan selama 5 sampai 10 hari sebelum awal menstruasi, dan setelah dimulainya menstruasi, yang berlangsung dalam 4 sampai 7 hari. Premenstrual Dysphoric Disorder (PMDD) adalah bentuk lebih ekstrim atau berat PMS (Mandal, 2012). Sedangkan golongan sesudah menstruasi atau saat menstruasi yaitu dismenore (nyeri saat haid), hipermenorea atau menoragia (jumlah darah yang dikeluarkan cukup banyak dan terlihat dari jumlah pembalut yang dipakai dan adanya gumpalan darah), oligomenorea (siklus menstruasi melebihi 35 hari, dengan jumlah perdarahan yang sama, penyebabnya adalah hormonal), dan amenorea (keterlambatan menstruasi lebih dari tiga bulan berturut-turut). Cakir, M, et al (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa dismenorea merupakan gangguan menstruasi dengan prevalensi terbesar (89,5%), diikuti dengan ketidakteraturan menstruasi (31,2%), serta perpanjangan durasi menstruasi (5,3%). Pada penelitian Bieniasz, M, et al (2007), prevalensi amenorea primer sebanyak 5,3%, amenorea sekunder 18,4%, oligomenorea 50%, polimenorea 10,5%, dan gangguan campuran sebanyak 15,8%. Hamilton et al (2012) dalam penelitiannya tentang remaja Rett syndrome yang mengalami menstruasi menemukan bahwa setidaknya satu gejala dysmenorrhea dilaporkan oleh 76% dengan 67% melaporkan sering mengalami hal tersebut. Selama mengalami menstruasi sebanyak 57% responden melaporkan
5 satu gejala berat dismenore. Kram dan nyeri pinggang sering dilaporkan dengan persentase 38% pelaporan dan 24% melaporkan kram nyeri pinggang hampir selalu dialami. Namun gejala menstruasi tidak pernah mengganggu jadwal kehadiran di sekolah atau kegiatan terjadwal lainnya yang dialami oleh 48% dan 33% mengatakan gejala menstruasi tidak menyebabkan masalah saat berada di rumah. Lebih lanjut, Hamilton et al (2012) melaporkan bahwa selain gejala dysmenorrhea, terdapat gejala PMS yang dilaporkan oleh 71% dengan 62% melaporkan sering mengalami gejala PMS, dan 48% melaporkan satu gejala berat dari PMS. Ketika ditanya tentang hubungan antara gangguan PMS yang dialami saat melakukan kegiatan sehari-hari, 19% melaporkan bahwa tidak pernah mengalami gangguan PMS dan 19% melaporkan bahwa PMS jarang mengganggu kehadiran ke sekolah atau lainnya. Selain itu, 14% melaporkan bahwa tidak pernah mengalami gejala PMS dan 24% melaporkan gejala PMS jarang menyebabkan masalah di rumah. Penelitian pada disabilitas netra masih terbatas dan belum banyak dilakukan. Dengan melihat latar belakang di atas maka muncul ketertarikan untuk mengetahui gambaran gangguan menstruasi pada siswi disabilitas netra. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana prevalensi gangguan menstruasi pada siswi disabilitas netra di SLB DIY? 2. Bagaimana cara mengidentifikasi jenis bantuan yang diperlukan saat menstruasi?
6 C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui prevalensi gangguan menstruasi pada siswi disabilitas netra di SLB DIY. 2. Mengetahui jenis bantuan yang diperlukan saat menstruasi. D. Manfaat Penelitian 1. Bidang peneliti Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai seberapa besar permasalahan gangguan menstruasi pada siswi disabilitas khususnya disabilitas netra, dapat menambah pengalaman, serta melatih kemampuan dalam hal penelitian. 2. Bidang partisipan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pengetahuan bagi siswi disabilitas netra mengenai menstruasi dan gangguan menstruasi. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan informasi pengetahuan dan rekomendasi bagi orang tua, dan orang-orang di sekitar disabilitas netra, agar dapat membantu siswi disabilitas netra saat mengalami gangguan menstruasi. 3. Bagi institusi Bagi instansi yang menjadi lokasi penelitian, diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah informasi dan memberikan rekomendasi terkait gangguan menstruasi siswi disabilitas netra di SLB DIY. Sehingga pihak sekolah dapat memberikan perhatian lebih dan menjadi gambaran sebagai dasar pembuatan program-program pembelajaran kesehatan reproduksi di sekolah tersebut.
7 4. Bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan kesehatan Dapat menambah ilmu pengetahuan khususnya ilmu pengetahuan keperawatan maternitas tentang gambaran gangguan menstruasi pada siswi disabilitas netra netra. 5. Bagi masyarakat Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai gangguan menstruasi pada disabilitas netra sehingga disabilitas netra tidak dipandang sebelah mata. E. Keaslian Penelitian Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian mengenai Prevalensi Gangguan Menstruasi pada Siswi Disabilitas Netra di SLB Daerah Istimewa Yogyakarta belum pernah diteliti sebelumnya di Indonesia. Penelitian yang serupa dengan penelitian ini yaitu penelitian yang telah dilakukan oleh: 1. Hamilton et al (2012) tentang Rett syndrome dan Menstruasi. Tujuan dari penelitian ini adalah menggambarkan pengalaman remaja dengan Rett syndrome saat menstruasi termasuk kebersihan menstruasi, dismenore, premenstrual syndrome (PMS), dan upaya pengobatan. Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan survey kuesioner berisi tentang data informasi demografis umum, laporan dari perkembangan saraf yang mendasari diagnosis, dan informasi tentang riwayat menstruasi, kebersihan menstruasi, dismenore, PMS dan alat kontrasepsi hormonal yang digunakan saat ini yang disebar melalui peralatan survey online (Survey Monky). Responden penelitian ini adalah ibu dari remaja dengan Rett syndrome antara usia 10-25 yang pernah mengalami setidaknya satu kali menstruasi. Hasil dari
8 penelitian ini adalah gejala dysmenorrhea yang dilaporkan oleh 76% responden dengan 67% melaporkan sering mengalami hal tersebut. Kram dan nyeri pinggang yang sering dilaporkan oleh responden sebanyak 38% dan 24% melaporkan sering mengalami kram dan nyeri punggung. Gejala PMS dilaporkan oleh 71% dengan 62% melaporkan sering, dan 48% melaporkan setidaknya satu gejala berat. Meskipun frekuensi dan tingkat keparahan yang mereka alami tidak membatasi kegiatan, namun terdapat beberapa upaya pengobatan dilakukan, misalnya kontrasepsi hormonal untuk mengontrol siklus menstruasi dengan menggunakan pil kontrasepsi oral. Rata-rata jumlah perawatan non-hormon untuk dismenore adalah 2,4 dan untuk pramenstruasi 1,9. Ibuprofen (33%) dan acetaminophen (9,5%) sangat efektif untuk mengobati dismenore. Untuk gejala pramenstruasi, 24% melaporkan ibuprofen dan 9,5% melaporkan acetaminophen sangat efektif untuk menangani gejala premenstruasi. Persamaan dari penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang menstruasi pada anak berkebutuhan khusus. Perbedaan dari penelitian ini adalah responden remaja dengan Rett syndrome, sedangkan responden yang dipilih peneliti adalah remaja penyandang disabilitas netra. 2. Carolina R. et al (2013) tentang Menstruation Disturbances: Prevalence, Characteristics, and Effects on the Activities of Daily Living among Adolescent Girls frombrazil. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan prevalensi, karakteristik dan efek pada aktivitas sehari-hari gangguan menstruasi di kalangan remaja perempuan. Penelitian ini merupakan penelitian
9 deskriptif dengan rancangan cross sectional dan pendekatan kuantitatif. Responden yang didapat yaitu 218 remaja perempuan dengan usia antara 12 sampai 17 tahun. Penelitian ini menggunakan kuesioner terstruktur yang terdiri dari sociodemographic dan karakteristik yang berkaitan dengan menstruasi pada remaja. Pertanyaan dalam kuesioner ini digunakan untuk mengetahui: tahun menarche, durasi menstruasi, frekuensi siklus menstruasi (hari), intensitas kehilangan darah menstruasi, jumlah pembalut yang digunakan per hari saat menstruasi, tidak adanya menstruasi, mengunjungi dokter kandungan, praktek seksual, mengunjungi dokter kandungan setelah inisiasi seksual, penggunaan metode kontrasepsi, adanya patologi ginekologi dan atau tanpa komplikasi. Hasil dari penelitian ini adalah usia rata-rata gadis remaja adalah 13,7±1,5 tahun. Siklus menstruasi 67% normal, sedangkan 33% tidak teratur. Dismenore memiliki prevalensi 73%, dan absensi sekolah dialami 31% dari total responden. Selain itu, 66% dari responden menganggap bahwa dismenore mempengaruhi kegiatan mereka sehari-hari. Hubungan yang ditemukan antara intensitas nyeri dan variabel: absensi sekolah, kegiatan yang terkena dampak dari kehidupan sehari-hari, perlu menggunakan obat, dan antara kegiatan yang terkena dampak dari kehidupan sehari-hari dan absensi sekolah. Persamaan dari penelitian ini adalah meneliti tentang gangguan menstruasi. Perbedaannya adalah responden pada penelitian ini adalah remaja normal, sedangkan peneliti akan melakukan penelitian dengan responden remaja berkebutuhan khusus. Penelitian Carolina R, et al (2013) menggunakan tiga
10 variabel yaitu prevalensi, karakteristik dan efek pada aktivitas sehari-hari gangguan menstruasi, sedangkan peneliti menggunakan variabel tunggal yaitu prevalensi gangguan menstruasi. 3. Agarwal, et al (2009) tentang Questionnaire Study on Menstrual Disorders in Adolescent Girls in Singapore. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data tentang karakteristik siklus menstruasi di remaja Singapura untuk menentukan prevalensi gangguan menstruasi dan penggunaan perawatan medis untuk mengatasi ketidaknormalan ini. Responden yang di dapat 5.561 perempuan, berusia 12-19 tahun dari 62 SMP di Singapura. Penelitian ini merupakan penelitian dengan rancangan cross sectional dan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini menggunakan kuesioner yang berisi tentang usia, kelompok etnis, riwayat medis atau operasi, usia menarche, tinggi, dan berat badan. Rincian riwayat menstruasi yang termasuk dalam kuesioner disertai panjang siklus, durasi, dan jumlah menstuasi; dismenore dan keparahan; persyaratan obat yang diambil untuk mengurangi rasa sakit; dan tidak bisa masuk sekolah ataupun kerja sebagai efek dari gangguan menstruasi. Hasil dari penelitian ini adalah peningkatan indeks massa tubuh (BMI), ada peningkatan yang signifikan dalam prevalensi oligomenore, sedangkan polymenorrhea lebih prevalen pada remaja dengan BMI yang rendah. Masalah dismenore dialami 83,2% responden dan 24% responden mengalami absensi saat sekolah. Dismenore yang cukup parah membutuhkan analgesik untuk menghilangkan rasa sakit, hal tersebut dialami oleh 45,1% dari total responden. Meskipun menstruasi masalah yang umum, hanya 5,9% anak perempuan yang
11 menggunakan pengobatan medis. Obat tradisional Cina paling sering digunakan untuk masalah siklus menstruasi, dan obat tanpa resep untuk dismenore. Penggunaan kontrasepsi oral jarang digunakan untuk masalah haid. Persamaan dari penelitian ini adalah meneliti tentang gangguan menstruasi. Perbedaan pada penelitian ini adalah responden remaja normal yang berada di Singapura, sedangkan peneliti akan melakukan penelitian dengan responden remaja berkebutuhan khusus yang berada di Yogyakarta. Penelitian Agarwal, et al (2009) menggunakan variabel tunggal yaitu karakteristik siklus menstruasi, sedangkan peneliti menggunakan variabel tunggal yaitu prevalensi gangguan menstruasi.