BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran napas bawah masih tetap menjadi masalah utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. akhir tahun 2011 sebanyak lima kasus diantara balita. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. 2014). Pneumonia pada geriatri sulit terdiagnosis karena sering. pneumonia bakterial yang didapat dari masyarakat (PDPI, 2014).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia merupakan bentuk infeksi saluran napas. bawah akut yang tersering. Sekitar 15-20% kasus

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. adalah penyakit infeksi pada saluran pernapasan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

JOURNAL READING Imaging of pneumonia: trends and algorithms. Levi Aulia Rachman

Penyebab Pneumonia. Bakteri merupakan penyebab umum, diantaranya: Streptococcus pneumoniae : Pneumonia Pneumokokus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk dalam

IV. Mekanisme pembersihan di respiratory

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi. menular pada saluran napas bawah, tepatnya menginfeksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jamur, virus, dan parasit (Dorland, 2014).

BAB 6 PEMBAHASAN. pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gangguan pada sistem pernafasan merupakan penyebab utama

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

Diagnosis Community Aquired Pneumonia (CAP) dan Tatalaksana Terkini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tengah dan pleura (Soemantri dkk., 1991). ISPbA dapat dijumpai dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia merupakan infeksi akut di parenkim paru-paru dan sering

BAB I PENDAHULUAN. terisi dengan cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi neonatus khususnya sepsis neonatorum sampai saat ini masih

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak dikategorikan ke dalam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive

BAB 1 PENDAHULUAN. memulihkan fungsi fisik secara optimal(journal The American Physical

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. permeabilitas mikrovaskular yang terjadi pada jaringan yang jauh dari sumber infeksi

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

Dika Fernanda Satya Wira W Ayu Wulandari Aisyah Rahmawati Hanny Dwi Andini Isti Hidayah Tri Amalia Nungki Kusumawati

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

POLA KLINIS PNEUMONIA KOMUNITAS DEWASA DI RSUP DR. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan menuju Indonesia sehat 2015 yang diadopsi dari

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 4 Batuk dan Kesulitan Bernapas Kasus II. Catatan Fasilitator. Rangkuman Kasus:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. dengan imunitas pejamu, respon inflamasi, dan respon koagulasi (Hack CE,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Community-Acquired Pneumonia (CAP) perawatan dalam kurun waktu 14 hari sebelum timbulnya gejala.

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DINAS KESEHATAN PUSKESMAS LENEK Jln. Raya Mataram Lb. Lombok KM. 50 Desa Lenek Kec. Aikmel

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

Laporan Pendahuluan pada Klien CAP (Community Acquired Pneumonia)

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis menimbulkan suatu respon imun yang berlebihan oleh tubuh

Jika tidak terjadi komplikasi, penyembuhan memakan waktu 2 5 hari dimana pasien sembuh dalam 1 minggu.

BAB I KONSEP DASAR. dalam kavum Pleura (Arif Mansjoer, 1999 : 484). Efusi Pleura adalah

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan serius yang terjadi di

Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat sakit serupa sebelumnya, batuk lama, dan asma disangkal Riwayat Penyakit Keluarga: Riwayat TB paru dan Asma

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang merupakan salah satu masalah kesehatan. anak yang penting di dunia karena tingginya angka

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN BRONKOPNEUMONIA

BAB I PENDAHULUAN. Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat

ASKEP PNEUMONIA. A. DEFINISI Pneumonia adalah suatu peradangan atau inflamasi pada parenkim paru yang umumnya disebabkan oleh agent infeksi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang penting di dunia. Angka kesakitan dan kematian akibat pneumonia, khususnya

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA EFUSI PLEURA

BAB 1. Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis

BAB I PENDAHULUAN. systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

BAB 4 METODE PENELITIAN. Semarang, dimulai pada bulan Mei 2014 sampai dengan Juni 2014.

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian di bagian Ilmu Penyakit Dalam, sub

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. seluruh rumah sakit di Indonesia dengan angka kematian 5,7%-50% dalam tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Klebsiella pneumoniae. Gamma Proteobacteria Enterobacteriaceae. Klebsiella K. pneumoniae. Binomial name Klebsiella pneumoniae

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah ilmu penyakit saraf.

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik

ABSTRAK PROFIL PENDERITA HEMOPTISIS PADA PASIEN RAWAT INAP RSUP SANGLAH PERIODE JUNI 2013 JULI 2014

BAB I PENDAHULUAN. ini terdapat diseluruh dunia, bahkan menjadi problema utama di negara-negara

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. diikuti oleh kompensasi anti-inflamasi atau fenotip imunosupresif yang

BAB I PENDAHULUAN. denyut/menit; 3. Respirasi >20/menit atau pa CO 2 <32 mmhg; 4. Hitung leukosit

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pneumonia 2.1.1 Definisi Pneumonia adalah infeksi yang terjadi pada parenkim paru yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme seperti bakteri, jamur, virus, atau parasit yang mengakibatkan reaksi inflamasi (alveolitis) dan akumulasi eksudat inflamasi pada jalan nafas. (Febriani, Wibisono, 2010) 2.1.2 Klasifikasi Klasifikasi pneumonia dapat dibagi berdasarkan beberapa karakteristik yaitu karakteristik klinis dan epidemiologi, karakteristik penyebab, serta lokasi atau predileksi infeksi. 2.1.2.1 Berdasarkan klinis dan epidemiologis: a. Pneumonia komunitas (Community-acquired pneumonia) b. Pneumonia nosokomial (Hospital-acquired pneumonia) c. Pneumonia aspirasi d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised 2.1.2.2 Berdasarkan penyebab: a. Pneumonia bakterial / tipikal b. Pneumonia atipikal c. Pneumonia virus d. Pneumonia jamur 2.1.2.3 Berdasarkan predileksi infeksi: a. Pneumonia lobaris b. Bronkopneumonia c. Pneumonia interstisial

2.2 Pneumonia Komunitas 2.2.1 Definisi Pneumonia komunitas (PK) merupakan keadaan infeksi parenkim paru akut diikuti dengan gejala dan tanda infeksi akut serta gambaran infiltrat pada foto toraks pada pasien yang tidak dirawat di rumah sakit selama 14 hari sebelumnya. (Mbata et al., 2013) 2.2.2 Etiologi PK dapat disebabkan oleh beberapa mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit. Penyebab paling sering adalah bakteri, yaitu bakteri gram positif, bakteri gram negatif, serta atipikal. Bakteri penyebab PK yang sering di Indonesia antara lain Streptococcus pneumoniae, Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus, Haemophilus Influenza, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, Streptococcus hemolyticus, Enterobacter, dan Pseudomonas spp. Bakteri atipikal merupakan bakteri yang tidak dapat terlihat melalui pewarnaan Gram dan tidak dapat dikultur melalui sputum ataupun darah. Bakteri jenis ini jarang diidentifikasi karena membutuhkan pemeriksaan khusus. Contoh bakteri atipikal yang diidentifikasi sebagai penyebab PK antara lain Legionella spp., Mycoplasma pneumonia., dan Chlamydophila pneumoniae. (Ramirez, Anzueto, 2011) 2.2.3 Patofisiologi Pneumonia merupakan keadaan yang timbul oleh adanya proliferasi mikroorganisme di alveolus dan respon tubuh untuk melawan mikroorganisme tersebut. Mikroorganisme yang bersifat patogen dapat masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui beberapa jalan, paling sering akibat aspirasi melalui orofaring terutama saat tidur, yang sering terjadi pada usia lanjut, saat terjadi penurunan kesadaran, dan melalui penyebaran infeksi secara hematogen (Harrison s, 2008).

Faktor mekanik seperti rambut-rambut halus, turbinasi udara di rongga hidung, struktur anatomis percabangan trakhea-bronkus, mekanisme pembersihan muko-siliaris dan adanya faktor antibakteri lokal merupakan faktor yang sangat penting dalam pertahanan tubuh, baik untuk menangkap partikel maupun membunuh mikroorganisme patogen yang masuk ke saluran nafas. Saat sistem pertahanan tubuh baik atau jumlah mikroorganisme yang dapat mencapai ke alveolus masih sedikit, makrofag dan protein lokal yang terdapat di alveolus akan melawan patogen yang masuk melalui aktivitas antibakteri atau antiviral. Manifestasi pneumonia dapat terjadi ketika aktivitas makrofag di alveolus berlebihan dalam melawan mikroorganisme patogen. Pada kondisi ini, makrofag menginisiasi respon inflamasi dari tubuh yang merupakan proses yang lebih dominan daripada proliferasi mikroorganisme itu sendiri sehingga memicu timbulnya gejala klinis pada pneumonia. Pelepasan mediator inflamasi interleukin (IL) 1 dan tumor necrosis factor (TNF) menimbulkan demam, kemokin IL-8 dan granulocyte-colony stimulating factor (GCSF) menstimulasi pelepasan neutrofil ke alveolus dan menimbulkan leukositosis perifer serta sekret yang purulen. Adanya mediator inflamasi dan masuknya neutrofil menimbulkan kerusakan pembuluh kapiler alveolus sehingga menghasilkan gambaran infiltrat pada pemeriksaan radiologi, suara ronkhi pada auskultasi, dan hipoksemia akibat terganggunya proses pertukaran gas di alveolus. Pneumonia dapat mengakibatkan kehilangan cairan seiring dengan progresivitas penyakit. Kondisi dehidrasi dapat menyebabkan hipoperfusi ginjal, sehingga terjadi peningkatan reabsorbsi urea oleh ginjal yang ditandai dengan meningkatnya kadar urea dalam darah. (Ugajin et al., 2012) Pada usia lanjut, terjadi perubahan fisiologis pada sistem pernafasan seperti penurunan kemampuan pengembangan/recoil paru, kekuatan otot-otot respirasi, perubahan struktural dinding dada yang menyebabkan penurunan compliance paru, serta terjadi peningkatan resistensi jalan nafas oleh karena terganggunya mekanisme pertahanan muko-siliaris. (Janssens, Krause., 2004)

Penurunan compliance paru akibat kerusakan kapiler, adanya hipoksemia, jumlah sekret yang meningkat, serta spasme bronkus akan menimbulkan gejala sesak nafas (dyspnea) dan tachypnea sebagai usaha kompensasi. Pada tahap lebih lanjut, peningkatan frekuensi pernafasan dapat timbul akibat sepsis. Pada kondisi ini, mikroorganisme patogen mengganggu mekanisme vasokonstriksi yang normal terjadi sebagai kompensasi saat terjadi hipoksia sehingga timbul keadaan hipoksemia yang berat. Tekanan darah dapat menurun akibat shock. Perubahan fungsi paru akibat penurunan volume dan compliance paru serta perpindahan darah intra pulmonal dapat memberikan prognosis yang buruk hingga kematian. 2.2.4 Diagnosis Berdasarkan Panduan Tatalaksana PK Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), diagnosis PK dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, foto toraks dan pemeriksaan laboratorium. 2.2.4.1 Gambaran klinis - Anamnesis : Gambaran klinis ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40 C, batuk dengan sekret mukoid atau purulen, dapat disertai dengan darah (hemoptisis), sesak nafas, dan nyeri dada. - Pemeriksaan fisik : Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernafas, pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi suara redup, pada auskultasi terdengar suara nafas bronkovesikuler sampai bronkial yang dapat disertai ronkhi basah halus, yang kemudian menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi. 2.2.4.2 Pemeriksaan penunjang - Gambaran radiologis Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan air bronchogram, penyebab bronkogenik dan interstisial

serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae, gambaran infiltrat bilateral atau bronkopneumonia tersering oleh Pseudomonas auruginosa sedangkan Klebsiella pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus. - Pemeriksaan laboratorium Pada pemeriksaan lab, terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul dapat mencapai 30.000/ul. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan sputum, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, serta pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. 2.2.5 Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi akibat PK yaitu efusi pleura, empiyema, abses paru, pneumotoraks, infeksi metastatik, gagal nafas, dan sepsis. 2.2.6 Prognosis Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis PK seperti faktor penderita (usia, status gizi, komorbiditas), mikroorganisme penyebab serta penggunaan antibiotik yang tepat dan adekuat. Berdasarkan Infectious Diseases Society of America/ American Thoracic Society (IDSA/ATS), angka kematian penderita PK < 5% pada penderita rawat jalan dan mencapai 20% pada penderita rawat inap. Angka mortalitas PK dilaporkan meningkat sesuai dengan penilaian keparahan derajat penyakit pada saat pasien masuk dengan diagnosis PK.

Menurut British Thoracic Society (BTS), terdapat beberapa parameter gambaran luaran (outcome) pada PK yaitu mortalitas, jumlah rawat inap, jumlah rawat intensif / ICU, kegagalan terapi, efek samping obat, resistensi terapi antibiotik, lama rawat inap, jumlah angka rawat inap kembali setelah 30 hari, dapat melakukan aktivitas kembali, kepuasan pasien, serta biaya kesehatan yang dikeluarkan. 2.3 Faktor-Faktor yang Menyebabkan Mortalitas PK Pasien PK yang tidak mengalami perbaikan kondisi setelah diberikan penatalaksanaan awal mempunyai prognosis yang lebih buruk dan sering menjadi penyebab kejadian mortalitas PK. Berbagai keadaan yang menyebabkan kondisi ini antara lain diagnosis yang tidak tepat, mikroorganisme penyebab yang atipikal, gram-negatif atau mengalami resistensi terhadap terapi antibiotik, terapi antibiotik yang tidak adekuat, adanya gangguan sistem imunitas tubuh lokal (bronkiektasis, obstruksi endobronkhial, aspirasi) maupun sistemik (infeksi HIV, malignansi, penyakit liver, hipogammaglobulinemia, myeloma), serta sudah terjadinya komplikasi pulmonal (efusi parapneumoni, efusi pleura, abses paru, respiratory distress syndrome) ataupun ekstra pulmonal (meningitis, endokarditis, sepsis, septik arthritis, gagal fungsi organ akibat sepsis). 2.4 CURB-65 dan Mortalitas PK Pasien PK yang datang pada dokter layanan kesehatan primer maupun sekunder memberikan gambaran klinis yang luas mulai dari ringan/self-limiting hingga berat/life-threatening. Hal ini menyebabkan jumlah angka mortalitas PK yang dilaporkan bervariasi dari tempat yang berbeda. Keputusan dalam menentukan tempat rawatan merupakan keputusan pertama dan paling penting dalam penanganan PK, yang akan menentukan tingkat terapi dan biaya kesehatan yang akan dikeluarkan. Penilaian awal terhadap derajat penyakit yang hanya berdasarkan gambaran klinis rutin dapat memberikan gambaran yang tidak tepat terhadap

kondisi pasien yang sebenarnya. Tidak ada faktor prognostik tunggal yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam menentukan prognosis sehingga timbul beberapa sistem penilaian secara skoring yang diharapkan dapat membantu dokter dalam menangani pasien PK. Sistem penilaian secara skoring juga memiliki keterbatasan, sehingga sistem ini tidak ditujukan untuk menggantikan penilaian rutin melalui gambaran klinis pasien. Idealnya, penilaian melalui skoring dan gambaran klinis dilakukan secara bersama. Penilaian melalui skoring yang sudah divalidasi dan dikenal luas menurut IDSA/ATS adalah PSI dan CURB-65. Terdapat beberapa perbedaan penting diantara keduanya, PSI sudah diuji luas pada populasi yang berbeda, namun sistem penilaian ini menggunakan 20 variabel klinis sehingga sulit untuk diterapkan di unit emergensi. Sedangkan CURB-65, belum dilakukan pengujian prospektif seluas PSI namun penggunaannya lebih mudah oleh karena variabel yang digunakan lebih sedikit dan mudah diingat sehingga dapat diterapkan di unit emergensi. Beberapa hasil penelitian sebelumnya menunjukkan adanya perbedaan sensitivitas dan spesifitas antara PSI dan CURB-65 dalam menentukan prognosis pasien PK. Pada penelitian ini sistem penilaian yang digunakan adalah dengan menggunakan CURB-65, sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa sistem penilaian ini menggunakan variabel yang lebih sedikit sehingga dapat lebih mudah diterapkan baik di pelayanan kesehatan primer maupun sekunder. CURB-65 dikembangkan berdasarkan penelitian prospektif terhadap 1000 pasien PK dari 3 negara: UK, New Zealand, dan Belanda. Penilaian awal derajat penyakit dengan CURB-65 menggunakan 5 variabel klinis, yaitu : Confusion, Blood urea nitrogen > 7 mmol/l (> 20 mg/dl), respiratory rate > 30/menit, tekanan darah (blood pressure) sistolik (<90 mmhg) atau diastolik (<60mmHg), serta usia > 65 tahun. Masing-masing variabel diberi nilai 1 jika positif, dan 0 jika negatif, yang selanjutnya dilakukan skoring terhadap jumlah nilai dari seluruh variabel.

CURB-65 akan menstratifikasi pasien ke dalam kelompok derajat penyakit berdasarkan jumlah nilai yang didapatkan dan dihubungkan dengan kejadian mortalitas selama 30 hari. Berdasarkan studi kohort oleh IDSA/ATS (2007) resiko mortalitas berurutan mulai skor 0 = 0.7%, skor 1 = 2.1%, skor 2 = 9.2%, dan skor 3-5 = 15-40%. Hal ini menunjukkan bahwa resiko mortalitas semakin meningkat pada pasien PK dengan skor CURB-65 yang semakin tinggi. Selain untuk memprediksi kejadian mortalitas, sistem penilaian ini juga menentukan tempat rawatan pasien berdasarkan kelompok derajat penyakit seperti terlihat pada gambar berikut. Jumlah nilai dari variabel CURB-65: Confusion Urea > 7mmol/L (20mg/dl), Respiratory rate >30/menit, Blood pressure (SBP<90 mmhg atau DBP<60 mmhg), Age > 65 0-1 Resiko mortalitas rendah 2 Resiko mortalitas sedang 3-5 Resiko mortalitas tinggi Tidak rawat inap (outpatient) Rawat inap (inpatient) dengan lama rawat singkat Pertimbangkan perawatan intensif / ICU Gambar 2.1 Skema Tingkatan Resiko Mortalitas PK dan Tempat Rawatan Berdasarkan Jumlah Nilai CURB-65.