BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terkadang disertai dengan gangguan mood (Chien et Yip, 2013). Berdasarkan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

GANGGUAN SKIZOAFEKTIF FIHRIN PUTRA AGUNG

BAB I. Pendahuluan. 1.1 Latar belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda beda pada masing

BAB 1. PENDAHULUAN. Skizofrenia merupakan suatu gangguan yang menyebabkan penderitaan dan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia merupakan sindroma klinis yang berubah-ubah dan sangat

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dengan karakteristik berupa gangguan pikiran (asosiasi longgar, waham),

GAMBARAN POLA ASUH KELUARGA PADA PASIEN SKIZOFRENIA PARANOID (STUDI RETROSPEKTIF) DI RSJD SURAKARTA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedaruratan psikiatri adalah sub bagian dari psikiatri yang. mengalami gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Istilah obsesi menunjuk pada suatu idea yang mendesak ke dalam pikiran.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kesalahpahaman, dan penghukuman, bukan simpati atau perhatian.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang B. Tujuan C. Manfaat

Klasifikasi Gangguan Jiwa menurut PPDGJ III Demensia Delirium

BAB 1. PENDAHULUAN. Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa berat yang perjalanan

BAB I PENDAHULUAN. berpikir abstrak) serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari (Keliat

BAB 1. PENDAHULUAN. Agitasi adalah gejala perilaku yang bermanifestasi dalam penyakit-penyakit psikiatrik yang luas.

I. PENDAHULUAN. yang aneh dan tidak beraturan, angan-angan, halusinasi, emosi yang tidak tepat,

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

GANGGUAN PSIKOTIK TERBAGI. Pembimbing: Dr. M. Surya Husada Sp.KJ. disusun oleh: Ade Kurniadi ( )

EPIDEMIOLOGI MANIFESTASI KLINIS

Modul ke: Pedologi. Skizofrenia. Fakultas PSIKOLOGI. Maria Ulfah, M.Psi., Psikolog. Program Studi Psikologi.

Skizofrenia. 1. Apa itu Skizofrenia? 2. Siapa yang lebih rentan terhadap Skizofrenia?

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kualitas hidup seseorang tidak dapat didefinisikan secara pasti, hanya orang tersebut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Mampu mengenal dan mengetahui tanda, gejala dan pemeriksaan status mental yang menunjang dalam mendiagnosa pasien dengan gangguan skizofrenia.

IPAP PTSD Tambahan. Pilihan penatalaksanaan: dengan obat, psikososial atau kedua-duanya.

BIPOLAR. oleh: Ahmad rhean aminah dianti Erick Nuranysha Haviz. Preseptor : dr. Dian Budianti amina Sp.KJ

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Klasifikasi Gangguan Jiwa menurut PPDGJ III. Dr. Tribowo Tuahta Ginting S, SpKJ SMF Psikiatri RSUP Persahabatan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan disability (ketidakmampuan) (Maramis, 1994 dalam Suryani,

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan sehat atau sakit mental dapat dinilai dari keefektifan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit yang sulit disembuhkan, memalukan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. pengamatan terhadap suatu objek tertentu (Wahid, dkk, 2006).

REFERAT Gangguan Afektif Bipolar

BIPOLAR. Dr. Tri Rini BS, Sp.KJ

BAB I PENDAHULUAN. serta adanya gangguan fungsi psikososial (Sukandar dkk., 2013). Skizofrenia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sinonim : - gangguan mood - gangguan afektif Definisi : suatu kelompok ggn jiwa dengan gambaran utama tdptnya ggn mood yg disertai dengan sindroma man

A. Gangguan Bipolar Definisi Gangguan bipolar merupakan kategori diagnostik yang menggambarkan sebuah kelas dari gangguan mood, dimana seseorang

BAB I PENDAHULUAN. Proses menua adalah proses alami yang dialami oleh mahluk hidup. Pada lanjut usia

UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN SILABUS PSIKIATRI

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

HEMODIALISIS PADA PASIEN GANGGUAN JIWA SKIZOFRENIA. By Ns. Ni Luh Gede Suwartini,S.Kep

BAB I 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Jiwa menurut Rancangan Undang-Undang Kesehatan Jiwa tahun

BAB I PENDAHULUAN. genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia adalah suatu penyakit psikiatrik yang bersifat kronis dan

GANGGUAN BIPOLAR PENDAHULUAN

A. Pemeriksaan penunjang. - Darah lengkap

ANALISIS HUBUNGAN TINGKAT DEPRESI DENGAN JUMLAH LIMFOSIT PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA. Skripsi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi,

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan psikosis adalah gangguan kejiwaan berupa. hilang kontak dengan kenyataan yaitu penderita

BAB 1. PENDAHULUAN. Menurut Asosiasi Psikiatri Amerika dalam Diagnostic and Statistical Manual

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana. tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain,

BAB 1 PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Benedict A.Morel ( ), seorang dokter psikiatri dari Prancis

BAB 1 PENDAHULUAN. stressor, produktif dan mampu memberikan konstribusi terhadap masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. ringan dan gangguan jiwa berat. Salah satu gangguan jiwa berat yang banyak

DAFTAR KOMPETENSI KLINIK

BAB 1 PENDAHULUAN. Penderita gangguan skizifrenia di seluruh dunia ada 24 juta jiwa dengan angka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Januari Dengan menggunakan desain cross sectional didapatkan

Psikoedukasi keluarga pada pasien skizofrenia

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berfikir (cognitive),

BAB 1. PENDAHULUAN. Stres adalah satu dari konsep-konsep sentral psikiatri, walaupun istilah ini

Gangguan Suasana Perasaan. Dr. Dharmawan A. Purnama, SpKJ

PERSOALAN DEPRESI PADA REMAJA

BAB 1 PENDAHULUAN. fungsional berupa gangguan mental berulang yang ditandai dengan gejala-gejala

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kecacatan, atau kerugian (Prabowo, 2014). Menurut Videbeck (2008), ada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Mata: sklera ikterik -/- konjungtiva anemis -/- cor: BJ I-II reguler, murmur (-) gallop (-) Pulmo: suara napas vesikuler +/+ ronki -/- wheezing -/-

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan jiwa yang terjadi di Era Globalisasi dan persaingan bebas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan kestabilan emosional. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan. pekerjaan, & lingkungan masyarakat (Videbeck, 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Kesehatan jiwa merupakan

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

Definisi & Deskripsi Skizofrenia DSM-5. Gilbert Richard Sulivan Tapilatu FK UKI

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECEMASAN DENGAN KEMANDIRIAN PELAKSANAAN AKTIVITAS HARIAN PADA KLIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. beraneka ragam gangguan pada alam pikir, perasaan dan perilaku yang. penderita sudah mempunyai ciri kepribadian tertentu.

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

SKIZOFRENIA. Ns. Wahyu Ekowati, MKep., Sp.J. Materi Kuliah Keperawatan Universitas Jenderal Soedirman (unsoed)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

manusia mengalami banyak perubahan dari segi fisik dan mental. Penuaan adalah salah satu

BAB 1 PSIKIATRI KLINIK

BAB I PENDAHULUAN. penyimpangan dari fungsi psikologis seperti pembicaraan yang kacau, delusi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gangguan Afektif Bipolar episode Manik dengan Gejala Psikotik Muhammad Hazim Afif b Amirudin

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Gangguan skizofrenia didefinisikan sebagai suatu sindrom yang memiliki ciri khas berdurasi panjang, angka relaps yang tinggi, delusi berat yang dapat mempengaruhi perilaku, gejala negatif (lebih bersifat gangguan sosial), dan terkadang disertai dengan gangguan mood (Chien et Yip, 2013). Berdasarkan Panduan Pengelompokan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi Ketiga (PPDGJ-III), skizofrenia adalah gangguan utama dan paling lazim pada kategori F-20 (PPDGJ- III, 1996). Skizofrenia pertama kali didefinisikan sebagai kesatuan gangguan jiwa oleh Kraeplin, seorang ahli kejiwaan dari Munich, Italia. Pada masa itu dia menggolongkannya menjadi satu kesatuan yang disebut demensia prekox. Menurut Kraeplin, pada gangguan ini terdapat kemunduran intelegensi (demensia) sebelm waktunya (prekox) (Maramis, 2009). Dari masa ke masa terdapat perkembangan dari etiologi skizofrenia. Pada awalnya dikemukakan teori endokrin (terkait hormonal, karena skizofrenia sering muncul pada usia pubertas), metabolism (karena penderita skizofrenia sering tampak lemah, dan teori somatogenik. Terdapat pula beberapa peneliti seperti Sigmund Freud yang menitik beratkan pada dimensional ego dan superego. Nama skizofrenia pertama kali dicanangnkan oleh Bleuler. Nama ini dimunculkan karena gejala utama penyakit ini yaitu jiwa (phren) yang pecah belah (schizos) (Maramis, 2009).

7 Teori etiologi skizofrenia yang sekarang dianut mencakup model diastesis stress, faktor neurobiologis (terkait dopamine, serotonin, dan norepinefrin), GABA, faktor genetik, dan faktor psikososial. Terkait faktor genetic, skizofrenia dikatakan dapat terjadi apabila ada keluarga yang mengidap. Kembar monozigotik juga menunjukkan angka kejadian yang tinggi. Angka kejadian juga sama pada kembar asuh jika dibandingkan dengan kembar biologis. Kromosom yang dianggap bertanggung jawab terhadap skizofrenia adalah kromosom 5, 11, dan 18, lengan pendek kromosom 19, serta kromosom X. Sementara terkait faktor sosial, Sigmund Freud menggambarkan bahwa skizofrenia adalah hasil fiksasi pertumbuhan melalui teori psikoanalitiknya. Terdapat juga teori pembelajaran, dinamika keluarga, ikatan ganda, keluarga yang menyinpang, keluarga dan permusihan semua, serta emosi yang diekspresikan (Kaplan et Saddock, 2004) 2.2 Epidemiologi Dalam praktiknya, diperlukan suatu pemahaman dasar mengenai pola dari pasien skizofrenia. Kecenderungan yang ada diambil dari berbagai studi dan literatur. Dalam berbagai buku panduan psikiatris bahwa dari segi gender, pria dan wanita memiliki resiko yang sama untuk menderita skizofrenia. Namun demikian, beberapa meta analisis studi epidemiologis generasi ketiga, menemukan bahwa kecenderungan ini tidak selalu pasti. Perbandingan skizofrenia antara pria dan wanita adalah 3:2. Banyak hasil penelitian yang mendukung hipotesis bahwa skizofrenia adalah penyakit yang berhubungan dengan perkembangan saraf di mana terjadi kerusakan pada otak yang terjadi pada fase awal kehidupan, yang mengganggu perkembangan normal. Hal-hal ini dipengaruhi oleh empat hal yaitu

8 musim kelahiran (relevan pada negara empat musim karena pasien skizofrenia kebanyakan lahir pada musim dingin), eksposur prenatal virus flu (utamanya flu A dan B) dan toxoplasma gondii, komplikasi pada masa kelahiran, dan abnormalitas otak pada mesin neuroimaging (Mura et al, 2012). Prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0.3 sampai 1.0 per mil, timbul rata-rata pada usia 18-45 tahun. JIka terhitung terdapat 200 juta jiwa di Indonesia, maka diperkirakan 2 juta jiwa menderita Skizofrenia (Amelia et Anwar, 2013) Laporan pada kelompok beresiko tinggi menunjukkan bahwa anak dari orang tua yang memiliki sejarah skizofrenia cenderung memiliki IQ yang lebih rendah, kemampuan perhatian lemah, gejala yang nampak seperti gangguan bepikir, sulitnya melakukan penyesuaian dengan lingkungan, dan gejala psikiatris lainnya yang dibandingkan dengan kontrol kelahiran. Walaupun ada beberapa kekhawatiran terkait dengan generalisasi temuan ini kepada skizofrenia yang tidak berhubungan dengan familial, temuan lain menemukan bahwa individu dengan skizofrenia berbeda dari sebayanya bahkan pada penanda masa awal pertumbuhan seperti pencapaian milestone tumbuh kembang, tingkan fungsional kognitif, pencapaian edukasi, perkembang neuromotorik, kompetensi sosial, dan gangguan psikologis (Mura et al, 2012). Banyak penyalah gunaan obat dihubungkan dengan onset skizofrenia. Penggunaan D-amfetamin dan kanabis (keduanya bekerja pada sistem dopaminergik) pada masa remaja dapat berkontribusi pada onset subsekuen skizofrenia atau kepada peningkatan gejala psikotis pada individu dengan skizofrenia. Namun, penyalah gunaan obat-obatan lain seperti lysergic acid diethylamide (LSD) dan psilocybin, yang bekerja pada sistem serotoninergik, atau

9 disosiatif anestetik, seperti ketamin dan phenycyclidine, yang bekerja pada sistem yang berkaitan dengan glutamate (Mura et al, 2012). Penggunaan zat lain juga dilaporkan dapat mempengaruhi kondisi skizofrenia. Ditemukan pada survey bahwa lebih dari tiga perempat pasien skizofrenia merokok kretek. Dilaporkan bahwa merokok kretek diasosiakan juga dengan penggunaan obat anti psikotik dengan dosis yang lebih tinggi. Dugaan adalah karena merokok kretek dapat meningkatkan laju metabolisme. Namun demikian, studi yang ada juga menjelaskan bahwa merokok kretek dapat menurunkan gejala positif seperti halusinasi pada pasien (Kaplan et Saddock, 2004). 2.3 Diagnosis Pada Pasien Skizofrenia Dasar pengambilan diagnosis dari skizofrenia dilakukan berdasarkan Panduan Pengelompokan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi Ketiga (PPDGJ-III) sebagai standar baku diagnosis gangguan jiwa di Indonesia. Berdasarkan PPDGJ-III, skizofrenia pada dasarnya ditandai dengan distorsi pikiran dan persepsi yang mendasar yang khas. Penderita tetap memiliki kesadaran dan fungsi intelektual yang normal sebagaimana orang pada normalnya, namun demikian tetap ada degenerasi fungsi kognitif. Individu. Hal yang secara khas dijumpai pada penderita skizofrenia adalah adanya halusinasi dalam bentuk suara-suara (auditorik) yang memberikan sugesti atau dorongan-dorongan lainnya. Suasana perasaan juga tampak dangkal dan berubah-ubah. Terkadang katatonik juga bisa muncul. Pasien skizofrenia tidak serta merta tampak dengan gejala karena onset tidak hanya abrupt ataupun akut, tetapi juga dapat tersembunyi

10 dalam diam ataupun bertahap. Karena itulah orang-orang dengan skizofrenia dapat tampak seperti orang normal dengan kesehariannya. Seringkali juga dapat lahir stigma dari masyarakat sekitar karena adanya waham ataupun ide-ide berlebihan. Waham yang muncul biasanya dianggap tidak wajar atau mustahil oleh budaya sekitar. Umumnya bersifat identitas keagamaan, politik, ataupun kemampuan supranatural di luar pikiran kebanyakan. Komunikasi dengan pasien skizofrenia juga tergolong sulit karena sering kali terdapat arus pikiran yang terganggun dengan sisipan-sisipan sehingga menimbulkan inkoherensi dalam ide. Ide yang muncul biasa bersifat tidak relevan ataupun neologisme. Pasien skizofrenia juga dihadirkan dengan gejala-gejala negatif. Gejala ini biasanya lebih bersifat sosial lingkungan. Pasien dapat bersifat apatis dan memiliki respon emosi yang tidak wajar. Pandangan-pandangan sekitar pada akhirnya akan membuat pasien menarik diri dari sosial dan dapat menurunkan kinerja. Namun demikian hal ini tidak boleh menjadi ambigu dengan akibat depresi ataupun medikasi. Pasien atau penderita seiring berjalannya waktu akan kehilangan minat, tak bertujuan, bersikap malas, dan berdiam diri sehingga akhirnya terpisah dari sosial. Biarpun begitu, terdapat beberapa kondisi yang walaupun sekilas mirip dengan skizofrenia, memberikan indikasi bahwa skizofrenia tidak boleh diangkat. Jika terdapat gangguan afektif yang sejalan dengan skizofrenia, maka diagnosis akan lebih mengarah ke skizoafektif. Seorang pasien juga tidak dapat didiagnosis dengan skizofrenia apabila berada pada kondisi intoksikasi atau lepas zat (PPDGJ- III, 1996).

11 Skizofrenia sendiri memiliki beberapa jenis yang dapat dibedakan dari beberapa gejala khasnya. Skizofrenia paranoid adalah bentukan skizofrenia yang paling sering terjadi dengan dominasi waham-waham yang stabil, halusinasi, dan paranoid. (PPDGJ-III, 1996)). Perjalanan jenis ini berbeda dengan skizofrenia hebefrenik dan katatonik yang seiring waktu dapat berkembang menjadi skizofrenia kompleks ataupun gabungan keduanya (Maramis, 2009). Pasien dengan diagnosis skizfrenia herbefrenik juga memiliki perubahan afektif yang tampak jelas, disertai dengan waham dan halusinasi yang lebih bersifat tidak kontinuu atau terputus-putus (PPDGJ-III, 2006). Gejala lainnya yang tampak jelas adalah adanya depersonalisasi atau kepribadian ganda. Terkadang dapat terlihat biasa dan di lain waktu dapat terlihat dapat terlihat tumpul. Pasien senang bersenda gurau, pengulangan kata yang dapat juga tak menentu, dan terdapat juga keluhan-keluhan hipokondrik (Maramis, 2009; PPDGJ-III, 1996). Pada pasien dengan gangguan skizofrenia katatonik ditemukan gaduh gelisah katotnik dan stupor katatonik. Pada stupor katatonik, hal-hal yang seringkali ditemukan adalah mutisme, muka tanpa ekspresi, stupor atau penderita sama sekali tidak bergerak, adanya resistensi ketika ada paksaan untuk mengganti posisi, penolakan makanan, ludah yang terkumpul di dalam mulut, begitu juga dengan air seni dan feses, dan terdapat katalepsi. Skizofrenia residual adalah suatu stadium kronis skizofrenia di mana tidak hanya muncul gejala positif (waham, halusinasi) tapi juga muncul gejala-gejala negatif (mengarah ke sosial dan fungsional) jangka panjang (PPDGJ-III, 1996). Skizofrenia simpleks adalah bentukan yang timbul pertama kali pada masa

12 pubertas dengan perkembangan keanehan tingkah laku yang tidak wajar. Pada tipe ini gejala positif tidak begitu tampak di awal. Gejala lebih berkembang pada gejala negative yang akan terus membawa penderita jauh dari sosial dan berakhir dengan munculnya gejala positif. Biasanya penderita menjadi gelandangan (PPDGJ-III, 1996; Maramis, 2009) 2.4 Relaps Pada Pasien Skizofrenia dan Faktor yang Menyertai Skizofrenia adalah penyakit mental yang parah dan kronis, dengan dicirikan dengan relaps yang terjadi berulang kali yang menuntut untuk perawatan rumah sakit. Relaps didefinisikan sebagai mengalami kondisi di mana diperlukan perawatan rumah sakit psikiatris, saat pelayanan unit gawat darurat dipergunakan, dan munculnya gejala positif yang tidak dapat tertangani oleh pasien dan keluarga. Parameter relaps ini dengan pengecualian percobaan bunuh diri didasarkan pada informasi sistematis yang pada suatu studi diambil dengan rentang waktu enam bulan (Ascher-Svanum et al, 2010). Relaps merupakan kondisi yang melumpuhkan dan dapat menimbulkan stress terhadap individu dengan skizofrenia. Fenomena ini diasosiasikan dengan penunuruan fungsional seseorang secara progresif, dan dapat pula memperburuk respon obat dan prognosis ke depannya. Terlebih lagi, relaps meningkatkan beban tenaga kesehatan dan merepresentasikan beban ekonomi pada keluarga dan masyarakat. Karena pencegahan kejadian relaps adalah tantangan utama pada perawatan pasien skizofrenia. Terlepas dari adanya studi yang menginvestigasi socio-demografis, klinis, dan pengobatan, tidak ada faktor yang dapat langsung memprediksi kecenderungan relaps, sementara angka relaps masih tinggi. Faktor-

13 faktor lainnya seperti faktor sosial dan lingkungan juga diketahui mempengaruhi laju skizofrenia (Boyer L, et al, 2013). Kualitas hidup merupakan salah satu faktor yang diterima para psikiatris sebagai bentuk evaluasi subjektif kultur, sosial, dan lingkungan. Studi yang ada menunjukkan bahwa kualitas hidup menjadi faktor independent terhadap prognostic berhubungan dengan keluaran klinis pada berbagai penyakit kronis, termasuk di dalamnya tingkat kejadian dan perlunya masuk rumah sakit. Studi menunjukkan bahwa kualitas hidup dapat dimasukkan sebagai bagian kecil sosiodemografik, klinis, dan medikasi berkenaan dengan perkiraan relaps pada skizofrenia. Nilai median dari kejadian relaps skizofrenia setelah remisi sebelumnya diperkirakan terjadi pada akhir dari tahun pertama (Boyer L et al, 2013). Studi yang dilakukan oleh Boyer L et al (2013). memberikan karakteristik dasar dari pasien yang mengalami relaps. Berdasarkan studi yang mereka lakukan terhadap 1024 pasien, sekitar lima ratus empat puluh (53%) mengalami paling tidak satu kali periode relaps dan sisanya, 484 pasien (atau sekitar 47%) sampel tidak mengalami relaps (Boyer L et al, 2013). Pasien yang mengalami relaps jauh lebih muda dari pada pasien yang tidak mengalami (batas usia terendah pasien pada studi mereka adalah 18 tahun), namun berlawanan dengan pernyataan perbandingan gender pada skizofrenia, peneletian mereka menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan, begitu juga dengan kondisi hidup. Pasien dengan relaps juga memiliki tingkat keparahan yang lebih tinggi (Ascher-Svanum et al, 2010).

14 Studi yang dilakukan oleh Ascher-Svanum et al. pada tahun 2010 adalah satu studi lain yang digunakan penulis sebagai model penelitian, dengan penekanan pada prediktor dari kejadian relaps itu sendiri. Sejalan dengan Boyer, Ascher-Svanum mengatakan tingkat keparahan penyakit sebagai bentukan prediktor. Tingkatan dari keparahan gejala dinilai menggunakan Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS) dan Montgomery-Asberg Depression Rating Scale (MADRS). Sama seperti data sebelumnya, ditemukan bahwa pasien dengan kejadian relaps jauh lebih muda, skizofrenia yang lebih berat dan gejala depresif, tingginya angka masuk rumah sakit sakit karena psikiatris, penggunaan obatobatan, dan beberapa bahkan memiliki sejarah penangkapan. Mereka juga memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih rendah dan sulit untuk mengikuti medikasi. Di sisi lain, pasien yang sebelum studi oleh Svanum tidak pernah mengalami relaps cendering lebih tua, sedikit memiliki penyalah gunaan zat, lebih sedikit masuk rumah sakit karena gangguan psikiatris, memiliki kesehatan fisik dan mental yang lebih baik, dan memiliki gejala depresif yang lebih rendah (Ascher-Svanum et al, 2010). Relaps pada skizofrenia pada dasarnya memiliki beberapa karakteristik dasar. Angka Relaps ditunjukkan sangat tinggi apabila pasien menghentikan pengobatan, bahkan setelah satu episode psikosis. Walaupun diadakan pengobatan yang lebih panajang sebelum dilakukan penghentian obat, tidak akan terjadi pengurangan resiko relaps, dan jarak dari relaps dengan penghentian pengobatan sangatlah pendek. Jika pasien mengalami remisi, transisi menuju relaps akan cenderung abrup dengan tanda-tanda peringatan (warning signs). Ketika terjadi rekurensi penyakit, maka keparahan gejala akan kembali ke tingkat yang sama

15 dengan episode awal psikotik. Walaupun pasien dapat merespon terhadap reintroduksi dari obat-obatan antipsikotik setelah relaps, waktu untuk mendapatkan respon pengobatan bervariasi antar pasien, dan perbedaan ini dapat membawa ke arah kegagalan pengobatan (Emsley et al, 2013). Selama lebih dari lima puluh tahun, obat-obatan anti-psikotis memiliki peran sentral sebagai bentuk pengobatan skizofrenia. Pengobatan antipsikotik secara signigikan mengurangi resiko relaps, namun, hal ini tentu saja diikuti dengan berbagai efek samping, termasuk efek samping motorik, metabolic, dan kardiovaskular, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada tingkat ketaatan pasien terhadap pengobatan dan keluaran yang tidak diharapkan. Jika diandaikan bahwa efek samping ini berkaitan, maka penggunaan dosis seminimal mungkin agar dapat memberikan efek anti-psikotik yang maksimal sangat diperlukan, terutama pada dosis yang dapat mencegah kejadian relaps. Hal ini salah satunya direkomendasikan oleh American Psychiatric Association (APA). Di sisi lain, guideline oleh Expert Consensus lebih mengadvokasikan kontinuitas dosis antipsikosis yang ditemukan efektif pada masa akut untuk mencegah relaps. Salah satu tim yang melakukan hubungan antara dosis dengan efektifitas pengobatan antipsikosis adalah Uchida et al (2011). Hasil studinya memberikan dua temuan penting. Pertama, terapi dengan dosis rendah dapat menjadi sama efektifnya dengan terapi dosis standard dari segi efikasi. Kedua, kurang dari setengah dari dosis standar diasosiasikan dengan meningkatnya resiko kegagalan pengobatan. Hal ini tentunya berlawanan dengan pernyataan bahwa dosis terbaik untuk pencegahan relaps haruslah sama dengan pengobatan fase akut. Kebanyakan kegagalan pengobatan atas dasar apapun dianggap sebagai keluaran

16 pengobatan yang pragmatis secara klinis. Keputusan untuk menghentikan atau melanjutkan medikasi mencerminkan kombinasi evaluasi akan efikasi dan keamanan pengobatan oleh pasien dan klinisi (Uchida et al, 2011). Masalah relaps dapat juga timbul dari resistensi obat-obatan. Satu per lima dari satu per tiga penderita skizofrenia memiliki penyakit yang resisten terhadap pengobatan. Dalam konteks ini, pengobatan antipsikotis kombinasi, yang disebut juga polifarmasi antipsikotis, sering digunakan secara luar dalam praktik klinis. Peningkatan tren dari polifarmasi antipsikotik meningkat di negara barat. Berdasarkan beberapa studi observasional, praktek polifarmasi antipsikotis diasosiasikan dengan tingginya efek samping ekstrapiramidal dibandingkan penggunakan monoterapi antipsikotik. Lebih dalam lagi, antipsikotik polifarmasi juga dilaporkan untuk mengurangi ketaatan pasien sehingga meningkatkan relaps dan kematian. Namun demikian, pada beberapa meta analisis ditemukan bahwa polifarmasi antipsikotik lebih superior jika dilihat dari sisi efikasi (Millier et al, 2011)..Terdapat tiga pertimbangan utama untuk menghentikan pengobatan antipsikotik setelah pengobatan episode pertama yang berhasil. Pertama, adanya suposisi dari porsi substansial bahwa pasien tidak akan pernah mengalami rekurensi setelah episode psikotik pertama, sehingga tidak membutuhkan lagi pengobatan. Kedua, adanya beban efek samping berkaitan dengan anti-psikotik. Sebelum adanya anti-psikotik generasi kedua, tenaga kesehatan utamanya mengkhawatirkan efek samping terkait gangguan motorik, utamanya tardive dyskinesia (TD). Namun tidak lama kemudian, setelah diperkenalkannya antipsikotik generasi kedua, muncul harapan bahwa obat-obatan ini akan mengurangi

17 efek samping motorik. Sayangnya, agen ini juga memiliki beban efek sampingnya sendiri, termasuk peningkatan berat badan dan konkomitan metaboliknya, dan hiperprolactinaemia. Alasan ketiga untuk menghentikan pengobatan antipsikotik adalah sulitnya klinis untuk meyakinkan pasien bahwa pengobatan indefinite diindikasikan setelah episode tunggal psikosis. Keputusan untuk berhenti dari pengobatan termasuk sering, dan keputusan untuk menghentikan pengobatan sebagian besar dilakukan atas tuntutan pasien. Pertanyaan yang timbul adalah apakah seberapa besar resiko relaps setelah episode tunggal psikosis, dan apakah resiko ini akan berkurang dengan masa pengobatan yang lebih panjang. Terdapat studi yang mengemukakan resiko relaps setelah penghentian pengobatan. Namun berdasarkan guideline yang ada dari kurang lebih enam studi, penghentian pengobatan anti-psikotik setelah episode pertama skizofrenia diutamakan dilakukan setelah satu sampai dua tahun. Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah berapa waktu yang diperlukan dari pemberhentian obat sampai terjadi relaps. Walaupun sebelumnya telah disebutkan bahwa jarak ini sekitar 6 bulan (atau lebih spesifiknya 235 hari), terdapat juga beberapa kasus di mana relaps terjadi setelah 323 hari dan 207 hari. Karena halhal di atas, muncul anggapan bahwa relaps sebenarnya lebih diakibatkan oleh penarikan obat dibandingkan kemunculan ulang penyakit dasar. Akhirnya, studi pada literatur mengungkapkan hal sebagai berikut: respon pengobatan cenderung lebih baik ketika diberikan pada masa episode awal skizofrenia dibandingkan dengan episode kronis multi episode. Dinyatakan bahwa pasien episode pertama (first episode patient atau FEP), membutuhkan haloperidol dalam jumlah yang lebih sedikit untuk memperoleh respon klinis yang

18 lebih baik dibandingkan dengan pasien multi-episodik. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa toleransi obat dapat berkembang. Sekitar 80% pasien dengan skizofrenia dinilai akan mengalami deteriorasi seiring berjalannya waktu, dan derajat keparahannya bergantung pada jumlah relaps yang dialami pasien. Didapatkan juga bukti-bukti pada studi pendahulu yang membandingkan respon pengobatan pada episode pertama dan berikutnya di mana waktu remisi akan semakin panjang (Emsley et al, 2013).