Lex Crimen Vol. VI/No. 9/Nov/2017

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum tetap ini merupakan upaya hukum luar biasa, dalam memperoleh kekuatan

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

Lex Administratum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB III PENUTUP. serta pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa peranan hakim adalah

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

SUATU TINJAUAN TERHADAP PEMBUKTIAN DALAM UNDANG UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. :

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Setelah dilakukan penelitian dan pembahasan, maka dapat dirumuskan

HAKIKAT DAN PROSEDUR PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA RINGAN 1 Oleh: Alvian Solar 2

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

BAB V PENUTUP. Berdasarkan analisis terhadap data yang berhasil dikumpulkan melalui

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016

Lex Crimen Vol. III/No. 4/Ags-Nov/2014

Lex Crimen Vol. III/No. 4/Ags-Nov/2014. Kata kunci: Pelanggaran, Hak-hak Tersangka.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

I. PENDAHULUAN. Hukum acara pidana merupakan perangkat hukum pidana yang mengatur tata cara

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENYITAAN SEBAGAI OBJEK PRAPERADILAN 1 Oleh: Arif Salasa 2

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015. INDEPENDENSI HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA PRAPERADILAN MENURUT KUHAP 1 Oleh: Alviano Maarial 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 7/Sep/2017

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB II UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI (PK)/HERZIENING DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

DAFTAR PUSTAKA. Admasasmita Romli, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta: Kencana

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

PENGHENTIAN PENUNTUTAN PERKARA PIDANA OLEH JAKSA BERDASARKAN HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Daniel Ch. M. Tampoli 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendahuluan sebelum pemeriksaan sidang di pengadilan. 1 Istilah praperadilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA. Bakhri, Syaiful, 2009, Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana, Cetakan I, P3IH FH UMJ dan Total Media, Yogyakarta.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017. PERAN TERDAKWA DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI PENGADILAN 1 Oleh : Aris Mohamad Ghaffar Binol 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

jahat tersebut tentunya berusaha untuk menghindar dari hukuman pidana, yaitu dengan cara

Lex Crimen Vol. IV/No. 7/Sep/2015

Hukum Acara Pidana. Pertemuan XXVIII & XXIX Malahayati, S.H., LL.M. (c) 2014 Malahayati 1

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

Transkripsi:

KAJIAN YURIDIS GANTI RUGI DAN REHABILITASI NAMA BAIK BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh: Natasya Senduk 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana mekanisme pengaturan pelaksanaan ganti rugi dan rehabilitasi berdasarkan KUHAP dan bagaimana penggabungan perkara gugatan ganti rugi berdasarkan sistematika KUHAP. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan pelaksanaan ganti rugi dan rehabilitasi terhadap tindakan atau pemidanaan penangkapan, penahanan, penuntutan dan pengadilan atau dikenakan tindakan pidana lain, tanpa alasan yang berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau penerapan hukum maupun rehabilitasi seseorang yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atas peninjauan kembali, diatur dalam KUHAP, PP No. 27 Tahun 1983, Kepmen Keuangan No. 983/KMK.01/1983 dan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi oleh yang berhak ditujukan kepada negara melalui Pengadilan Negeri, besar ganti rugi dari Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah) sampai Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah), selebihnya melalui gugatan perdata, ini pun tidak serta merta diperoleh, tergantung proses/kesediaan anggaran negara. 2. Penggabungan perkara gugatan ganti rugi terhadap seseorang tersangka dan terpidana diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP, termasuk perkara gugatan pihak ketiga (yang berhak) baik gugatan perdata, gugatan pidana, gugatan perpajakan, gugatan pesangon (perusahaan), gugatan perasuransian, kesehatan, atas timbulnya kerugian bagi orang lain atau pihak ketiga (yang berhak). Penggabungan perkara gabungan ganti rugi antara perkara perdata dan perkara pidana dengan sendirinya berada dalam pemeriksaan tingkat banding sebagai petunjuk gugatan perdatanya tanpa nomor, 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Dr. Ralfie Pinasang, SH, MH; Refly Singal, SH, MH 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 14071101468 putusan ganti rugi pelaksanaannya menurut tata cara putusan perdata, dan pelaksanaan putusan ganti rugi tidak ditugaskan kepada jaksa. Kata kunci: Kajian yuridis, ganti rugi, rehabilitasi, nama baik. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ganti rugi dan rehabilitasi merupakan hal yang sudah lama dikenal dalam dunia hukum, baik Hukum Perdata maupun Hukum Pidana. Dalam Hukum Pidana, istilah ganti kerugian tidak ditemui pada Hukum Pidana Materiil, ganti kerugian merupakan materi yang terdapat dalam Hukum Pidana Formil, yakni pada Pasal 95 sampai pada Pasal 101 KUHAP. 3 Ganti kerugian merupakan pembayaran sejumlah uang sebagai kompensasi terhadap tersangka, terdakwa, ataupun terpidana karena ditangkap, ditahan, dituntut, diadili, atau dikarenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Sedangkan rehabilitasi merupakan pemulihan hak seseorang dalam kemampuan atau posisi semula yang diberikan oleh pengadilan. Di dalam prakteknya, ganti rugi dalam hukum pidana dapat dimintakan terhadap 2 hal, yaitu: karena perbuatan aparat penegak hukum dan karena perbuatan terdakwa. Pemeriksaan atas tuntutan ganti rugi diajukan melalui proses praperadilan di pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan sesuai dalam Pasal 95 (3) KUHAP. Sebagai suatu lembaga hukum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, ganti rugi dan rehabilitasi merupakan suatu bentuk nyata pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap hak asasi terpidana dalam membela hak-haknya yang telah dirampas secara tidak adil. Dalam praktek beracara di pengadilan, banyak permasalahan yang timbul sebagai akibat dari ketidakseimbangan dan ketidaksesuaian dengan hal-hal yang diatur dalam KUHAP, seperti: dalam menjalankan tugas-tugasnya, banyak aparat penegak hukum yang bertindak 3 Leden Marpaung, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi dalam Hukum Pidana, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 3. 18

melebihi maupun tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam menghadapi hal ini, KUHAP sudah melakukan antisipasi tersendiri dengan dimuatnya suatu lembaga yaitu ganti rugi dan rehabilitasi. Asas ganti rugi dan rehabilitasi telah diletakkan pada Pasal 9 UU No. 14 Tahun 1970 yang berbunyi sebagai berikut: 4 a. Seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti rugi dan rehabilitasi. b. Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) dapat dipidana. c. Cara-cara untuk menuntut ganti rugi, rehabilitasi dan pembebanan ganti rugi diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Wataupun masalah ganti rugi dan rehabilitasi merupakan hal yang sudah lama dikenal dalam penegakan hukum acara pidana di Indonesia, namun ganti rugi dan rehabilitasi tetap merupakan masalah yang aktual untuk dibicarakan, terutama setelah timbulnya kasus Sengkon Karta yang baru, yakni kasus Imam Chambali dan Devid Eko Priyanto. Eksistensi dan penegakan ganti kerugian dan rehabilitasi, sebagai salah satu jalan bagi terpidana untuk menuntut hak-hak asasi manusia yang telah dilanggar oleh aparat hukum, kian nyata menjadi salah satu hal yang penting. KUHAP sebagai payung dalam pelaksanaan ketentuan hukum acara pidana di Indonesia melakukan banyak perubahan yang amat penting. Perubahan ini tercermin dalam muatan KUHAP yang sebagian besar melindungi hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh seorang tersangka, terdakwa, maupun terpidana. Hal ini amat berbeda dengan muatan dalam pengaturan undang-undang hukum acara pidana yang sebelumnya, yakni ketentuan yang terdapat dalam HIR, tidak ada pengakuan maupun perlindungan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh tersangka, terdakwa, maupun terpidana sehingga seolaholah hak asasi manusia mereka diperkosa oleh ketentuan undang-undang. Akan tetapi, dengan keberlakuan KUHAP, hak asasi manusia yang dimiliki oleh tersangka, terdakwa, dan khususnya terpidana menjadi terlindungi kembali. Salah satu bentuk perlindungan KUHAP terhadap hak asasi manusia adalah dengan dibentuknya lembaga hukum ganti rugi dan rehabilitasi. Ganti rugi merupakan satu ketentuan telah lama dikenal dalam Hukum di Indonesia, yakni dimulai dengan dimuatnya ketentuan tersebut dalam KUHPerdata. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kemudian mulai mengadopsi hal ini. Berbeda dengan ganti rugi, rehabilitasi merupakan satu lembaga yang baru diperkenalkan dalam dunia hukum acara pidana di Indonesia, dalam ketentuan UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Ganti rugi dan rehabilitasi biasanya disatukan di dalam satu paket. Selain itu, pada umumnya, ganti kerugian dan rehabilitasi diajukan melalui satu lembaga praperadilan. Akan tetapi, untuk beberapa kasus khusus, seperti kesalahan pemidanaan (error in persona), maka terdapat beberapa perbedaan terkait dengan mekanisme pengajuan ganti rugi dan rehabilitasi. Wataupun demikian, inti dari pengajuan ganti rugi terpidana atas kasus error in persona tetap sama, yakni untuk melindungi hak-hak terpidana atas kesalahan dalam penerapan sistem hukum di Indonesia. Memperhatikan uraian di atas, penulis mempelajari dan mengkaji serta meneliti secara mendalam yang hasilnya dituangkan dalam skripsi dengan judul Kajian Yuridis Ganti Rugi dan Rehabilitasi Nama Baik Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana mekanisme pengaturan pelaksanaan ganti rugi dan rehabilitasi berdasarkan KUHAP? 2. Bagaimana penggabungan perkara gugatan ganti rugi berdasarkan sistematika KUHAP? C. Metode Penelitian Penulis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian yuridis normatif, mengkaji penerapan norma-norma hukum positif dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat. 4 Martiman Prodjohamidjojo, Ganti Rugi dan Rehabilitasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 5. 19

PEMBAHASAN A. Mekanisme Pengaturan Pelaksanaan Ganti Rugi dan Rehabilitasi Berdasarkan KUHAP 1. Mekanisme Pengaturan Pelaksanaan Ganti Rugi Berdasarkan KUHAP Pelaksanaan ganti rugi sebagaimana termaktub dalam Pasal 95 KUHAP, sebagai berikut: Pasal 95 (1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. (2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atau penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77. (3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. (4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua Pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan. (5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan. Penjelasan mengenai ketentuan yang diatur dalam Pasal 95 KUHAP ini dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan kerugian karena dikenakan tindakan lain ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. 2. Mekanisme Pengaturan Pelaksanaan Rehabilitasi Berdasarkan KUHAP Rehabilitasi merupakan satu lembaga hukum yang baru dikenal dalam dunia hukum acara pidana di Indonesia, sama seperti ganti rugi. Akan tetapi, berbeda dengan ganti rugi yang telah lama dikenal dalam dunia hukum di Indonesia yaitu dalam hukum perdata, rehabilitasi merupakan lembaga yang murni dibentuk dan baru dikenal dalam dunia hukum acara di Indonesia. Pengaturan mengenai rehabilitasi pertama kali diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam menunjang pelaksanaan rehabilitasi dalam dunia hukum acara pidana di Indonesia, maka pengertian mengenai rehabilitasi diatur dalam beberapa perundang-undangan. Dalam pasal ini, permintaan rehabilitasi hanya berkenaan dengan permintaan rehabilitasi dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP, yakni hanya atas alasan penangkapan atau penahanan yang tidak sah, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan, sedangkan atas alasan yang disebutkan dalam Pasal 97 ayat (1) KUHAP, yakni atas putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak ditanggung sama sekali. Menurut pendapat M. Yahya Harahap, alasan atas keberlakuan pasal ini adalah setiap putusan pengadilan yang berupa pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum, harus sekaligus memberikan dan mencantumkan rehabilitasi. Karena itu, dapat dikatakan pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, merupakan hak wajib yang diberikan dan dicantumkan sekaligus secara langsung dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. 5 Hal tersebut tidak perlu diminta dan diajukan oleh terdakwa maupun oleh terpidana. 6 Tujuan rehabilitasi adalah sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali nama baik, kedudukan dan martabat seseorang yang telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa penangkapan, penahanan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan. 7 5 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 69. 6 Ibid, hal. 70. 7 M. Yahya Harahap, Op Cit, hal. 72. 20

B. Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Rugi Berdasarkan Sistematika KUHAP 1. Gugatan Ganti Rugi atas Tersangka dan Terdakwa berdasarkan KUHAP Gugatan ganti rugi atas tersangka dan terdakwa tertera dalam Pasal 98 sampai Pasal 101 KUHAP, di luar Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP. 1. Ganti kerugian karena seseorang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau salah dalam menerapkan hukum. Ini sama dengan yang dimaksud dengan definisi yang tercantum dalam Pasal 1 butir 22 KUHAP dan pengaturannya dalam Pasal 95 dan 96 KUHAP. 2. Ganti kerugian kepada pihak ketiga atau korban. Ini sejajar dengan ketentuan dalam Bab XIII KUHAP mengenai penggabungan perkara gugatan ganti kerugian (Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP) yang tidak dimasukkan ke dalam pengertian ganti kerugian. 3. Ganti kerugian kepada berkas terpidana sesudah peninjauan kembali. Dalam Bab XVIII Bagian Kedua tentang peninjauan kembali putusan pengadilan KUHAP tidak disebut-sebut tentang ganti kerugian. 8 Ketentuan ganti kerugian kepada pihak ketiga, penggabungan perkara gugatan perdata pihak ketiga dan perkara pidananya, yang ternyata pihak ketiga itu luas artinya karena meliputi selain gugatan dari korban, juga biasa muncul gugatan dari asuransi kesehatan, pihak pemerintah dalam hal pelanggaran izin usaha, pihak douane, perpajakan, dan lain-lain. 9 Gugatan/perkara ganti rugi pihak ketiga dapat mengajukan gugatan ganti rugi dengan alasan sebagai berikut: 1. Pasal 98 KUHAP mengatakan... menimbulkan kerugian bagi orang lain... kemudian dijelaskan dalam penjelasan pasal itu bahwa yang dimaksud dengan kerugian bagi orang lain (termasuk kerugian pihak korban). Jadi, korban delik bukan 8 Oemar Seno Adji, Herziening, Ganti Rugi, Suap, Perkembangan Delik, Erlangga, Jakarta, 1981, hal. 67. 9 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal. 208. satu-satunya orang lain itu. Tidak limitatif pada korban delik saja. 2. Menurut Pasal 101 KUHAP, ketentuan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian ini sepanjang KUHAP tidak menentukan lain. Sebagaimana diketahui gugatan perdata itu luas ruang lingkupnya. Jadi, semua pihak yang merasa dirugikan oleh pelaku delik itu dapat mengajukan gugatan. 10 Ketentuan tentang ganti kerugian setelah peninjauan kembali sangat penting dan telah menjadi ketentuan yang universal pula. Pasal 14 ayat (6) apabila seseorang telah dipidana dengan putusan akhir karena suatu perbuatan kriminal (delik) dan apabila akhirnya pidananya dihapus atau diberi pengampunan berdasar ditemuinya fakta baru atau diperbarui yang menunjukkan dapat ditarik kesimpulan, bahwa telah terjadi kekeliruan dalam peradilan, orang yang telah dijatuhi pidana sebagai akibat pemidanaan, akan diberi ganti kerugian menurut undang-undang, kecuali dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang tidak diketahui itu, seluruhnya atau sebagian atas tanggungan itu sendiri. 2. Gugatan Ganti Rugi Setelah Peninjauan Kembali Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap Berdasarkan KUHAP Ganti kerugian kepada terpidana setelah peninjauan kembali KUHAP diatur tentang upaya hukum luar biasa, yaitu peninjauan kembali tercantum dalam Pasal 263, dan Pasal 269 (1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. (2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar: a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan 10 Ibid, hal. 210-211. 21

hukum atau tuntutan dari penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. (3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. KUHAP sendiri ternyata tidak memberikan penjelasannya tentang apa yang dimaksud dengan putusan pengadilan dalam rumusan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, yaitu apakah putusan tersebut harus diartikan sebagai putusan yang diucapkan dengan hadirnya terdakwa saja, atau termasuk pula ke dalam pengertiannya, yakni putusan yang diucapkan tanpa hadirnya terdakwa ataupun yang di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana juga sering disebut sebagai verstekvonnis. Putusan pengadilan seperti dimaksud dalam rumusan Pasal 263 ayat (1) KUHAP itu harus diartikan, baik sebagai putusan pengadilan yang diucapkan dengan hadirnya terdakwa maupun sebagai putusan pengadilan yang diucapkan tanpa hadirnya terdakwa, asal putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, dan bukan merupakan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum. 11 Dasar yang dapat dipakai orang untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan 11 Pangaribuan, Luhut M.P. Hukum Acara Pidana, Satu Kompilasi Ketentuan-ketentuan KUHAP serta dilengkapi dengan Hukum Internasional Yang Relevan, Cet. I, Djambatan, Jakarta, 2000, hal. 17. hukum tetap seperti yang dirumuskan dalam Pasal 263 ayat (2) huruf a dan Pasal 263 ayat (3) KUHAP mirip dengan dasar-dasar untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. Dasar yang dapat dipakai orang untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali seperti yang dirumuskan dalam Pasal 263 ayat (2) huruf b KUHAP mirip dengan dasar untuk dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali. 12 Menurut ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali memang hanya terpidana atau ahli warisnya, maka sebagian orang mungkin bersyukur bahwa Merited Kehakiman di dalam keputusannya tertanggal 10 Desember 1983 Nomor M. 14-PW.07.03 Tahun 1983 antara lain telah menentukan, bahwa terhadap putusan bebas itu orang dapat mengajukan permintaan kasasi. Keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan seperti itu sudah diketahui oleh hakim pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas dan lain-lainnya sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP itu, di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana juga sering disebut sebagai suatu novum, atau jika jumlahnya lebih dari satu maka ia disebut nova. 13 Dari rumusan Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP tersebut, orang dapat mengetahui bahwa tidak berdasarkan setiap nova, orang dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan-putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, melainkan hanya novum-novum yang menimbulkan dugaan kuat, jika keadaankeadaan tersebut diketahui oleh hakim pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, tuntutan dari penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara yang bersangkutan akan diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. 14 12 Ibid, hal. 17-18. 13 Leden Marpaung, Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana, Cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 108. 14 Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hal. 242. 22

Pasal 263 ayat (2) huruf b KUHAP adalah misalnya putusan-putusan dari pengadilan negeri Bekasi, Jawa Barat yang cukup menggemparkan masyarakat, yakni yang kemudian dikenal sebagai Kasus Sengkon dan Karta. Pada tahun 1977, dua orang terdakwa masing-masing Sengkon bin Yakin dan Karta oleh pengadilan negeri Bekasi telah dinyatakan terbukti melakukan pembunuhan terhadap suami istri Sul dan Nyonya Sh., sehingga bagi masing-masing terdakwa telah dijatuhkan pidana penjara selama tujuh dan dua belas tahun. Baik pengadilan tinggi Jawa Barat maupun Mahkamah Agung Republik Indonesia ternyata telah menguatkan putusan pengadilan negeri Bekasi tersebut di atas. 15 Kemudian baru diketahui bahwa yang telah melakukan pembunuhan terhadap suami istri Sul dan Nyonya Sh. itu bukanlah para terpidana Sengkon dan Karta, melainkan seseorang bernama Gun, yang pada tanggal 15 Oktober 1980 kemudian oleh pengadilan negeri yang sama telah dijatuhi pidana penjara selama sepuluh tahun. Para terpidana Sengkon dan Karta kemudian telah mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan negeri Bekasi yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap kepada Mahkamah Agung, yang kemudian telah memutuskan pembebasan bagi Sengkon dan Karta, setelah Sengkon menjalankan pidana penjaranya selama lima tahun sepuluh bulan dan dua puluh tiga hari, dan Karta telah menjalankan pidana penjara selama tiga tahun tiga bulan dan dua puluh tujuh hari. 16 Sengkon dan Karta pernah mengajukan gugatan perdata terhadap pemerintah Republik Indonesia untuk memperoleh ganti rugi sebesar seratus juta rupiah melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tetapi pengadilan dalam sidangnya pada tanggal 28 Juli 1982 ternyata menolak gugatan mereka. Yang dimaksud dengan pemidanaan di dalam rumusan Pasal 263 ayat (3) KUHAP adalah penjatuhan pidana atau straf, scperti pidana penjara, pidana kurungan atau pidana denda, dan bukan penindakan atau maatregel, seperti pengembalian orang yang bersalah 15 Ibid, hal. 242-243. 16 Ibid, hal. 245. kepada orang tuanya, walinya, atau orang yang mengurusnya ataupun penempatan dari orang yang bersalah di bawah pengawasan pemerintah. Pasal 264 (1) Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (2) berlaku juga bagi permintaan peninjauan kembali. (3) Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu. (4) Dalam hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan surat permintaan peninjauan kembali. (5) Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan peninjauan kembali beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung disertai suatu catatan penjelasan. Penjelasan Pasal 263 ayat (1) KUHAP (1) Ketua pengadilan setelah menerima permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP: menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2). (2) Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya. (3) Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon, dan panitera dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera. 23

(4) Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan peninjauan kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa. (5) Dalam hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang bersangkutan. Walaupun pembentuk KUHAP telah mengetahui kemungkinan terpidana yang bermaksud meminta peninjauan kembali itu kurang memahami hukum, yakni sebagaimana yang dapat dilihat dari rumusan Pasal 264 ayat (4) KUHAP, tetapi dalam pemeriksaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 265 ayat (2) KUHAP di atas, pembentuk KUHAP tidak menjelaskan apakah terpidana dapat didampingi oleh penasihat hukum atau tidak. 17 PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pengaturan pelaksanaan ganti rugi dan rehabilitasi terhadap tindakan atau pemidanaan penangkapan, penahanan, penuntutan dan pengadilan atau dikenakan tindakan pidana lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau penerapan hukum maupun rehabilitasi seseorang yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atas peninjauan kembali, diatur dalam KUHAP, PP No. 27 Tahun 1983, Kepmen Keuangan No. 983/KMK.01/1983 dan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi oleh yang berhak ditujukan kepada negara melalui Pengadilan Negeri, besar ganti rugi dari Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah) sampai Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah), selebihnya melalui gugatan perdata, ini pun tidak serta merta diperoleh, tergantung proses/kesediaan anggaran negara. 17 Lamintan, Op Cit, hal. 63. 2. Penggabungan perkara gugatan ganti rugi terhadap seseorang tersangka dan terpidana diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP, termasuk perkara gugatan pihak ketiga (yang berhak) baik gugatan perdata, gugatan pidana, gugatan perpajakan, gugatan pesangon (perusahaan), gugatan perasuransian, kesehatan, atas timbulnya kerugian bagi orang lain atau pihak ketiga (yang berhak). Penggabungan perkara gabungan ganti rugi antara perkara perdata dan perkara pidana dengan sendirinya berada dalam pemeriksaan tingkat banding sebagai petunjuk gugatan perdatanya tanpa nomor, putusan ganti rugi pelaksanaannya menurut tata cara putusan perdata, dan pelaksanaan putusan ganti rugi tidak ditugaskan kepada jaksa. B. Saran 1. Untuk melindungi hak asasi manusia yang dimiliki oleh tersangka, terdakwa dan terpidana atas kesalahan penerapan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, maka negara harus memberi ganti rugi dan rehabilitasi baik materiil dan spirituil sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. 2. Negara harus memberi sanksi hukum yang tegas, baik sanksi etik profesi maupun sanksi pidana atas aparat penegak hukum, terjadinya error in persona, sehingga merugikan tersangka, terdakwa dan terpidana. DAFTAR PUSTAKA Abidin A.Z., Bunga Rampai Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2000., Sejarah dan Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia. Adji Oemar Seno, Hukum (Acara) Putusan dalam Prospeksi, Erlangga, Jakarta, 1976. Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Cet. Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2012. Asmawie M. Hanafi, Ganti Rugi dan Rehabilitasi menurut KUHAP, Pradnya Paramita, Cet. II, Jakarta, 1990. Djenawi Tahir, Hadari, Bab tentang Herziening di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Bandung, Alumni, 1982. 24

Hall Jerome, Nulla Poena Sine Lege, Yale Law Journal, 1937. Hamzah Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2004., Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008., Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Hanafi Asmawie, M., Ganti Rugi dan Rehabilitasi Menurut KUHAP, Cet. II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1990. Harahap Yahya M., Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Ibrahim Johni, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, 2008. Kanter E.Y. dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta, 1982. Karjadi M. dan R. Soesilo, Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Politeia, Bogor, 1988. Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Sinar Grafika, Jakarta, 2013. Marpaung Leden, Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana, Cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2004., Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi dalam Hukum Pidana, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997. Marzuki Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Cetakan ke-4, Jakarta. Meagher Dan, The Principle of Legality as Clear Statement Rule: Significance and Problems, Sidney Law Review, Vol. 36, 2014. Oemar Seno Adji, Herziening, Ganti Rugi, Suap, Perkembangan Delik, Erlangga, Jakarta, 1981. Pangaribuan, Luhut M.P. Hukum Acara Pidana, Satu Kompilasi Ketentuan-ketentuan KUHAP serta dilengkapi dengan Hukum Internasional Yang Relevan, Cet. I, Djambatan, Jakarta, 2000. Parman Soeparman,. Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan. Cet. I. Refika Aditama, Bandung, 2007. Prakoso Djoko, Masalah Ganti Rugi dalam KUHAP, Bina Aksara, Jakarta, 1978. Prodjodikoro Wirjono, Perbuatan Melanggar Hukum, Sumur Bandung, Jakarta, 1999. Prodjohamidjojo Martiman, Ganti Rugi dan Rehabilitasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982. Rukmini Mien, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2003. Seno Adji Oemar, Herziening, Ganti Rugi, Suap, Perkembangan Delik, Erlangga, Jakarta, 1981. Subekti, Sosial Pemberian Ganti Rugi dalam UU-HAP, Kompas, Selasa, 2 Februari, 1982. Wantjik Saleh K., Peninjauan Kembali Putusan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tetap, Cet. I, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980. Widyadharma Ignatius Ridwan, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Tanjung Mas, Semarang, 1983. Sumber-sumber Lain Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman 25